NovelToon NovelToon

Pendekar Kegelapan

Ch. 1

Langit di Pegunungan Seribu Iblis membara merah, seolah-olah darah para dewa telah tumpah, mencoreng cakrawala. Di puncak tebing yang terjal, seorang pria muda berdiri dengan napas tersengal.

Jubah hitamnya robek-robek, darah mengalir dari luka dalam di dadanya, namun matanya yang tajam berkilat dengan semangat yang tak padam. Mang Acheng, seorang kultivator di ranah Dao Venerable, menatap tujuh sosok yang mengelilinginya di udara, masing-masing memancarkan aura mengerikan khas ranah Dao Ancestor—ranah yang satu level di atas kemampuannya.

Angin menderu, membawa aroma kematian. Tujuh lelaki tua itu, yang dikenal sebagai Tujuh Tetua Langit dari Sekte Bintang Darah, memandang Acheng dengan tatapan penuh cemooh. Jubah mereka berkibar diterpa energi dao yang begitu pekat, membuat ruang di sekitar mereka bergetar.

Mereka adalah pemburu, dan Acheng adalah mangsa yang telah mereka buru selama tiga bulan penuh, sejak ia mencuri Hati Naga Iblis dari gua suci sekte mereka.

“Dasar anak kemarin sore,” cibir salah satu tetua, suaranya menggema bagai guntur. “Beraninya kau menentang Sekte Bintang Darah dengan kekuatan Dao Venerablemu yang remeh itu? Serahkan Hati Naga, dan kami mungkin akan memberimu kematian yang cepat.”

Mang Acheng menyeringai, meski darah menetes dari sudut bibirnya. “Cepat atau lambat, kematian hanyalah istirahat sementara bagi seorang kultivator,” jawabnya, suaranya dingin namun penuh ejekan. “Tapi kalian? Kalian akan menyesal mengejarku hingga ke ujung dunia ini.”

Dengan gerakan cepat, Acheng mengayunkan tangannya.

Dari tubuhnya meledak aura kegelapan yang pekat, bercampur dengan nyala api hitam yang membakar udara di sekitarnya. Elemen kegelapan dan api, dua kekuatan yang telah ia latih hingga puncak ranah Dao Venerable, kini menyatu dalam serangan mautnya—Telapak Bayang Api Neraka. Langit seolah terbelah saat gelombang energi hitam membara menerjang tujuh tetua itu.

Namun, tujuh Dao Ancestor bukanlah lawan sembarangan. Mereka serentak mengeluarkan teknik dao mereka, membentuk formasi yang dikenal sebagai Segel Bintang Darah. Cahaya merah menyala terang, menahan serangan Acheng dengan mudah. Seorang tetua melangkah maju, tangannya membentuk segel, dan seketika rantai energi merah darah melesat, mengikat tubuh Acheng.

“Argh!” Acheng menggeram, merasakan tekanan mengerikan dari rantai itu. Energi kegelapan dan apinya melemah, tubuhnya gemetar di bawah kekuatan gabungan tujuh Dao Ancestor. Darah mengalir lebih deras dari lukanya, namun ia menolak menyerah. Dengan sisa kekuatannya, ia memicu teknik terlarang: Ledakan Kegelapan Malam Berbintang. Tubuhnya meledak dalam gelombang kegelapan dan api yang begitu dahsyat, memaksa tujuh tetua mundur beberapa langkah.

Memanfaatkan kekacauan itu, Acheng menghilang dalam bayang-bayang, menggunakan teknik pelarian yang ia pelajari dari kitab kuno di reruntuhan kuil kuno. Tubuhnya melebur dengan malam, meninggalkan tujuh tetua yang murka di belakang.

Ia muncul kembali ratusan meter jauhnya, di tepi Hutan Iblis Kelam, tubuhnya ambruk di tepi sungai yang airnya hitam pekat. Napasnya tersengal, nyawa seolah menggantung di ujung benang. Hati Naga Kegelapan, artefak yang telah memicu semua ini, masih tersegel di dalam cincin penyimpanannya.

Acheng menatap pantulan wajahnya di air sungai—wajah seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun, namun dengan mata yang telah melihat terlalu banyak kematian dan pengkhianatan.

“Jika aku selamat dari ini,” gumamnya, suaranya parau, “aku bersumpah, Sekte Bintang Darah akan kuhancurkan hingga ke akarnya.”

Langit di atasnya bergemuruh, seolah-olah dao langit sendiri menanggapi tekadnya. Di kejauhan, aura tujuh tetua mulai mendekat lagi. Acheng memaksakan diri berdiri, menyapu darah dari bibirnya, dan melangkah ke dalam kegelapan hutan.

Mang Acheng berlari dengan kecepatan yang nyaris melampaui batas tubuhnya yang terluka parah. Darah menetes di setiap langkahnya, meninggalkan jejak merah di tanah hitam yang lembap.

Napasnya memburu, namun tekadnya tak goyah. Di belakangnya, aura mengerikan dari tujuh tetua Sekte Bintang Darah semakin mendekat, bagai hantu pemburu yang tak kenal lelah.

Tiba-tiba, di tengah kabut tebal yang menyelimuti hutan, Acheng melihat sesuatu yang membuat jantungnya berdegup kencang. Di depannya berdiri sebuah gerbang kuno yang megah, terbuat dari batu obsidian yang memancarkan aura kegelapan begitu pekat hingga udara di sekitarnya seolah membeku.

Pilar-pilar gerbang itu dipenuhi ukiran simbol dao kuno, dan di puncaknya terdapat patung kepala iblis dengan mata merah yang seolah hidup, menatap langsung ke jiwa Acheng.

Energi dao kegelapan yang memancar dari gerbang itu begitu kuat, bahkan membuat luka-lukanya terasa sedikit mereda, seolah elemen kegelapan dalam tubuhnya beresonansi dengan tempat ini.

“Reruntuhan Raja Iblis…” gumam Acheng, suaranya nyaris tenggelam dalam deru angin. Ia pernah mendengar legenda tentang tempat ini—sebuah makam kuno yang konon dibangun untuk menyegel roh Raja Iblis Kegelapan, seorang kultivator legendaris yang pernah mengguncang dunia dengan kekuatannya di ranah Dao Sovereign ribuan tahun lalu.

Katanya, reruntuhan ini dijaga oleh roh jahat yang begitu kuat, tak seorang pun yang masuk pernah keluar hidup-hidup.

Namun, Acheng tak punya waktu untuk ragu. Aura tujuh tetua semakin dekat, dan ia bisa mendengar suara mereka yang penuh kemarahan menggema di kejauhan. “Bocah brengsek itu! Dia malah masuk ke Reruntuhan Raja Iblis!” teriak salah satu tetua, suaranya dipenuhi campuran kemarahan dan ketakutan. “Biarkan saja dia mati di sana. Tak ada yang bisa bertahan dari roh jahat itu!”

“Jika dia mati, Hati Naga Iblis akan hilang selamanya!” bentak tetua lain. “Kita harus masuk dan mengambilnya sebelum roh jahat itu menghancurkannya!”

Acheng tak mempedulikan perdebatan mereka. Dengan sisa tenaganya, ia melesat melewati gerbang, tubuhnya seolah ditarik oleh energi kegelapan yang memenuhi reruntuhan.

Begitu kakinya menyentuh tanah di dalam, gerbang di belakangnya bergetar hebat dan menutup sendiri dengan suara gemuruh yang mengguncang hutan. Kegelapan total menyelimutinya, hanya diterangi oleh nyala api hitam yang ia panggil dari telapak tangannya.

Di dalam reruntuhan, udara terasa berat, penuh dengan energi dao kegelapan yang begitu murni namun juga membawa aura kematian. Dinding-dinding batu dipenuhi ukiran yang menceritakan kisah Raja Iblis Kegelapan—pertempurannya melawan para dewa, pengkhianatan yang membuatnya jatuh, dan kutukan yang menyegelnya di tempat ini.

Acheng berjalan dengan hati-hati, setiap langkahnya menggema di lorong-lorong yang tampak tak berujung. Luka-lukanya masih berdarah, tetapi energi kegelapan di sekitarnya entah bagaimana memperlambat kehilangan darahnya, seolah-olah tempat ini mengakui keberadaannya.

Tiba-tiba, suara tawa yang dalam dan mengerikan bergema, membuat bulu kuduk Acheng berdiri. “Berani sekali seorang anak manusia memasuki makamku,” kata suara itu, seolah berasal dari setiap sudut reruntuhan. “Apa yang kau cari, anak muda? Kekuatan? Dendam? Atau… kematian?”

Acheng menghentikan langkahnya, matanya menyipit. Api hitam di tangannya berkobar lebih terang, mencerminkan tekadnya yang tak tergoyahkan. “Aku Mang Acheng, dan aku tidak datang untuk memohon apa pun,” jawabnya dengan suara tegas. “Aku datang untuk bertahan hidup. Jika kau roh jahat yang menjaga tempat ini, tunjukkan dirimu, dan kita lihat siapa yang akan jatuh lebih dulu!”

Tawa itu menggema lagi, kali ini lebih keras, seolah-olah menghina keberanian Acheng. Dari kegelapan di depannya, sepasang mata merah menyala terang, diikuti oleh sosok bayangan raksasa yang perlahan terbentuk.

Tekanan dari aura sosok itu begitu mengerikan, bahkan lebih kuat dari tujuh tetua Sekte Bintang Darah. Acheng menelan ludah, tapi tangannya tetap menggenggam erat Hati Naga Iblis di dalam cincin penyimpanannya. Ia tahu, pertemuan ini akan menentukan apakah ia akan bangkit sebagai legenda baru… atau lenyap selamanya di reruntuhan ini.

Di luar reruntuhan, tujuh tetua akhirnya tiba di depan gerbang reruntuhan yang kini tersegel rapat. Wajah mereka penuh keraguan, tapi keserakahan akan Hati Naga Iblis mendorong mereka untuk memecahkan segel gerbang. “Jika bocah itu masih hidup, kita akan mengambil nyawanya. Jika dia mati, kita ambil artefaknya,” kata tetua pertama, matanya berkilat penuh ambisi.

Ch. 2

Di dalam reruntuhan.

Angin dingin menderu di dalam lorong reruntuhan, membawa aroma kematian yang pekat. Mang Acheng berdiri dengan tubuh gemetar, darah menetes dari luka-luka dalam yang menggerogoti tubuhnya.

Di depannya, sosok bayangan raksasa dengan mata merah menyala perlahan mengambil bentuk nyata dengan dua tanduk yang berwarna hitam pekat.

GRRRRRR!

Raungan rendah mengguncang dinding batu, seolah-olah reruntuhan itu sendiri hidup dan marah. Roh Raja Iblis Kegelapan, dengan aura setara ranah Dao Ancestor Bintang 7, memandang Acheng bagai serangga yang tak berarti.

Acheng mengepalkan tangan, nyala api hitam di telapaknya berkobar lemah. Dengan ranahnya di Dao Venerable Bintang 5, ia tahu peluangnya untuk menang hampir nol. Dalam dunia kultivasi, setiap ranah adalah jurang yang sulit diseberangi yang terdiri dari :

Foundation Dao (Bintang 1-7): Ranah awal, di mana kultivator membangun dasar tubuh dan pikiran, memperkuat meridian dan jiwa untuk menahan energi dao. Acheng melewati ranah ini dengan cepat, tubuhnya ditempa bak baja.

Elemental Dao (Bintang 1-7): Di sini, ia menjalin koneksi dengan elemen kegelapan dan api, menguasai esensi dunia untuk membentuk serangan yang menghancurkan. Ia mencapai puncak ranah ini di usia muda.

Celestial Dao (Bintang 1-7): Ranah yang memperkenalkannya pada energi surgawi, memungkinkan ia menyerap kekuatan bumi dan langit. Di ranah ini, Acheng mulai memahami hukum alam.

Purification Dao (Bintang 1-7): Dengan memurnikan energi dao dalam tubuhnya, ia mencapai kendali sempurna atas kekuatannya, membuat setiap serangannya tajam dan mematikan.

Venerable Dao (Bintang 1-7): Ranah saat ini, di mana Acheng dihormati sebagai kultivator dengan kekuatan. Di Bintang 5, ia telah menguasai sebagian besar hukum kegelapan dan api, tapi masih jauh dari puncak ranah ini.

Ancestor Dao (Bintang 1-7): Kultivator di ranah ini menjadi penjaga hukum dunia, satu serangan saja bisa menghancurkan gunung. Bintang 7 adalah puncak ranah ini, hanya selangkah dari…

Sovereign Dao (Bintang 1-7): Penguasa hukum dan energi, kekuatan yang menentang Langit.

Eternal Dao (Awal-Menengah-Akhir): Melampaui batas fana, eksistensi abadi yang tak terikat waktu.

Origin Dao (Awal-Menengah-Akhir): Menyatu dengan asal mula segala sesuatu, memahami esensi sejati dunia.

Heavenly Dao: Puncak tertinggi, di mana kultivator menjadi satu dengan kehendak surgawi, menciptakan hukum sendiri.

Dan saat ini, di hadapan Dao Ancestor, ranah di mana seseorang menjadi penjaga hukum dunia, ia masih terlalu lemah. Apalagi roh di depannya ini berada di puncak ranah Ancestor, hanya selangkah dari Sovereign Dao, penguasa hukum dan energi.

“Kau berani menantangku, anak manusia?”

BOOM!

Suara Raja Iblis menggema, setiap kata bagai palu yang menghantam jiwa Acheng. “Aku, Zhaar, Raja Iblis Kegelapan, telah disegel di sini selama sepuluh ribu tahun. Kekuatanku melampaui mimpimu yang paling liar sekalipun!”

Acheng menyeringai, meski napasnya tersengal. “Kau disegel, bukan? Berarti kau tak lebih dari hantu yang terperangkap!”

Dengan gerakan cepat, ia melepaskan Telapak Bayang Api Neraka.

FWOOSH!

Gelombang kegelapan bercampur api hitam melesat, membelah udara menuju Raja Iblis.

Raja Iblis hanya mengangkat tangan, dan gelombang energi kegelapan yang jauh lebih pekat menelan serangan Acheng seperti air menelan setetes tinta. “Konyol sekali!”

Tik!

Dengan satu jentikan jari, Raja Iblis mengirimkan rantai energi hitam yang melilit tubuh Acheng, melemparkannya ke dinding reruntuhan.

BAM!

Batu-batu retak, dan Acheng memuntahkan darah, tubuhnya nyaris hancur. Namun, Acheng bukan orang yang mudah menyerah. Dengan raungan penuh tekad, ia memicu teknik terlarang: Hantaman Api Kegelapan.

Boom!

Tubuhnya meledak dalam aura api hitam yang membakar ruang di sekitarnya, memutus rantai energi Raja Iblis. Ia melesat maju, pedang energi kegelapan terbentuk di tangannya, dan menebas dengan Jurus Pedang Tak Berbentuk.

SLASH!

Pedangnya menggores lengan Raja Iblis, meninggalkan asap hitam.

“Kau… berani melukaiku?”

ROARRR!

Raja Iblis murka. BOOM! Aura kegelapannya meledak, mengubah lorong menjadi lautan bayangan yang menelan cahaya. Acheng terhuyung, tubuhnya terdorong mundur. Raja Iblis mengayunkan tinju raksasa, dan Bang! Acheng menghantam dinding lagi, tulang-tulangnya berderit. Darah mengalir deras, penglihatannya mulai kabur.

“Aku… tidak akan mati disini…”

Acheng memaksa berdiri, tangannya gemetar saat ia menyalurkan sisa energinya ke Hati Naga Kegelapan di cincin penyimpanannya. Artefak itu bergetar, melepaskan gelombang kegelapan yang memperkuat auranya.

Dengan nafas terakhirnya, ia melepaskan Ledakan Jiwa Api Kegelapan. FWOOSH! Reruntuhan berguncang, api hitam dan kegelapan menyelimuti Raja Iblis.

Namun, Raja Iblis hanya tertawa, tubuhnya utuh meski sedikit berasap. “Hahaha. Kau akan mati, manusia!”

WHOOSH!

Tinju bayangan raksasa melesat, menghantam Acheng hingga ia terlempar ke sudut ruangan, nyaris tak bernyawa. Tubuhnya ambruk, darah membentuk genangan di lantai. Matanya perlahan meredup, kematian seolah akan menjemput.

"Sepertinya kau kurang beruntung masuk ke sini manusia! Dan aku akan melahap jiwamu itu untuk memperkuat kekuatan jiwaku dan melepaskan diri dari tempat terkutuk ini."

Raja iblis merasa beruntung, karena mendapatkan mangsa manusia dengan kekuatan jiwa yang sangat kuat, dan bisa memperkuat jiwanya untuk bisa menghancurkan segel yang telah lama mengurungnya.

Akan tetapi, tiba-tiba saja...

ZINGGGG!

Cahaya keemasan menyala di dinding reruntuhan. Simbol-simbol dao kuno menyala, membentuk segel rumit yang memancarkan energi suci.

CRACK!

Rantai cahaya emas melesat, mengikat tubuh Raja Iblis. “Brengsek! Lagi-lagi segel ini mengganggu kesenanganku!” Raja Iblis mengamuk, dan mencoba melawan, akan tetapi segel itu terlalu kuat, menariknya kembali ke dalam makam batu di tengah ruangan.

BOOM!

Pintu makam menutup, menyegelnya kembali.

Acheng, yang nyaris mati, memandang segel itu dengan mata setengah terbuka. “Segel… kuno…” gumamnya, suaranya lemah. Ia tahu, segel itu tak akan bertahan lama—mungkin hanya beberapa hari sebelum Raja Iblis memecahkannya.

Dengan sisa kesadarannya, Acheng merangkak ke sudut ruangan, bersandar pada dinding. Ia mengeluarkan pil penyembuh dari cincin penyimpanannya dan menelannya, lalu menyalurkan energi kegelapan dari reruntuhan untuk memulihkan tubuhnya.

DUM… DUM… Jantungnya berdetak pelan, tapi semakin stabil. Acheng menatap makam Raja Iblis, matanya berkilat penuh tekad. “Kau belum selesai denganku, hantu tua,” bisiknya. “Dan aku belum selesai dengan Sekte Bintang Darah.”

Ch. 3

Napas Mang Acheng perlahan stabil, meski tubuhnya masih dipenuhi luka yang perlahan menutup berkat pil penyembuh dan energi kegelapan pekat yang memenuhi Reruntuhan Raja Iblis.

Jantungnya berdetak lebih kuat, didorong oleh tekad baja untuk bertahan hidup dan menghancurkan musuh-musuhnya. Segel kuno yang menahan roh Raja Iblis Zhaar masih menyala redup di makam batu, namun Acheng tahu waktunya terbatas baik untuk melarikan diri dari tujuh tetua Sekte Bintang Darah yang pasti sudah memasuki reruntuhan, maupun sebelum Zhaar memecahkan segel itu.

Ia bangkit perlahan, menyapu darah kering dari sudut bibirnya. Matanya menyipit, menatap lorong-lorong gelap yang membentang di depannya. “Jika aku ingin hidup, aku harus jadi lebih kuat,” gumamnya, suaranya bergema di dinding batu yang dipenuhi ukiran dao kuno.

Energi kegelapan di reruntuhan ini begitu murni, beresonansi dengan elemen kegelapan dalam tubuhnya. Tempat ini adalah kesempatan langka untuk berkultivasi, dan Acheng tak akan menyia-nyiakannya.

Dengan langkah hati-hati, ia menjelajahi reruntuhan, nyala api hitam di telapak tangannya menerangi jalan.

Lorong-lorong itu penuh jebakan dao—lantai yang tiba-tiba amblas, panah energi yang melesat dari dinding, hingga ilusi yang mencoba menjerat pikirannya. Acheng menghancurkan jebakan dengan tebasan energi kegelapan, matanya tajam penuh fokus.

Setelah melewati labirin yang seolah tak berujung, ia tiba di sebuah ruangan luas dengan langit-langit tinggi, dihiasi kristal hitam yang memancarkan cahaya redup bagai bintang di malam kelam.

Di tengah ruangan, sebuah altar batu berdiri megah, di atasnya terdapat sebuah belati sepanjang 50 cm yang memancarkan aura menakjubkan. Bilahnya berwarna biru gelap, seolah menyerap cahaya di sekitarnya, dengan ornamen emas yang membentuk pola bintang-bintang berkilau.

ZING!

Belati itu bergetar saat Acheng mendekat, seolah mengakui keberadaannya. “Belati Dewa Bintang…” gumam Acheng, membaca ukiran dao kuno di altar.

Pusaka langit ini, menurut legenda yang ia dengar, adalah senjata yang ditempa dari inti bintang jatuh, mengandung kekuatan atribut bintang yang bisa memanipulasi energi kosmik.

Acheng menggenggam gagang belati itu, dan BOOM! gelombang energi kosmik meledak, mengguncang ruangan.

Tubuhnya bergetar saat aliran kekuatan bintang menyatu dengan elemen kegelapan dan apinya. “Senjata ini… sempurna,” bisiknya, matanya berkilat penuh harapan.

Selama ini, ia bertarung tanpa senjata khusus yang benar-benar kuat. Dengan Belati Dewa Bintang, ia bisa menggabungkan kekuatan kosmik bintang dengan kegelapan, membuka jalan menuju teknik-teknik baru yang jauh lebih dahsyat.

Namun, Acheng tahu belati ini saja tak cukup untuk menghadapi tujuh tetua atau Zhaar. Ia duduk bersila di depan altar, mengeluarkan Hati Naga Iblis dari cincin penyimpanannya.

Artefak itu, sebesar kepalan tangan, memancarkan aura kegelapan yang begitu pekat, seolah-olah naga kuno hidup di dalamnya. “Reruntuhan ini adalah tempat terbaik untuk menyerapmu,” gumam Acheng.

Energi kegelapan di sekitarnya begitu murni, menciptakan kondisi ideal untuk berkultivasi dan menyerap esensi Hati Naga. Acheng menempatkan Hati Naga di depannya, tangannya membentuk segel dao.

WHOOSH!

Energi kegelapan dari reruntuhan mulai mengalir ke tubuhnya, bercampur dengan esensi naga yang keluar dari artefak itu. Tubuhnya bergetar hebat, meridian-meridiannya membengkak saat energi murni membanjiri jiwanya.

Rasa sakit yang menyengat menusuk setiap inci tubuhnya, seolah tulang-tulangnya diremukkan dan dibentuk ulang. Acheng menggertakkan gigi, keringat bercampur darah menetes dari dahinya.

Hari pertama berlalu dalam keheningan, hanya diiringi energi yang berputar di sekitarnya. Acheng tenggelam dalam meditasi mendalam, memurnikan esensi Hati Naga dengan teknik Pemurnian Dao.

FWOOSH!

Api hitam menyala di sekitarnya, membakar kotoran dari energinya, membuatnya semakin murni. Di hari kedua, BOOM! auranya meledak, mengguncang altar. Kristal-kristal di langit-langit ruangan berkilau lebih terang, seolah merespons terobosannya.

Acheng membuka mata, cahaya kegelapan dan bintang berkilau di pupilnya. “Dao Venerable Bintang 6!” serunya, merasakan kekuatan baru yang mengalir di meridiannya. Namun, ia tak berhenti. Ia menyerap sisa esensi Hati Naga, mendorong batas-batas ranahnya.

CRACK!

Suara retakan terdengar dari dalam jiwanya, tanda bahwa dinding ranahnya mulai runtuh. Energi kosmik dari Belati Dewa Bintang turut mengalir, memperkuat fondasinya.

Pada malam kedua.

BOOM!

ledakan energi dahsyat mengguncang ruangan. Acheng berdiri, auranya kini jauh lebih kuat, seolah malam itu sendiri tunduk padanya. “Dao Venerable Bintang 7!” gumamnya, suaranya penuh keyakinan. Ia merasakan hukum kegelapan dan bintang di sekitarnya dengan kejelasan yang belum pernah ia alami sebelumnya.

Tubuhnya telah pulih sepenuhnya, luka-lukanya lenyap, dan meridiannya kini lebih luas, mampu menampung energi dao yang jauh lebih besar. Ia bahkan merasakan pintu menuju Dao Ancestor sudah di depan mata, hanya selangkah lagi untuk menerobos.

ZING!

Acheng mengayunkan Belati Dewa Bintang, dan gelombang energi berbentuk sabit bintang melesat, menghancurkan dinding batu di dekatnya menjadi debu. “Dengan ini, aku punya kesempatan melawan mereka,” katanya, matanya berkilat penuh dendam saat memikirkan tujuh tetua Sekte Bintang Darah.

Namun, Suara retakan dari makam batu di ruang utama menginterupsi pikirannya. Segel kuno yang menahan Zhaar mulai melemah, dan aura mengerikan mulai bocor.

Di saat yang sama, BOOM! getaran kuat dari pintu masuk reruntuhan menandakan tujuh tetua sudah semakin dekat. Acheng mengepalkan belatinya, Hati Naga kini telah diserap sepenuhnya, meninggalkan kekuatan baru dalam dirinya. “Waktunya bergerak,” bisiknya, melangkah ke kegelapan dengan tekad membara.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!