NovelToon NovelToon

Dosenku Ternyata Menyukaiku

Rintik Hujan

Camelia Sasongko, gadis berusia dua puluh dua tahun yang sedang menempuh studi di Fakultas Seni Rupa dan Desain dengan jurusan Fashion Design, Universitas Avanya, kampus elite yang dikenal melahirkan desainer-desainer muda bertalenta.

Ia gadis tenang yang lebih suka menyendiri dan membaca adalah kesenangannya sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama. Bukan hanya untuk menambah weawasan, tapi juga menjadi pelarian dari hal-hal yang membuatnya lara.

Rasanya, tenggelam dalam dunia kata membuat Camelia benar-benar lupa bahwa ia hidup dalam kenyataan. Jika saja bisa, Camelia ingin bertukar nasib. Ia tidak ingin hidup di tengah keluarganya sendiri.

Meski hidup bergelimang harta, kebahagiaan tidak pernah benar-benar hadir, ia merasa sendirian. Meski kedua orang tuanya lengkap, kehangatan sebuah keluarga tidak pernah ia rasakan.

Cukup menyedihkan, memang, bagi seorang Camelia Sasongko. Tapi, ia tetap memilih menjalani hidup walau dalam kesendirian.

Langit mendung menggantung rendah. Tak biasanya, tapi hari ini Camelia cukup senang. Sebab, angin sepoi-sepoi menyapa kulitnya, membawa sejumput kenyamanan yang jarang ia rasakan.

Ah, sialan.

Rintik hujan mulai jatuh satu per satu. Anehnya, Camelia menyukainya. Ia buru-buru menutup bukunya, memasukkannya ke dalam tas, lalu berlari ke gazebo taman fakultas.

Bukan untuk berteduh, tapi demi menyelamatkan buku-buku yang ada di dalam tas. Setelah itu, ia kembali berlari ke bangku taman, duduk dan memejamkan mata, membiarkan rintik hujan menyapanya yang kini kuyup.

Beberapa orang memandang heran. Seorang gadis duduk diam di bawah hujan, seolah dunia lain sedang ia peluk. Tapi Camelia menikmatinya. Bagi orang lain, itu aneh. Bagi Camelia, ini cara ia merasa hidup.

Tak jauh dari sana, seorang pria baru saja keluar dari ruangannya. Langkahnya hendak menuju kelas. Akan tetapi pandangannya terhenti saat melihat sosok gadis yang diam-diam sudah lama ia perhatikan.

"Selamat siang, Pak Sena." sapa salah seorang mahasiswa yang lewat, menyadarkannya dari lamunan. Ia menoleh, membalas dengan senyum tipis.

Girisena Pramudito.

Dosen muda berusia tiga puluh tahun. Idola kampus, tingginya sekitar 185 sentimeter, berwajah tampan, berambut hitam tersisir rapi, berkacamata, dan bertubuh atletis, yang membuatnya lebih sering jadi bahan bisik-bisik di lorong kampus daripada topik diskusi di ruang kuliah.

Sena tersenyum kecil. Setelah itu, ia kembali melangkah, masuk ke dalam kelas untuk mengajar.

Rasanya, cukup pengecut memang, jika Sena harus mengakui bahwa ia menyukai Camelia. Bukan karena gadis itu tidak pantas, tidak sama sekali. Camelia justru terlalu indah untuk sekadar disukai dalam diam.

Namun ini soal moral, soal batas-batas yang tidak tertulis tapi selalu membayangi pikirannya sebagai seorang dosen. Ia tahu, jika perasaannya terbuka, banyak mata akan menatapnya dengan pandangan sinis. Menjalin kasih dengan mahasiswanya sendiri? Dunia akademik tidak akan menerimanya dengan lapang. Bisa-bisa namanya tercoreng, bahkan kehilangan pekerjaannya dan Camelia? Ia tidak ingin gadis itu ikut terseret dalam kerumitan yang tidak layak ia tanggung.

Tapi entahlah, perasaan bukan sesuatu yang bisa ditekan begitu saja. Ada bagian dalam dirinya yang berharap, mungkin suatu hari nanti, ia bisa memperjuangkan cinta ini. Bukan sebagai dosen dan mahasiswa, tapi sebagai dua orang yang sama-sama kesepian dan sedang mencari arah.

Sebab, jika ada satu hal yang pasti dalam diri Girisena Pramudito, ia adalah laki-laki yang gigih dan untuk seseorang seperti Camelia Sasongko, barangkali ia akan bersedia berjuang lebih dari biasanya.

Sementara itu, cukup sudah bagi Camelia menyegarkan pikirannya bersama rintik hujan. Setelah beberapa saat terdiam dan menikmati langit yang kelabu, ia pun kembali ke gazebo untuk mengambil tasnya, lalu bersiap pulang.

Andai bisa memilih, dan andai boleh, Camelia lebih memilih hidup sendirian. Tak mengapa tanpa harta orang tuanya, tanpa fasilitas mewah yang selama ini mengelilinginya. Ia tahu dirinya mampu menjalani hidup sendiri. Bukan karena ia benci kemewahan, tapi karena semuanya terasa begitu kosong.

Berlapiskan kenyamanan, tapi hampa dari kasih sayang.

Kadang, ia hanya ingin pergi jauh. Menepi dari segala kemewahan yang dipaksakan padanya sejak kecil. Hidup sederhana, tenang, dan menjadi dirinya sendiri itu saja sudah cukup.

Camelia hanya ingin hidup dengan cara yang membuatnya merasa berarti. Bukan sebagai anak orang kaya, bukan pula sebagai gadis pendiam yang selalu tampak kuat di luar, tapi rapuh di dalam. Ia ingin dianggap sebagai pribadi yang utuh yang memiliki nilai, bahkan tanpa nama keluarganya.

Setidaknya, dengan begitu ia punya alasan untuk tetap bertahan.

......................

Mobil yang dikendarai oleh sopir akhirnya berhenti tepat di depan sebuah rumah mewah berwarna putih bersih. Kedatangan sang nona rumah langsung disambut hangat oleh beberapa maid, yang dengan sigap berbaris di sisi kanan dan kiri pintu utama. Mereka bersiap jika sang nona ingin menyerahkan barang bawaannya atau membutuhkan sesuatu.

Hal seperti ini sudah menjadi kebiasaan sejak Camelia masih kecil. Padahal, Camelia tidak benar-benar membutuhkan semua itu. Ia masih bisa melakukan hal-hal sederhana sendiri.

Kecuali memasak.

Sesampainya di kamar, Camelia langsung menuju kamar mandi. Ia melepas pakaian yang menempel di tubuhnya dan segera berendam dalam bathtub.

Hangat dan nyaman. Saat seluruh tubuhnya tenggelam dalam air hangat, ia bisa bernafas sedikit lebih lega. Setidaknya, ia masih punya beberapa jam untuk menikmati kesunyian sebelum kedua orang tuanya pulang dari pekerjaan. Sebab, begitu mereka tiba, keheningan ini akan lenyap, berganti dengan formalitas dan canggung yang melelahkan.

Ting!

Suara notifikasi membuat Camelia membuka matanya. Dengan malas, ia menoleh ke arah wastafel.

“Siapa, sih?! Ganggu aja!” gumamnya seraya bangkit dan mengambil ponsel yang tadi ia letakkan di sana.

From: +62577 - Gray, pria jenaka yang kau bilang. Dari aplikasi Love.

Camelia terkekeh. Oh, benar. Ia baru teringat, semalam ia iseng mengunduh aplikasi dating dan tak sengaja bertemu dengan seseorang bernama Gray.

Miris dan sedikit memalukan, sebenarnya. Apa gunanya Camelia, cantik, pintar, karismatik, mempesona, dan juga berasal dari keluarga kaya, jika untuk mencari pasangan saja ia harus mengandalkan aplikasi?

Tapi, siapa bilang harus cari pasangan? Toh, malam itu ia cuma ingin teman bicara, hanya itu.

To: +62577 - Hai, Malika di sini. Kedelai hitam yang dirawat sepenuh hati seperti anak sendiri.

Camelia tersenyum geli, sebab balasannya cukup jenaka. Ya, karena saat menggunakan aplikasi itu, ia tidak memakai nama asli. Nama samaran, Malika dan foto profilnya pun bukan foto diri sendiri, melainkan potret artis luar negeri, Bella Hadid.

Tak berapa lama, Camelia terkejut ketika notifikasi baru muncul di layar.

Panggilan video dari +62577 - Gray.

Refleks, Camelia langsung menolaknya. Matanya membelalak. Astaga, kenapa tiba-tiba video call? Beberapa detik kemudian, pesan baru masuk.

From: +62577 - Kenapa? Nggak mau lihat wajahku?

Camelia mendecak pelan sambil tersenyum. Tangannya lalu mengambil ponsel, mengetik beberapa saat, kemudian mengirimkan sesuatu.

To: +62577 - [IMG_6789.jpg]

Tidak sampai satu menit, balasan datang.

From: +62577 - Astaga! Kamu lagi mandi?! Dan bagaimana bisa kamu berani sekali kirim foto seperti itu?!

Camelia, yang kini bersandar di pinggir wastafel, mengernyitkan dahi. Ia menatap layar dengan alis terangkat. "Apa yang aneh? Hanya foto kaki, kan?" pikirnya sambil menghela napas ringan.

Ya mungkin memang sedikit aneh. Karena jelas, foto itu cukup seksi. Sebuah potret kaki jenjangnya yang basah, lengkap dengan cat kuku merah menyala dan kulit sawo matangnya yang halus mengkilap karena air. Tak heran jika seorang pria seperti Gray bisa melotot melihatnya.

To: +62577 - Dengan begitu, kamu tahu alasannya kenapa aku menolak panggilanmu, Gray. Aku mandi dulu, ya. Kamu juga jangan lupa mandi.

Ponsel ia letakkan kembali di atas wastafel. Camelia pun perlahan kembali masuk ke dalam bathtub, menyandarkan kepalanya dan memejamkan mata.

Mengenal Gray, entah mengapa terasa menyenangkan. Baru sebatas percakapan singkat, tapi bisa membuatnya tersenyum begitu lega. Ada kehangatan yang ia temukan, meski hanya lewat layar, dan dengan nama palsu.

Pertemuan dipagi hari

Malam yang seharusnya tenang bagi Camelia justru terasa riuh di telinga. Earphone yang menyumpal kedua daun telinganya pun tak mampu meredam suara-suara dari lantai bawah, suara yang tidak seharusnya ia dengar.

Padahal rumahnya luas, sangat luas. Tapi batas dinding seakan tidak bisa menahan gelegar perdebatan yang memekakkan. Umpatan dan caci maki kembali terdengar, dan seperti biasa, air mata Camelia menetes begitu saja.

“Brengsek!” gumamnya pelan. Ia memadamkan batang tembakau di asbak kristal, lalu menyeka wajahnya yang basah. Kepalanya bersandar di dinding kamar, jari-jarinya meremas rambut yang menjuntai ke pundak.

Berisik, sangat berisik dan ini bukan kali pertama. Bahkan bukan yang keseratus. Sudah berlangsung sejak ia kecil.

“Kenapa mereka harus tetap bersama kalau hanya bisa saling melukai seperti ini?” batinnya geram, tapi suara itu tetap tertahan dalam hati.

Hubungannya dengan kedua orang tuanya pun tak lebih dari formalitas. Bertegur sapa saja nyaris tidak pernah, sibuk dengan urusan masing-masing. Camelia merasa seperti seorang penyewa yang tinggal di rumah mewah, bukan seorang anak.

Ting!

Satu notifikasi masuk.

From: Gray — Sudah tidur, Malika?

Camelia menatap layar ponselnya lama, hanya satu kalimat dan pertanyaan sederhana. Tapi entah kenapa, bibirnya bergetar.

Agak berlebihan, mungkin. Tapi bagi Camelia, ini adalah hal yang langka. Sepanjang hidupnya, tidak pernah ada yang menanyakan kabarnya dengan tulus. Apalagi sekadar bertanya apakah ia sudah tidur.

Dulu, saat ia menjalin hubungan dengan seseorang, semuanya sama saja. Mereka tidak mencintainya, mereka hanya jatuh cinta pada hartanya pada label 'anak orang kaya'.

Tidak ada perhatian dan tidak ada kehangatan. Hanya kata 'kangen' sebagai kode untuk bertemu dan meminta uang.

Brengsek.

Satu kata itu cukup menggambarkan semuanya.

Tapi Gray, pesannya sederhana dan itu cukup menghangatkan hati Camelia malam ini.

Mata yang semula berembun kini terbelalak, kala ponselnya berdering dan nama Gray tertera di layar. Camelia mengerutkan kening. Ini terasa terlalu cepat untuk mulai saling menelepon seperti ini. Tapi, mengingat sore tadi ia sempat menolak panggilannya, kini ia merasa tak enak jika kembali mengabaikan.

Dengan dada bergemuruh, Camelia akhirnya menggeser layar dan menjawab.

Sejenak, tak ada suara, keduanya diam. Sampai akhirnya, jantung Camelia digetarkan oleh husky voice seberang telepon.

“Halo, Malika,” sapa Gray.

“H-hai, Gray,” jawab Camelia, agak terbata. Jelas ia gugup.

Terdengar tawa renyah dari seberang sana. Tawa itu maskulin, membuat Camelia ikut tersenyum, meski tanpa sadar.

“Kamu gugup?” tanya Gray.

“Hmm, cukup gugup,” jawab Camelia sambil terkekeh kecil.

“Padahal bukan cuma aku yang pernah menelpon mu. Tapi kenapa gugup kali ini?”

“Siapa? Tukang paket? Atau mas-mas delivery?” balas Camelia cepat.

Gray tertawa lagi, tawa yang lebih lepas. “Ya jelas... para pria tampan di luar sana,” godanya.

“Kamu paranormal, ya? Bahkan di kontak ku cuma ada satu nama laki-laki, ayahku.”

“Mustahil, gadis secantik kamu hanya menyimpan kontak ayahmu? Jadi aku nggak masuk hitungan?”

“Ah, iya, kamu juga. Kamu suka menebak, ya? Bahkan kamu belum benar-benar tahu aku, jadi bagaimana bisa menilai ku cantik atau tidak?”

“Maaf kalau terdengar lancang atau terlalu cepat. Tapi jika boleh aku memuji... kaki jenjang mu indah, Malika. Aku bisa menebak, kamu pasti cantik. Tapi bagaimanapun juga, menurutku semua wanita itu cantik.”

“Gombal,” sahut Camelia, menahan tawa.

“Malika... kamu sedang apa? Apa kamu sibuk? Apakah aku mengganggumu?” tanya Gray kemudian.

“Enggak, aku lagi sendirian di kamar, nggak ngapa-ngapain melakukan, bosan banget. Kamu sendiri?”

“Aku baru pulang olahraga, lumayan lelah. Lalu entah kenapa... kamu terlintas di pikiranku. Aku buka aplikasi Love, tapi kamu nggak aktif, jadi aku kirim pesan. Bahagianya... kamu balas,” jelas Gray.

Camelia menoleh ke arah jam digital di atas nakas. Pukul sembilan malam. “Kamu baru pulang olahraga jam segini?”

“Iya, tergantung waktuku. Kalau pagi atau siang lagi longgar, aku olahraga di waktu itu. Kalau sibuk, ya malam.”

“Hmm... begitu,” gumam Camelia.

“Kalau boleh tahu, kesibukan mu apa sekarang?” tanya Gray lagi, pelan.

Camelia terdiam. Alisnya bertaut, dan ia membaringkan tubuhnya di atas kasur. Apa yang harus aku jawab? Jujur atau tidak? Baru kenal... rasanya terlalu cepat. Lebih baik tidak terlalu membuka diri, batinnya.

“Sibuk menerima telepon darimu,” jawabnya akhirnya, sambil tertawa kecil.

“Hmm... jadi tidak ingin jawab jujur, ya? Baiklah, aku menghargai privasimu.”

“Terima kasih... Tapi, bolehkah sekarang aku beristirahat? Aku cukup lelah.”

“Tentu. Istirahatlah. Selamat malam, Malika.”

“Selamat malam, Gray.”

Panggilan berakhir.

Tapi senyum Camelia masih tertinggal di bibirnya. Ia pun tidak paham kenapa rasanya seperti ada percikan kembang api di dadanya, hangat dan tak biasa. Namun ia tidak ingin memikirkannya lebih jauh. Camelia hanya ingin tidur, dan membiarkan rasa sedihnya lenyap perlahan.

......................

Sinar matahari menembus jendela, hangat dan gagah, seolah mengajak bumi untuk kembali terjaga dan memulai hari. Namun, tidak bagi Camelia. Entah kenapa, pagi ini terasa malas. Ada rasa enggan dalam dirinya untuk pergi ke kampus. Tapi, karena itu sudah menjadi kewajibannya, dan ia ingin cepat menyelesaikan pendidikannya, ia pun memaksakan diri untuk bersiap.

Seperti biasa, ia sarapan sendiri di meja makan yang besar dan luas. Kedua orang tuanya sudah berangkat ke kantor sejak pagi-pagi sekali. Padahal, sesekali saja ia ingin merasakan rasanya berpamitan. Mendapatkan tatapan hangat dan ucapan 'hati-hati' yang tidak pernah ia miliki sejak kecil.

“Selamat pagi, Nona,” sapa Lastri, salah satu maid sambil menarik kursi untuk Camelia.

“Selamat pagi, Bi. Terima kasih,” jawab Camelia sambil tersenyum kecil.

“Pagi ini, sarapannya sesuai permintaan Anda, Nona. Bubur ayam,” jelas Lastri.

“Wah, terima kasih, Bi, untuk menu paginya. Selamat makan.” ucap Camelia, sopan seperti biasanya.

Begitulah Camelia. Ia selalu mengucapkan terima kasih untuk hal sekecil apa pun. Makanan apa pun tidak masalah baginya, tapi pagi ini memang ia ingin sesuatu yang lembut dan hangat, bubur ayam.

Ironisnya, orang-orang seperti Lastri justru lebih layak dianggap sebagai orang tua. Sejak kecil, para pekerja rumah tangga lah yang benar-benar memperhatikan dirinya, dari tumbuh kembang hingga memastikan nutrisi yang ia makan.

Maka, tidak pernah absen ucapan terima kasih dari bibirnya, karena hanya itu yang bisa ia berikan sebagai bentuk penghargaan.

Beberapa saat setelah sarapan, Camelia berjalan ke garasi.

“Pak, aku mau berangkat sendiri. Mana kuncinya?” tanyanya saat melihat Pak Usman, sopir pribadinya, berdiri di sisi mobil.

“Non tapi... bukannya Tuan Edo melarang Nona menyetir sendiri?” jawab Pak Usman, tampak ragu.

“Jangan bilang Ayah. Nggak apa-apa, Pak. Kalau ketahuan pun, aku yang tanggung jawab,” balas Camelia cepat.

Pak Usman tampak gelisah. Tapi melihat sorot mata Camelia yang penuh keyakinan, akhirnya ia menyerahkan kunci Ford Mustang hitam itu dengan tangan yang sedikit bergetar.

“Aduh... habis aku kalau sampai Tuan Edo tahu,” gumamnya lirih.

Camelia naik ke balik kemudi, dan seulas senyum tipis terbit dari bibirnya. Sudah lama rasanya ia tidak menyetir sendiri. Momen langka seperti ini terasa menyenangkan, memberikan rasa kebebasan kecil di tengah rutinitasnya yang membosankan.

Alunan musik pelan mengisi kabin, menyatu dengan deru mesin dan jalanan yang lengang. Namun, sesaat sebelum sampai di gerbang universitas, matanya menangkap sosok yang familiar sedang berdiri di bahu jalan.

“Itu... Pak Sena?” gumam Camelia, buru-buru menepi dan melepas sabuk pengamannya. Ia turun, berjalan mendekat, lalu berjongkok agar sejajar dengan pria itu yang tampak duduk di trotoar.

“Selamat pagi, Pak, ada yang bisa saya bantu?” sapanya pelan.

Sena mendongak. Tatapan mereka bersirobok dan seolah waktu berhenti sejenak. Sunyi, tapi bukan karena tidak ada suara, melainkan karena ada perasaan yang ikut diam. Pertemuan pagi itu terasa mengejutkan dan cukup untuk meninggalkan degup yang berbeda.

Pesan singkat pagi hari

Bagaikan tersengat aliran listrik. Tatapan Camelia, mahasiswa yang selama ini diam-diam dikagumi Sena, tiba-tiba datang begitu dekat. Untuk pertama kalinya dalam sekian lama, dada pria itu berdetak tak karuan.

Bukan karena takut terlambat mengajar, melainkan karena sorot mata gadis itu yang entah mengapa terasa menelanjangi pikirannya. Indah sekali binar matanya, batin Sena, nyaris lupa bernapas.

“Pak?”

Suara Camelia membuyarkan lamunannya.

“Ah, iya. Bagaimana?” jawab Sena, terlalu gugup untuk menyamarkan kekacauan di kepalanya.

Camelia mengernyitkan kening. “Bagaimana? Ini mobil Anda kenapa?”

Sena menunjuk ke arah ban belakang. “Sepertinya bannya bocor. Tapi dongkraknya dibawa adik saya, dan dari tadi telepon ke layanan derek tidak juga diangkat. Saya agak panik, karena tiga puluh menit lagi harus masuk kelas.”

Camelia memandangi jam tangannya sekilas. “Kalau begitu, berangkat sama saya saja, Pak. Sambil terus coba hubungi dereknya.”

Sena berdiri dari posisi jongkok, menepis debu di celananya. “Tidak usah, terima kasih. Biar saya coba telepon temanku saja, mungkin bisa jemput.”

“Nunggu?” Camelia menatapnya lurus. “Mending bareng sama saya, Pak. Daripada Anda telat?”

Sena terdiam, kebingungan melandanya. Kalau aku menolak, takut dia tersinggung. Tapi kalau menerima, rasanya merepotkan. Aduh, bagaimana ini?

“Pak, waktunya nanti habis kalau buat mikir,” cetus Camelia, menyentil logika yang sempat membeku.

Akhirnya, Sena menyerah pada logika dan waktu yang terus berjalan. “Baiklah. Tapi sebelumnya, maaf ya, sudah merepotkan.”

“Tidak apa-apa, Pak. Santai aja.” jawab Camelia santai.

Sena mengambil tasnya dari dalam mobil, memastikan kendaraan terkunci, lalu berjalan menuju mobil Camelia. Lantas, ia membuka pintu penumpang dan duduk dengan kikuk. Padahal suhu AC di dalam kabin cukup dingin, tapi tidak bagi Sena. Keringatnya muncul entah dari mana, sebab gugup menguasai tubuhnya.

Sementara itu, Camelia, di sisi lain, berusaha tetap tenang. Meskipun biasanya terkesan tertutup di lingkungan kampus, ia tahu betul siapa sosok yang kini duduk di sebelahnya. Dosen muda idola kampus. Tampan, sopan, dan selalu terlihat tenang di depan kelas.

Namun, baginya, Sena tetaplah dosen. Seseorang yang harus dihormati, bukan dilihat dengan cara yang berbeda.

Dalam kabin, hening mencipta jarak. Sena mencuri pandang beberapa kali. Ia tahu ini tidak pantas. Tapi, sulit untuk menahan diri. Cantik, sangat cantik. Gadis ini, benar-benar seperti definisi dari wanita impianku, batinnya.

Tapi, apakah pantas memikirkan itu sekarang? Baru saja ia ditolong, dan sudah menyimpan harapan diam-diam? Terlalu lancang.

“Hmm, maaf... nama kamu siapa, ya?” tanya Sena akhirnya.

Formalitas semata, sebuah basa-basi yang nyaris terdengar konyol. Ia tentu tahu nama lengkap gadis itu, jurusannya, bahkan catatan akademiknya pun.

“Camelia, Pak. Dari Fakultas Seni Rupa dan Desain, jurusan Fashion Design,” jawab Camelia.

Sena mengangguk. “Begitu. Terima kasih ya, Camelia. Sudah mau memberikan tumpangan. Saya jadi merasa tidak enak.”

“Sama-sama, Pak. Sudah sepantasnya kita saling membantu, kan?”

Sena tersenyum kecil, menatap jalanan di depan yang mulai ramai. Senang rasanya mendengar nada suara Camelia yang lembut. Senyum manis itu pun entah bagaimana ikut menarik sudut bibirnya. Sebuah senyum tipis yang nyaris tidak pernah ia tunjukkan di hadapan siapa pun. Pagi yang semula kacau, berubah menjadi awal yang aneh, namun menyenangkan.

Beberapa saat kemudian, mobil Camelia akhirnya tiba di area parkir Fakultas Seni Rupa dan Desain. Suasana pagi di kampus mulai ramai, mahasiswa lalu-lalang dengan tas selempang, sketsa, dan wajah-wajah penuh tugas.

Sebelum turun dari mobil, Sena kembali membuka suara. “Sekali lagi, terima kasih ya, Camelia. Lain kali, kalau ada waktu luang, saya akan membalas kebaikanmu pagi ini.”

Camelia menoleh sambil tersenyum. “Anda tidak perlu merasa begitu. Saya ikhlas, sungguh. Jadi, jangan merasa punya utang budi, ya.”

Keduanya tertawa ringan, bukan karena hal lucu, tapi karena kehangatan yang sederhana.

“Kalau begitu, saya pamit dulu. Selamat pagi,” ucap Sena sambil membuka pintu mobil.

“Selamat pagi, Pak.” jawab Camelia, masih tersenyum.

Begitu Sena menutup pintu dan berjalan menjauh, senyum yang semula terlukis di wajah Camelia perlahan memudar. Ia menyandarkan punggung ke jok kursi, menatap lurus ke depan tanpa fokus, lalu menghela napas panjang.

Bukan karena Sena. Bukan karena pagi yang terburu-buru, tapi karena hidup yang terasa kosong, sunyi di tengah segala kemewahan yang ia miliki.

"Apa aku cari apartemen aja, ya? Nggak usah bilang siapa-siapa... Toh, aku di rumah atau nggak juga, Mama sama Papa nggak bakal sadar."

Camelia bergumam pelan. Ia tahu, perasaan seperti ini tidak seharusnya menetap terlalu lama. Namun, bagaimana bisa ia merasa tenang jika setiap hari dipenuhi suara pertengkaran, keheningan yang canggung, dan tatapan orang tua yang tak pernah benar-benar menatapnya?

Ia tidak bisa terus-menerus tinggal di rumah yang hanya menawarkan fasilitas, bukan kehangatan. Keluarga yang semestinya menjadi tempat pulang justru terasa asing. Bahkan terlalu asing. Kalau tetap di sana, mungkin suatu saat ia benar-benar kehilangan kewarasan, pikirnya.

......................

Langkah kaki Camelia menggema pelan di sepanjang koridor lantai dua Fakultas Seni Rupa dan Desain. Udara pagi terasa lebih hangat dibanding biasanya, atau mungkin karena pikirannya masih terikat pada pertemuan tak terduga tadi dengan Pak Sena.

Ia masuk ke dalam kelas berlabel Studio Mode II, salah satu mata kuliah praktik yang cukup intens. Di dalam ruangan itu, sudah beberapa mahasiswa lain yang duduk melingkar, beberapa sibuk membuka sketsa, beberapa lainnya tampak masih menguap.

Camelia mengambil tempat di pojok ruangan, tak jauh dari jendela yang menghadap taman kecil kampus. Di depannya telah terhampar kertas pola dan alat gambar yang ia simpan dalam tas kanvas besar.

Tak lama, seorang dosen perempuan berusia sekitar empat puluhan masuk. Rambutnya dikuncir rapi, dengan pakaian serba netral khas desainer. Ibu Indri, dosen mata kuliah ini, dikenal tegas namun menyenangkan.

“Pagi semuanya,” sapa Ibu Indri seraya meletakkan map besar di atas meja depan. “Hari ini kita akan lanjut membahas teknik draping pada bahan muslin. Minggu depan, masing-masing sudah harus siap dengan miniatur desain kalian.”

Beberapa mahasiswa terlihat mengangguk malas-malasan. Namun Camelia tetap fokus, membuka sketsanya dan mencatat hal-hal penting.

Tiba-tiba, dari dalam tasnya terdengar getaran ponsel. Ia melirik sejenak ke bawah meja, memastikan dosennya tidak memperhatikan, lalu menarik ponsel dari saku kecil di dalam tas. Satu pesan masuk dari nomor yang belakangan ini mulai sering muncul di layar ponselnya:

From: Gray - Selamat pagi dan selamat beraktivitas, Malika.

Camelia terdiam. Sudut bibirnya perlahan terangkat membentuk senyum kecil. Sederhana, tapi cukup untuk membuat dadanya terasa hangat. Pesan itu tidak berlebihan, tapi tetap saja, terasa menyentuh bagi seseorang yang hampir tidak pernah dipedulikan.

Namun ia tidak langsung membalas. Ponsel itu ia kunci, lalu perlahan ia masukkan kembali ke dalam tas. Bukan karena tidak ingin membalas, hanya saja Camelia tidak ingin terlihat terlalu antusias. Ia merasa perlu menjaga jeda.

Gray, entah siapa sebenarnya pria itu. Tapi sejak pertama kali mereka bertukar pesan lewat aplikasi itu, Gray seolah menjadi satu-satunya yang konsisten hadir, walau hanya lewat layar.

Camelia kemudian kembali pada tugasnya. Tangannya mulai memainkan pensil, menggurat garis-garis halus di atas pola. Tapi pikirannya tidak sepenuhnya kembali.

Sesekali, bayangan tentang pria bernama Gray itu terlintas di kepalanya, disusul Husky voice saat berbicara lewat telepon malam itu. Ah, fokus, Camelia, fokus. Ia mengingatkan dirinya sendiri. Begitulah, satu pesan sederhana dari seseorang yang belum terlalu ia kenal, mampu mencuri perhatiannya lebih dari apapun pagi ini.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!