Hallo readers, Perkenalkan aku Athena, penulis novel SECOND LIFE OF CALISTA.
Kalian bisa memanggilku mami Athena, novel ini alurnya Slowly alias tidak terburu-buru, seperti contoh, alur yang terburu-buru: mc yang awalnya lemah satu detik kemudian langsung berubah jadi wonder women, tidak ya sayang...
Disini semua berproses pelan-pelan tapi pasti.
Karakter MC cewenya badas, tidak menye-menye.
Jadi untuk kalian yang suka MC badas kalian tidak salah lapak. Semoga suka dengan karya mami 🤗
HAPPY READING...
Darah mengalun di lantai sepi,
Cinta dan dendam berpadu menjadi satu.
Nafas terakhir berbisik, " Pergilah!"
Tapi takdir menulis: "Kembali, dan bertaruh!"
Kabut pagi menyelinap lewat jendela pecah gedung tua, menyapu bau besi tua dan darah segar.
Di lantai beton yang dingin, Calista Queen Alexander (28) mendekap erat tubuh Evander Niel Grisham. Darah suaminya merembes, menghangatkan kain roknya yang sudah basah kuyup, warna merah anggur gelap di atas hitam. Tiga luka tembak—satu di bahu, dua di dada—membentuk pola mengerikan di kemeja putihnya yang kini lebih merah daripada putih. Napas Niel tersengal-sengal, gelembung merah kecil pecah di sudut bibirnya yang pucat.
"Jangan sesali apa pun, Queen," bisik Niel, suaranya seperti daun kering tertiup angin.
Matanya, biru samudra yang dulu selalu memancarkan kehangatan dan kepemilikan yang membuat Calista merasa satu-satunya di dunia, kini memudar.
Dia mengangkat tangan lemah, menyentuh pipi Calista yang basah oleh air mata. "Jalani hidupmu... carilah kebahagiaan... Aku—" tarikan napas panjang, paru-paru berjuang.
"—sangat mencintaimu, Queen."
Lengan itu jatuh lemas. Cahaya di mata biru itu padam selamanya. Hening gedung terbengkalai di tengah rimba itu hanya pecah oleh lolongan angin jauh dan denyut jantung Calista yang kacau.
"Niel?" Calista mengguncang bahunya, kuku-kuku jari menghujam ke jaket kulitnya yang lembab.
"Bangun! Buka matamu! Bagaimana aku bisa menjalani hidup... kalau kamu tidak ada?" Tangisnya pecah, getir dan putus asa, mengguncang tubuhnya yang kurus.
"Tujuanku... kamu! Tanpamu, hanya ada kegelapan!"
Kenangan setahun kebahagiaan—candaan di pagi buta, pelukan di malam dingin, janji-janji tentang masa depan sederhana—berbenturan dengan kenyataan hampa: keluarga yang menolaknya, tunangan yang membencinya, saudara angkat licik yang merampas segalanya. Tuhan memang kejam.
Matanya yang berkaca-kaca menyapu lantai berdebu. Cahaya lemah dari jendela tinggi menyoroti sebilah pisau kotor, tergeletak dekat kaki Niel. Mungkin milik anak buah para penjahat yang menyekapnya. Calista merangkak, jemarinya mencengkeram gagang besi yang dingin. Dendam atas ketidakadilan, cinta yang terpenggal, kemarahan pada nasib—semua menyatu jadi satu tekad.
"Niel," bisiknya, suara parau penuh keyakinan.
"Tunggu aku. Aku akan membawa cinta dan dendam kita... ke neraka." Tanpa ragu, tanpa rasa sakit yang berarti di awal, dia tancapkan pisau itu tepat ke dada kiri, menembus tulang rusuk, mencari jantung. Tekanan kuat, rasa pedih yang menusuk, lalu... kehangatan darah yang mengalir deras.
Dia merangkak kembali, memeluk tubuh Niel yang kian dingin, menekan gagang pisau lebih dalam. "Jika aku bisa mengulang waktu... aku takkan biarkan ini terjadi," desisnya, napasnya mulai tersendat. Dunia mengabur.
🍒🍒🍒
"Eugh..." Kepala berdenyut-denyut bak dipalu godam. Calista mengerang, perlahan membuka mata. Cahaya neon putih yang kejam menyilaukan. Bau disinfektan menyengat hidung.
"Bukan bau besi, darah, atau hutan" pikirnya bingung. Bukan dinginnya lantai beton gedung tua. Dia... duduk di lantai keramik dingin, bersandar di dinding plastik putih, di dalam sebuah... bilik toilet?
Gedung terbengkalai? Neraka? Surga? Otaknya berputar kencang.
Aku menusuk jantungku sendiri! Pasti mati! Dia memeriksa dada—tidak ada pisau, tidak ada luka, hanya kemeja lengan pendek yang kotor .
Arwah gentayangan? Rasa tidak terima membuncah.
"Apakah aku akan jadi hantu penunggu toilet?" gerutunya lirih, wajahnya berkerut masam.
"Kenapa harus toilet, sih? Gak keren banget! Kenapa gak jadi hantu rumah mewah, atau minimal hantu rumah sakit, biar ada class-nya dikit, Atau hantu gedung bersejarah, Hantu toilet... astaga yang benar saja"
Dia mencoba berdiri, kakinya agak gemetar.
"Kalau aku arwah, harusnya bisa menembus benda" Dengan penuh keyakinan, dia maju ke arah pintu bilik—langsung menunduk untuk 'menembus'.
Brakkk!
"Aargh!" Keningnya membentur pintu kayu lapis yang sangat padat dan sangat nyata. Rasa sakitnya tajam.
Dia mengusap kening yang memerah. "Gak bisa tembus... berarti... aku hidup?"
Realisasi kedua menghantam. "Apa aku... transmigrasi? Seperti di novel-novel itu?" Jantungnya berdebar kencang, campuran harap dan takut. Dia harus tahu! Sekarang!
Dengan gerakan cepat, dia membuka bilik toilet dan melesat keluar. Lorong toilet terlihat sangat biasa—keramik biru muda, wastafel stainless steel, cermin panjang di dinding. Calista terpeleset sedikit di lantai yang agak basah sebelum berhenti tepat di depan cermin besar itu.
Dan di sana, pantulan yang membuatnya membeku.
Bukan wajah wanita 28 tahun yang lelah dan berlumuran duka. Bukan Calista Queen Alexander yang baru kehilangan segalanya.
Tapi seorang remaja. Rambut hitam yang agak kusut, kulit lebih cerah tanpa bayang-bayang stres, mata cokelat besar yang masih polos meski sekarang dipenuhi kejutan maut.
Dia baru menyadari pakaian yang dikenakannya—seragam SMA-nya dulu! Dan wajah itu... wajahnya sendiri, yang terlihat... lebih muda!
Mengulang waktu.... Kata-kata terakhirnya pada Niel bergema di benak. Aku kembali...
Tangan gemetar menyentuh pipi yang masih kenyal, bebas dari garis halus dan bayangan hitam di bawah mata.
Napasnya tertahan. Jika ini benar... jika aku benar-benar kembali.... Potensi itu, kemungkinan untuk mengubah segalanya, untuk menyelamatkan Niel, untuk menghancurkan mereka yang merenggut kebahagiaannya, menggelegak seperti gunung berapi dalam dadanya. Harapan liar bercampur kebingungan dan trauma yang masih segar.
Calista menatap pantulan dirinya yang muda di cermin, mata yang tadinya polos kini mulai menyala dengan api asing—api dendam, penyesalan, dan tekad baja. Bibirnya yang pucat berkomat-kamit membentuk satu nama: "Niel..."
Lalu, seperti ditusuk ingatan, bayangan sosok lain muncul di benaknya—senyum manis palsu, tatapan licik yang dulu berhasil menipunya. Wajah saudara angkatnya, sang perampas kebahagiaan. Calista mengepal.
Aku harus mengetahui aku berada di tahun berapa, Calista kemudian keluar dari toilet dia harus memastikan Sesuatu....
.
.
.
Terima kasih.. sudah mampir di karya mami.. semoga kalian suka..
JANGAN LUPA KASIH LIKE DI SETIAP BAB, KOMEN, & VOTE YA SAYANG...
Terima kasih😘
"Aku... kembali..."
Calista Alexander menatap pantulan dirinya di cermin toilet sekolah. Wajahnya masih muda, seragam SMA-nya kusut dan kotor, tapi matanya penuh kegelapan—mata seseorang yang telah melihat neraka. Tangannya gemetar menyentuh pipinya,
" Aku... mengulang waktu" bisiknya, suaranya parau.
Dia mengepalkan tangan, kuku menusuk telapak tangannya, Sakit— Nyata.
" Kalau aku masih SMA, berarti kak Christian dan kak Calvin masih hidup... Bella belum menghancurkan semuanya,"
Dia bergegas keluar, jantungnya berdegup kencang. Lorong sekolah sudah sepi, hanya bayangan panjangnya yang terpantul di lantai. Ruang kelas XII-3 kosong, tapi tasnya masih tergantung di bangku.
Dia meraih ponselnya. Tanggal di layar membuat nafasnya tersendat.
" 10 tahun lalu..."
Artinya, dia punya kesempatan.
Artinya, dia bisa mengubah segalanya.
🍒🍒🍒
Ingatan Masa Lalu yang berdarah
Pikirannya melayang pada kematian Christian—kakak tertuanya—yang tewas dalam kecelakaan mobil "tanpa sebab" di usia 25 tahun.
Lalu Calvin, kakak keduanya, yang ditemukan tewas overdosis di toilet yang berada di pusat rehabilitasi.
Dan terakhir... orang tuanya. Papi Felipe yang depresi, Mami Casandra yang sakit-sakitan, dan perusahaan keluarga yang seharusnya menjadi miliknya namundirebut Bella.
"Bella..." Nama itu membuat giginya berderik.
Anak angkat yang manis di depan keluarga, tapi iblis di balik senyumannya.
Dia yang meracuni pikiran keluarga Alexander.
Dia yang membunuh satu per satu keluarganya.
Dan dia yang akan mewarisi segalanya—jika Calista tidak menghentikannya.
Musuhnya tidak hanya Bella— namun juga Sella dan genknya, mereka semua harus mendapatkan balasan yang setimpal.
🍒🍒🍒
Perjalanan Pulang Yang Mencekam
Langit sudah gelap ketika Calista tiba di depan rumah megah keluarga Alexander. Lampu teras masih menyala, tapi aura rumah itu terasa dingin.
Dia menarik napas dalam.
" Pertarungan di mulai sekarang"
Begitu pintu terbuka, teriakan langsung menyambutnya.
" Calista!"
Papi Felipe berdiri di ruang tengah, wajahnya merah padam. Mami Casandra duduk di sofa, matanya menghindar. Dan di sebelahnya—Bella.
Gadis itu memandang Calista dengan senyum tipis, sebelum tiba-tiba mengubah ekspresinya menjadi cemas.
"Kakak... aku khawatir sekali!" Bella berlari menghampiri, memegang lengan Calista.
"Aku sudah bilang ke Papi, Kakak janji pulang cepat tapi malah... hiks... maafkan aku!"
Air matanya jatuh. Calista ingin muntah saat melihat air mata buaya itu.
Papi Felipe menghempaskan tangannya ke meja. " Kau semakin hari semakin menjadi Calista! Bolos sekolah, pulang larut, apa lagi?!"
" Papi, aku bisa menjelaskan—" Calista ingin menjelaskan, namun ucapannya sudah di potong oleh sang papi,
"Diam! kau tidak perlu memberi alasan apapun, semua sudah jelas, Seharusnya kau sebagai seorang kakak memberi contoh yang baik, namun—lihat kelakuan kamu sekarang, papi kecewa sama kamu Calista" Ucap papi Felipe yang masih terlihat emosi.
Calista menatap Bella. Gadis itu tersenyum—hanya untuknya—senyum kemenangan.
" Kau pikir kau menang Bella, kau tunggu saja.." ucapnya dalam hati.
" Mulai besok uang jajanmu papi potong seminggu!" bentak Papi.
" Cepat pergi ke kamar!"
Calista tidak membantah. Dia berbalik, tapi sebelum pergi, dia melemparkan pandangan terakhir ke Bella.
" Aku akan menghancurkanmu pelan-pelan, Seperti yang kau lakukan padaku"
🍒🍒🍒
Bagaimana cara Calista membalas orang-orang yang sudah menyakitinya dan keluarganya?
Akankah Calista bisa menang melawan mereka semua??
Yuk ikuti terus kelanjutan cerita di bab-bab berikutnya,
.
.
🌹Hai... hai... sayangnya mami🤗
JANGAN LUPA KASIH LIKE & KOMEN DI SETIAP BAB, VOTE SERTA HADIAH YAAA🥰🥰
TERIMA KASIH SAYANGKU🥰🥰
Udara pagi masih menggigit ketika Calista melangkah menaiki tangga rumah megah keluarga Alexander. Tubuhnya lelah, sekujur badan terasa remuk oleh hinaan dan perlakuan kasar dari orang-orang yang seharusnya melindunginya. Namun, di balik tatapannya yang dingin, api kemarahan membara.
Tiba-tiba, langkahnya terhenti. Calvin, kakak keduanya, berdiri di anak tangga atas dengan senyum sinis.
"Kamu makin hari makin liar. Menjijikan," cibiran Calvin, suaranya penuh sarkasme seperti pisau yang mengiris hati.
Calista hanya menatapnya. Dahulu, dia mungkin akan menunduk, gemetar, atau bahkan memohon maaf. Tapi tidak lagi.
Kali ini, dia melewati Calvin tanpa sepatah kata pun, seolah sang kakak tak lebih dari bayangan hampa.
" Dasar adik tidak punya sopan santun! Bertemu kakaknya diam aja!" Calvin menggerutu, wajahnya memerah karena kesal.
Calista tidak menengok. Setiap langkahnya kini penuh tekad. Mereka akan melihat, mereka semua akan menyesal.
🍒🍒🍒
Pintu kamarnya tertutup rapat. Calista segera melepas baju sekolah yang masih belepotan lumpur dari "Kecelakaan" yang sengaja dibuat Genk Medusa tadi siang. Air hangat di bak mandi segera memeluk tubuhnya yang pegal, tapi tidak bisa menghapus kenangan tentang Niel.
" Bagaimana kabarmu suamiku?"
Bayangan wajah Niel—pria yang mencintainya di kehidupan sebelumnya—menghantui pikirannya. Dia merindukan pelukan hangatnya, suaranya yang menenangkan. Tapi sekarang, dia sendirian. Dan dendam adalah satu-satunya teman setianya.
Setelah berendam cukup lama, Calista bangkit. Air mengalir di tubuhnya seperti air mata yang tak sempat tumpah. Mulai besok segalanya akan berubah!
---
05.00 Matahari belum muncul, tapi Calista sudah berdiri di depan cermin, mengenakan sportswear hitam. Tubuhnya masih sakit, tapi itu bukan alasan. Dia berlari, setiap langkahnya menguatkan tekad.
Fisikku harus kuat, aku harus bisa melawan mereka.
Angin pagi menerpa wajahnya saat dia memutari halaman mansion. Pelayan-pelayan yang sedang menyapu tertegun melihat nona muda yang biasanya murung kini berlari dengan energi menggebu.
---
Dapur
Begitu masuk, semua mata tertuju padanya. Bibi Yun, koki tua yang setia, hampir menjatuhkan sendok kayunya.
" Selamat pagi semuanya" sapa Calista, suaranya cerah namun penuh wibawa. " Hari ini, aku yang akan memasak. Kalian lanjutkan pekerjaan seperti biasa, Bibi Yun, tolong bantu saya"
Para pelayan saling pandang. Nona Calista memasak??
" Nona mau memasak apa? Biar bibi siapkan bahannya" tanya Bibi Yun, masih ragu.
Calista tersenyum. "Nasi goreng seafood, tumis sayur, dan salmon grill. Untuk kudapan, roti bakar madu. Setelah bahannya siap, kita cuci bersama agar cepat selesai.
Bibi Yun mengangguk cepat, tapi matanya berkaca-kaca. Sudah bertahun-tahun dia bekerja di sini, dan ini pertama kalinya nona muda berbicara padanya dengan sikap begitu tegas... tapi hangat.
---
Proses memasak
Calista memotong bawang dengan presisi, tangannya lincah seperti seorang koki profesional.Di kehidupan pertamaku, aku belajar memasak hanya untuk menyenangkan tunanganku.... namun dia malah menikahi si Medusa.
Daging salmon dibumbui dengan sempurna, lalu ditaruh di atas panci grill. Aroma harum segera memenuhi dapur. Bibi Yun diam-diam mengamati—nona mudanya benar-benar berbeda.
" Nona, anda bisa memasak?" bibi Yun tak bisa menahan tanya dan rasa takjubnya,
Calista tertawa kecil. "Aku punya banyak rahasia, Bibi."
---
--- Setelah masakan sudah selesai di masak Calista berpesan beberapa hal kepada bibi Yun,
" Bibi, aku akn bersiap, tolong nanti bibi hidangkan separuh saja ke meja makan, dan separuh lainnya bisa bibi makan bersama yang lain"
" Baik nona," Jawab bibi Yun.
Saat Calista mulai beranjak pergi, dia kembali lagi karena terungat sesuatu
"Bibi, tolong bungkuskan roti bakar dan potongkan apel untuk bekalku," pinta Calista sambil berlari ke kamar.
"Nona tidak mau makan di rumah?" tanya bibi Yun
" Tidak bibi, aku ada piket," jawabnya singkat.
Sebenarnya, dia harus berhemat. Uang jajannya dipotong sebagai "hukuman" dari insiden kemarin. Tapi tidak masalah. Dia punya rencana lebih besar.
---
Perjalanan sekolah
Sepatu ketsnya menapak jalanan sepi. Dia harus menempuh kurang lebih 30 menit untuk ke sekolah, berjalan dari rumahnya menuju halte memakan waktu 15 menit dan naik bus 15 menit jika tidak macet, makanya Calista memutuskan berankat sekolah lebih pagi, selain karena ada jadwal piket, dia juga ingin menghindari medusa.
Calista menarik napas dalam.
" Medusa, Sella dan genknya..."
Dia mengepalkan tangan. " Aku akan membalas mereka semua"
Angin pagi membawa bisikannya, seakan alam semesta sendiri mendengarkan sumpahnya
Permainan baru saja di mulai
.
.
.
🌹Hai... hai... Sayangnya Mami🤗
JANGAN LUPA KASIH LIKE & KOMEN DI SETIAP BAB, VOTE SERTA HADIAH JUGA YAA
TERIMA KASIH SAYANGKU🤗🥰
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!