Alma mulai menenteng jualannya di bawah terik sinar matahari yang menyengat di siang hari, langkah kakinya tidak kenal lelah, karena desakan biaya sekolah yang harus dia tanggung sendiri, karena uang yang di kirim dari ayahnya tidak pernah sampai ke tangannya.
"Kue ... Kue ...." suara remaja itu terdengar nyaring.
Kadang Alma harus mengubur rasa malunya dalam-dalam ketika dia bertemu dengan teman sebayanya, di sekitaran taman ini, kadang juga dia harus membawa jualannya masuk ke gang-gang kecil rumah warga jika tidak habis.
Semangat gadis itu begitu membara, keinginannya begitu tinggi untuk ikut ujian akhir sekolah yang akan di laksanakan Minggu depan.
"Kue .... Bu, beli kue gak?" tanyanya menawari pembeli yang lewat di depannya.
"Kue apa Neng?" tanya ibu paruh baya itu.
"Ini ada kue donat dan beberapa kue lainnya seperti bolu pandan dan brownis," ujarnya, menerangkan jualannya.
"Berapaan harganya?" tanya nya kembali.
"Dua ribu saja per pic nya," sahut Alma.
"Kalau begitu beli lima ya dek," ucap ibu itu, Alma pun langsung mengulurkan kantong keresek untuk tempat kuenya itu.
Pembeli pertama sudah mulai berdatangan, Alma pun langsung melanjutkan perjalanan berikutnya, untuk mengais rupiah.
"Aku harus menghabiskan jualan ini entah bagaimana caranya," ucapnya penuh tekad yang kuat.
Setelah menyusuri panjangnya jalanan, akhirnya satu persatu kue jualannya ludes di serbu pembeli, hati Alma begitu bahagia, ternyata usahanya tidak sia-sia, menjajakan jualannya itu sendiri ke kampung-kampung.
******
Sore itu matahari mulai meninggalkan jejak kemerahannya yang selalu di sebut jingga, dari sinilah langkah gadis remaja mulai terhenti di depan pintu rumahnya, yang cukup di bilang besar, karena dulunya sang ayah merupakan pengusaha sukses.
Di ambang pintu sana, Alma mulai menelan ludahnya, menahan rasa laparnya, karena melihat kehangatan sebuah keluarga diatas meja makan sana, ingin rasanya Alma duduk di tengah-tengah mereka, bukan hanya untuk sekedar makan saja, melainkan merasakan belaian hangat seorang ibu yang sudah lama tidak dia rasakan.
"Aku ingin? Tapi apalah daya anganku terlalu ketinggian," ujarnya sendiri.
Lagian siapa sih Alma di sini, dia hanyalah anak seorang pengrusak dalam rumah tangga hubungan yang harmonis pada waktu itu, kelahirannya bagaikan duri di tangkai bunga mawar bahkan mereka memandang dirinya dengan sebuah luka, keinginannya untuk mengutarakan perasaan tidak pernah di gubris, tawanya dianggap beban dan tangisannya sering dianggap berisik.
Tidak ada kata sapaan dari mereka, semua keceriaan itu mendadak hening ketika Alma mulai datang menginjakkan kaki di rumahnya, tatapan sinis sang ibu selalu menjadi penyambut teristimewa, kata-kata kasar dan kurang pantas selalu menjadi makanan sehari-hari.
Kadang, Alma menyesali akan kelahirannya di dunia ini, yang hanya menjadi luka untuk keluarga ayahnya, kadang juga dia pasrah dan sadar, kalau ini semua karma dari ibunya yang harus dia bayar.
"Ibu kenapa sih harus secepat itu meninggalkan aku, kau lihat di sini putrimu harus di paksa kuat, sedari kecil mentalku di hajar habis-habisan, kata-kata anak haram, anak pelakor, sundel semua ku dengar layaknya musik yang menari-nari di telinga," gumamnya sambil melangkah masuk ke kamarnya.
Sedangkan saat ini di meja makan semua orang menatap langkah Alma yang sedang menuju ke kamarnya.
"Ma, itu si Alma sudah datang," ucap Serli si anak bungsu yang paling di sayang.
"Biarkan saja, dia sudah tahu tugasnya apa? Jika menginginkan makan," sahutnya dengan nada datarnya.
******
Semuanya sudah selesai makan, di sini Alma, baru saja melaksanakan ibadah magribnya terlebih dahulu, sebagai seorang muslim dia tahu kalau Shalat itu merupakan tiang agama yang wajib hukumnya, meskipun dunia tidak pernah berpihak kepadanya, akan tetapi anak itu tidak pernah putus asa dalam meminta, apalagi dia mempunyai seorang ibu yang sudah meninggal.
Selesai Shalat Alma mulai melangkahkan kakinya di meja makan, seperti biasa, tugas remaja itu membersihkan sisa makanan dan piring-piring kotor diatas meja, kalau tidak seperti ini dia tidak dapat jatah makan, aktivitas seperti ini sudah berlaku di saat usianya menginjak 6 tahun.
"Tinggal apa saja ya lauknya," ucap remaja itu sambil menelisik sisa-sisa makanan dari keluarganya.
"Tempe satu dan separuh ayam goreng, paling ini Ibu yang sengaja menyisakan untukku, makasih ya Bu, semoga suatu saat aku bisa membuatmu bangga," gumamnya yang masih berharap kasih itu ada.
Dengan cepat Alma mulai membawa tumpukan piring-piring itu ke tempat cuci, tangan gesit itu mulai mencuci satu persatu hingga selesai, rasanya lelah dan lapar sudah menggerogoti tubuhnya sehingga remaja itu buru-buru untuk mengambil makan.
"Alma, apa semuanya sudah kau bersihkan?" tanya Dian.
"Sudah Bu," sahutnya sambil menunduk karena dia tidak berani menatap mata ibuk tirinya.
Sejenak Dian mulai menelisik ke arah meja makan, dan di situ ada satu wadah sisa ayam goreng tadi, yang akan dia jadikan umpan untuk memarahi anaknya itu.
"Itu, tinggal satu yang kotor, jangan pura-pura tidak tahu, kau selalu saja tidak disiplin dan menuruti permintaanku," ucapnya dengan tatapan yang mengintimidasi.
"Maaf, Bu. Tapi ini piring sisa wada ayam yang ku makan ini, jadi sekalian saja nyucinya dengan piring yang buat aku makan ini," jelas Alma dengan tatapan yang menunduk.
"Alasan saja kamu, kalau di kasih tahu, seharusnya kamu itu tahu diri sudah tinggal makan saja masih saja malas," cetusnya tanpa pernah memikirkan hati Alma.
Gadis itu hanya terdiam dan tidak pernah berani melawan kata-kata pedas ibu tirinya yang benar-benar membuatnya ketakutan, sedari kecil kata-kata bengis itu selalu di lontarkan oleh ibu tirinya, bahkan hanya gara-gara masalah sepele saja hal itu menjadi bulan-bulan ibu tirinya untuk menghancurkan hati dan mentalnya.
Alma segera menyudahi makanannya ia pun langsung membawa piring kotor bekas dia makan dan bekas dari makanan yang masih ada diatas meja.
Setelah mencuci, badan Alma mulai ambruk ke kasur mungkin karena kelelahan akan tetapi matanya tidak bisa terpejam karena dia belum membuat adonan donat yang akan dia jual besok pagi.
"Aku tidak boleh tidur, akan ku lawan rasa kantukku ini untuk membuat adonan donat-donat cantikku," ujarnya penuh semangat meskipun tubuhnya melemah tapi dia selalu memaksanya untuk berjuang.
Selesai membuat adonan Alma pun langsung membentuk dan membulat-bulatkan adonan tersebut, setelah itu baru dua bisa beristirahat dengan lelap diatas kasur lantainya.
*******
Pukul dua dini hari alaram jam mulai berbunyi, membangunkan tidur gadis cantik itu, meskipun hidup tanpa kasih sayang dari orang tuanya, akan tetapi Alma begitu rajin mengerjakan ibadah Sunnah dan wajibnya seperti saat ini, sebelum menggoreng adonan donat gadis cantik itu menyempatkan diri untuk ibadah.
Setelah beribadah Alma langsung menggoreng donat yang tadi sudah dia bentuk bulat-bulat, dengan semangat gadis itu mulai memanaskan minyak diatas api yang membara seperti semangatnya, dia tidak pernah tahu sampai kapan kehidupan akan membawanya seperti ini, akan tetapi dia sadar jika suatu usaha keras pasti akan mencapai tujuannya di suatu hari nanti.
"Semangat Alma buang rasa malasmu," ucapnya menasehati diri sendiri.
Bersambung ....
Setelah beberapa buku ada yang gak lanjut karena pembaca yang sedikit, sekarang aku mau tes ombak lagi ya, semoga saja banyak yang baca, karena banyaknya pembaca membuatku semangat berkarya.🥰🥰🥰🙏🙏🙏
Setelah semuanya selesai Alma pun mulai memasukkan kue-kue ke dalam kotak keranjangnya, di sini Alma tidak berhenti begitu saja, tangan kecilnya masih di tuntut untuk membantu ibunya di dapur, meskipun tanpa suara sang ibu selalu menyuruhnya dengan tatapan tajam sebagai isyarat.
"Bu, mana tempenya?" tanya Alma dengan hati-hati.
"Tuh diatas," sahutnya dengan nada datar.
Alma mulai mengiris tempe dan juga sayur mayur, gadis remaja itu harus menahan rasa capek dan kantuk setelah membuat beberapa kue, demi berinteraksi dengan ibunya dia mau melakukan semua, meskipun balasannya tidak sesuai yang diharapkan.
"Bu, ini sudah selesai, Alma tinggal mandi dulu ya," pintanya tanpa respon sama sekali, akan tetapi Alma tetap mengajaknya bicara.
Alma mulai meninggalkan dapur sedangkan Dian masih melanjutkan masaknya, rasa sakit dan benci terhadap masa lalu membuatnya harus menjadi monster jika berhadapan dengan anak tirinya itu, banyak momen yang hilang karena kehadiran orang ketiga, bahkan anak-anaknya harus menanggung ketidak adilan dari suaminya pada waktu itu gara-gara dia lebih memilih selingkuhannya yang waktu itu sedang mengandung.
"Aku tidak akan pernah melupakan kejadian itu Mas, meskipun sekarang kau sudah meminta maaf bahkan sudah berubah, aku tetap menyimpan rasa sakit itu, apalagi dengan sengaja kau menitipkan anak pelakor itu kepadaku," ucapnya dengan air mata kebencian.
Dian mulai menyelesaikan masaknya, setiap hari wanita paruh baya itu harus menghadapi lukanya ketika berhadapan dengan Alma yang wajahnya persis dengan ibunya, wanita yang membuat rumahtangganya hancur berkeping-keping tanpa ampun.
"Kenapa aku harus berhadapan dengan luka ku setiap harinya, wajah itu tidak akan pernah menghapus kebencianku sampai kapanpun," ucapnya dengan penuh dendam.
*****
Selesai membersihkan dirinya Alma sudah berseragam rapih dan mulai menuruni anak tangga untuk mengambil jualannya tadi di dapur, akan tetapi ketika dia mulai melewati ruangan rumahnya, diapun tidak sengaja berpapasan dengan kakak laki-lakinya yang setiap hari selalu memberinya tatapan sinis.
"Eh, maaf Kak Devan," ucap Alma ketika tubuh mereka hendak bertabrakan.
"Jangan sekali-kali kau muncul dihadapanku baik sengaja atau tidak sengaja, kau itu bagaikan najis yang haram untuk dilihat apalagi di sentuh!" cetusnya dengan penuh kebencian.
"Ma ... Maaf Kak," ucapnya dengan nada gugup.
"Tidak ada kata maaf untuk anak pelakor sepertimu, kau tahu ibumu sudah menghancurkan mental kita berdua, ibumu merebut kasih sayang ayah kita, ibumu itu penjahat nyata yang ada di dunia ini, makanya Tuhan langsung membalasnya dengan sebuah penyakit yang menjijikkan, lalu dibuatnya meninggal, karena hidup pun sudah tidak ada guna otaknya hanya dibuat untuk menghancurkan kebahagiaan orang lain, merenggut hak-hak seorang anak dari ayahnya," ungkap Devan begitu menggebu-gebu.
"Stop Kak ... Stop, kamu boleh marah, dan membenci tapi tolong jangan pernah ungkit lagi kesalahannya, cukup kau lampiaskan saja padaku, aku tidak apa-apa menjadi pelampiasan kalian di sini, aku sudah pasrah, tapi aku mohon jangan pernah lagi kau buka aibnya karena dia sudah berada di surga," mohon Alma.
"Heeeeemb, surga pede sekali kau bilang tempat ibumu surga, tempat ibumu itu neraka, karena dia dengan sadar menghina ibuku dan kita anak-anaknya, bahkan penderitaan kita belum habis, ayah kamu yang tidak tahu malu itu menitipkan mu kepada ibuku yang jelas-jelas dia wanita yang harga dirinya di injek-injek oleh ibumu," cibir Devan.
"Tapi dia ibuku Kak, biar bagaimanapun dunia memandangnya, aku tetap tidak peduli, dan aku tidak akan pernah membiarkan dia di hina apalagi dalam keadaanya dia sudah tiada, jika Kakak ingin melampiaskan, lampiaskan saja padaku," ucap Alma.
"Dasar anak dan ibu sama-sama tidak tahu diri, sana kau minggir dari hadapanku, pagi-pagi sudah membuat mood ku buruk saja," usir Devan dengan kata-kata yang begitu nyalang.
Alma pun mulai melanjutkan langkahnya, rumah ini bagaikan neraka untuk dirinya yang hanyalah seorang anak pelakor, hidupnya begitu kejam, ini baru di rumah belum diluar rumah para tetangganya pun juga menatapnya dengan tatapan yang penuh dengan luka, akan tetapi dia berusaha untuk tetap tegar untuk bisa melanjutkan hidupnya.
"Anak lakor kau mau kemana sudah rapih seperti ini?" tanya Serli.
"Aku mau sekolah Kak, ada apa?" tanya balik Alma.
"Tolong ambilkan sepatuku di lemari kamarku!" perintahnya dengan nada juteknya.
Alma pun langsung mengiyakan, kalaupun di lawan percuma urusannya bakal panjang seperti kejadian barusan dengan kakak pertamanya tadi. Setelah mengambil sepatu, seperti biasa Alma selalu di suruh untuk memakaikan di kaki kakak perempuannya itu.
"Kak, sudah selesai? Apa ada lag" tanya Alma.
"Sudah cukup, sana minggir jangan lama-lama ya dekat denganku, nanti mood ku berubah jelek karena terlalu lama berhadapan dengan duri yang menyakitkan," sindir Serli.
"Maaf Kak," ucap Alma lalu mulai pergi segera untuk mengambil kue-kuenya tadi.
Untuk kali ini Alma mulai mempercepat langkahnya untuk keluar dari rumahnya sebagai seorang anak dia sadar betul kehadirannya di rumah ini tidak pernah ada yang menginginkan sama sekali, akan tetapi dirinya tidak bisa melawan kehendak ayahnya yang ingin melihatnya hidup seatap dengan keluarga kecilnya.
Alma yang begitu menyayangi ayahnya dia hanya bisa nurut, karena ia tidak ingin kehilangan sosok yang begitu dia sayangi di dunia ini selain ibunya.
"Ayah, janji ya setelah lulus sekolah Ayah bakal bawa aku pergi ke kota, aku bukannya tidak betah tinggal di sini akan tetapi mereka yang tidak kuat jika berhadapan denganku, karena bagi mereka akulah duri yang membuat hati mereka terluka," gumam Alma sambil berjalan menenteng tas keranjangnya.
*****
Sedangkan di meja makan saat ini mereka bertiga menikmati sarapan paginya dengan penuh kedamaian karena lukanya sudah pergi, hidup mereka terasa nyaman dan damai ketika Alma sudah keluar dari rumah ini.
"Tumben si Alma jam segini sudah berangkat, biasanya dia nunggu sisa-sisa sarapan dari kita," ucap Serli.
"Tadi habis aku marahin dia, aku hina-hina dia, karena aku gedek sendiri, melihat anak itu yang hampir saja menabrak ku," ucap Devan.
"Iiish si Kakak, jangan begitu, dong. Aku tidak pernah memarahinya dengan bentakan, palingan hanya menyuruh dia dan sedikit sendirian, lain kali jangan di bentak, sebenarnya anak itu penurut loh, mau kita jadikan babu pun dia mau," ucap Serli, sedangkan Dian hanya tersenyum, baginya ini pembalasan yang setimpal karena ibunya Alma sudah merenggut hak kedua anaknya.
"Sudah deh jangan bicarakan dia lagi bikin mood kita gak baik, lebih baik kita bahas liburan kita nanti di akhir pekan, oh ya usaha Kakak kan sekarang Alhamdulillah berjalan dengan lancar, dan itu berkat doa dari ibukku, jadi hari libur nanti kita jalan-jalan ya ke luar kota," ajak Devan dengan penuh semangat.
"Wiiih, benar banget nih, lagian kita kan sudah lama tidak jalan-jalan," timpal sang adik.
Entah kenapa Dian seperti mendapatkan firasat lain mengenai anak sulungnya itu, yang akhir-akhir ini selalu mendapatkan keberuntungan di dalam kerjaannya.
"Nak, sebaiknya uangnya di tabung dulu, jangan jalan-jalan, kita pending saja ya, takutnya ada yang gak suka terus mereka mencari celah di diri kita," cegah Dian.
"Gak akan ada apa-apa Bu? Lagian siapa yang jahat denganku temanku semuanya baik kok," ucap Devan meyakinkan hati ibunya.
Meskipun begitu tetap saja hati Dian merasa tidak enak rasanya seperti ada yang mengganjal akan tetapi sang anak tetap saja ngotot.
'Ah semoga saja tidak terjadi apa-apa,' ucapnya dalam hati.
Siang harinya bel pulang sudah berbunyi, para siswa dan siswi mulai berhamburan untuk pulang, di sini Alma langsung bergegas, menuju ke ibu kantin, karena tadi dia menitipkan kue nya di sana. Kue Alma yang di titipkan tidak pernah langsung habis mungkin karena kebanyakan siswa dan siswi menyukai makanan berat dari pada cemilan, maka dari itu sepulang sekolah Alma harus ngider jualannya sampai habis.
"Bu, laku berapa hari ini?" tanya Alma.
"40 pic aja Nak Alma," sahut Ibu Lastri dengan ramah.
"Oh ya gak apa-apa, sisanya biar aku jual ke taman kota," sahutnya dengan senyum yang begitu ikhlas.
Seketika ibu kantin itu menatap Alma dengan tatapan iba dia tahu cerita Alma dari orang-orang, bahkan melihat Alma yang setiap hari harus berjualan dan tidak pernah mendapatkan uang saku hati Lastri begitu tersayat.
"Nak, makan dulu, biar ada tenaga untuk kamu berjualan nanti," ucap Lastri sambil menyodorkan piring untuk Alma.
"Gak usah Bu, aku ngerepotin Ibu terus, sedangkan Ibu juga jualan kan, pastinya harus putar modal jadi jangan setiap hari di kasih ke aku," tolak Alma karena merasa kasian dengan Lastri.
"Gak apa-apa Nak, rejeki Ibu sudah ada, jadi kamu gak usah khawatir, ayo makan saja, jangan buat hati Ibu kepikiran karena belum melihatmu makan hari ini," pinta Lastri yang memang selalu memberi makan kepada Alma.
"Sebelumnya terima kasih banyak Ibu, jujur saja semenjak kenal Ibu aku seperti merasakan perhatian dari ibuku," ucap Alma.
"Anggap saja aku ini ibumu Nak, meskipun kita tidak sedarah, tapi aku juga merasakan hal yang sama, sampai sekarang aku tidak bisa memeluk anak kandungku sendiri, dia ikut bersama ibu tirinya, entah mereka baik atau tidak, akupun tidak bisa berkutik karena ayahnya orang yang punya kuasa," ujar Bu Lastri, maka dari itu dia iba kepada Alma, karena dia tidak ingin anaknya bernasib sama seperti Alma.
"Sabar ya Bu, semoga saja nanti Ibu bisa bertemu dengan anak Ibu," ucap Alma.
"Iya Nak, ayo sekarang kau makan," perintah Lastri.
Alma pun langsung mengambil nasi secukupnya, dia merasa terharu melihat kebaikan hati Ibu Lastri yang setiap hari selalu memberinya makan tanpa harus membayarnya, di sinilah Alma selalu mendapatkan nasi yang layak dan baru, bahkan keikhlasan hati Lastri mampu membuat Alma merasa lega karena memang wanita paruh baya ini sesayang itu terhadap Alma.
"Terima kasih ya Bu, perut Alina sekarang sudah kenyang, sekarang saatnya Alma untuk berjualan," ijin Alma yang diangguki oleh Lastri.
"Semangat ya Nak, apapun yang terjadi jalani dengan senang hati, Gusti Allah tidak tidur Nak," nasehat Ibu Lastri yang selalu di ingat oleh Alma.
*********
Di taman kota, kali ini remaja satu ini mulai menjajakan kembali, dagangannya lihat saja semangatnya begitu membara seperti terik matahari yang saat ini begitu terasa menyengat, akan tetapi tidak membuat anak itu putus harapan, karena dia tahu kebutuhannya begitu banyak, hasil dari dagangnya tidak untuk biaya sekolah saja akan tetapi juga bisa mencukupi kebutuhannya sendiri.
"Kue ... Kue ....," suaranya menggema di sekitaran taman.
Satu persatu pembeli mulai berdatangan untuk melihat apa yang dia bawa, dan sebagian ada yang tertarik membeli sebagian lagi hanya melihat saja, akan tetapi senyum ikhlas selalu terpancar dari sudut bibirnya.
"Dek, berapaan harga kuenya?" tanya pembeli pertamanya itu.
"Semua kue aku bandrol dua ribuan saja Bu," sahutnya begitu ramah.
"Baiklah kalau begitu Ibu ambil sepuluh ya," ucap wanita paruh baya itu. Yang diangguki oleh Alma.
Sedangkan pembeli yang lainnya sepertinya agak ceriwis dan ingin menawarkan harga yang lebih rendah lagi dari yang dicantumkan oleh Alma.
"Kue bolu gulungnya tipis tapi harganya dua ribu, kemahalan itu, padahal kalau kita beli di toko kue per gulung cuma enam belas ribu itupun kalau di iris seperti ini jadi banyak," ungkap ibu yang di sebelahnya.
"Maaf Bu, kalau Ibu tidak mau beli silahkan tinggalkan saja jangan membandingkan jualanku dengan toko besar, kalau di toko besar beli bahannya dalam skala yang cukup besar, makanya mereka bisa mendapatkan harga yang lebih murah, kalau jualanku ini dalam skala yang kecil dan bahannya pun cukup mahal jadi wajar dong aku jual harga segitu," jelas Alma, dia tidak mau hanya gara-gara mulut satu orang dagangannya rusak begitu saja.
"Hallah di bilangin gitu saja sudah tidak terima yang namanya orang jualan tuh harus terima kritikan dari pembeli, wong kue kecil kaya gini kok dua ribuan," ucapnya dengan nada hinaan.
"Bu, kue yang di jual remaja ini memang kecil tapi rasanya sangat enak, gak kalah sama yang di toko-toko, memangnya harga segitu menurut anda kemahalan, berarti kue milik adik ini bukan kelas anda, penampilan saja waw banget tapi ekonomi sulit, kue dengan harga merakyat masih saja di tawar," ketus Ibu yang satunya lagi yang membeli dagangan Alma.
"Aku akan hanya nawar, terserah aku dong," sahutnya masih tidak mau kalah.
"Nawar sih nawar, tapi sebagai pembeli jika sudah tahu itu harga yang sudah mentok, masak mau di nawar lagi, lebih baik sama bawa pulang sekeranjangnya juga biar aku yang bayarin," cibir ibu yang membela Alma tadi.
Wanita cerewet dan judes itu merasa kesal karena aksinya ada yang menggagalkan, hingga pada akhirnya dia mulai meninggalkan jualan Alma dengan perasaan yang begitu dongkol.
"Sabar ya Nak, orang dagangan memang seperti itu, jadi kita harus pintar dan jeli kalau mendapati pembeli yang seperti tadi," ucap ibu itu menasehati.
"Iya Bu, sama-sama, ya sudah kalau begitu aku mau lanjut jualan lagi ya," pamit Alma yang diangguki oleh beberapa ibu-ibu.
Saat ini Alma mulai menenteng dagangannya kembali, menyusuri jalanan hingga pada akhirnya dia berhenti di depan resto siap saji, dan tanpa dia sadari ternyata di depan resto ini dia bertemu dengan Kakak sulungnya bersama dengan rekan-rekannya.
Sedangkan Alma langsung memalingkan wajahnya ketika tahu kalau kakaknya ada di sekitaran sini juga bersama dengan rekan-rekannya.
"Van, lihat deh, remaja yang masih berseragam sekolah itu, sepertinya kayak Adik lo," ucap teman yang bernama Agam.
"Ah, biarkan saja, gue gak peduli, mau dia jungkir balik sekalipun gue tetap gak peduli," sahutnya dengan nada yang ketus.
"Jangan seperti itu lah Bro? Biar bagaimanapun dia adikmu sedarah denganmu, siapa tahu suatu saat nanti dia bisa menolongmu, iya sekarang kelihatannya kita tidak membutuhkan dia, tapi di lain waktu? Tidak ada yang tahu kan," tutur temannya itu menasehati.
"Hallah sotoy loh, dan dengar ya aku tidak sudi meminta bantuan dengan anak pelakor itu," cetusnya begitu menyayat hati seorang adik yang sibuk melayani pembeli di depan sana.
'Ya Allah apa aku sehina itu dihadapan kakakku sendiri,' batinnya merasa sedih mendengar semua ini.
Bersambung ....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!