“Aku tidak sedang jatuh cinta. Aku sedang jatuh ke dalam perangkap yang wangi, hangat, dan terlihat seperti pelukan.”
Awalnya semua terasa begitu ringan.
Aku mengenalnya dalam konteks kerja.
Gibran pria berstatus duda yang katanya sedang membangun usaha. Gayanya ramah, penuh percaya diri, dan entah bagaimana... dia tahu caranya membuatku merasa dibutuhkan.
"Kamu nggak usah keluar uang, Air. Cukup kamu, udah cukup. Aku yang urus semua biayanya."
Dari kalimat itu saja, aku langsung merasa istimewa.
Aku tidak terbiasa diprioritaskan. Selama ini hidupku penuh luka dari kecil, aku terbiasa menghadapi trauma sendiri. Bahkan untuk sekadar konsultasi ke psikiater pun, aku harus diam-diam agar tidak dicap "gila."
Tapi dia…
Dia berbeda.
Atau, setidaknya aku pikir begitu.
Kami semakin dekat. Setiap malam dia kirim pesan menenangkan. Mengingatkan makan. Memberi pujian saat aku mengirim desain.
Lalu, dia mulai menyebut kata "sayang."
"Kamu tuh bukan sekadar partner bisnis. Kamu itu partner hidup, Air."
Tiga minggu kemudian, dia mengajakku datang ke rumahnya. Katanya, biar lebih fokus kerja. Katanya, cuma beberapa hari. Katanya… aku bisa pulang kapan saja.
Aku percaya.
Rumahnya tenang. Ada kamar khusus buatku. Bahkan teh melati favoritku disiapkan di meja.
“Aku inget kamu bilang kamu suka wangi yang ini.”
Hatiku meleleh.
Kupikir, mungkin... ini awal dari hidup baru yang selama ini kudambakan.
Tapi dua minggu setelah aku tinggal di sana… semuanya berubah.
Setiap kali aku bilang ingin keluar rumah walau cuma sebentar , pasti ujungnya ribut.
"Emangnya kamu betah ya keluar rumah ninggalin aku?"
"Kalau kamu pergi, terus siapa yang jagain usaha kita?"
"Kalau kamu keluar, jangan salahin aku kalau ada yang mikir kamu cewek nggak serius."
Kata-katanya tak pernah marah secara terang-terangan. Tapi selalu menyudutkan. Selalu membuatku berpikir,
“Apa aku salah kalau ingin punya waktu sendiri?”
Pernah suatu hari aku diam-diam minta izin untuk kontrol ke psikiater.
"Mau ke dokter lagi? Buat apa? Kamu itu gila kalau masih butuh itu semua."
Dia ucapkan itu… di depan dua temannya.
Mereka tertawa kecil.
Aku membeku.
Rasanya seperti ditelanjangi bukan secara fisik, tapi secara harga diri.
Padahal aku hanya ingin sembuh.
Padahal aku tidak pernah memaksa dia memahami trauma masa kecilku.
Tapi dia menggunakan semua itu… untuk menjatuhkan aku, berkali-kali.
Dan sejak itu, aku tidak pernah benar-benar bisa keluar rumah.
Bukan karena dikurung. Tapi karena setiap langkah menuju pintu… selalu membuatku merasa bersalah.
"Pelukannya terasa nyaman. Tapi perlahan, aku sadar... aku sedang dipeluk oleh seseorang yang tidak akan pernah membiarkanku pergi."
Hari-hari awal tinggal di rumah Gibran... seperti mimpi yang jadi kenyataan.
Pagi hari kami sarapan bersama. Siangnya diskusi soal proyek. Malamnya ia putarkan musik tenang sambil membaca. Ia tak pernah marah, tak pernah memaksa. Tapi entah kenapa… aku mulai merasa seperti harus terus menyesuaikan diri.
Aku harus bangun pagi, sebelum dia bangun.
Aku harus terlihat tenang, bahkan saat pikiranku kacau.
Aku harus selalu menjawab dengan nada lembut. Karena kalau tidak...
"Kamu tuh kok akhir-akhir ini cepat naik nada, Air? Aku ini pasangan kamu, bukan musuh."
Padahal aku hanya sedikit terdengar bingung. Tapi itu cukup untuk membuatnya kecewa.
Pernah, suatu malam aku hanya bilang aku ingin tidur di kamar sendiri. Katanya, aku terlihat capek.
Tapi responnya…
"Capek? Capek sama aku maksudnya? Kalau kamu udah nggak nyaman, bilang aja Air. Jangan main kode."
Aku panik. Aku buru-buru menjelaskan. Tapi seberapa keras aku berusaha, ekspresi kecewanya tidak hilang.
Dan anehnya, aku justru meminta maaf. Berkali-kali.
“Maaf, Mas. Aku cuma takut nggak enak tidur. Bukan karena kamu...”
Padahal itu bukan salahku, kan?
Tapi entah sejak kapan aku merasa...
Kalau ada yang salah, maka akulah penyebabnya.
Beberapa kali aku mencoba bicara tentang trauma masa kecilku. Tentang tekanan dari keluarga. Tentang rasa kosong yang kadang muncul tanpa alasan.
Dia diam. Lalu menjawab:
"Kamu tuh harusnya udah move on. Mau sampai kapan jadi korban terus? Aku ini udah terima kamu loh, padahal kamu rusak. Aku sabar banget loh, Air."
Dan untuk kedua kalinya malam itu, aku minta maaf lagi.
Karena aku merasa rusak.
Dan dia benar... aku bersyukur dia “mau menerimaku”.
Atau… begitulah yang mulai kupikirkan.
Suatu pagi, aku duduk di balkon belakang rumahnya. Sendirian.
Udara segar, tapi dada terasa sesak. Mataku mulai berkaca-kaca.
Aku tidak tahu kenapa.
Aku hanya merasa sepi…
Padahal aku tidak sendiri.
“Apakah ini yang dinamakan dijaga?”
“Atau aku sebenarnya sedang perlahan dijauhkan dari dunia luar?”
Aku mulai merindukan rumahku. Tempat tidurku. Bahkan suara klakson dari jalanan gang sempit dekat kos.
Tapi tiap kali aku mulai membuka pembicaraan tentang ingin pulang sebentar…
"Kamu itu gimana sih? Baru juga tinggal sebentar, udah pengen kabur? Aku tuh pengen kamu betah, tapi kayaknya kamu emang nggak niat ya dari awal?"
Dan seperti biasa… aku diam.
Karena menjawab hanya akan memicu debat.
Dan debat bersamanya… selalu berakhir dengan luka yang kutelan sendiri.
“Aku pikir aku sedang dicintai. Tapi cinta yang membuatmu takut bicara… bukan cinta. Itu pengendalian yang dibungkus lembut.”
[To be continued…]
“Bukan kurungan besi yang membuatku terjebak, tapi rasa bersalah yang terus disuapkan lewat kata-kata manis.”
Sudah hampir sebulan aku tinggal di rumah Gibran.
Awalnya memang terasa seperti surga yang tenang.
Tapi sekarang... setiap hari terasa seperti aku berjalan di atas kulit telur.
Sedikit salah gerak saja, bisa membuat suasana berubah dingin.
Pernah suatu pagi, aku hanya bilang ingin pergi ke luar sebentar, ke minimarket dekat gang.
Aira:
“Mas, aku mau keluar bentar ya, mau beli pembalut juga sekalian…”
Gibran: (nada datar, tanpa menoleh)
“Selalu aja cari alasan buat keluar. Kamu tuh kayak nggak betah di rumah. Padahal aku udah kasih semuanya.”
Aku diam.
Kupikir dia akan memahami. Tapi ternyata, setiap keinginanku untuk keluar rumah... selalu dianggap sebagai bentuk penolakan terhadapnya.
Sore itu kami bertengkar. Bukan tentang hal besar.
Aku cuma tanya kenapa belum ada kabar soal orderan yang katanya akan dikirimkan.
Aira:
“Katanya minggu lalu udah dikirim, kok nggak ada kabar ya, Mas? Aku ditanyain customer.”
Gibran: (menatap tajam)
“Kamu tuh nggak percaya ya sama aku? Ini bisnis aku, bukan kamu yang bangun dari nol! Jangan sok ikut-ikutan ngerti.”
Kata-katanya seperti tamparan.
Padahal dulu dia yang memintaku jadi bagian dari bisnis ini. Tapi kini, aku hanya dianggap penumpang.
Dan malam itu, seperti biasa, dia kembali memelukku dan berkata:
“Maaf ya, aku cuma lagi capek. Aku sayang kamu, Air. Tapi tolong… jangan bikin aku tambah stres.”
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Karena setiap kali aku merasa tersakiti, dia selalu mengakhirinya dengan pelukan dan kalimat ‘aku sayang kamu’. Dan anehnya… aku selalu luluh.
Apakah aku lemah? Atau hanya terlalu ingin dicintai sampai lupa caranya mencintai diri sendiri?
Beberapa hari kemudian, aku menemukan ponselku tak lagi di tempat biasa.
Saat kutanya, dia menjawab ringan:
Gibran:
“Aku pegang aja dulu. Takutnya ada yang ganggu kamu. Fokus aja di rumah, di aku.”
Hari itu, aku tidak bisa menghubungi siapa pun.
Tidak bisa bicara ke sahabat, tidak bisa cek pesan dari dokter. Bahkan... tidak bisa melihat diriku sendiri di kamera depan.
Dan malamnya, saat aku duduk sendiri di tepi tempat tidur, aku mulai menulis diam-diam di notes kecil:
“Aku kehilangan suaraku. Tapi dia bahkan tak menyadari itu. Atau... mungkin sengaja membuatku bisu.”
Malam itu, aku tak bisa tidur.
Kepalaku penuh pertanyaan yang tak berani' ku ucapkan.
Kalau aku memang dicintai...
Mengapa aku merasa seperti tahanan?
Kenapa aku harus sembunyi-sembunyi hanya untuk menuliskan isi hatiku sendiri?
Aku bangkit pelan, berjalan ke cermin.
Mataku sayu. Pucat. Pundakku tegang.
“Ini bukan aku…”
Aku menatap bayanganku sendiri lama sekali.
Lalu tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Gibran berdiri di ambang pintu. Wajahnya tenang, tapi matanya… tajam.
Gibran:
"Kamu kenapa belum tidur?"
Aku gugup. Menyembunyikan buku catatanku di balik bantal.
Aira:
“Gak bisa tidur. Tadi nyari minyak kayu putih…”
Ia melangkah masuk. Mengusap rambutku sebentar, lalu duduk di sisi ranjang.
Gibran:
"Kamu tuh makin aneh aja. Tapi aku sabar karena aku sayang kamu. Jangan bikin aku capek, ya."
Dan seperti biasa… aku diam.
Karena dalam hubungan ini, yang berhak lelah… hanya dia.
Aku hanya boleh diam, mengikuti, dan bersyukur masih dicintai.
“Malam itu, untuk pertama kalinya, aku merasa: pelukan bisa terasa seperti jerat tali tak terlihat.”
[To be continued…]
"Aku mencintaimu."
Kata yang dulu membuatku tersenyum, kini membuatku sulit bernapas.
Sejak kejadian malam itu, aku semakin berhati-hati.
Setiap kata yang keluar dari mulutku terasa harus melalui sensor.
Setiap ekspresi harus dipilih. Bahkan saat aku diam, Gibran masih bisa menafsirkan sesuatu yang salah.
Gibran:
"Kamu lagi mikirin orang lain, ya?"
Aira:
“Enggak… aku cuma kepikiran kerjaan kita yang belum jalan.”
Gibran: (mendekat, menatap tajam)
"Kamu tuh susah banget buat percaya sama aku. Aku tuh laki-laki yang udah buang ego buat kamu. Tapi kamu? Kamu kayak gak pernah cukup puas."
Dan setiap kalimatnya selalu ditutup dengan pelukan.
"Tapi aku tetap sayang kamu. Nggak tahu kenapa, walau kamu nyakitin aku begini, aku masih nggak bisa ninggalin kamu."
Lucu.
Padahal akulah yang selalu merasa tersakiti, tapi dia yang bilang disakiti.
Aku mulai bingung, siapa yang sebenarnya jahat?
Aku mencoba menulis diam-diam setiap malam. Bukan puisi, bukan catatan bisnis—tapi hanya baris-baris pengingat bahwa aku masih punya pikiran sendiri.
"Hari ini aku ingin tertawa tapi takut dikira meremehkan."
"Hari ini aku ingin diam, tapi dianggap menyimpan kebohongan."
Ponselku masih disimpan Gibran.
Akses ke psikiaterku sudah lama tak kulakukan.
Pesan yang kukirim ke sahabatku beberapa minggu lalu… belum pernah dibalas. Atau mungkin, memang tak pernah sampai.
“Aku mulai kehilangan arah, dan satu-satunya kompasku adalah orang yang menyesatkanku.”
Gibran semakin sering bicara tentang ‘kita’.
Tapi dalam ‘kita’-nya, hanya ada dirinya. Aku hanya pelengkap.
"Kita harusnya udah bisa besar sekarang, Air. Tapi kamu terlalu banyak drama. Kamu tuh harus berubah biar kita bisa maju."
"Aku sabar loh sama kamu. Gak semua laki-laki bisa terima cewek yang punya masa lalu kayak kamu."
Kata-kata itu tidak kasar. Tapi perlahan membuatku merasa kecil.
Dan setiap kali aku merasa ingin pergi…
Dia akan kembali bilang:
“Terserah kamu mau pergi, tapi ingat ya… gak semua orang bisa sayang kamu kayak aku.”
Dan aku percaya.
Bukan karena aku yakin, tapi karena aku tidak punya siapa-siapa lagi.
“Kata 'sayang' darinya bukan obat. Tapi racun manis yang membuatku tetap bertahan dalam kandang.”
Malam itu, seperti biasa, kami sedang duduk di ruang tengah.
Gibran menatap layar ponselnya sambil bertanya, setengah serius, setengah menggertak:
Gibran:
“Kamu tahu nggak, barang yang aku maksud kemarin tuh yang mana?”
Aku berpikir sejenak.
Kepalaku penuh dengan urusan pekerjaan rumah, belum lagi pikiranku tadi melayang ke keluargaku yang tak pernah kutemui lagi.
Aira:
“Yang dari supplier Jakarta, ya?”
Gibran: (diam beberapa detik, lalu mendekat cepat)
“Salah. Bukan itu.”
Aku langsung tersentak. Tapi belum sempat aku menjelaskan atau mengoreksi jawabanku…
Tangannya bergerak cepat.
Piring kecil yang tadi kubawa terjatuh, pecah di lantai.
Aku terlempar ke sisi meja, dan wajahku… terasa panas, sakit.
Aku terdiam. Dunia seolah membeku beberapa detik.
Gibran: (teriak keras)
“GAK SERIUS KERJA ITU NAMANYA! DIBIAYAI, DIKASIH RUMAH, TAPI NGGAK PAHAM APA-APA!”
Aku hanya bisa terisak. Tapi air mata pun terasa sia-sia.
Yang kudengar hanya gema suaranya, dan jantungku yang berdebar tak karuan.
Tubuhku gemetar. Bukan karena rasa sakit fisik semata,
tapi karena aku baru sadar… aku sedang tidak aman, di tempat yang disebut rumah.
Beberapa menit kemudian, seperti biasa, ia berubah.
Nadanya melembut. Tangannya menggenggam es batu, dan diletakkan di pipiku.
Gibran:
“Maaf ya, aku nggak tahu kenapa bisa kayak gitu. Aku cuma lagi tertekan. Aku butuh kamu ngerti aku, Air…”
Gibran: (berbisik pelan sambil memeluk)
“Kamu tahu nggak… kalau kamu pergi, aku bisa gila. Kamu itu hidupku.”
Dan aku, dengan tubuh yang masih berdenyut perih, hanya bisa mengangguk.
Karena jika aku tidak mengangguk, aku takut itu akan terjadi lagi… atau lebih buruk.
“Orang yang bilang mencintaiku, baru saja menghantamku. Tapi aku tetap tinggal. Apakah itu cinta… atau hanya ketakutanku sendiri yang menyamar?”
[To be continued...]
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!