Suara jeritan seorang wanita memecahkan keheningan malam. Dia sedang berjuang antara hidup dan mati, menjalani proses persalinan yang ketat.
"Ayo, Nyonya! Dorong! Dorong terus!" seru seorang wanita tua, yang membantu persalinan dari si Nyonya. "Tarik napas yang panjang, kemudian dorong sekuat tenaga!" Wanita tua itu terus memberikan arahan demi arahan untuk di Nyonya.
Nyonya mengambil napas panjang, kemudian mendorong dengan sekuat tenaga. "Aaaaahhhhh!"
"Kepalanya sudah terlihat! Kepalanya sudah terlihat! Ayo cepat Nyonya, sekarang tarik napas panjang dan dorong lagi sekuat tenaga!"
Nyonya mencengkram erat kain yang menggantung dari langit-langit tiang kasur, menarik napas panjang, kemudian melakukan satu dorongan lagi dengan sekuat tenaga. "Aaaaahhhhh!" Saat dorongan terakhir dilakukan, dengan dramatisnya, hujan turun dengan lebat, kilat menyambar dan gemuruh mulai terdengar. Saat itu pula, seorang anak laki-laki berkulit pucat lahir.
"Nyonya! Nyonya! Selamat, Anda telah melahirkan bayi laki-laki!" seru si wanita tua sambil menggendong bayi laki-laki yang masih berlumuran darah mendekat ke arah Nyonya.
Naas, Nyonya sepertinya telah meninggal setelah melahirkan bayi laki-laki itu. Si wanita tua ketakutan mengetahui bahwa Nyonya yang dilayaninya selama proses bersalin sudah kehilangan nyawa.
Tak lama kemudian, si wanita tua bisa merasakan kalau tubuhnya ditusuk sesuatu. Saat melihat ke arah dadanya, dia sadar kalau dirinya ditusuk tepat di bagian jantung oleh seseorang. Bayi yang ada di dalam genggamannya pun terjatuh ke atas kasur di samping mxyxt ibunya, dan si wanita tua meninggal secara mengenaskan, tertusuk pisau.
Seorang pria berwajah dingin mendekat ke arah bayi laki-laki yang menatapnya tanpa berkedip. Mata amber sang bayi berubah menjadi warna merah darah, tapi sesaat kemudian balik kembali menjadi semula. Pria itu tersenyum picik. "Mulai hari ini, kau adalah anakku. Kuberi nama kau, Fracture Luigi von Rosario."
⚔️ 🗡️ ⚔️ 🗡️ ⚔️ 🗡️ ⚔️ 🗡️ ⚔️ 🗡️
Pada suatu malam, langit diretakkan oleh cahaya dari kilatan petir berwarna merah darah. Di dalam aula mansion keluarga Rosario, seorang pemuda yang baru saja menginjak usia 21 tahun berdiri diam di hadapan sebuah cermin besar, yang diukir dengan simbol-simbol kuno yang aneh. Cahaya lilin menari di antara kulitnya yang pucat, mata amber-nya memantulkan bayangan dari cermin di hadapannya, sesuatu yang bukan lagi bayangnya—bayangan hitam legam dengan mata semerah darah, bibir yang tersenyum.
"Siapa kau…?" tanya pemuda itu, Fracture Luigi von Rosario, Frac. Napasnya seolah tercekat, akan tetapi bayangan di dalam cermin di hadapannya tidak menjawab.
Di belakangnya, terdengar langkah sepatu yang berat dan tegas. Frac bisa melihat bayangan ayahnya, Bangsawan Rosario, masuk ke dalam aula mansion. Jubah birunya berlumuran dxrxh dan debu sihir. Di tangan kanannya, tergenggam erat sebuah pedang yang berukirkan tengkorak manusia. Di tangan kirinya, ada pula kepala seseorang yang sangat Frac kenal: Juru Masak keluarga Rosario. Mata ayahnya terpancar sebuah obsesi yang seakan telah menelan kewarasannya selama bertahun-tahun.
"Akhirnya, kau melihatnya," kata Bangsawan Rosario. "Kau penasaran? Dia adalah dirimu yang sebenarnya. Kau… kau adalah mahakarya ku yang paling hebat dan sempurna."
"Apa maksud ayah?" Frac melihat sosok Bangsawan Rosario dari balik cermin dengan tubuh gemetar. Dia tidak mengerti. Dia tidak tahu apa yang dikatakan oleh Bangsawan Rosario—atau, dia tidak ingin mengakui pikiran jelek yang mulai menguasai dirinya.
"Anakku, seperti yang sudah aku katakan," ucap Bangsawan Rosario. "Kau adalah mahakarya ku yang paling hebat. Aku menciptakanmu dengan kehendakku. Kau adalah hasil dari Iblis yang telah kupanggil dan ibumu, adikku sendiri."
Frac sangat kaget dengan ucapan ayahnya. Selama ini… selama ini aku bukan anak ayah? Ibuku adalah adiknya dan ayah kandungku adalah Iblis…? Bagaimana mungkin? Ini semua tidak mungkin! Aku pasti sedang bermimpi… ini tidak mungkin, sama sekali tidak mungkin! batinnya.
Petir menghantam jendela kaca di ruang aula mansion, melemparkan sebuah bayangan raksasa yang terukir jelas di dinding batu. Jantung Frac mulai berdegup kencang, ada sesuatu yang panas, liar, dan tidak terkendali hadir di dalam dirinya. Sebuah bisikan muncul di dalam benaknya, bukan milik seseorang yang selama ini dianggapnya ayah, bukan juga miliknya sendiri.
Bangsawan Rosario tersenyum semakin lebar. Dia seolah sedang menunggu kebangkitan sesuatu. Dia melempar kepala Juru Masak yang ada di tangan kirinya, seolah itu hanyalah rongsokan tak berharga.
"Dengan darah yang kupersembahkan, bangkitlah, wahai anakku! Terimalah dirimu sendiri! Identitasmu selamanya tak akan bisa berubah, kau adalah keturunan Iblis, mahakarya ku yang paling hebat!" seru Bangsawan Rosario. Sepertinya, dia sudah kehilangan akal sehatnya.
Tubuh Frac terasa semakin berat, ada sesuatu yang ingin bangkit di dalam dirinya, akan tetapi tertahan oleh kewarasannya. Sebuah kekuatan besar juga mengalir deras dalam nadinya. Darahnya berdesir kencang, hawa panas juga mulai terasa. Dari cermin yang ada di hadapannya, bayangan hitam yang dilihatnya tersenyum kemudian menghilang, menyisakan dirinya yang perlahan-lahan berubah. Mata amber yang indah, kini perlahan berubah menjadi semerah darah. Kulit pucatnya juga ikut menghitam.
Frac jatuh terduduk di atas lantai marmer yang dingin saking terkejutnya. Lantai mulai retak seolah tidak dapat menopang energi gelap yang mulai bangkit dari tubuhnya.
Di sisi lain, Bangsawan Rosario justru tersenyum semakin lebar. Senyuman itu kemudian berubah menjadi tawa lepas. Suara tawanya menggema di ruang aula mansion yang kini lebih terasa seperti altar kutukan.
"Ya! Itu! Kau adalah pewaris darah Iblis Imperial! Jangan takut, terima saja dirimu apa adanya!" seru Bangsawan Rosario.
Frac menggertak giginya. Dia berusaha sekuat tenaga melawan sesuatu yang ingin mengambil alih tubuhnya. Di dalam pikirannya, ada potongan-potongan ingatan yang muncul: Suara tawa para pelayan yang mengajarinya menulis dan membaca, suara seorang perempuan kecil yang pernah dia selamatkan dari kumpulan orang-orang aneh, mimpi-mimpi hangat tentang seorang wanita hamil bermata amber yang cantik—yang kemungkinan besar adalah ibunya… semuanya terasa begitu hangat, sekaligus begitu jauh….
"Aku… bukan Iblis," gumam Frac. "Aku bukan Iblis! Aku bukan alatmu! Aku adalah aku! Aku, Fracture Luigi von Rosario, adalah diriku sendiri!"
Petir menyambar lagi dan di langit-langit aula mansion terbelah. Darah Iblis memang mengalir di dalam tubuh Frac, tapi jiwanya tidak ingin tunduk pada kuasa gelap yang ada di dalam dirinya.
Frac berdiri perlahan dengan tubuhnya yang gemetar. Kulitnya yang menghitam perlahan-lahan berubah kembali menjadi kulit pucat miliknya. Mata merahnya juga perlahan-lahan kembali menjadi mata amber milik ibunya yang indah.
"Tidak, kau… kau seharusnya tidak bisa melawan! Bagaimana mungkin?!" Bangsawan Rosario melangkah mundur, wajahnya berubah menjadi cemas.
Frac berbalik dan tersenyum dingin. Dia melangkah melewati ayah—mungkin harusnya disebut pamannya, keluar dari aula mansion Rosario yang penuh dengan kenangan busuk. Dia terus berjalan dan berjalan hingga akhirnya sampai di depan gerbang mansion Rosario. Dunia luar menyambutnya dengan hujan deras dan malam gelap—sama seperti saat dirinya dilahirkan oleh ibunya.
Frac menutup matanya. Aku sudah muak. Apakah Tuhan tidak ingin berbaik hati kepadaku dan memberiku sebuah jalan keluar yang mungkin menyenangkan?
"Sungguh tak berguna!" seru Bangsawan Rosario. "Bagaimana cara kalian merawatnya hingga dia bisa terkena demam seperti ini? Apakah kalian gaji kalian dipotong selama satu bulan?" Dia tampak sangat murka saat mengetahui kalau Frac sakit.
"Maafkan saya, Tuan Bangsawan. Saya yang bertanggung jawab atas Tuan Muda selama satu minggu ini," kata seorang pelayan dengan lantang, membela teman-temannya yang tertunduk takut di hadapan Bangsawan Rosario. "Kemarin sore, hujan lebat sedang turun. Saya tidak memperhatikan Tuan Muda dengan baik sehingga dia berlari keluar dan bermain hujan. Saya salah, Tuan Bangsawan!"
"Dasar sekelompok orang tidak berguna!" Bangsawan Rosario semakin panas mendengar pengakuan dari si pelayan. "Aku akan memaafkan kalian kali ini. Awas saja jika hal ini sampai terulang kembali. Aku akan menghancurkan hidup kalian."
"Baik, Tuan Bangsawan. Terima kasih karena sudah memberikan kami kesempatan!"
Frac, yang baru berusia lima tahun, mendengar dengan jelas segala percakapan itu. Namun, terlalu muda baginya untuk mengetahui apa itu ancaman. Dia hanya bisa diam dan berpikir, Kenapa ayah semarah itu? Apakah salah bagiku untuk keluar melihat hujan?
Pelayan yang mengaku pada Bangsawan Rosario mengganti kompres yang ada di kepala Frac. Tampak jelas di wajahnya kalau dirinya sedang menahan tangis. Bagaimanapun juga, itu bukan sepenuhnya salahnya.
Frac kecil membuka mata perlahan. Mata amber miliknya berkaca-kaca. "Maafkan aku, kak Juni," katanya dengan suara pelan.
"Tuan Muda tidak perlu meminta maaf," balas si pelayan, Juni, sambil menghapus air matanya. "Tuan Muda tidak salah."
"Tapi, aku membuatmu dimarahi oleh Ayah. Aku minta maaf karena melakukannya. Tidak seharusnya aku bermain hujan kemarin."
"Tidak apa-apa, Tuan Muda." Juni menatap Frac dengan penuh ketulusan. "Saya tidak masalah. Tuan Muda beristirahatlah dengan tenang. Semoga Tuan Muda cepat sembuh, ya."
Frac kecil menyunggingkan senyuman manis. "Aku akan cepat sembuh, kak Juni. Aku berharap kak Juni tidak membenciku karena kejadian ini."
"Bagaimana mungkin aku bisa membenci Tuan Muda." Juni mengelus kepala Frac. "Istirahatlah. Aku akan membeli obat terlebih dulu."
🫧 🪷 🫧 🪷 🫧 🪷 🫧 🪷 🫧 🪷
Hujan mengguyur rambut dan pakaian yang dikenakan Frac hingga basah, menempel di atas kulit dan daging seperti lapisan beban dari masa lalu yang tak kunjung menghilang. Hawa malam juga menyambutnya dengan cakarnya yang dingin. Jalan di luar mansion Rosario diterangi oleh kilat sesekali, menyingkap bayang-bayang dari pepohonan tua yang meliuk-liuk seperti monster yang lapar.
Frac bersumpah tidak akan pernah menoleh ke belakang. Dia ingin melepaskan masa lalu, segalanya, bahkan kalau bisa, marga von Rosario, atau Imperial, atau apapun itu.
Bangsawan Rosario mungkin sekarang sedang menyuruh para prajurit untuk memburu Frac dan menyeretnya kembali ke mansion terkutuk itu, akan tetapi dia sama sekali tidak peduli. Untuk pertama kalinya, dia merasa sangat bebas. Tersesat, tapi bebas.
Frac melangkah menyusuri hutan tua di pinggiran wilayah kekuasaan Bangsawan Rosario. Hutan tua itu dikenal sebagai tempat yang konon dihuni oleh roh-roh liar dan makhluk-makhluk buangan. Dia tidak memiliki pilihan, jika terus berada di publik, dia akan tertangkap. Makanya dia memilih jalur yang bahkan para pemburu pemberani pun enggan berpijak.
Selama perjalanan masuk ke dalam hutan, Frac tertancap cabang berduri, kabut tebal pun merayap di antara pergelangan kakinya. Namun, dia terus berjalan. Napasnya memburu. Dia sendiri bahkan tidak tahu apakah dia masih diri yang dikenalnya atau bukan. Dia juga tidak tahu apakah dia bisa mengendalikan dirinya di masa depan atau tidak. Yang jelas, dia tidak ingin lagi menjadi "sesuatu yang tidak dikenalnya".
Pada akhirnya, kakinya menyeret Frac sampai ke sebuah danau yang tersembunyi di tengah hutan belantara tua. Air danau mengeluarkan irama riak dipukul hujan, memantulkan dengan samar langit kelabu seperti sebuah cermin tua.
Frac jatuh berlutut di tepi danau, tangannya mencengkram erat lumpur dingin, dan air matanya mengalir turun bercampur dengan hujan yang mengguyur wajahnya. Dia ingin berteriak, tapi semua perasaannya seolah tertahan.
Langit seolah tak ingin berhenti menangis, begitu pula dengan Frac. Di dalam hatinya, seolah terdapat beban yang terus ingin menariknya ke bawah. Di atas air danau yang mencerminkan bayangan dirinya yang tidak utuh dipukul hujan, dia menatap ke arah wajah yang seolah sudah lagi tak dikenalinya. Mata amber yang indah itu miliknya yang didapatkannya dari ibunya, tapi pantulan di air danau yang membalas tatapannya seolah bukan miliknya.
"Aku sebenarnya siapa…?" gumam Frac dengan penuh kekecewaan. Suaranya yang kecil hanyut dalam hujan dan gemuruh di kejauhan. Semak-semak yang bergerak pelan diterpa oleh angin dan hujan pun tidak membuatnya menoleh sama sekali.
Kalaupun ada yang datang untuk membunuhnya sekarang, Frac tidak lagi peduli. Dia mungkin hanya akan menyambut dengan senyuman kosong.
Kilat menyambar lagi, menerangi seluruh permukaan danau dengan cahaya putih. Selama sesaat, Frac dapat melihat pantulan dirinya berubah di atas air danau. Dia kembali melihat bayangan hitam legam dengan manik mata semerah darah itu lagi. Bayangan itu menatap dingin ke arahnya seolah sedang menunggu. Dan, ketika cahaya kilat menghilang, sosok itu pun ikut menghilang.
Frac berteriak frustasi. Dia menceburkan dirinya sendiri ke dalam danau. Kepalanya berdengung hebat, bukan karena suara, melainkan kesadaran yang bergolak di dalam dirinya. Kepingan demi kepingan mimpi yang dulu diabaikannya kini memenuhi kepalanya. Bahkan ada sosok wanita pemilik manik mata amber yang sekarang diwarisinya…. Semuanya langsung hilang ketika dia mengingat wajah Bangsawan Rosario.
Air danau seolah sedang memeluk tubuhnya dan enggan untuk melepas. Kepalanya terasa semakin berat, seolah air yang menempel di kulitnya mengandung pecahan-pecahan mimpi yang selama ini telah diabaikannya. Wanita dengan manik mata amber yang kerap dimimpikannya, Frac melihatnya. Samar, tapi nyata. Dia amat cantik dengan senyumannya yang lembut.
Frac seolah teringat hal penting yang telah lama dirinya lupakan. "Jangan takut menjadi dirimu sendiri." Kalimat itu, entah berasal dari mimpi atau sekadar ilusi dari pikirannya yang rapuh, menggema di dalam dirinya tanpa henti. Suara itu begitu lembut, hangat, dan menenangkan.
Akhirnya, Frac membiarkan dirinya mengapung di atas air. Dirinya menghirup udara dengan rakus, setelah menahan napas selama beberapa saat. Bagaimanapun juga, dia masih ingin tetap hidup. Dia memejamkan matanya. "Apakah aku harus mencari tahu identitasku yang sebenarnya?" gumamnya pelan.
Dalam keheningan, Frac beradu dengan pemikirannya sendiri. Dia beradu argumen dengan setiap sisi di dalam dirinya: Antara logika dan emosional. Dia ingin mengusahakan yang terbaik bagi dirinya sendiri. Dia tidak ingin lagi hidup dalam bayang-bayang Rosario ataupun mimpi-mimpi aneh yang kerap mengganggunya. Dia menginginkan kebebasan berekspresi dan menjadi dirinya sendiri.
Tepat saat Frac membuka matanya, dia dikagetkan oleh sosok Elf muda. Wajah Elf muda itu berada tepat di atas wajahnya. Elf muda itu juga tampak kaget karena Frac tiba-tiba saja membuka mata. Dia langsung berteriak, "Kyaaa!"
"Apakah kamu percaya kalau Iblis bisa saja jatuh cinta?"
Frac menatap ke arah sosok dengan wajah yang tidak dapat dilihatnya dengan jelas. Dia berusaha untuk bertanya, siapa dia, atau sekadar untuk menjawab. Namun, dia tidak dapat mengeluarkan suara sama sekali. Dia kemudian menggelengkan kepalanya.
Tawa lembut terdengar. "Aku percaya semua makhluk itu bisa jatuh cinta. Bukankah pada akhirnya ibumu berusaha menyelamatkan ayahmu dan dirimu? Karena hal itu pula ayahmu mengorbankan dirinya juga untuk ibumu. Pada dasarnya, semua makhluk itu memiliki nurani. Hanya saja, ada beberapa orang yang menganggap hal itu sebagai kelemahan. Sebenarnya, memiliki cinta bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan untuk berani mencoba hal-hal yang kontroversial dan berbeda dari orang lain. Jadi, menurutmu, apakah kamu bisa jatuh cinta?"
✨ 🌻 ✨ 🌻 ✨ 🌻 ✨ 🌻 ✨ 🌻
Gadis Elf itu tercebur ke dalam danau, menimpa tubuh Frac secara tidak sengaja. Frac, dengan kesadaran yang masih utuh, untungnya langsung menangkapnya dan membawanya ke daratan.
Sesampainya di daratan, Frac langsung menghela napas lega sambil menatap dingin ke arah si Gadis Elf. Si Gadis Elf terbatuk-batuk akibat tersedak air danau. Dia menggigil kedinginan. Hujan masih turun, mungkin akan berlangsung hingga pagi hari, dan angin berhembus kencang.
"Kau… tidak apa?" tanya Frac sembari membuka jubahnya dan kancing kemejanya. Dia seolah menjadi sosok yang berbeda. Dia sudah mengalami kehancuran batin yang luar biasa, ketika mengetahui kebenaran bahwa dirinya bukanlah anak dari Bangsawan Rosario.
Si Gadis Elf juga langsung mundur sambil mengangkat tangannya, seolah ingin menunjukkan kalau dia tidak berniat jahat. Wajahnya semerah tomat matang, entah karena terkejut atau malu.
"Aku… aku tidak apa!" jawab si Gadis Elf. "Maaf! Aku tidak bermaksud buruk. Aku hanya ingin memastikan kalau kamu masih bernapas." Suaranya sangat lembut, tapi di dalam kata-katanya tersirat ketulusan.
Frac memungut beberapa kayu kering yang tertumpuk dedaunan. Hujan masih terus berlanjut, akan tetapi dia seolah tidak peduli dengan Gadis Elf yang ada di hadapannya. Dia melihat telapak tangannya yang pucat. Jika aku adalah Iblis, bukankah aku bisa mengendalikan apapun yang aku inginkan?
"Namaku Araya. Kamu boleh memanggilku Raya. Aku adalah penjaga hutan tua ini," kata Raya. "Aku sedikit kaget karena kamu sangat berani masuk ke hutan ini. Sejauh ini, tidak ada manusia yang berani masuk ke hutan ini. Benar juga, apakah kamu albino?"
"Manusia?" ulang Frac. Kata itu seolah mengusik sesuatu di dalam dirinya. Dia lalu duduk dan menjentikkan jarinya. Kayu kering di hadapannya tiba-tiba saja terbakar, membentuk api unggun. Dia menyeringai dingin.
"Apakah aku salah bicara?" tanya Raya. Dia tampak merasa bersalah dengan ucapannya.
Frac menatap lurus ke arah Raya. Dia tidak menjawab pertanyaan itu. Mata amber-nya seolah menembus manik mata amethyst milik Raya. "Tidak, kau tidak salah. Aku hanya tidak mengetahui siapa diriku yang sebenarnya."
Raya tertegun. Mencari jati diri, ya? pikirnya.
Raya dengan ragu duduk di hadapan Frac. Dirinya masih tersiram air hujan karena pohon itu tidak cukup besar untuk memayungi.
"Untuk apa kau duduk di antara hujan?" tanya Frac dengan nada dingin. "Duduklah di sini." Dia menempuk tanah kosong di sebelahnya.
Raya berpindah posisi dengan ragu-ragu. Tubuhnya menggigil. Dia menghembuskan napas perlahan. Dia menggunakan energi Elf murni untuk menciptakan sebuah shelter dari cabang pohon yang sedang mereka ditumpangi.
Frac sedikit takjub dengan pengendalian energi Raya. Elf yang masih muda biasanya tidak memiliki pengendalian energi yang seimbang, tapi Raya berbeda.
"Kau memiliki pengendalian energi yang sangat baik," puji Frac. Pujian itu terlontar begitu saja dari mulutnya.
Raya tertawa. "Aku tidak sehebat itu. Pengendalian energiku masih jauh di bawah para leluhurku. Tapi, setidaknya aku mewarisi beberapa hal dengan baik," ucapnya. Dia mendekatkan telapak tangannya ke arah api unggun. "Benar juga, bolehkah aku mengetahui namamu?"
"Fracture, kau boleh memanggilku Frac."
Raya seolah kaget dengan ucapan Frac. "Apakah kamu adalah anak dari Hurga Devijk von Rosario?" tanyanya.
Frac, yang mendengar nama lengkap "ayah"-nya disebut, langsung menengadahkan kepalanya, menatap tajam ke arah Raya. "Ya. Aku adalah anaknya, dulu," jawabnya dengan nada sinis. "Tapi, kemudian aku mengetahui kalau ibuku adalah adiknya sendiri dan dia berakhir menjadi pamanku. Kau tahu, ketika mendengar nama itu, aku ingin sekali mencabik-cabik dirinya."
Raya dapat merasakan kemarahan brutal di dalam diri Frac. Sepertinya, dia salah ucapan lagi. Dia seolah-olah hadir untuk menyentil kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh Frac. Padahal faktanya, dia hanya penasaran tentang seseorang yang terapung di danau di sebuah hutan belantara tua yang dijaganya.
"Maafkan aku. Sepertinya, aku salah lagi," kata Raya dengan kepala tertunduk. Seharusnya aku lebih memikirkan perasaan orang lain, bukan untuk menyakiti mereka.
"Itu tidak menjadi masalah. Kau tampaknya juga tidak begitu menyukai si Tua Rosario. Kenapa?" tanya Frac sambil menyenderkan punggungnya di dinding kayu yang keras dan lembab.
Frac melempar jubahnya yang basah ke arah Raya. Dia seolah tidak memerlukannya untuk menghangatkan diri.
Raya tidak marah setelah menerima perlakuan yang cukup kasar dari Frac. Dia malah berterima kasih karena pria itu sangat memperhatikan. Dia mencengkram erat jubah yang diberikan oleh Frac, akan tetapi sama sekali tidak menjawab pertanyaan pemuda itu. Dia berdiam diri selama beberapa saat sebelum menjawab, "Keluargaku berasal dari wilayah Chesapeake. Di masa peperangan melawan bangsa Iblis, kami kalah dan terusir dari Chesapeake. Kami akhirnya tiba di wilayah kekuasaan Rosario. Tapi, kehidupan di sini juga tidak baik dikarenakan Rosario memburu para imigran Elf. Kami yang tersisa akhirnya masuk ke dalam hutan tua ini dan menjadikannya wilayah kekuasaan kami. Kami menanggung semua kutukan, rasa, dan kemagisan yang ada di dalamnya. Orang tuaku terbunuh saat melarikan diri dari prajurit Rosario. Hanya aku dan kakek serta beberapa orang yang selamat. Ya, begitukah kira-kira."
"Kalau begitu, kita berdua menyimpan dendam yang sama. Ibuku dibunuh oleh si Tua sialan itu, begitu pula orang tuamu. Jika kau ingin, buatlah kontrak denganku, aku akan membantumu membalaskan dendam," kata Frac.
Raya bisa melihat api kebencian di mata Frac. Dia tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Bohong sekali jika aku berkata bahwa aku tidak ingin membalas dendam. Tapi, tidak semuanya bisa diselesaikan hanya dengan membunuh satu orang. Membunuhnya, tidak dapat menghidupkan makhluk yang sudah mati. Aku tidak mengharapkan apapun selain rasa penyesalan dan permintaan maaf. Aku sudah melepas kebencian yang ada di dalam hatiku."
"Kau naif sekali," cibir Frac. "Apakah kau mengira orang seperti pamanku akan menyadari kesalahannya dan meminta maaf kepadamu? Kau sungguh salah berpikir seperti itu."
Frac memejamkan matanya. Ada dorongan di dalam dirinya untuk menunjukkan sisi lain, sisi Iblis, kepada Raya.
Raya termenung melihat kulit Frac yang menghitam dengan garis-garis kemerahan yang tampak seperti retakan-retakan. Saat membuka mata, dia dapat melihat mata amber yang indah berubah menjadi mata ruby yang dingin dan menggoda.
"Kamu… Iblis?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!