Pagi-pagi seperti ini terlihat wanita cantik yang anggun menggunakan dress panjang di atas mata kakinya terlihat sibuk di dapur, meski penampilannya sedikit berantakan di pagi ini tetapi wajahnya terlihat begitu cantik yang beberapa kali melap keringat tidak hanya menggunakan punggung tangannya.
Mulai terdengar suara langkah kaki yang mendekatinya dan suara kursi yang bergeser. Beberapa orang mulai menarik kursi menduduki meja makan.
"Mbak Serra nasi goreng cumi pesanan Netty tadi malam belum dibuatin," ucap seorang wanita yang sudah duduk di kursinya terlihat begitu cantik dengan penampilannya di pagi ini.
"Iya-iya Netty ini sudah hampir selesai," jawab Serra dengan buru-buru memindahkan nasi goreng tersebut dari wajan.
"Jus buah naga ku juga belum Kakak buat?" tanya pria sekitar berusia 17 tahun yang memakai seragam sekolah itu.
"Andre Kakak sudah menyelesaikannya. Kamu tolong ambil di dekat kulkas," jawab Serra.
"Kakak ambillah. Aku lagi pakai sepatu," jawabnya yang sangat tidak berniat untuk bergerak.
"Kamu memang bangun jam berapa Serra. Sudah jam 07.00 dan kamu belum menyelesaikan sarapan," protes wanita sekitar berusia 50 tahunan yang tampak tegas dari wajahnya.
"Iya. Ma maaf," ucap Serra.
"Sudahlah kalian makan saja apa yang sudah disediakan, jangan punya protes setiap pagi," ucap pria sekitar berusia 50 tahunan.
"Bukan protes. Ini hanya mengingatkan untuk kedepannya Serra harus bangun lebih pagi lagi dan jangan malas-malasan. Sebagai istri bukankah memang sudah memiliki kewajiban untuk menjalankan tugasnya," ucap Niken.
"Iya-iya. Maaf, Ma. Tadi malam Serra tidur kelamaan, jadi bangun kesiangan," ucap Serra yang sudah berada di meja makan dengan sangat buru-buru menghidangkan makanan yang diminta orang-orang yang ada di meja makan itu.
Niken menghela nafas mendengar keluhan pembelaan Serra.
"Bagaimana Netty apa nasi gorengnya enak?" tanya Serra yang sudah duduk di samping Netty.
"Hmmm, sama saja seperti biasanya," jawabnya netral sembari mengunyah makanan itu yang juga tidak lupa mengscroll ponselnya.
Serra menghela nafas yang terlihat begitu lelah padahal masih pagi hari. Wanita yang selalu berpenampilan sederhana itu membuka kacamatanya yang mengambil tisu untuk melapnya yang merasa pandangannya sedikit samar.
Suara heels terdengar membuat Serra menoleh ke arah suara tersebut, seorang pria dan wanita menghampiri meja makan dengan mata Netty melihat samar-samar bagaimana wanita memakai dress di atas lututnya itu menggandeng lengan pria tersebut.
"Dari mana kamu Damar?" tanya Bram yang membuat wanita itu langsung menurunkan tangannya dari lengan pria bernama Damar itu.
"Mas sudah pulang!" Serra sudah kembali memakai kacamatanya dengan tersenyum menghampiri suaminya yang menyambut kepulangan suaminya.
"Hmmm," jawabnya dengan sangat cuek.
"Kamu dari mana memangnya?" tanya Bram.
"Ke bandung, memeriksa proyek," jawab Bram.
"Menginap?" tanya Bram.
"Kalau pulang pagi hari artinya memang aku menginap," jawabnya.
"Lalu kenapa Mas datang bersama Maya?" tanya Serra melihat ke arah Maya yang wajahnya sejak tadi datar.
"Kamu ini bagaimana. Maya ini adalah sekretarisku dan bukankah segala kepentingan Perusahaan dan pekerjaanku berkaitan dengannya. Jadi jelas aku datang bersamanya," jawab Damar.
"Kalian menginap juga di Bandung?" tanya Serra dengan hati-hati.
"Ya. Ampun Serra apa hal itu harus kamu bahas. Maya sepupu Damar. Apa yang salah jika menginap bersama, kamu ini sebagai istri pikirannya kemana-mana, mereka juga tidak mungkin satu kamar," bukan Damar menjawab melainkan Niken.
"Bukan itu maksud Serra," ucapnya dengan gugup yang sejak tadi jari-jarinya saling memencet.
"Sudah-sudah. Sebaiknya kalian bergabung dan kita sarapan," sahut Bram.
Maya santai menghampiri meja makan dan sudah menarik kursi yang duduk di samping Netty.
"Mas mau Serra buatkan kopi?" tanya Serra.
"Tidak perlu. Aku capek dan mau istirahat. Aku juga tadi sudah sarapan," jawab Damar yang langsung berlalu dari hadapan istrinya itu.
Serra tampak kecewa melihat kepergian suaminya yang padahal dia begitu sangat senang sekali melihat kepulangan suaminya dan bukannya mendapatkan kesempatan mencium punggung tangan suaminya Tetapi malah dicuekin.
"Apa kamu tidak punya nasi goreng itu lagi Netty?" tanya Maya.
"Entahlah tanyakan saja kepada Kak Serra. Dia yang membuatnya untukku," jawab Netty.
Serra menoleh ke arah meja makan ketika namanya disebutkan.
"Aku mau juga dong nasi gorengnya. Tadi sarapannya tidak terlalu enak dan aku masih lapar," ucap Maya.
"Tetapi aku hanya memasak sedikit untuk Netty. Jadi sudah habis," jawab Serra.
"Serra kamu sudah tahu di rumah ini bukan hanya tinggal satu orang, seharusnya kamu memasak lebih," sahut Niken.
"Kalau memang ingin memakannya. Aku akan membuatnya lagi," ucap Serra yang lebih baik mengalah dari pada ribut.
"Tapi jangan lama. Nanti selera makanku terganggu," ucap Maya yang membuat Serra menganggukkan kepala, saja beristirahat dan dia sudah mulai berada di dapur.
Jika yang lain menikmati sarapan mereka sebelum melakukan aktivitas dan Serra harus kembali meracik bumbu untuk membuat nasi goreng yang sama persis seperti Netty untuk Maya sepupu dari suaminya.
Selesai orang-orang sarapan di meja itu dan pergi begitu saja untuk melakukan aktivitas masing-masing.
Andre yang ke sekolah, Netty yang ke kampus dan sementara Bram bersama istrinya sedang ada pertemuan dengan rekan bisnis mereka.
Serra yang terlihat membersihkan meja makan mengambil piring-piring kotor tersebut dan sementara Maya masih tetap ada di sana yang sarapan dengan santai sembari menscroll ponselnya.
Serra tidak memperdulikan dan melanjutkan pekerjaannya yang mencuci piring. Setelah cucian piringnya selesai, Serra mencuci tangannya, tetapi keran air tiba-tiba digeser yang membuatnya menoleh ke samping yang ternyata Maya juga sudah menyelesaikan sarapannya yang membuat Serra melihat kemeja makan yang mana piring itu masih diletakkan di sana.
"Maya kamu sudah selesai makan?" tanya Serra.
"Apa kamu buta sehingga tidak bisa melihat aku sudah selesai apa tidak?" Maya menimpali pertanyaan itu kembali.
"Kalau begitu kamu bisa mencuci piring kamu sendiri. Aku baru saja menyelesaikannya," ucap Serra.
"Apa salahnya jika kamu mencuci satu lagi. Kamu itu perhitungan banget tinggal di rumah ini, Serra kamu harus sadar jika kamu juga menumpang di rumah ini. Jadi jangan merasa sok berkuasa dan apalagi harus memerintahku!" tegas Maya.
"Aku hanya suruh kamu mencuci piring untuk makan kamu. Kenapa kamu harus berbicara seperti itu kepadaku dan aku tidak bermaksud apapun," ucap Serra.
"Bilang saja kamu tidak senang dengan keberadaan ku di rumah ini. Aku tahu kamu tidak suka dengan ku yang menjadi sekretaris Damar. Kamu katakan saja kepada Damar kalau kamu tidak menyukaiku menjadi sekretarisnya, tidak perlu bersifat sinis seperti ini kepadaku!" tegas Maya.
"Bukan begitu Maya!"
"Sudahlah!" Maya yang tidak ingin mendengarkan apapun dari Serra yang membuatnya pergi begitu saja.
"Padahal aku menyuruh mencuci piring miliknya sendiri dan Ya sudah sangat tersinggung seperti itu," ucap Serra menghela nafas yang mau tidak mau mengambil piring dari atas meja makan milik Maya dan mencuci kembali.
"Serra di mana kamu lihat jasku yang berwarna biru?" suara teriakan itu membuat Serra kaget.
"Serra..." teriak Damar.
"Iya. Mas sebentar," jawab Serra yang buru-buru mencuci piring tersebut dan juga mencuci tangannya yang kemudian langsung berlari menuju kamarnya karena sejak tadi Damar sudah memanggil namanya dan Serra tidak ingin mendapatkan masalah dari suaminya.
Bersambung....
"Mas cari apa?" tanya Serra ketika sudah berdiri di depan pintu kamar.
"Jas ku yang biru di mana?" tanyanya sekali lagi dengan menekan suaranya.
"Aku baru saja tadi menjemurnya," jawab Serra.
"Kau mencucinya?" tanya Damar yang membuat Serra menganggukkan kepala.
"Astaga! kau tidak tahu jika itu akan aku gunakan hari ini!" tegas Damar menekan suaranya yang memijat kepalanya langsung marah kepada Serra.
"Maaf. Mas Serra pikir itu pakaian kotor," ucapnya.
"Kau benar sangat bodoh yang tidak tahu mana yang kotor dan tidak kotor. Aku sudah mengatakan berkali-kali kepadamu jika ingin mencuci pakaianku maka diperhatikan baik-baik dan tanya dulu kepadaku, bukan asal cuci begitu saja!" tegas Damar.
"Maaf Mas," ucapnya menunduk perasa bersalah.
"Maaf-maaf. Sekarang aku yang kesusahan. Kau benar-benar hanya pembawa sial saja," ucapnya begitu enteng yang mampu membuat mata Serra berkaca-kaca.
Istri mana yang tidak sakit hati dengan perkataan suaminya yang sepertinya bukan hanya Baru kali ini saja Damar berkata kasar seperti itu kepadanya.
Damar melangkah menuju lemari yang terlihat mengacak-acak lemari mencari jas yang ingin dia gunakan.
"Katakan saja kepada Serra ingin memakai jas yang mana dan biar Serra yang mencarinya tanpa harus membuat lemari berantakan seperti itu," ucap Serra.
"Kau protes karena aku memberantakinnya!"
"Kau sadar diri, jika semua ini karena kebodohanmu!" tegas Damar yang tidak mempedulikan omongan istrinya dan akhirnya dia mendapatkan jas pengganti yang langsung mengambilnya dan memasuki kamar mandi.
Serra menghela nafas yang melangkah menuju lemari, mengambil pakaian yang sudah berjatuhan di atas tempat tidur dan di lantai.
Lemari sangat rapi tersusun itu sekarang sudah seperti kapal pecah.
Bruk!!!
Suara itu kamar mandi yang kembali terbuka membuat Serra kaget yang ternyata Damar sudah keluar dari kamar mandi yang terlihat merapikan jasnya.
"Mas mau kekantor lagi?" tanya Serra.
"Menurutmu. Kau pikir aku seperti dirimu yang tidak memiliki pekerjaan hah! yang hanya bisa menyusahkan orang saja," jawab Damar dengan kertas yang membuat Serra harus menghela nafas.
Walau perkataan suaminya seperti itu kepadanya, tetapi tidak membuat Serra marah dan menghampiri Damar yang mengambil tangan Damar untuk mencium punggung tangannya.
Tetapi balasan yang didapatkan Serra, ketika tangan itu ditepis, "daripada kau mencuci pakaian yang bersih dan tidak bisa memilih mana yang kotor. Lebih baik kau urus dirimu agar tidak kotor seperti ini, aku tidak tahu kenapa kau bisa mencium tubuhmu yang seperti itu. Pagi-pagi orang-orang sudah cantik bersih dan harum dan kau sangat kotor, dekil dan bau," ucap Damar berbicara yang begitu sangat enteng dengan ekspresi wajah yang terlihat jelas dia sangat jijik kepada istrinya.
Kata-kata Damar akhirnya membuat air mata Serra jatuh. Tidak ada kata maaf dari Damar ketika seenaknya menyakiti hati istrinya dan pergi begitu saja yang menutup pintu kamar sangat kuat.
Serra mengusap air matanya yang beberapa kali menghela nafas yang bagaimanapun harus banyak-banyak bersabar dengan pernikahannya.
Serra berjalan menuju jendela kamar yang membuka tirai itu dan melihat ke bawah. Suaminya ke kantor ternyata tidak sendirian melainkan dengan Maya yang sekarang terlihat Damar membuka pintu mobil untuk Maya.
"Kenapa memperlakukan orang lain seperti itu sangat mudah dan untukku tidak bisa?"
"Mas sampai kapan kamu benci ku dan tidak bisa membuka hati sedikit saja untukku. Apa di mata kamu aku tetap wanita yang salah, wanita yang tidak pantas, wanita yang menjijikan dan sampai kapan semua ini akan berakhir, apa semua pengorbanan yang aku lakukan belum cukup," ucapnya dengan air mata yang kembali jatuh.
Serra harus menerima nasibnya yang mendapatkan perlakuan yang kurang baik dari suaminya. Dia jika pasti ingin pagi-pagi sudah cantik dan lagi pula sebelum melakukan aktivitas di dapur Serra mandi terlebih dahulu dan karena banyaknya pekerjaan yang dia kerjakan sendiri, membuat sarapan pagi yang bukan hanya satu macam saja yang membuat Serra pasti keringatan, jadi wajar saja jika tubuhnya juga sedikit bau.
******
Serra yang baru saja selesai mandi setelah mengerjakan pekerjaan rumah seharian. Serra udah selesai dengan seluruh aktivitas itu ketika sudah malam hari.
Krrekk.
Serra yang duduk di meja rias melihat dari cermin suaminya sudah pulang. Membuat Serra tersenyum yang langsung menghampiri.
"Mas baru pulang?" tanyanya.
"Kamu bisa tidak jangan mempertanyakan hal yang tidak perlu dijawab. Kamu sudah tahu aku baru saja pulang dan untuk apa bertanya lagi," ucap Damar.
"Maaf. Mas," ucapnya.
"Pulang kerja capek dan kamu sudah buat dongkol," ucapnya dengan kesal.
"Apa Mas sudah makan? Mau Serra bawakan makanan ke dalam kamar?" tanyanya.
"Tidak perlu! Aku sudah makan," jawab Damar.
"Baiklah!" ucap Serra.
"Serra sudah menyiapkan air hangat. Mas sebaiknya langsung mandi saja," ucap Serra.
Tidak ada jawaban yang diberikan Damar, dia langsung menuju kamar mandi.
"Aku berharap malam ini mood Mas Damar tidak terganggu dengan banyak pertanyaanku dan tidak membuatnya kesal," ucap Serra.
Tidak lama akhirnya Damar keluar dari kamar mandi yang terlihat memakai kaos putih. Damar mengerutkan dahi melihat Serra menggunakan piyama dengan warna mencolok berdiri di depannya yang tampak gugup.
"Ada apa?" tanya Damar.
"Mas capek! Biar Serra pijit," ucapnya.
"Tidak perlu," jawabnya yang melewati Serra begitu saja.
Serra mendapatkan penolakan itu menelan salivanya. Damar yang terlihat membuka laptopnya dan mulai melihat pekerjaannya.
"Mas apa kita bisa bicara sebentar?" tanya Serra.
"Kau tidak melihat aku sedang apa?" jawab Damar tanpa menoleh ke arah Serra.
"Sebentar saja. Mas ada yang ingin Serra sampaikan," ucapnya.
"Kalau itu katakanlah," ucap Damar yang akhirnya memberi kesempatan walau dengan sangat terpaksa.
"Mas sampai kapan kita berdua harus menunggu tentang hak dan kewajiban kita masing-masing yang belum dilaksanakan sampai saat ini?" tanya Serra yang sangat hati-hati berbicara kepada suaminya itu membuat Damar mengangkat kepalanya.
"Apa maksud mu?" tanya Damar.
"Kita sudah menikah dan sebentar lagi perayaan 1 tahun pernikahan kita. Tapi kenapa sikap Mas masih tetap seperti ini kepada saya?" tanya Serra.
"Sebelum kau berani bicara kepadaku kau sebaiknya ngaca dan lihat dirimu. Apa menurutmu kau pantas menuntut semuanya kepadaku hah?" tanya Damar.
"Kau tahu sendiri bagaimana aku terpaksa menikah denganmu. Jika bukan karena Kakek aku tidak akan sudi menikahi wanita kampung sepertimu. Jika bukan karena ahli waris dari Perusahaan, aku tidak akan sudi melihat wanita sepertimu setiap hari," ucap Damar yang justru permintaan istrinya mendapatkan jawaban yang sangat menyakitkan membuat mata Serra berkaca-kaca.
"Mas sudah mengatakan semua itu sejak awal kita menikah. Saya sudah menerima semua konsekuensinya. Saya mencoba untuk menerima semua pernikahan ini dan berusaha untuk setiap hari memperbaiki diri. Tapi kenapa Mas tidak mencoba untuk melakukan hal yang sama seperti saya..."
"Cukup!" Serra tersentak kaget mendengar suara bentakan itu dengan meja yang dipukul.
"Kau jangan terlalu lancang bicara denganku. Kau tidak punya hak untuk mengaturku dan terserah aku mau bagaimana. Aku harus berkali-kali mengatakan kepadamu jika aku tidak sudi menyentuh dan aku juga tidak pernah menganggapmu sebagai istri. Aku tidak peduli seperti apa tanggapanmu atas apa yang aku katakan!" tegas Damar membuat air mata Serra kembali jatuh mendapatkan kata-kata pedas itu.
"Moodku benar-benar berantakan," ucapnya kesal menutup laptopnya dengan kasar dan langsung pergi keluar dari kamar yang kembali membanting pintu.
Bersambung....
Serra memejamkan mata dengan air mata yang masih mengalir di pipinya, setiap kali mencoba untuk membicarakan pernikahan mereka dan Serra hanya akan mendapatkan kata-kata yang sangat tajam itu yang begitu menyakiti hatinya.
"Apa aku memang tidak pantas untuk menjadi istrinya? Apa aku memang kurang bersabar, lalu berapa lama lagi aku harus menunggu semua ini. Aku tahu Mas Damar terpaksa menikah denganku, tetapi aku sudah mencoba untuk melakukan sebaik mungkin di rumah ini. Aku melakukan banyak hal untuk membuatnya senam dan berusaha sebaik mungkin menjadi istri yang dia inginkan,"
"Tapi semua yang aku lakukan hanya percuma. Jika Mas Damar tidak pernah memberi kesempatan pada dirinya dan mencoba untuk menerima pernikahan ini," ucap Serra dengan berlinang air mata.
***
Karena pertengkaran dengan suaminya yang membuat Damar tidak kembali ke kamar dan entah di mana Damar, karena Serra juga tidak mendengar suara mesin mobil. Tetapi tetap saja dia menunggu suaminya dengan gelisah yang tidak bisa tidur.
Matanya berulang kali melihat jam yang menggantung di dinding. Tangannya sejak tadi memegang ponsel yang ingin menghubungi Damar tetapi takut salah.
"Apa yang harus aku lakukan?"
"Jika Mas Damar belum pulang dan mana mungkin aku bisa tidur," ucapnya dengan menghela nafas.
Sementara Serra yang gelisah memikirkan suaminya dan ternyata sang suami sedang enak-enakan berada di dalam kamar Maya yang meletakkan kepalanya di atas paha Maya yang mana keduanya sama-sama berada di atas ranjang dengan tangan Maya yang mengusap-usap rambut Damar.
"Sayang bukannya kamu mengatakan ingin mengerjakan laporan yang diminta Om. Bram?" tanya Maya.
"Bagaimana aku bisa mengerjakan semua itu, sementara wanita itu sudah mengganggu pikiranku," jawabnya dengan kesal.
"Tapi bukankah kamu yang mengatakan jika Kakek akan kembali dari Amerika. Lalu bagaimana jika pekerjaan kamu tidak beres. Dia bisa berubah pikiran untuk mengalihkan Perusahaan ke tangan kamu. Kamu bahkan sudah berkorban menikahi wanita itu," ucap Maya memberi ingat
"Maya apa kamu tidak bisa berhenti untuk tidak membicarakan wanita itu hah! Kepalaku benar-benar sakit. Aku sama sekali tidak peduli mau Kakek pulang atau tidak," ucap Damar.
"Wanita itu memang sangat menyebalkan. Aku juga begitu kesal tadi pagi dengannya. Dia seenaknya menyuruhku mencuci piring dan hanya karena satu piring saja menceramahiku dengan sesuka hatinya," ucap Maya dengan wajah kesalnya yang membuat gambar melihat serius ke arah Maya.
"Apa maksud kamu? Dia mulai berani berbicara kasar kepada kamu?" tanya Damar.
"Serra bukan wanita yang polos-polos amat. Sepertinya dia mencurigai hubungan kita, memang kamu tidak melihat gerak-geriknya bagaimana. Dia juga berbicara padaku dengan nada mengintimidasi," jawab Serra.
"Wanita itu benar-benar tidak tahu diri. Aku tidak peduli dia mengetahui hubungan kita atau tidak dan biarkan saja dia tahu agar dia sadar diri bahwa dia tidak ada apa-apanya dibandingkan kamu!" tegas Damar.
"Aku sama sekali tidak pernah takut dan tidak merasa jika kita berhubungan secara diam-diam. Tapi bagaimana jika dia mengadukan kepada Kakek. Bukankah itu akan menjadi masalah besar?" tanya Maya
"Wanita itu tidak akan berani bicara apapun. Aku yang mengaturnya," jawab Damar dengan yakin yang membuat Maya tersenyum miring.
Karena tidak bisa tidur membuat Serra keluar dari kamar yang merasa tenggorokannya sangat kering yang ingin mengambil air minum. Langkah Serra terhenti ketika pintu kamar Maya terbuka yang ternyata bukan Maya yang keluar dari kamar dan melainkan Damar.
Hal itu membuat Serra kaget dan Damar katanya juga tidak peduli jika istrinya mengetahui bagaimana dia dan Maya memiliki hubungan gelap dan ternyata dia juga cukup kaget.
"Ma-mas kenapa bisa dari kamar Maya?" tanya Serra terbata dengan jantungnya berdebar begitu kencang.
Damar terlihat kelimpungan harus menjawab apa. Apa yang dia katakan di dalam kamar ternyata tidak sama ketika benar-benar ketahuan oleh Serra.
"Apa yang kamu pikirkan?" tanya Damar.
"Serra tidak memikirkan apapun jika Mas bisa menjawab kenapa bisa keluar dari kamar Maya?" tanya Serra.
"Kau memikirkan bahwa aku ada apa-apa dengan Maya?" tanya Damar.
"Maka itu jawablah kenapa bisa keluar dari kamar Maya. Ini sudah malam dan aku sejak tadi menunggu Mas di dalam kamar dan aku pikir Mas pergi dan ternyata sejak tadi berada di kamar Maya dan untuk apa?" tanya Serra dengan suara sedikit keras yang menggebu-gebu berbicara.
Wajar saja dengan perasaan yang tidak enak.
"Pelankan suaramu apa kau ingin membangunkan semua orang di rumah ini hah!" ucap Damar menekan suaranya mengingatkan istrinya itu.
"Kalau begitu jawab kenapa Mas ada di kamar Maya!" tegas Serra.
"Ada apa sih! kenapa harus ribut-ribut," Maya yang keluar dari kamar membuat mata Serra melihat ke arah Maya dengan penampilan Maya yang cukup seksi menggunakan baju tidur tanktop di atas pahanya.
"Apa yang baru saja kalian lakukan?" tanya Serra yang langsung pada intinya.
"Apa maksud mu? Kau berpikiran jika aku dan Maya..."
"Kamu baru saja keluar dari dalam kamarnya dan katakan kenapa bisa keluar dari kamar Maya hah?" Serra dengan tegas memotong kalimat itu.
"Ada apa ini ribut-ribut?" Niken yang sangat terganggu tidurnya yang akhirnya keluar kamar dan bukan hanya Niken saja, ada juga Netty dan Andre.
"Serra suara kamu sejak tadi kedengaran ke kamar. Suami saya sedang tidur. Kamu bisa tidak pelankan suara kamu!" tegas Niken.
"Maaf. Jika Serra dan mengganggu semua tidur orang yang ada di rumah ini. Serra hanya kaget saja kenapa Mas Damar keluar dari kamar Maya," jawabnya dengan suara bergetar.
Niken melihat ke arah Damar dan juga Maya, sebagai seorang wanita dari ekspresi Niken juga seperti merasa ada sesuatu.
"Tante! Serra sangat berlebihan sekali. Mas Damar hanya mengambil file dokumen yang tadi aku kerjakan. Dia sudah berpikiran buruk dan bukankah biasa saja jika aku masuk ke dalam kamarnya dan begitu juga dengan dia. Apa yang aneh sih," sahut Maya.
"Apa dengan mengambil file dokumen sampai berjam-jam?" tanya Serra
"Serah sudah cukup! kamu jangan membesarkan masalah. Kamu tidak dengar apa yang dikatakan Maya bahwa Damar hanya mengambil file dokumen dan lagi pula kamu itu kenapa pikirannya kotor sekali hah! mereka ini sepupu dan Maya sudah lama di rumah ini dibandingkan kamu. Jadi kamu jangan membuat masalah yang tidak penting!" tegas Niken yang malah membela Damar dan juga Maya.
"Tapi...."
"Sudahlah kamu sebaiknya tidur agar besok pagi tidak terlambat bangun. Jangan gara-gara kamu semua orang di rumah ini beraktifitas terlambat!" tegas Maya tidak ingin mendengarkan apapun dari Serra yang akhirnya membuatnya berlalu.
"Ya ampun kak Serra berlebihan deh, kirain ada apa dan ternyata hanya seperti itu saja. Kakak jangan mengganggu tidur Netty!" ucap Netty yang juga meninggalkan tempat itu
"Huhhhh!" Andre juga ikut-ikutan tanpa berbicara apapun dan hanya menguap.
Sementara Serra melihat kembali ke arah Damar dan juga Maya dan lihatlah bagaimana tatapan Maya seolah ingin menantang dirinya.
"Sudah puas kamu buat semua orang di rumah ini bangun hanya karena pemikiran kamu?" tanya Damar.
"Apa sama jika aku curiga dengan apa yang dilakukan suamiku?" tanya Serra.
"Aku tidak memiliki waktu untuk berdebat dengan mu!" tegas Damar yang juga meninggalkan Serra.
Bersambung ...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!