Hujan mengguyur pelataran rumah besar keluarga Elvaro di ujung senja. Langit seolah turut berkabung, seperti para pelayat yang mengenakan pakaian hitam dan wajah duka. Di tengah ruang utama, sebuah peti mati kayu eboni berdiri tegak, diapit bunga lili putih dan doa yang lirih. Di dalamnya, terbaring jasad pria yang selama ini menjadi pilar keluarga Arvano Elvaro, ayah dari Xandrian Elvaro.
Xandrian berdiri tanpa ekspresi di sisi peti, setelan jas hitam pekat melekat sempurna pada tubuh tinggi dan tegapnya. Wajahnya dingin, nyaris tak tergoyahkan oleh kesedihan. Tapi sorot matanya menyimpan banyak luka yang tak terucapkan.
"Tuan Xandrian," panggil notaris tua yang berdiri tak jauh darinya. "Ada hal penting yang harus segera Anda dengar. Ini permintaan terakhir almarhum."
Tanpa menjawab, Xandrian hanya mengangguk kecil. Beberapa menit kemudian, ia duduk bersama notaris dan para pengacara keluarga di ruang kerja sang ayah. Ruangan itu masih menyimpan aroma khas tembakau dan kayu mahal.
Notaris membuka map cokelat dan mulai membacakan isi surat wasiat. Suaranya tenang, namun tiap katanya menghantam dada Xandrian seperti palu.
"Sebagai permintaan terakhir saya, saya mewariskan seluruh saham Elvaro Group kepada putra saya, Xandrian Elvaro, dengan satu syarat ia harus menikahi adik tirinya, Nadiara Elvano, dalam waktu tiga bulan setelah saya wafat. Jika tidak, seluruh warisan akan dibekukan dan dialihkan kepada pihak luar."
Ruangan hening. Mata semua orang tertuju pada Xandrian, termasuk mata tajam Tante Mirana, ibu tiri Xandrian sekaligus ibu kandung Nadiara.
"Ini konyol," ucap Xandrian datar namun penuh tekanan.
"Ayah pasti sudah gila saat menulis ini."
"Maaf, Tuan, tapi ini dokumen hukum yang sah," jawab notaris dengan tenang.
Xandrian menatap keluar jendela, hujan masih belum reda. Lalu pikirannya melayang ke sosok yang sudah bertahun-tahun tidak ia lihat Nadiara.
Gadis itu bukan lagi remaja kecil yang sering mengikutinya diam-diam. Ia telah tumbuh, dan kabarnya kini tengah menempuh pendidikan di London.
Tiba-tiba pintu terbuka. Sosok ramping dengan rambut panjang kecokelatan masuk pelan. Matanya sembab. Wajahnya pucat.
"Nadiara..." bisik Xandrian, nyaris tak percaya.
Nadiara berdiri di ambang pintu, menatap Xandrian dengan campuran amarah dan kesedihan.
"Aku datang karena Papa... bukan karena kamu." gugup Nadiara, kata-kata itu seperti tamparan keras.
Tapi Xandrian tak bergeming. Ia hanya menatapnya, diam-diam terkejut dengan perubahan adik tirinya itu. Ada sesuatu dalam sorot mata Nadiara yang membuatnya gelisah. Dulu, ia hanya menganggap gadis itu sebagai pengganggu kecil yang cengeng.
Tapi sekarang...
"Kamu tahu isi wasiat itu?" tanya Xandrian.
Nadiara mengangguk.
"Aku tahu. Dan aku tidak akan melakukannya." ucap Nadiara sambil menundukkan kepalanya
"Kalau begitu, kau akan kehilangan semuanya. Termasuk rumah ini, masa depanmu, dan warisan Papa." ucap Xandrian dengan tajam
"Biar saja. Aku tak butuh harta yang datang dari paksaan." balas Nadiara tanpa melihat wajah Xandrian
Perdebatan mereka berhenti saat Tante Mirana masuk dengan senyum penuh kepalsuan.
"Anak-anak... jangan bertengkar. Ini adalah amanah terakhir Arvano. Kalian hanya perlu menikah secara hukum. Toh, kalian tidak benar-benar akan menjadi pasangan suami istri." ucap Mirana
Xandrian menoleh cepat. "Aku tak pernah melakukan sesuatu setengah-setengah. Jika aku menikah, aku akan menjalaninya sepenuhnya."
Nadiara terkejut. Jantungnya berdetak keras. Ada sesuatu dalam nada suara Xandrian yang membuat tubuhnya gemetar.
"Lakukan kalau kau berani," tantang Nadiara lirih.
Xandrian berdiri, mendekat satu langkah. Hanya berjarak sejengkal dari wajah Nadiara.
"Kita lihat saja nanti, adik Kecil. Kita lihat... siapa yang lebih takut menghadapi kenyataan."ucap Xandrian dengan nada dingin namun tajam.
Beberapa hari berlalu sejak pembacaan wasiat. Media mulai mencium aroma warisan Elvaro Group. Xandrian, dengan dingin dan tegas, mengurus segala urusan bisnis dan pengacara. Tapi ada satu hal yang terus mengganggu pikirannya: tatapan mata Nadiara saat menolak ide pernikahan itu. Tatapan yang pernah ia lihat, jauh sebelum ini saat gadis kecil itu pertama kali mengaku menyukainya.
Kini, undangan pernikahan telah dicetak. Pernikahan hukum akan diadakan secara privat, hanya dihadiri pihak keluarga dan pengacara. Nadiara belum memberi persetujuan resmi. Tapi waktu terus berjalan.
Di malam menjelang hari keputusan, Nadiara berdiri di balkon kamarnya, memandang bulan. Hatinya bimbang. Ia benci Xandrian. Ia takut pada perasaannya sendiri yang belum mati. Tapi lebih dari itu ia merasa ditinggalkan lagi. Kali ini oleh sang ayah, dalam bentuk janji yang mengguncang seluruh hidupnya.
Dan ketika ia kembali masuk ke dalam kamar, selembar surat telah terselip di bawah pintu.
"Besok jam 9 pagi. Aku akan menunggumu di altar, apapun keputusanmu. — X"
Tubuh Nadiara melemas.
Apakah ini jalan menuju kehancuran? Atau awal dari akhir yang selama ini ia takuti?
Gedung pernikahan itu berdiri megah di tengah kota, dikelilingi pagar besi tinggi dan pohon-pohon beringin tua yang menjulang. Tapi tak ada tawa, tak ada haru. Hanya wajah-wajah datar yang hadir karena undangan, bukan karena cinta. Sebuah upacara hukum yang dirancang seperti bisnis. Formal. Dingin.
Langit di luar mendung, awan pekat menggantung seolah turut berduka atas sebuah ikatan yang tak berakar dari cinta. Angin sore berembus pelan, membawa aroma hujan yang menyesakkan. Seolah alam pun tahu bahwa hari ini bukan awal dari kebahagiaan, melainkan sebuah perang sunyi yang baru dimulai.
Xandrian berdiri di altar, gagah dalam setelan hitam dan dasi abu gelap. Bahunya tegap, tatapannya lurus ke depan, tapi tak seorang pun bisa menebak isi pikirannya. Wajahnya seperti batu: tak tergoyahkan, dingin, nyaris kejam. Di belakangnya, dua pengacara dan satu sekretaris keluarga mencatat setiap momen. Mereka bukan saksi cinta, tapi penjaga warisan.
Lalu pintu utama perlahan terbuka, dan semua mata menoleh.
Langkah kaki terdengar menyusuri lorong ruangan. Suara sepatu hak tinggi menggaung dalam keheningan. Dan di sana, berdiri Nadiara, dalam gaun putih sederhana tanpa renda atau pernak-pernik. Tak ada mahkota, tak ada hiasan mewah. Hanya dia, dengan wajah yang pucat namun mata yang menyala tegas. Setiap langkah yang diambil terasa seperti beban batu yang dipikul di dadanya. Ia bukan pengantin yang bahagia. Ia seperti seseorang yang berjalan menuju takdir yang tak bisa dihindari.
Ketika ia tiba di altar, mereka berdiri bersebelahan. Tapi tak ada tangan yang saling menggenggam. Tak ada tatapan. Bahkan hembusan napas pun terasa seperti silet yang mengiris ruang di antara mereka.
Lalu suara pendeta memecah keheningan.
"Saudara Xandrian Elvaro dan Saudari Nadiara Elvano, apakah Anda menyetujui pernikahan ini sesuai dengan syarat hukum yang telah diatur dalam surat wasiat Arvano Elvaro?"
Sunyi. Waktu seperti berhenti. Lalu
“Saya setuju,” jawab Xandrian, tajam, tanpa ragu.
Nadiara memejamkan mata sejenak, mengambil napas panjang. Dalam hati, ia mengucapkan selamat tinggal pada kebebasannya, pada mimpinya yang dulu ingin ia bangun di London.
"Saya juga," katanya akhirnya, pelan namun jelas.
Pena digoreskan. Tanda Tangan dibubuhkan. Notaris mengesahkan. Dan hanya dalam waktu kurang dari sepuluh menit, mereka resmi menjadi pasangan suami istri di atas kertas.
"Selamat," ujar notaris datar. Tapi tak satu pun dari mereka yang tersenyum. Bahkan tepuk tangan pun tak terdengar. Yang ada hanya diam. Yang menggema hanyalah kesepakatan dingin dan takdir yang tak bisa dihindari.
Usai pernikahan, mobil hitam membawa mereka kembali ke rumah besar keluarga Elvaro. Sebuah mansion yang tampak megah di luar, tapi dingin dan hampa di dalam. Seperti museum warisan keluarga yang tak pernah benar-benar jadi rumah.
Tak ada resepsi. Tak ada pelukan selamat. Tak ada ciuman. Bahkan tak ada bunga yang ditabur.
Malam turun dengan cepat, membawa kesunyian yang menyesakkan. Rumah itu seakan menjadi labirin tak bernyawa.
Nadiara berdiri di depan pintu kamarnya, memandangi lorong panjang yang remang. Pintu lain di ujung koridor terbuka: kamar Xandrian. Cahaya dari dalam menyorot siluet tubuh pria itu. Pandangan mereka bertemu sejenak hanya sejenak.
"Kita sudah menikah. Tapi aku harap kamu tetap jaga jarak," kata Nadiara, suaranya rendah namun tajam, seperti pedang yang diselipkan di balik gaun pengantin.
Xandrian tak tersenyum. Tak juga tersinggung. Ia hanya mengangguk pelan. "Jarak itu bukan masalah, Nadiara. Yang berbahaya adalah kalau kamu ingin mendekat."
Itu bukan ancaman. Itu peringatan. Tapi juga pengakuan terselubung akan kegoyahan yang mulai tumbuh di antara mereka.
Nadiara menutup pintu kamarnya perlahan. Tapi malam itu ia tidak tidur.
Di balik dinding, Xandrian juga terjaga. Ia duduk di dekat jendela, menggenggam gelas berisi bourbon, menatap langit malam yang mulai diguyur hujan. Di balik kaca, pantulan wajahnya terlihat rapuh sesaat—tak seperti Xandrian Elvaro yang dikenal publik.
Ia telah menikahi Nadiara. Secara hukum. Tapi perasaannya justru makin kacau. Ada bagian dalam dirinya yang ingin menghancurkan jarak. Tapi ada juga bagian yang takut. Takut jika perasaan itu nyata. Dan lebih takut lagi jika itu berbalas.
Sementara itu, di ruang bawah, seorang wanita paruh baya sedang menyusun sesuatu di balik layar.
Tante Mirana.
Dengan secangkir teh yang sudah mendingin di tangannya, ia membaca ulang berkas-berkas legal dari kantor pengacara. Matanya penuh siasat.
Ia tidak pernah benar-benar ingin Nadiara menjadi bagian dari keluarga Elvaro.
Dan ia akan memastikan, bagaimanapun caranya, bahwa gadis itu tak akan bertahan lama dalam rumah itu.
Langit malam menggantung tanpa bintang. Rumah keluarga Elvaro sunyi seperti kuburan, hanya suara angin dan denting jam dinding tua yang sesekali terdengar. Setiap detiknya terasa seperti ketukan pelan di dada, mengingatkan mereka bahwa waktu berjalan tapi luka belum sembuh.
Di dalam kamar pengantin yang luas dan mewah, dua manusia duduk dalam diam. Tak ada tawa. Tak ada percakapan ringan seperti sepasang suami istri yang baru saja sah. Hanya dingin. Hanya canggung. Hanya bayang-bayang masa lalu yang merayap di dinding kamar.
Xandrian duduk di sisi jendela. Kemeja putih yang dikenakannya terbuka dua kancing atas, memperlihatkan sedikit dada bidangnya. Tapi tak ada kesan menggoda dari sosok itu malam ini. Ia tampak letih. Mata tajamnya menatap kosong ke luar jendela, ke arah taman yang diterangi lampu temaram. Gelas kristal di tangannya hanya setengah terisi bourbon, namun ia belum menyesapnya lagi sejak sepuluh menit lalu.
Di sisi lain ruangan, Nadiara duduk di ujung ranjang. Diam. Gaun tidur berwarna krem yang menempel di tubuhnya dipilihkan oleh pelayan, ringan dan tipis. Tapi bukan itu yang membuatnya menggigil. Udara di kamar ini seolah membeku. Seperti ada sesuatu yang tertahan. Meledak, tapi tak pecah.
"Aku bisa tidur di sofa kalau kamu tak nyaman," kata Xandrian pelan, akhirnya memecah kesunyian. Suaranya serak, nyaris berbisik, tapi terdengar jelas.
Nadiara tidak menoleh. Ia hanya menggeleng, pelan namun tegas. “Aku tak ingin berhutang apa pun padamu,” jawabnya datar.
Xandrian mengalihkan pandangan, menatapnya. Ada sorot terluka yang singkat melintas di matanya. Tapi segera ia kembali seperti semuladingin, tak terbaca.
“Aku tidak menginginkan tubuhmu, Nadiara. Setidaknya… bukan malam ini.”
Nadiara akhirnya menoleh. Mata mereka bertemu. Ada kemarahan samar di wajahnya, tapi lebih banyak luka.
“Bukan malam ini?” katanya. “Tapi akan ada malam berikutnya? Begitu maksudmu”
Xandrian tidak menjawab. Ia hanya meneguk bourbonnya, lalu meletakkan gelas di meja kaca dengan suara pelan yang justru terdengar mengganggu keheningan. Hening kembali mengisi ruangan, lebih menyesakkan dari sebelumnya.
Beberapa menit kemudian, Nadiara bangkit. Ia berjalan ke sisi ranjang, menarik selimut dengan tangan gemetar lalu berbaring membelakangi Xandrian. Bahunya naik-turun menahan napas yang berat. Ia terlihat kuat, tapi suara yang keluar dari bibirnya retak, nyaris seperti doa yang dikutuk
“Kalau memang harus terjadi aku harap kamu tak membuatnya menyakitkan.”
Xandrian berdiri perlahan. Suara lantai kayu berderit samar di bawah pijakannya. Ia mendekat. Tapi bukan untuk berbaring. Ia hanya berdiri di sisi ranjang, menatap tubuh mungil Nadiara yang terbungkus selimut. Tubuh itu menggigil, bukan karena dingin tapi karena takut.
Ia tidak menyentuhnya.
“Kamu pikir aku pria macam apa?” tanyanya, datar namun lirih.
“Pria yang menikahi adik tirinya demi warisan,” jawab Nadiara tajam, tanpa menoleh.
Ada jeda. Panjang. Sangat panjang.
“Dan kamu wanita yang menandatangani pernikahan demi amanah ayahmu,” balas Xandrian. Suaranya tidak menyindir. Tidak menyakiti. Hanya mencerminkan kenyataan.
“Kita berdua sama buruknya, Nad.”
Kemudian, ia perlahan duduk di tepi ranjang. Tidak terlalu dekat. Tapi cukup dekat untuk melihat bagaimana tubuh Nadiara mencoba menahan isak yang tak mau keluar.
Ia menghela napas pelan. Tangannya menarik selimut itu sedikit lebih naik, menutupi bahu wanita yang pernah ia tolak bertahun lalu wanita yang sekarang menjadi istrinya, tanpa ia tahu bagaimana cara memperlakukannya.
Kemudian, tanpa menyentuh kulitnya, tanpa mencoba mencium, ia hanya berbisik
“Istirahatlah. Malam ini tak akan ada yang menyakitkan. Kecuali kenangan.”
Ia berdiri. Pelan-pelan. Lalu melangkah pergi.
Pintu kamar tertutup pelan.
Nadiara menangis diam-diam di bawah selimut. Tanpa suara. Hanya air mata yang mengalir perlahan ke bantal satin. Ia tak tahu kenapa hatinya justru lebih sakit oleh kelembutan lelaki itu, daripada jika ia dipaksa. Ia berharap ia bisa membenci Xandrian sepenuhnya. Tapi kenyataannya hatinya mengkhianatinya.
Dan di balik pintu yang tertutup, Xandrian berdiri lama. Menatap gagang pintu seperti menatap dosa sendiri. Ia tak tahu kenapa ia begitu takut untuk masuk ke ranjang itu. Bukan karena nafsu yang ditahan. Tapi karena rasa bersalah yang tak bisa ditebus.
Ia memejamkan mata. Di luar, hujan mulai turun. Tetesan air membasahi kaca jendela.
Malam pertama itu berakhir tanpa sentuhan. Tapi bukan berarti tanpa luka.
Dan di sisi lain rumah, di ruang baca pribadi yang tertutup rapat, Tante Mirana membuka kembali kotak tua yang berisi surat, dokumen, dan... rahasia masa lalu.
“Selamat datang di rumah Elvaro, Nadiara,” gumamnya pelan, sinis.
“Semoga kamu kuat. Karena malam ini hanyalah permulaan.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!