NovelToon NovelToon

Terjebak Istri Bayangan

HTA1

Maya terbangun dari tidurnya, sayup-sayup suara azan subuh terdengar membelah langit Jakarta.

"Sudah lama aku enggak shalat subuh. Tapi diri ini terlalu kotor, ya Allah..." gumam Maya lirih. Tatapannya kosong, raut wajahnya muram, dan hatinya terasa hampa.

Maya, gadis desa yang dulu rajin sholat berjamaah dan mengaji bersama kedua orang tuanya, kini hidup dalam dunia yang sama sekali berbeda.

Tiba-tiba, lengan seorang pria merangkul pinggangnya dari belakang.

"Malam ini kamu luar biasa, Sayang. Aku puas banget!" bisik Alan dengan nada genit penuh hasrat.

"Aku mandi dulu ya, sekalian masakin sarapan buat kamu!" balas Maya genit, mencium lembut dahi Alan.

"Siap, Sayang!" jawab Alan sambil tersenyum manis dan mengelus rambut Maya penuh rasa cinta.

Dalam keheningan pagi, air shower membasahi tubuh Maya. Namun, air mata kesedihan terlihat tak berhenti mengalir dari matanya. Ia terduduk di sudut kamar mandi, bimbang dengan pikirannya sendiri.

Kata-kata orang tuanya kembali terngiang:

"Nak, segeralah resign dari kantormu itu dan pulang kampung. Kami ingin menjodohkan mu dengan anak sahabat kami. Dia lelaki sholeh, sudah bekerja tetap. Cocok untukmu."

Hati Maya semakin kacau.

"Alan adalah pria yang nyaris sempurna. Ia memberi cinta, kemewahan, dan kepuasan, tapi sampai hari ini, ia tidak pernah bicara soal pernikahan. Hiks..." Maya menutup wajahnya, tangisnya pecah.

Awal pertemuan. Alan tertarik dengan Maya. Demi posisi sebagai sekretaris umum dan kehidupan mewah yang ditawarkan Alan. Maya rela menjadi budak nafsu Alan. Selama enam bulan, mereka hidup bersama tanpa ikatan pernikahan. Maya melayani Alan seperti suami sendiri, tidak pernah menolak permintaan pria itu.

"Sarapan sudah siap, Sayang. Bangun, ya!" ucap Maya lembut, membelai hidung Alan dengan manja.

Alan tertawa bahagia, membalas tingkah Maya dengan pelukan dan gelak tawa. Keduanya sempat berguling di tempat tidur, dipenuhi canda mesra.

"Mandiin aku, dong!" pinta Alan manja. Ia pun menggendong Maya ke kamar mandi. Maya tersipu.

"Kamu jahil!" ucapnya, menjepit dagu Alan dengan dua jarinya dan melontarkan senyum menggoda.

Cinta dan nafsu kembali menyatu dalam kamar mandi pagi itu. Alan begitu berhasrat kepada Maya.

Di depan cermin, Maya membantu Alan mengenakan dasi.

"Kamu cantik," puji Alan.

"Gombal!" jawab Maya, tersipu.

"Di kantor kamu jutek banget sama aku."

"Hahaha... padahal aslinya beda, kan?" celetuk Alan.

"Bread and coffee!" seru Maya menyajikan sarapan.

"Terima kasih, Sayang. Oh iya, nasi goreng kamu semalam enak banget! Kayaknya koki Rani berhasil ngajarin kamu."

Maya tersenyum bangga. Alan memang menyewa koki profesional untuk mengajarinya masakan internasional. Seminggu sekali, Maya juga melakukan perawatan kecantikan. Liburan ke luar negeri dan barang-barang mewah jadi bagian dari hidupnya bersama Alan.

Namun pagi itu berbeda.

"Alan, aku mau bicara," pinta Maya.

"Hmm?" sahut Alan sambil menikmati roti panggang.

"Dua hari lalu, orang tuaku menyuruhku pulang dan resign."

Alan mulai fokus.

"Kenapa? Bisa dijelaskan lebih rinci?"

"Mereka ingin menjodohkan ku dengan anak sahabat mereka."

Alan terdiam.

"Kamu bisa menolaknya kan?"

"Aku enggak bisa, kecuali kamu menikahi aku."

Alan menatapnya, tajam.

"Sejak awal, kita sepakat tanpa pernikahan. Dan kau menyetujuinya."

"Aku tahu..."

"Keputusan tetap ada padamu. Tapi jangan pernah tuntut aku menikahi mu."

"Berarti selama ini kamu tidak mencintaiku..." suara Maya lirih.

"Apakah cinta harus selalu lewat pernikahan? Banyak juga yang menikah lalu bercerai!"

"Tapi setidaknya kamu jadi suami yang sah di mata keluargaku... dan di mata Tuhan."

"Jangan ajari aku soal pernikahan, May. Aku sudah gagal dua kali. Jika kau mau menikah dengan pria pilihan orang tuamu, silakan. Tapi jika kau pergi, kau tidak berhak atas apapun yang kuberikan. Dan masih banyak wanita lain yang bisa menggantikan mu!"

Alan berdiri, meninggalkan Maya begitu saja.

"Alan!" panggil Maya, suaranya parau.

"Ternyata... dia memang tidak pernah mencintaiku... hiks... aku lelah..."

Ponsel Maya bergetar. Nama adiknya, Roy, muncul di layar.

"Ada apa, Roy?"

"Kapan Mbak pulang?"

"Nanti Mbak kabari ya!"

"kamu butuh uang?" tanya Maya.

(Maya menanggung semua kebutuhan biaya sekolah adiknya)

"Nggak... cuma mau bilang, Mbak harus segera pulang dan nikah sama Mas Adly."

"Kalau Mbak nolak?"

"Tadi malam Ibuk baru pulang dari rumah sakit."

"Ibuk sakit apa?" tanya Maya mulai khawatir.

"Maag nya kambuh. Gara-gara ada warga kampung yang bilang kerja Mbak di Jakarta itu..."

"Me... mereka bilang apa?" Maya gugup dan panik

"Mereka bilang... Mbak jual diri di kota. Tapi Roy nggak percaya gitu aja. Makanya Mbak harus pulang dan menikah, biar berita itu hilang."

Maya memejamkan mata.

"Pasti ada yang bocorkan... Aku merasa tidak bisa menghindar lagi," gumam Maya.

"Baiklah... Mbak akan pulang dan menikah." ucap Maya pasrah.

--

Hari itu Maya memutuskan untuk tidak masuk kantor. Ia mengendarai mobil sportnya menuju sebuah rumah mewah, rumah yang diyakininya menjadi sumber tersebarnya aib pribadinya.

Mobil Maya meluncur mulus memasuki halaman rumah. Seorang ajudan membukakan pintu dan mempersilakannya masuk. Tak lama, muncullah seorang wanita cantik berwajah campuran Asia Timur.

“Maya!” sambut Shela Nadine dengan senyum cerah. Wanita berdarah Korea-Indonesia itu adalah seorang dokter kandungan sekaligus teman dekat Maya, juga orang yang selama ini menangani program penundaan kehamilannya bersama Alan.

“Apa kabar?” tanya Shela.

keduanya sudah mulai jarang bertemu karena Kesibukan masing-masing.

“Baik,” jawab Maya singkat, dingin.

“Silakan duduk say. Mau minum apa?” Shela tetap ramah, seraya duduk santai di sofa.

Maya tetap berdiri. Sorot matanya tajam, suaranya tegas.

“Menurutku, hanya kamu yang tahu soal hubunganku dengan Alan. Tapi entah bagaimana, kabar itu sudah terdengar samar-samar di kampung ku. Bahkan ibuku mulai curiga!"

Shela terdiam sejenak. “Aku tidak mengerti maksudmu.”

“Aku tidak mau memperpanjang urusan. Tapi sebagai seorang dokter, kau seharusnya tahu batas profesionalisme. Rahasia pasien adalah harga mati,” ucap Maya dengan nada menahan emosi.

"Apalagi kau adalah sahabatku, salah satu orang ku percaya!" Nada datar Maya penuh kekecewaan.

Wajah Shela mulai gugup. Tubuhnya bergeser tak nyaman di sofa.

“Aku tahu kau menyukai Alan. Tapi tenang saja, aku sudah selesai dengan semua ini. Aku akan kembali ke kampung dan menerima perjodohan keluargaku. Namun satu pintaku, Shela... tolong hentikan. Hapus aib itu. Biarkan aku pergi dengan tenang.”

"Darimana kamu tahu kalau aku menyukai Alan?" tanya Shela, berdiri dari duduknya dengan gugup.

Maya menatapnya tenang. "Kita sama-sama wanita, Shela. Aku bisa melihat dari cara kamu memandang Alan... tatapan itu tidak bisa disembunyikan."

Shela menunduk, rona malu bercampur sesal terlihat di wajahnya. "May... maaf, aku terlalu ceroboh. Aku tidak bermaksud menyakitimu."

Maya tersenyum samar, meski matanya tak bisa menyembunyikan luka. "Tidak apa-apa. Aku rasa... kalian memang cocok. Dan mungkin, kamu memang lebih pantas untuk mendampingi Alan."

"Aku sangat kecewa, shela seharusnya kau jujur, bukan begini caramu!"

Tanpa menunggu jawaban, Maya berbalik dan melangkah pergi meninggalkan kediaman Shela, membawa serta hati yang kembali retak.

"Aku merasa kau bukanlah sahabat tapi lawan yang mengerikan!" gumam Maya.

*

*

"Cerita Novel hanya karangan author. Mohon maaf jika terdapat banyak kesalahan."

HTA2

Pukul 17.08 WIB

PT Anugerah RVC, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang otomotif.

Saat Alan Andrew melewati ruang kerja sekretariat umum, matanya langsung tertuju pada kursi kosong milik Maya Puspita. Hatinya sontak merasa janggal.

"Maya tidak masuk hari ini?" tanyanya pada Jacob, sang asisten.

"Maya izin, Pak. Katanya sedang tidak enak badan," jawab Jacob singkat.

"Em," respon dingin Alan.

"apa karena obrolan tadi pagi?" pikirannya.

Alan menolak ajakan pesta ulang tahun temannya di bar malam itu. Ada keresahan yang menggantung di benaknya. Ia memilih pulang lebih awal, pikirannya penuh kekhawatiran soal Maya.

Sesampai di apartemen, suasana terasa sepi. Maya tidak ada. Namun, yang mengejutkan, Alan menemukan selembar kertas di atas meja. Sebuah surat pengunduran diri dari perusahaan yang ditandatangani oleh Maya Puspita.

“Jadi dia benar-benar serius ingin menikah?” gumam Alan berusaha untuk tidak yakin. Namun Matanya menatap kosong, pikirannya mulai dihantui banyak tanya. Siapa pria itu? Apa Maya sungguh-sungguh ingin mengakhiri semua ini?"

Alan menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri dengan membersihkan tubuh dan berganti pakaian. Tapi benaknya tetap penuh gejolak.

Tak lama kemudian, Maya pulang. Wajahnya pucat, lesu, dan tampak penuh kecemasan. Seakan membawa beban berat dari kampung halamannya.

"Untuk pertama kalinya kamu pergi tanpa memberitahuku, hanya bilang sakit?" suara Alan tenang namun penuh tekanan.

"Hubungan kita sudah berakhir, Alan. Aku akan pergi dari sini," ucap Maya dingin dan tegas.

Spontan, Alan meraih tangan Maya dan menciumnya dalam kepanikan.

"Lepaskan, Alan!" Maya mendorong dada lelaki itu, menolak dengan sisa tenaganya. Tapi yang paling kuat saat itu bukan fisik Maya, melainkan tekadnya untuk benar-benar pergi.

Malam itu.

Alan tidak perduli pada tangisan atau penolakan Maya. Ia memaksa wanita itu untuk kembali melayani nafsunya seperti biasa, mengabaikan luka yang pura-pura tidak terlihat, hingga hasrat Alan puas.

“Alan... Alan...” suara Maya nyaris tak terdengar, lemah dan penuh luka.

“Bisakah kau berhenti melakukan 'ini' padaku?” ucapnya lirih, tubuhnya gemetar menahan tangis

"Aku... mau menikah, Alan..." Air mata Maya mengalir pelan di pipinya yang pucat.

Alan mendekap wajah Maya dengan tangannya, mengusap air mata itu dengan jemarinya, lalu membisikkan kata-kata penuh hasrat.

“Aku yakin tidak akan ada pria yang bisa membahagiakanmu dengan harta dan cinta... selain aku.”

"Aku benci padamu, Alan!" seru Maya dengan suara bergetar, menyimpan luka dan gejolak di dalam dadanya.

"Percayalah, sayang... Pernikahan itu cuma sepasang buku usang tanpa arti. Isinya kehilangan tanggung jawab dan pengkhianatan. Hubungan kita, meskipun tanpa ikatan, justru lebih jujur. Apapun yang kau inginkan, akan aku berikan."

Alan tersenyum samar, lalu mengelus lembut dahi Maya, seolah kata-katanya bisa menenangkan badai di hati perempuan itu.

--

Keesokan paginya, Alan berangkat dalam perjalanan dinas ke luar kota selama tiga hari.

Di saat yang sama, Maya telah mengambil keputusan bulat: ia akan mengundurkan diri.

Meski hatinya remuk dan diliputi kekecewaan, Maya tetap menjalankan tugasnya sebagai staf sekretariat dengan penuh tanggung jawab. Ia merapikan setiap dokumen, menyelesaikan pekerjaan tepat waktu, dan menjaga sikap profesional hingga hari terakhir bekerja. Seolah tidak ada yang berubah, meski di dalam dirinya semua telah runtuh.

Kini Alan telah kembali dan tengah berada di ruangan kantornya.

Setelah semua pekerjaan Maya selesai, wanita itu memberanikan diri dengan tekad yang kuat melangkah masuk ke ruang Alan.

“Aku sudah menyelesaikan semua tugasku,” ucapnya tenang namun tegas.

Alan menatapnya lekat-lekat, suaranya naik satu oktaf dalam kepanikan.

“Pekerjaanmu tidak mungkin selesai secepat ini. Dan surat pengunduran dirimu... aku tolak! Jangan pernah pergi dari ku!” kata Alan.

Alan menyodorkan selembar dokumen: surat kepemilikan toko baby shop atas nama Maya Puspita, yang rencananya akan segera launching. Itu adalah impian Maya sejak lama. Ia bekerja keras di kota demi mengumpulkan modal untuk membuka toko perlengkapan bayi. Tapi Alan mewujudkannya secara instan dengan satu tujuan: mengikat Maya agar tetap bersamanya.

“Maaf, Pak. Saya tetap mengundurkan diri,” jawab Maya mantap.

Alan bangkit dan memeluk Maya dari belakang. Deru napasnya terdengar liar di telinga wanita itu. Alan menarik Maya untuk kembali bercinta seperti biasa di kamar khusus ruangan Alan.

Namun Maya langsung menolak dan melepaskan diri.

“Kalau kamu resign, kau tidak berhak membawa apapun dari pemberianku!” ucap marah Alan.

“Tidak masalah. Aku tetap pergi. Hubungan kita sudah berakhir,” tatap Maya dingin dan penuh ketegasan. Ia melangkah menuju pintu keluar.

“Sial!” Alan menghardik, menendang kursi hingga terlempar. Maya tersentak, namun tak membalikkan tubuhnya.

Alan begitu anggap remeh dengan Maya. Baginya Maya hanya perempuan biasa yang bisa dikendalikan dengan harta.

“Dan kau pikir aku tidak bisa mencari pengganti sepertimu?” bentak Alan, emosinya meledak.

Maya menoleh sejenak, bibirnya menyunggingkan senyum tipis tanpa menoleh lagi. Maya memilih pulang lebih awal.

--

“Jacob!” teriak Alan dari ponselnya.

“Saya, Pak!” sahut Jacob datang dengan tergopoh-gopoh.

“Maya Puspita akan menikah. Selidiki siapa calon suaminya,” pinta Alan.

“Baik, Pak!” jawab Jacob cepat, segera melacak informasi yang diminta.

Alan menjatuhkan tubuh lemas nya di sofa. Ia tidak bisa berpikir jernih, pekerjaan kantor tidak lagi menarik perhatiannya. Pikirannya hanya dipenuhi oleh satu nama yaitu Maya.

Jacob adalah orang kedua yang paling mengetahui hubungan gelap antara Alan dan Maya.

Pukul 17.08 WIB.

Sesampainya di apartemen, Maya mengambil barang-barang miliknya. Ia berdiri di tengah ruangan yang dulu penuh kenyamanan, namun kini terasa dingin dan kosong.

Perasaannya jenuh dan hancur. Ia sadar bahwa semua yang ia lakukan selama ini hanyalah sia-sia. Alan hanya menginginkan tubuhnya bukan hatinya, apalagi menjadi istri sahnya.

"Selamat tinggal, Alan. Dan... terima kasih atas segalanya," bisiknya lirih, memandangi interior mewah yang telah menemaninya selama enam bulan terakhir.

Karena sudah terlalu malam, Maya memutuskan untuk menginap di kost temannya. Keesokan paginya, ia naik bus ekspres menuju Jawa Tengah, tempat ia dibesarkan dan memulai kembali kehidupannya dari awal.

Di dalam bus, Maya duduk di dekat jendela. Tatapannya menerawang, menembus kaca, menyatu dengan bayang-bayang kenangan.

"Aku berharap kisahku dengan Alan hanyalah mimpi. Mimpi indah yang terlalu panjang menidurkan ku dari kenyataan. Tapi sekarang, aku sudah terbangun... dan harus menghadapi hidup yang sesungguhnya."

Kenangan bersama Alan mengalir di kepalanya, tawa, canda, kemesraan yang sempat membuatnya merasa seperti istri sungguhan. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Hatinya remuk, campur aduk dengan kecewa, amarah, dan kehampaan. Namun Maya sadar, meski berat, langkahnya sudah tepat.

HTA3

Kepergiaan Maya membuat Alan mencoba mengalihkan kesepian dengan tenggelam dalam pekerjaannya hingga pukul 20.07 malam. Namun sayangnya dia tetap tidak fokus dengan pekerjaannya. Terganggu dengan kepergian Maya.

Di balik temaram cahaya lampu kantor, Alan duduk termenung sendirian. Wajahnya muram, menyimpan beban masa lalu yang membuatnya trauma akan sebuah pernikahan. Alan memandangi tiket paket liburan honeymoon ke Jepang untuk bulan depan yang sudah ia siapkan bersama Maya. Selama menjadi kekasih Maya, Alan rutin setiap bulan melakukan liburan itu layaknya pasangan suami istri yang sedang kasmaran.

Meskipun sebelumnya Alan sudah dua kali menikah. Ia belum pernah merasakan hasrat sedalam itu terhadap wanita, bukan sekadar keinginan jasmani, tetapi juga kehausan akan kebersamaan dan hanya Maya yang bisa mengerti. Ketulusan hati wanita itu berhasil menjerat hati sang Bos, membuat Alan tenggelam dalam cinta yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Ketegangan memuncak saat Jacob memasuki ruangan Alan dengan membawa informasi yang telah ditugaskan kepadanya.

“Pak, identitas calon suami Nona Maya sudah kami dapatkan,” ucap Jacob, menyerahkan berkas yang disusun rapi. “Namanya Adly Hanif, staf administrasi di PT Andara, salah satu anak perusahaan kita di Jawa Tengah. Ayahnya, Bagas Kusuma yang juga mantan karyawan keuangan di PT Anugerah RVC lima tahun lalu."

Alan membaca sekilas data itu, lalu tersenyum kecil, senyum yang meremehkan.

“Pria ekonomi low dan masih dalam lingkaran perusahaan ku?” gumam Alan sinis. “Mustahil dia bisa memberi Maya kehidupan nyaman seperti yang pernah aku berikan.”

Alan melemparkan berkas itu ke meja sambil mendesis lirih,

“Maya itu sudah terbiasa hidup dalam kemewahan... Sial, aku harus bersaing dengan pria sekelas kerikil!” gumam angkuh Alan.

“Terima kasih. Kau boleh keluar. Aku ingin sendiri,” kata Alan datar mengabaikan Jacob.

Jacob mengangguk, namun sebelum melangkah keluar, ia berkata;

“Oh iya, Pak. Hari ini Nona Maya resmi mengundurkan diri dan telah kembali ke kampung halamannya di Jawa Tengah. Perlu saya hubungi untuk kembali ke Jakarta?”

Alan menggeleng perlahan.

“Jangan. Aku yakin, dia akan datang dengan sendirinya.”

“Baik, Pak. Saya permisi.”

Setelah pintu tertutup, Alan berdiri membisu di depan jendela. Ia menyalakan sebatang rokok, mengisapnya perlahan sambil menatap gemerlap lampu kota yang bersinar di balik malam. Asap rokok melayang tenang, kontras dengan pikirannya yang penuh gejolak.

Di balik sorot matanya yang tampak tenang, tersembunyi sebuah senyuman tipis, bukan karena bahagia, melainkan keyakinan bahwa semua masih dalam kendali.

“Kita lihat saja, May... Pada akhirnya kau akan datang mengemis lagi untuk ku.”

--

Pukul sembilan malam, Maya tiba di halaman rumah yang telah lama tidak ia kunjungi.

Hawa desa yang sejuk ternyata tidak mampu menenangkan kegelisahan hatinya. Langkah kakinya terhenti saat melihat kedua orang tuanya, Ardi dan Maryam, berdiri menantinya di teras.

Tampak Roy, adik laki-lakinya, mengangkat koper Maya ke dalam rumah. Ia tersenyum kecil saat melihat kakaknya, meski sorot matanya menyimpan kekhawatiran.

“Ibuk, Bapak...” sapa Maya dengan suara pelan dan kaku.

Tatapan ibunya dingin, sorot matanya penuh kekecewaan. Wajah Maryam tidak mampu menyembunyikan luka akibat kabar miring terhadap Maya yang sudah beredar luas di desa mereka.

“Benarkah, Maya?” tanya ibunya lirih, namun menusuk. “Apa yang dikatakan warga...kamu jual diri di kota?”

Maya terpaku. Tubuhnya kaku, jantungnya berdegup tak karuan. Ia belum sempat membuka mulut ketika Roy memotong dengan nada tegas.

“Buk! Mbak baru saja sampai. Biarkan dia istirahat dulu!” ucapnya, membela sang kakak.

Maya menatap ibunya, matanya berkaca-kaca. Dalam hatinya, ia masih percaya bahwa Shela akan membersihkan namanya. Ia hanya perlu waktu.

“Itu semua cuma fitnah, Buk. Maya nggak seperti itu,” jawab Maya, mencoba menyembunyikan dan meyakinkan ibunya.

Maya mengerti ibunya baru saja pulang dari rumah sakit. Ia tak ingin kondisi sang ibu makin memburuk karena aibnya.

Namun Maryam masih bungkam. Hingga suara Ardi, ayah Maya, memecah keheningan.

“Kamu ini lebih percaya omongan orang lain daripada anakmu sendiri. Maya kerja banting tulang di kota demi kita hidup layak di kampung ini. Kamu nggak bersyukur?” hardik Ardi.

Maya menunduk, merasa bersalah, ia menyesali perbuatan bodohnya. Maya sudah merobek kepercayaan keluarga yang cukup besar terhadap dirinya.

“May, masuk dulu ke kamar. Istirahatlah,” perintah sang ayah dengan nada lembut.

“Terima kasih, Pak,” ucap Maya pelan, mencoba menyembunyikan gejolak hatinya.

Sesampainya di kamar lamanya, Maya langsung duduk di kasur tua yang penuh kenangan masa kecil. Ia meraih ponselnya, lalu mengetik pesan kepada Shela.

“Shela, tolong bersihkan namaku. Aku nggak mau keluarga ku menderita karena semua ini, kau boleh temui Alan kapan pun kau mau, aku nggak akan ganggu kalian. Cukup... jangan hancurkan nama baik orang tua ku.”

Beberapa menit kemudian, Shela membalas singkat:

> “Syaratnya, jangan pernah hubungi Alan lagi.”

Jantung Maya terasa diremas. Tapi ia tak punya pilihan.

> “Baiklah, Shel.”

Maya mengirimkan pesan itu dengan berat hati. Bukan karena ia masih mencintai Alan, tapi karena ia merasa bersalah telah menyeret keluarganya dalam pusaran aib .

Maya merebahkan tubuhnya menatap langit-langit kamar. Di luar, suara jangkrik malam dan angin yang menggoyangkan pohon bambu seperti ikut menangisi nasibnya.

Maya mulai larut dalam penyesalan yang menyesakkan dada.

“Apa yang sebenarnya aku dapatkan? Cinta yang tidak pernah terbalas, tubuh yang ternoda, dan harta yang tidak kunjung ku genggam. Justru keluargaku yang harus menanggung malu karena aibku.”

Maya menggertakkan gigi, matanya mulai berkaca-kaca hingga menetas.

“Betapa bodohnya aku… Rela menjadi budak dalam sangkar”

"Dasar perempuan tidak berguna!" hardik Maya untuk dirinya.

Maya dihantui rasa ketakutan, gelisah dan rasa bersalah terhadap keluarganya.

--

Malam semakin larut di Jakarta. Di sudut bar eksklusif yang remang, Alan Andrew duduk sendirian. Kemeja nya kusut, dasinya longgar, matanya merah menahan amarah dan kehilangan. Tangannya memainkan gelas whiskey yang sudah tak bersisa, sementara pikirannya tenggelam jauh ke masa lalu.

Di kejauhan, dua orang pengawal pribadi dan Jacob, asistennya, tetap berjaga. Mereka mengerti, malam ini bukan malam biasa. Alan sedang dalam kondisi terburuknya.

Alan memejamkan mata. Bayangan Maya muncul lagi, tawa lembutnya, sentuhan hangat di pagi hari, dan cara gadis itu memakaikan dasi dengan senyum indahnya. Selalu menjadi penawar manis dikala Alan dalam kepahitan. Semua kenangan itu menghantam batinnya seperti gelombang pasang.

“Kenapa kamu pergi, May...” gumam Alan dalam hati, sesak.

Tiba-tiba, sebuah tangan halus menyentuh bahu Alan. Ia perlahan menoleh. Seorang wanita cantik berdiri di sana, mengenakan gaun merah elegan dan parfum yang menyengat manja menggoda. Senyum genit menghias wajahnya untuk Alan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!