Sinopsis
Dealova Salsabila, gadis cantik yang memiliki segudang bakat. Pandai menari tradisional dan modern, melukis, membuat puisi dan novel, pandai memasak dan membuat kue, membuat handy Craft dan... segalanya. Seakan seluruh anggota tubuhnya memiliki mantra ajaib yang bisa merubah sesuatu yang biasa menjadi luar biasa.
Namun takdir Dealova tidak seindah bentuk tubuhnya dan tidak semulus pipinya yang bercahaya. Dia mengalami banyak hal menyakitkan yang membuatnya harus bertahan dan kuat menjalani kehidupan yang keras.
Perjalanan hidup membawanya mengenal sosok yang ia benci namun akhirnya sangat ia cintai dan juga mencintainya.
Dea merasakan cinta yang sesungguhnya, dilindungi, diratukan dan diperjuangkan.
Devano Anggoro, Lelaki tampan, karier sebagai abdi negara cemerlang dan memiliki segalanya, namun terjebak dalam kehidupan rumah tangga yang toxic bersama Kasandra Wijaya. Wanita manipulatif, manja, otoriter, pendendam dan angkuh.
Masa lalu Devan sangat kelam, ia memiliki ibu kandung yang dibuang oleh keluarga juga suaminya sendiri. Lantas Devan hidup bersama papa kandung yang otoriter dan ibu tiri yang kejam sejak usia remaja.
Devan berharap pernikahannya dengan Kasandra bisa membuka lembaran hidup lebih baik dan bisa membawa ibu kandungnya hidup bersama... Namun pernikahannya dengan Kasandra justru membuatnya semakin jauh dari ibu kandungnya dan Devan seakan terjebak dalam masa lalu.
Hidup bagi Devan hanya pengulangan sejarah masa lalu. Dia nyaris frustasi, karena cita-cita ingin membahagiakan ibu kandungnya terhalang banyak hal.
Kasandra bukan istri yang tepat untuk mewujudkan cita-citanya.
Hingga akhirnya Tuhan mempertemukan Devan dengan sosok perempuan yang sudah 'dihancurkan' oleh takdir.
Perjalanan cinta mereka terhalang oleh kebencian yang tanpa sengaja ia gores sendiri di dada sang pujaan hati dengan begitu dalam. Devan harus berjuang keras untuk mendapatkan kembali pujaan hatinya, meski jabatan dan kasih sayang putrinya harus ia pertaruhkan.
Akbar Mahendra, lelaki tampan yang memiliki keahlian menembak, ia seperti reinkarnasi dari tokoh dunia Simo Häyhä dan dijuluki Malaikat pencabut nyawa di kesatuan tempatnya berdinas.
Ia sangat mencintai Dealova, namun perasaan cintanya tidak mampu menjaga kehormatan sang kekasih hati, ia justru orang yang paling menghancurkan hidup Dealova dan menorehkan luka paling dalam di hati kekasihnya.
Berkali ia bersimpuh meminta maaf pada Dealova, keadaan tidak juga memihak padanya. Akbar, lagi dan lagi meninggalkan Dealova dan sang buah hati demi kehormatan keluarga juga kariernya di masa depan.
Takdir tidak mempertemukan mereka menjadi sebuah keluarga yang harmonis. Kehadiran Akbar dalam hidup Dealova hanya meninggalkan luka yang terbingkai menjadi kenangan buruk, bagai lukisan pemandangan yang salah dalam memberi warna, terpatri dalam kenangan berirama melodi duka.
Akbar adakah luka yang tidak bisa Dea benci.
Tokoh
Protagonis Perempuan
Nama : Dealova Salsabila
Usia : 21Tahun
Karakter : Lembut, baik, tulus, rajin, pemalu, ceroboh, tegas jika ia benar.
Pekerjaan : Penari dan Trainer
Protagonis Pria
Nama. : Devano Anggoro
Usia. : 35 tahun
Karakter : Tegas, teguh pendirian, dominan, bertanggung jawab, keras kepala, pekerja keras dan penyayang.
Pekerjaan : Abdi Negara (Komandan Akbar)
Antagonis Pria
Nama : Akbar Mahendra
Usia. : 27 tahun
Karakter : Baik, setia, pandai merayu.
Pekerjaan : Abdi Negara, pangkat Letnan dua
Antagonis Perempuan
Nama : Kasandra Wijaya
Usia. : 34 tahun
Karakter : Keras kepala, manipulatif, Otoriter, angkuh dan pendendam.
Pekerjaan : Pengusaha
...Awal Pertemuan...
Coffee Corner Cafe, Semarang, Tahun 2018.
Triingg!
Suara bel dari kuningan berbentuk lonceng bergoyang menyentuh bandul besi pertanda pintu cafe dibuka, lalu pintu tertutup kembali dengan kasar.
Dea dan Budi saling bertukar pandang karena pengunjung cafe pertamanya terlihat tidak ramah.
Seorang pria matang berpakaian loreng, baru saja melewati pintu masuk lalu menghempaskan tubuhnya di sofa cafe yang empuk, ia duduk di sudut paling sunyi dengan wajah tegang, kedua alisnya nyaris bertaut dengan lipatan di dahi membentuk tiga garis lurus dengan tegas, seakan menegaskan ketegangan dan ruwetnya isi kepala menggelayut di wajahnya.
Sesekali ia berdengus kesal, mengusap wajahnya dengan kasar dan puncaknya ia menggebrak meja cafe karena kekesalannya sendiri. Untungnya cafe masih dalam kondisi sepi di pagi itu, hanya suara lembut penyayi Andmesh mengalun menyanyikan lagu Hanya Rindu dari audio speaker woofer yang diputar.
Cafe kecil itu tidak memiliki banyak karyawan, meski Dea seorang barista, dia juga bertugas menyambut dan mencatat pesanan pengunjung yang datang.
Dea mendekat dengan langkah ragu. "Selamat pagi... Selamat datang di cafe kami, namun mohon maaf, cafe kami baru saja buka. Beberapa menu belum ready pagi ini, hanya coffe latte brown sugar, Expresso dan Caramel macchiato, menu pastry— " ucap Dea dengan nada rendah
"Macchiato!" jawabnya singkat dengan nada tegas dan suara sedikit meninggi.
"Pastry atau menu lainnya?" tanya Dea lembut. Devan melambaikan tangannya tanpa menatap ke arah Dea.
"Baik, mohon ditunggu pesanannya." Dea segera mempercepat langkah untuk membuat pesanan pria itu.
Selama menunggu mesin penggiling coffee bekerja, Dea memutar otak bagaimana caranya membuat pria itu sedikit rileks dan amarahnya mereda.
Sebuah ide muncul, Dea menuliskan sesuatu di kertas tisu. Setelah itu ia memulai membuat art latte dengan gambar wajah seorang perempuan tua seperti yang ada di wallpaper pria tadi yang sempat ia lihat.
"Terkadang, menikmati kopi tidak se-merdu nyanyian Hanya Rindu yang dibawakan Andmesh. Sesekali kita hanya menyeruput hampa dari kerinduan yang semakin menjauh untuk di gapai.
^^^Jika secangkir kopi ini adalah rindu, sekali menyeruputnya adalah sebuah pertemuan "^^^
Begitulah pesan yang Dea goreskan di atas kertas tissue.
Dea melangkah ke meja pengunjung yang berbaju loreng tadi, pria itu sedang menutupi wajah dengan kedua telapak tangan, sikunya ditekuk sebagai tumpuan.
"Ini kopinya pak, selamat menikmati." Dea segera berlalu setelah meletakkan kopi dan kertas tissue yang sempat ia tuliskan pesan di atas meja.
"Hmm... " jawabnya tanpa menoleh.
Dea kembali ke meja bartender untuk menata pastry dan cake yang sudah diantarkan pemilik cafe.
"Dea, kapan kamu akan ambil cuti?" tanya Budi.
"Minggu depan mas, hanya empat hari aja kok," jawab Dea sambil membersihkan etalase.
"Keren kamu, masih muda tapi sudah bisa tampil di panggung nasional," seru Budi.
"Ya mas kalau bukan karena mba Larasati yang memintaku jadi penari pengganti untuk pembukaan Asean games di Palembang, aku juga nggak tahu apa keterampilan menari ku akan dilirik panitia," ucap Dea merendah.
"Yo nggak toh, karena kamu mampu makanya kamu yang dipilih mba Larasati, dek," ucap Budi.
Dea melebarkan senyuman hingga deretan gigi putihnya terlihat, "doakan acaranya sukses ya mas, semoga aku nggak mengecewakan mba Laras."
Budi menepuk lembut bahu Dea, "aku yakin kamu bisa Dea."
Sementara di sudut cafe, Devan mendengarkan perbincangan dua orang yang beberapa menit lalu menyita perhatiannya. Ia membaca berulangkali tulisan yang tergores di tissue. Ia juga memotret art latte yang bergambar wajah ibunya.
Kemarahannya mereda dengan perhatian kecil Dea.
Satu persatu pengunjung berdatangan mengisi kursi cafe yang hanya tersedia sepuluh table. Dea dan Budi mulai sibuk dengan pesanan pengunjung yang beragam. Di sudut cafe, Devan terus memperhatikan gerak gerik Dea dan Budi dengan tanda tanya yang merayap perlahan di benaknya.
'Apa mereka menulis pesan pada setiap pengunjung?' tanya Devan dalam hatinya.
Setelah memperhatikan gerak gerik kedua karyawan itu, bisa dipastikan sang pembuat art latte adalah Dea.
Devan melambaikan tangan ke arah Dea. Dengan senyuman profesional Dea menghampiri Devan. Pria itu menyandarkan punggungnya di sandaran sofa lalu melipat tangan di atas dada dengan salah satu kakinya di silangkan di atas kaki lainnya, sangat santai dan terkesan menguasai keadaan. Devan menatap Dea dengan intens lalu menarik nafasnya dalam-dalam.
"Sungguh cantik gadis ini," gumam Devan.
"Aku memesan hanya satu gelas kopi, tapi kamu buat gambar wajah ibuku di atasnya, kamu pikir aku tega merusak wajah ibuku dengan cara meminum kopi ini." Devan menunjuk cangkir kopi dengan dagunya.
Dea menepuk keningnya dengan wajah lugu, "maaf pak, saya tidak terpikirkan itu, saya akan ganti kopinya." Tangan Dea mengulur ingin menarik cangkir, tapi tangannya di tepuk Devan dengan gemas.
Dea menaikan pandangannya menatap wajah Devan yang begitu dingin, seketika rasa takut menghampirinya karena tatapan dingin Devan membekukan hatinya.
"Siapa nama kamu?" tanya Devan
"De-dea."
"Nama lengkap." titah Devan nada suaranya menggetarkan dinding di dada Dea.
"Dealova Salsabila." ucapnya dengan wajah menunduk.
"Sebagai gantinya, gambar wajah ibuku di sini, kalau gambarmu menyerupai wajah ibuku, kopi ini akan aku minum," ucap Devan sambil menyodorkan ponsel pintarnya.
Devan meminta Dea menggambar pada sebuah aplikasi di ponselnya.
"Baik, pak. Bolehkah saya melayani dua pembeli dulu, jadi saya mohon waktu." Dea setengah membungkuk di depan Devan. Pria itu hanya mengangguk seperti raja yang sedang memberi titah pada pengawalnya.
Dea segera menyelesaikan semua pesanan, lalu duduk di depan Devan untuk menggambarkan wajah wanita yang diakui Devan adalah ibunya, hanya sekali melihat wajah itu, Dea sudah merekamnya di kepala.
Tangannya lincah menari di atas layar ponsel Devan dengan bantuan stylus pen. Butuh waktu sepuluh menit gambar sudah selesai dengan detail yang sempurna.
Selama Dea menggambar, mata Devan tidak pernah lepas menatap wajah Dea yang teduh dan ia mengagumi keseriusan gadis itu dalam menyelesaikan tugas, sebenarnya Dea bisa saja menolak perintah Devan. Tapi entah mengapa gadis itu menuruti kemauan Devan.
"Selesai!" ucap Dea dengan mengulas senyuman, lalu mendorong ponsel ke arah Devan. Tatapan Devan jatuh ke layar ponsel, hatinya tersentuh. Namun ia menutupi perasaan haru di depan Dea.
Tangannya sedikit bergetar saat mengangkat cangkir macchiato, karena kerinduan pada sang mama menyerbu perasaannya saat itu. Dia menyesapnya hingga tandas tanpa sisa.
Secangkir macchiato buatan Dea membawa perasaan baru di hati Devan.
Ia lalu mengambil dompet di saku celana dorengnya. "Terima kasih untuk coffee, puisi dan yang paling istimewa adalah gambar ini," ucap Devan dengan penuh wibawa.
Devan menyodorkan uang lembaran seratus ribuan sebanyak sepuluh lembar di depan Dea. Belum sempat Dea menolak, Devan sudah melangkah pergi dengan langkah kakinya yang panjang.
"Gerakan dua, Tancep... ji, ro, lu. Ngleyek... Ji, ro, lu. Ngoyok... Ji, ro, lu... !" teriak Larasati memberi arahan saat latihan tari klasik gaya Jogjakarta.
("Gerakan dua, Berdiri sempurna, satu, dua, tiga. Lanjut miring kanan dengan halus... Satu, dua, tiga. Miring ke kiri... Satu, dua, tiga.)
Napas Dea masih terengah saat menghampiri Larasati, "nyuwun ngapura mba, aku telat," ucap Dea masih dengan napas tersengal.
Larasati melirik jam di pergelangan tangannya, "wes telat lima menit, tak hukum kamu Dea... Ngepel aula sampe bersih. Kamu itu inti di team, masih aja berani telat datang," sungut Laras dengan wajah tegas.
"Ngapunten mba."
"Wes sana cepat bergabung!" perintah Laras.
"Heh! Aku yang cuma cadangan aja datang lebih dulu, buatin mba Laras minuman dan bawain cemilan untuk mba Laras. Lah kamu... " sindir Liya, kesombongan mengintip dari kata-katanya.
Dea hanya diam tidak membalas dan merespon tatapan sinis atau apapun yang disindir rekan-rekannya.
"Sudah! Ojo koyo ning pasar, mingkem , tubuh dan tangan kalian yang bergerak!" tegur Laras.
Laras terus membandingkan gerak gemulai masing-masing murid binaannya, mau dijatuhkan seperti apapun Dea... Laras mengakui, gerakan Dea jauh lebih menonjol dari semua muridnya, tidak ada keraguan untuk tetap mengirim Dea pada acara pembukaan Asean games di Jakarta.
Tarian terus berlangsung hingga beberapa gerakan terlihat sempurna. Laras memberi waktu istirahat lima menit untuk para murid membasahi tenggorokannya. Liya menghampiri Laras dengan wajah penuh harap.
"Mba, mending aku yang dikirim ke pembukaan Asean games, Dea itu nggak bisa komitmen dan selalu telat."
"Keputusan ini bukan hanya dariku Liya, tapi dari koreografer acara yaitu mas Eko Supriyanto. Mereka yang menunjuk Dea langsung saat video aku kirimkan padanya. Dea akan menari di acara makan malam resmi para duta besar."
"Tapi mba, aku juga kepingin lho mba, jenengan sadulurku tapi malah milih orang lain," rengek Liya.
Laras melipat tangannya di atas dada memberi bombastis side eyes, "kamu ngaku saudara kalau ada butuhnya aja, dan kamu belum mengenal aku ternyata ya... " Laras lantas berdiri dan mengambil siap sempurna di depan murid-muridnya.
Prok prok
"Istirahat selesai! Latihan gerakan sembilan," teriak Laras setelah memanggil muridnya dengan tepukan tangan. "Dea kamu bergeser ke sebelah kanan untuk latihan tarian lain."
Mengambil lima langkah, Dea sudah di posisi yang dimaksud Laras. Tanpa di suruh, Dea langsung mengolah tubuhnya dengan tarian ronggeng Jakarta untuk persembahan tarian kolosal.
Malam Tragedi
Tubuhnya terasa remuk setelah seharian aktivitas, saat Dea menginjakkan kakinya ke di halaman rumah, ia sadar ada sesuatu yang lain di rumah mama dan papa tirinya. Rumah itu terlihat ramai dengan beberapa mobil terparkir. Namun, ia tetap memasuki rumah bernuansa klasik itu.
"Selamat malam... " sapa Dea saat melewati ruang keluarga.
Semua mata tertuju kepadanya. Dini lalu berdiri sambil mengulas senyuman, "Dea sini dulu."
Dea menghentikan langkahnya, lalu berbalik menatap ke arah mamanya, sekilas ia melirik beberapa empat orang pemuda sedang duduk berjajar di depan papa tirinya.
"Perkenalkan ini anak mama, maaf baru mengenalkan pada kalian, selama ini Dea tinggal bersama nenek dari papanya di Kalimantan. Setelah neneknya meninggal mama harus membawa Dea ke sini, karena papa Dea sudah lama meninggal jadi cuma mama yang Dea punya sekarang."
"Dea juga anak papa, kalian anggap Dea sebagai adik kalian juga," kata papa Syam.
Seorang pemuda berdiri berpakaian seragam sebuah sekolah kedinasan mengulurkan tangannya, "perkenalkan dek, aku Harry. Anak papa Syam pertama."
"Dea."
Seorang pemuda lagi berdiri, "Aku Harly!" ucapnya dengan cengkraman tangannya begitu erat.
"Dea."
"Mereka kembar Dea, sejak kecil mereka bagai pinang dibelah dua. Tidak pernah terpisah hingga masuk sekolah perguruan tinggi pun mereka harus bersama," ucap papa Syam.
"Dan, dua orang itu teman-teman kami. Kamu mau kenalan?" tanya Harry sambil menaikkan alisnya.
"Aku Ardan."
"Aku Naga, tapi bukan Nagabonar ya," canda Naga dengan dimple menghias senyumannya seperti penyanyi Afgan.
Dea hanya mengangguk dan memberi senyum tipis pada semuanya.
"Dea sini duduk dekat papa," ajak Syam.
"Aku di sini saja, Pa." tolak Dea dengan lembut.
Sudah satu tahun tinggal bersama mamanya, Dea memang belum bisa akrab dengan papa tirinya. Sekarang ditambah lagi kehadiran dua orang saudara tiri yang sejak kedatangannya selalu menatapnya dengan tatapan... lapar.
Sama halnya dengan tatapan papa Syam ketika hanya berduaan dengan Dea saat mamanya tidak ada di rumah.
"Kami bisa hidup akur Dea, aku dan mamamu bisa bersahabat, meskipun aku mantan istri dari Syam. Aku harap, kamu juga bisa akrab dengan kedua putraku," ucap Bu Dona sambil mengulas senyuman.
"Iya Tante." Dea menganggukkan kepalanya.
"Jangan panggil Tante dong, panggil mama Dona sayang... " Mama meralat ucapanku.
Sejak dulu Dea tidak suka dengan persahabatan mamanya dengan Bu Dona, ada sesuatu yang mereka sembunyikan dari semua orang dan hanya Dea yang tahu. Namun, Dea tidak bisa berbuat banyak karena saat ini ia masih hidup bergantung pada mama dan juga papa tirinya.
Makan malam berjalan dengan keheningan, hanya denting alat makan terdengar lembut menjadi melodi. Makan malam yang sangat kaku, khususnya bagi Dea. Setelah membantu merapihkan alat makan dan sisa masakan, Dea naik ke lantai dua untuk segera membersihkan diri dan beristirahat.
Di dalam kamar, ia menata kembali isi koper yang akan dibawanya ke jakarta besok lusa. Acara pembukaan Asean games satu Minggu lagi, namun ia harus sampai sebelum acara gladi kotor dan gladi bersih dilaksanakan.
Setelah semua selesai, ia beranjak ke cermin untuk memakai krim wajah dan racikan penghalus kulit yang biasa dibuatkan almarhum neneknya, ramuan khas Kalimantan buatan neneknya sudah turun temurun bermanfaat untuk menghaluskan kulit.
Berjalan ke jendela, Dea melihat kedua Kaka tirinya masih di teras bersama kedua temannya. Harry mengangkat wajahnya ke atas dan melambaikan tangan ke arah Dea. Lalu Ardan dan Harly mengangkat gelas kecil ke arah Dea seakan mengajak Dea untuk cheers jarak jauh. Di meja teras sudah berserakan botol-botol minuman keras dan makanan ringan.
Dea mengalihkan pandangannya ke langit, termenung di pinggir jendela. Dia tersenyum tipis menatap langit yang ditaburi bintang dan rembulan yang menyala dengan bentuk sempurna. "Papa, Ambuy... Dea kangen kalian. Mama sudah bahagia bersama suami barunya, tapi mengapa hati Dea tidak bisa menerimanya, Pa... Mbuy. Dea tidak bisa merasakan kebahagian di sini," ucapnya lirih.
Jam 23.00 Dea baru bisa memejamkan matanya, entah mengapa sejak tadi perasaannya gelisah dan di hantui perasaan was-was yang berlebihan... tidak ia mengerti, bahwa itu adalah sebuah pertanda bahwa musibah terburuk akan ia alami dan akan merubah jalan hidup selanjutnya.
Menjelang pagi tidur Dea terusik dengan gerakan di kasurnya, tubuhnya terasa bergoyang-goyang, di kala matanya masih belum sempurna terbuka. Ia melihat sebuah bayangan begitu dekat dan menindih tubuhnya dengan aroma minuman keras yang khas.
Mata Dea membulat saat ia merasakan kedua tangannya terikat di kepala ranjang dan kakinya ditindih sesuatu. Di depan wajahnya, sebuah kepala terbungkus topeng dengan kedua mata memerah sedang menatapnya dengan tatapan gelap. Dea berteriak, namun mulutnya sudah ditutup lakban dengan ketat.
Airmatanya terus mengalir memohon pertolongan, tatapan matanya terus memohon agar dilepaskan, ia terus berontak, menendang, dan berhasil! Sang pelaku terjungkal jatuh dari ranjang.
Merasa kesal karena bahunya di tendang Dea dengan begitu kencang, pelaku menarik tubuh Dea dengan kasar. Dea terus bergerak agar kakinya tidak dikunci oleh si pelaku, namun semua usahanya gagal.
Pelaku terus memberi cumbuan di sekitar wajahnya, turun ke leher dan dadanya hingga pelaku berhasil meloloskan pakaian yang membungkus bagian bawah Dea dengan begitu mudahnya. Perasaan asing terus timbul seiring dengan rasa marah yang tidak mampu ia luapkan.
Perasaan itu bercampur saling tumpang tindih, antara penolakan yang kuat dengan keinginan yang terasa samar. Dea tidak mengerti mengapa tubuhnya merespon seperti ini, satu hal yang ia tahu. Ia terluka atas pelecehan ini.
Dea sudah kehabisan tenaga untuk melawan. Airmata semakin mengering dengan keberanian yang kian menghilang.
Pelaku berhasil memasukinya dengan paksa, Dea menjerit sekuat tenaga yang tersisa meskipun ia tahu, itu hanyalah sia-sia. Lakban yang membelit di wajahnya tidak mengendur sama sekali. Dea menatap nanar mata yang mengibarkan bendera kemenangan.
Mata itu tertawa diiringi dengan desahan yang terus memburu dengan gerakan tubuhnya yang intens. Tatapan memohon di manik mata Dea bagaikan sebuah pil afrodisiak bagi pelaku, ia semakin mempercepat gerakannya hingga...
Kesadaran Dea menghilang.
Malam itu ada sesuatu yang retak di tubuh dan hatinya, sebuah luka baru yang tumbuh di atas luka yang telah ada.
Neraka di pagi hari...
Cahaya keemasan sinar mentari menusuk matanya yang sudah sembab dan bengkak, jendela kamar terbuka lebar hingga angin pagi menerbangkan tirai tipis di jendela kamarnya. Saat ia tersadar, lakban di mulutnya sudah tidak ada, ikatan di tangan hanya meninggalkan bekas memar keunguan di pergelangan tangannya.
Tubuhnya terasa remuk dengan kondisi pakaian yang tidak lagi utuh. Dea memaksakan tubuhnya untuk bangun dan memakai kembali pakaiannya yang berserakan di lantai.
Luka dan sakit di sekujur tubuh tidak seberapa sakit, jika dibandingkan hatinya yang kini telah retak, hancur sebuah harapan dan runtuhnya rasa percaya diri, bagaimana ia bisa melanjutkan hidup setelah ini.
Haruskah ia bangkit dan menganggap ini hanya musibah atau ia harus melawan?
Tapi melawan siapa? Dea tidak mengenali siapa pelakunya. Jantungnya berdetak kencang, menahan gemuruh yang ingin meledak.
Langkahnya tertatih saat turun ke lantai bawah untuk mengadukan semua kejadian semalam pada mamanya. Menuruni anak tangga terakhir Dea tertegun, semua orang sudah berpakaian rapih seakan ingin pergi ke suatu tempat.
"Nah ini tuan putri kita baru saja bangun!" seru papa Syam.
"Dea, kamu belum mandi sayang? Ayo cepat mandi kita akan berangkat ke Jakarta untuk mengantarkan kamu, papa minta di majukan satu hari keberangkatan kamu," ucap Dini lembut.
Dea berdiri dengan goyah, "Mama... A-aaku... Diperkosa." Airmata Dea jatuh dan tubuh lemahnya luruh terduduk di lantai.
Semua orang diam terpaku. Menatap Dea dengan wajah tidak percaya.
Hening
Hening. Puluhan detik terlewat dengan keheningan.
Harly berdiri, "hahaha ada drama queen di sini. Hey Dea! Jangan main watak ya! Cepat bangun, kita semua dibangunkan pagi-pagi demi mengantar kamu ke Jakarta!" cemooh Harly dengan tatapan penuh intimidasi.
Dini mengangkat tubuh Dea dengan amarah yang seketika menguasai dirinya.
Plak! Plak!
Tamparan dari telapak tangan mamanya mendarat di pipi Dea, "Jangan sembarang kamu Dea! Di sini laki-laki hanya ada tiga orang, kamu menuduh suami dan anak lelakiku?" bentak Dini.
Dea menatap wajah mama kandungnya dengan tatapan nanar. Ia mengusap pipinya yang terasa panas dan perih, hatinya semakin sakit mendapati kenyataan satu-satunya orang yang bisa ia harapkan untuk berlindung justru meragukan ceritanya.
"Kenapa mama tidak percaya aku, Ma?" ucap Dea dengan suara lirih.
"Karena kamu membuat cerita bohong! Kalau memang kamu diperkosa, kenapa tidak teriak! Kami semua ada di rumah semalam. Kamu bisa minta tolong pada kami!" maki Dini dengan amarah yang menyala.
"Tanganku diikat, mulutku dibekap dengan lakban. Aku sudah berusaha melawan, Ma. Tapi aku tidak berdaya. Mama lihat tanganku biru... " Dea menunjukkan pergelangan tangannya yang membiru.
"Halah! seperti mama tidak tahu kebiasaan kamu sejak kecil aja, Dea! Kamu sering ikat tanganmu sendiri kalau sedang tidur agar tidak garuk-garuk wajah kamu." Wajah Dini mencemooh dan menoyor kepala Dea.
"Dea nggak bohong, Ma," Dea mendongakkan kepala menatap wajah mamanya dengan wajah yang basah oleh airmata.
Hati Dea semakin sakit seiring hilangnya rasa percaya pada semua orang yang ada di ruangan itu.
"Kita periksa saja kamarnya, apa benar ada pemerkosa masuk diam-diam ke rumah kita, periksa semua CCTV. Kalau memang benar ucapan Dea, kita harus laporkan ini pada yang berwajib," ucap Dona mantan istri Syam dengan nada datar dan terlihat tenang.
"Papa akan visum Dea, ayo Dea ke ruang klinik papa." ucap Syam yang berprofesi dokter forensik di sebuah instansi.
Dea menggelengkan kepalanya dengan cepat, ia justru takut dengan papa Syam yang selama ini sering curi-curi kesempatan untuk selalu menggoda Dea.
"Hah! Terbukti sudah, dia hanya memainkan peran di sini. Kamu ingin menuduh kami kan?!" cecar Harly lagi.
Hanya Harry yang menatap Dea dengan tatapan iba, sejak tadi lelaki itu terlihat menutup rapat bibirnya.
'Apa yang harus aku lakukan Tuhan... ' lirih Dea menangis pilu di batinnya.
"Aku ingin lihat bahu kanan kalian!" teriak Dea sekuat tenaga, tatapan nyalang ia layangkan pada tiga orang laki-laki yang ada di ruangan itu.
"Aku menendang bahunya hingga ia terjatuh, pasti sekarang bahunya memar, Ma. Beri aku keadilan... " lirih Dea.
Kaki Harly goyah, tanpa sadar ia memundurkan kakinya setengah langkah.
Sementara Harry, wajahnya meringis menahan sesuatu hingga bulir-bulir keringat di keningnya mengalir ke pelipis.
Syam menelpon seseorang untuk datang ke kliniknya dan melakukan visum pada Dea.
Rasanya Dea ingin berteriak mengajukan protes, bukan seperti itu yang Dea inginkan, ia ingin di periksa di rumah sakit yang netral dimana tidak ada intervensi dari keluarga papa tirinya. Namun, Dea harus pasrah dengan keadaan. Karena mamanya tidak sama sekali mempercayai ceritanya.
Suasana kembali hening dengan tatapan intimidasi dari semua orang.
Dua orang nakes dari rumah sakit milik Syam datang dengan membawa alat medis untuk visum. Dea menggigil ketakutan karena ketua pelaksana visum adalah Syam sendiri, firasatnya mengatakan kalau ini hanyalah sebuah formalisme agar terkesan mereka peduli atau sedang berupaya menutupi kebenaran.
Tatapan Dona mengisyaratkan sesuatu yang gelap dan dalam, seperti ia sedang merencanakan sesuatu, entahlah.
Setelah melakukan visum, ketiga orang itu masuk dalam ruang kerja Syam, entah apa yang mereka bicarakan. Dea dibiarkan duduk sendiri di ruangan pasien dengan kemelut pikiran yang tak pernah padam.
Tatapan mata tidak percaya dari mamanya bagaikan serpihan tajam yang terus menggoreskan luka meninggalkan sayatan terdalam di kalbunya. Menyebar bagai kepingan nyeri yang menyesakkan dada.
Apa yang hancur hari itu tidak bisa lagi diperbaiki, apa yang hilang tidak mungkin akan kembali.
Mulut kehilangan eksistensinya, ketika bicara melahirkan kemustahilan saat diri 'terlihat baik-baik' saja, menurut mereka. Retakan di hatinya tidak ada yang mampu melihat, pondasi yang sudah ia bangun dengan kokoh seketika di hancurkan oleh jiwa yang gelap mata hatinya.
Dea memeluk kaki yang sedang di tekuk hingga menyentuh dadanya. Kini, jiwanya menetap pada tubuh yang tidak lagi ingin hidup. Menatap kosong ruangan dingin tanpa hangatnya belaian dan pelukan.
Di tengah badai yang beraroma busuk, tanpa suara, tanpa jerit keputusasaan, bisu di tengah gemuruh cacian... Merenung dalam diam dan tangisan batin yang kian lirih.
Apakah ini akhir segalanya? Atau ada jalan lain? Dimana suara gamelan itu mengalun? Dea ingin menari dalam tarian kesedihan dibawah guyuran hujan untuk menyamarkan airmata darah yang siap tumpah.
Tanpa sadar, kakinya menapak ke lantai marmer yang dingin. Ia melangkah keluar ruangan klinik dan terus berjalan tanpa menghiraukan tatapan, cacian dan bentakan semua orang yang ada di sana. Ia terus melangkah ke kamarnya. Tatapannya langsung tertuju pada ponselnya yang terus berdering.
"Hallo," jawab Dea dengan suara lirih nyaris tidak terdengar.
"Dea, kamu kemana aja sih. Mendadak jadwal keberangkatan di majukan. Kamu bisa ke sanggar sekarang nggak? jemputan dari dinas kebudayaan akan menjemput kita dua jam lagi."' Di seberang sana suara Laras terdengar panik.
"Mba Laras... Hiikkss hiikkss"
"Dee ... Kamu, kamu kenapa?"
"Jemput aku mba, A... Aku... Aku... Hikkss... Hiikss." Tangisan Dea terdengar semakin pilu.
"Dea dengarkan mba! Sekarang kamu siap-siap, apa pun masalahmu saat ini... Aku ingin kamu camkan kata-kataku Dea, hidup harus tetap berjalan. Kamu sudah di beri kesempatan yang paling berharga dalam hidupmu, jangan sia-siakan. Aku akan menjemputmu, Dea. Kita selesaikan masalah kamu sama-sama. Oke, nduk?!" Laras ingin memastikan Dea siap berangkat.
"Inggih mba." Dea menganggukkan kepalanya dengan lemah, meskipun ia tahu Laras tidak melihatnya, tapi Dea seakan menemukan secercah cahaya.
Ia segera turun dari kasur untuk mandi, membiarkan tubuhnya diterpa air shower yang terasa menusuk kulitnya, ia seakan jijik menyentuh kulitnya sendiri. Masih melekat dalam ingatannya bagaimana si pelaku menyentuh setiap inchi kulitnya.
Dea sadar, ia masih memiliki tanggung jawab yang besar. Mengemban tongkat estafet nama sanggar Larasati yang sudah besar di kalangan penari Nasional. Ia tidak boleh larut dalam kesedihan, meski dengan perasaan campur aduk, tubuh yang tidak lagi utuh dan hati yang remuk redam, ia kesampingkan dulu duka yang membelenggunya.
Ia turun setelah Laras mengabari sudah berada di depan gerbang rumah. Tanpa pamit dan menatap wajah mamanya, Dea terus berjalan melewati tatapan cemooh dan tatapan mengintimidasi.
"Dea! Mau kemana kamu?" cegah Dini.
"Lihatlah ratu drama kita, pagi-pagi bikin heboh dan sekarang... Luar biasaa! Gimana gak di perkosa pakaiannya minim seperti itu, mau jualan kamu!" sindir Dona.
Dea menoleh ke arah Dona, tatapannya tajam dengan gumpalan rasa kesal yang siap meninju wajah palsu wanita itu. "Sindiran Tante lebih tepat untuk Tante sendiri!" Tunjuk Dea di wajah Dona.
"Tante menjual mamaku demi memuluskan hubungan gelap tante dengan seorang bupati. Sayangnya wanita bodoh itu mau dijadikan alat untuk menutupi kebejatan sahabatnya!" Dea lalu menatap wajah mamanya dengan jijik.
Dea menarik langkahnya menjauhi kedua perempuan yang tidak pantas lagi disebut ibu.
Sekali melangkah keluar rumah, ia tidak akan pernah kembali lagi ke neraka itu. Sebuah tekad tumbuh tiba-tiba dari puing kehancuran hatinya pada wanita yang telah melahirkannya.
Setelah mobil melaju, ia tidak ingin lagi menoleh kebelakang meskipun terlihat dari spion, Dini mengejar dan memanggil namanya dengan pilu, lalu mamanya bersimpuh di atas aspal meratapi kepergian Dea.
"Usai sudah ikatan kita, Ma... Selamat tinggal!" gumam Dea.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!