NovelToon NovelToon

Theresia & Bhaskar

Pertemuan

Seorang laki-laki dengan buku catatan kecil di tangannya bersandar pada kursi restoran yang sengaja dipesannya di area outdoor. Mata lentik, rahang tercetak jelas, kulit kecokelatan serta lesung pipi yang samar-samar terlihat saat laki-laki itu merapatkan bibirnya.

Malam seakan-akan hanya sebuah warna hitam saja tanpa ada rasa kebahagiaan, suara keramaian serta tawa seperti suara nyamuk yang mengganggu. Laki-laki itu menatap sebuah jembatan yang menyatukan dua daratan dengan cahaya lampu kendaraan yang bergerak di sana.

Rasa kekecewaan yang mendalam dari masa lalu memang sulit dihilangkan, ataupun hanya sekedar tak terlintas untuk beberapa saat saja.

Suara pecahan gelas terdengar jelas dari dalam restoran yang membuat laki-laki itu membuka matanya melihat kaca tembus pandang yang berada tepat di belakangnya dari luar. Matanya melebar saat melihat seorang gadis berkali-kali menundukkan kepalanya untuk meminta maaf kepada seorang pelayan yang sedang membersihkan pecahan gelas di lantai.

“Maaf, Kak. Aku nggak sengaja,” kata gadis itu. Baju putihnya terdapat noda kecokelatan karena terkena tumpahan minuman yang dibawa si pelayan.

“Leta?” Bhaskar beranjak dari duduknya mengikuti langkah kaki gadis berbaju putih tersebut yang cepat keluar dari restoran.

Merasakan ada hal aneh di belakangnya, gadis itu langsung melirik sebuah kaca besar toko di sisi jalanan untuk melihat belakangnya. Dia hanya melihat seorang laki-laki yang turut berhenti saat langkahnya terhenti juga dan tidak ada rasa curiga mengenai laki-laki tersebut.

Dia melanjutkan langkah kakinya lebih cepat menuju sebuah jembatan yang tidak terlalu ramai kendaraan dan terlihat lega saat tiba di jembatan tersebut, seolah-olah beban pikirannya terjatuh saat di sana. Namun, setelah menghela nafas lega yang tidak dapat diartikan oleh seorang laki-laki yang sejak tadi mengikutinya. Gadis itu meletakkan tas kecilnya dan menaiki sisi jembatan dengan raut wajah pasrah.

“MAU NGAPAIN LO!”

Bhaskar menarik pinggang gadis berbaju putih tersebut saat gadis itu bersiap untuk melompat. Karena tarikannya terlalu kuat, itu membuat paha gadis itu sedikit terlihat olehnya. Dia langsung geram dan menampar pipi Bhaskar dengan keras.

Jujur saja, tamparan gadis itu membuat pipi Bhaskar panas karena saking kerasnya. Tapi laki-laki itu tidak mengindahkan tamparan tersebut, justru ia menarik gadis itu ke pelukannya yang membuat sang empu terkejut.

“NGAPAIN LO? MESUM? LEPASIN GUA, ORANG GILA!” Gadis itu memberontak dengan segala cara, bahkan dia mencengkeram bahu Bhaskar yang di mana kuku-kukunya akan menusuk kulit laki-laki itu.

Tidak ada pergerakan lainnya selain laki-laki itu semakin mengeratkan pelukannya. Dia langsung menendang tulang kering kaki Bhaskar yang membuat laki-laki itu langsung melepaskan pelukannya dan memegangi kakinya yang kesakitan. “Kok lo tega ke gua sih, Ta?”

Gadis itu membenarkan rambutnya dan menatap Bhaskar dengan geram. “Ta siapa? Dan lo juga siapa? NGGAK PUNYA SOPAN SANTUN! Tampangnya doang ganteng, tapi sopan santunnya minus.”

Bhaskar hendak mengejar gadis berbaju putih tersebut saat gadis itu berlari meninggalkannya. Tapi hanya beberapa langkah saja, rasa sakit di kakinya semakin terasa yang membuat Bhaskar menghentikan aksinya. Ia hanya bisa memandangi punggung gadis itu menjauh sembari berdesis kesakitan.

“LETA!” teriak Bhaskar, saat pandangannya memburam sebab dia rabun jauh. Ia ingin merogoh saku hoodie-nya guna menggunakan kacamata, tetapi sudah terlambat gadis itu sudah hilang dari pandangannya, meninggalkan rasa sakit di kakinya.

...••••...

Seusai pulang dari keluar rumah, Bhaskar langsung memasuki rumah dengan langkah kaki gontai, wajahnya tampak datar sembari melewati Bibi yang heran melihat majikannya bertingkah aneh. Wanita itu ingin mendekat dan menanyakan keadaan Bhaskar, tetapi laki-laki itu langsung berbalik seraya tersenyum tipis ke arahnya.

"Aku besok mulai sekolah, Bi. Tolong sarapannya lebih pagi lagi ya? Aku udah nggak ada liburan lagi," ucap Bhaskar.

"Baik, Den."

Ketika akan memasuki kamarnya, suara bel rumah mendadak berbunyi sehingga membuat Bibi berjalan cepat ke arah pintu. Namun, sebelum Bibi sampai, pintu itu terbuka dengan menampilkan seorang pria bertubuh tegap dengan membawa bingkisan entah apa itu isinya.

"Bhaskar di mana, Bi? Sudah makan?" tanya pria tersebut.

"Silahkan masuk, Tuan. Maaf, Den Bhaskar baru kembali setelah dari luar seharian, saya tidak tahu sudah makan atau belum." Bibi sedikit menundukkan kepala sembari mempersilahkan pria tersebut.

"Hai, Om! Makin ganteng aja, kangen sama aku ya?" tanya Bhaskar dari lantai dua. Ia mengubah raut wajahnya tersenyum ke arah pria yang sudah merawatnya dengan manis sebagai sambutan.

Sementara itu, Omnya meletakkan bingkisan di ruang tengah dan memberikan instruksi pada laki-laki di atas itu. "Om mau bicara."

Dengan nada bicara serius Om, itu membuat Bhaskar sontak berubah. Ia bergegas menuruni tangga dan duduk di sofa dengan tangan yang sibuk membuka bingkisan yang Omnya bawa.

"Apa? Soal apa?" tanya Bhaskar dengan santai.

"Besok-"

"Aku udah tahu, santai aja, Om. Aku udah gede, semuanya terkendali. Iyakan, Bi?" Bhaskar menatap ke arah bibinya yang datang sembari membawa nampan berisi teh.

"Bi, jangan terlalu memanjakan Bhaskar, Bibi bisa marah atau melarangnya untuk hal-hal yang tidak bagus," ucap Om yang melirik wajah senang ponakannya melihat nasi Padang di dalam bungkusan tersebut.

"Tapi Den Bhaskar sering di rumah, Tuan. Kalau keluar memang sangat lama bahkan sampai malam, tapi itu sangat jarang terjadi-"

"Lagian aku nggak punya temen di sini, aku habisin waktuku jalan-jalan sendiri. Pengen tahu lebih banyak sekitar sini," sahut Bhaskar yang langsung mendapatkan tatapan aneh dari pamannya.

Pria itu hanya menghela napas berat dengan menatap Bhaskar yang makan dengan lahap. "Maaf."

"Jangan bikin nafsu makanku ilang, Om. Udahlah, jangan dipikirin, yang sekarang ya sekarang, yang lalu yaudah berlalu."

Omnya mengerutkan keningnya bingung dengan sifat Bhaskar yang tiba-tiba berbeda. Namun, dari situlah pria itu lega sebab ponakannya tidak terjebak dan terus memikirkan perihal tersebut. Mungkin.

"Dari mana, Om? Kencan?" Bhaskar bertanya dengan mulut yang penuh.

Lantas, pertanyaan yang membuat Omnya kesal itu mendadak keluar lagi dari ponakannya. "Menurut kamu? Kalau udah selesai makan jangan langsung tidur, bersih-bersih sebelum tidur, jangan lupa siapin diri kamu buat besok. Jangan ada yang ketinggalan."

"Iya-iya, nggak percaya banget sama ponakannya yang ganteng ini."

Sudut bibir Omnya terangkat saat mendengar ucapan Bhaskar. Meski banyak hal yang ponakannya lalui, laki-laki itu tidak pernah berubah dan tetap menjadi dirinya. Ia bersyukur karena Bhaskar mau menjalani kehidupannya meski tidak memiliki orang tua dan hanya memiliki dirinya. Melihat Bhaskar yang makan dengan lahap saja sudah membuat hatinya lega setelah seharian penuh kesibukan.

Jangan pernah berubah, Bhaskar.

...••••...

...Bersambung....

Sekelas

Seorang gadis bernapas terengah-engah seraya berlarian kencang menuju gerbang yang akan tertutup. Tidak jauh darinya, terdapat seorang laki-laki yang mengayuh sepeda dengan kacamata yang ia kenakan.

"Aduh, Neng. Kenapa terlambat di saat hari Senin? Makin lama nanti hukumannya," ucap penjaga gerbang tersebut sembari menghampiri gadis yang menundukkan kepalanya seraya mengontrol pernapasannya, penjaga gerbang itu pun melirik laki-laki yang baru saja menghentikan sepedanya di belakang gadis itu. "Dan kamu yang di belakang boleh masuk duluan."

Gadis itu langsung menoleh ke belakang dengan seketika pandangan matanya bertabrakan dengan Bhaskar. Keduanya saling terkejut, bahkan ia memundurkan dirinya beberapa langkah.

"Lo-" Suara gerbang yang terbuka menghentikan Bhaskar untuk berbicara karena saking kerasnya suara gerbang besi itu dibuka.

Tampak Theresia terdiam dengan pandangan mata yang menatap Bhaskar. Laki-laki itu sempat tersenyum tipis ke arahnya sebelum menatap penjaga gerbang. Dan alis gadis itu naik saat pikirannya jatuh pada aksi dirinya yang semalam akan melakukan hal konyol di sebuah jembatan. Laki-laki itulah yang menarik dirinya agar tidak terjun dari jembatan tersebut.

Padahal jika dirinya berhasil melakukan aksi tersebut, mungkin sekarang ia sudah ditemukan hanyut dan tidak akan ada di sini dengan berseragam sekolah serta dalam keadaan terlambat.

"Biarkan saya mendapatkan hukuman pada murid yang biasa terlambat, Pak," kata Bhaskar.

"Tapi-"

"Saya juga murid biasa, jadi jangan beda-bedakan saya dengan murid yang lainnya," sahut Bhaskar sembari melirik gadis di depannya.

Tiba-tiba ada seorang wanita berkerudung dengan membawa buku yang biasa wanita itu bawa untuk mencatat nama-nama murid yang terlambat.

"Lho? Bukannya kamu Bhaskar, ya?" tanya wanita itu.

Bhaskar sedikit menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat dan menjawab, "Iya, Bu. Selamat pagi."

"Pagi juga. Theresia? Tumben kamu terlambat?" Wanita itu melihat gadis di depan Bhaskar yang bernama Theresia sembari menuliskan nama gadis itu di bukunya.

"Saya bangun kesiangan, Bu," jawab Theresia yang menundukkan kepalanya.

"Bhaskar, kamu boleh masuk dan untuk Theresia silakan berdiri di sisi barat lapangan dengan hormat pada bendera hingga upacara dibubarkan. Kamu juga nggak boleh langsung kembali setelah upacara selesai, tunggu saya menghampiri lalu memberikan kamu izin untuk memasuki kelas."

Theresia yang mendengarnya pun menghela napasnya pasrah. "Baik, Bu."

"Saya juga harus mendapatkan hukuman yang serupa, Bu," pinta Bhaskar sembari melirik Theresia.

"Tap-"

"Tidak ada murid yang istimewa di sini, jadi jangan beda-bedakan saya dengan murid yang lainnya."

...••••...

Mata menyipit, rasa panas yang tidak terlalu menusuk kulit namun cahayanya sangat menyilaukan mata. Berdiri tegak sambil hormat pada bendera sang merah putih yang berkibar dengan cantiknya di atas sana.

Bukannya dia cowok semalam? Cowok sialan yang gagalin rencana bundir gua dan sih mesum? Anak baru ternyata, mana guru BK tadi niatnya nggak mau hukum dia. Sebenarnya siapa sih dia? Batin Theresia dengan perasaan dongkolnya.

"Nama lo Theresia, kan? Btw, kita sekelas, dan gua juga mau minta maaf sama kejadian semalam. Emangnya lo mau ngapain? Bundir?" tanya Bhaskar yang ingin memulai pembicaraan.

"Nggak usah ikut campur, lo juga siapa sih? Penjaga gerbang, bahkan guru BK aja tadinya nggak mau ngasih lo hukuman." Theresia melirik Bhaskar yang berdiri di sebelahnya sembari menatap bendera di atas sana.

Laki-laki itu menyatukan sepatu kanannya dengan sepatu kiri gadis itu tanpa meliriknya. "Ya.. nama gua Bhaskar, Bhaskara Jasver. Gua anak baru di sini, mungkin karena itu gua dikasih keringanan biar nggak dapat hukuman karena masih pertama."

Theresia melirik Bhaskar sekilas dan menarik sepatunya. "Hhm... Leta itu siapa? Kenapa kemarin lo panggil gua pake nama itu? Pacar lo?"

"First love gua waktu kecil, tapi dia udah nggak ada."

"Ke mana?"

"Udah bahagia di atas sana." Theresia langsung mengatupkan bibirnya mendengar jawaban Bhaskar.

"Maaf."

"Theresia! Bhaskar! Sekarang kalian boleh kembali ke kelas masing-masing dan jangan terlambat lagi, apalagi di hari Senin seperti ini." Suara yang cukup mengejutkan untuk Theresia dan Bhaskar yang dalam beberapa waktu sebelumnya hanya diam-diam saja tanpa ada pembicaraan.

"Terima kasih, Bu," balas Theresia sembari mengusap keringat di keningnya.

Tatapan mata seolah-olah takjub dari siswi-siswi yang melihat Bhaskar di samping Theresia sambil mengelap keringatnya membuat gadis itu risi dan berpindah agar tidak dekat dengan laki-laki itu. Namun Bhaskar justru yang mendekatkan dirinya ke arah Theresia.

"Ayo ke kelas," ajak Bhaskar.

"Nggak, lo aja duluan, gua mau ke toilet." Gadis itu langsung menyahut tasnya dan melenggang pergi meninggalkan Bhaskar yang menatap kepergiannya.

Setelah Bhaskar memasuki kelas, seluruh arah pandangan mata tertuju kepadanya. Sang guru yang duduk di kursi pun langsung berdiri dan mempersilahkan Bhaskar untuk berdiri di depan papan tulis.

"Sini," titah guru tersebut yang mempersilahkan Bhaskar. "Ini ada anak baru pindahan yang akan jadi teman sekelas kalian. Silakan perkenalkan diri kamu."

"Haii, nama gua Bhaskara Jasveer, panggil aja Bhaskar, gua pindah karena mau ngikut Om gua. Jadii.. mohon kerja samanya ke depannya," ucap Bhaskar yang diakhiri senyuman.

Kelas yang tadinya terdiam memerhatikan orang baru yang berdiri di depan sekarang berganti menjadi ricuh karena suara para siswi yang kegirangan.

"Udah punya cewek belum?" tanya Mona yang dibalas Bhaskar dengan tatapan datar.

"Kamu duduk di sebelah jendela yang sampingnya bangku kosong itu ya? Itu bangkunya There, dia kayaknya belum masuk," tunjuk guru tersebut.

"Terima kasih, Pak." Bhaskar sedikit menundukkan kepalanya dan berjalan menuju bangkunya.

Bersamaan dengan itu, Theresia tiba-tiba ada di ambang pintu sambil tersenyum ke arah guru yang sedang berdiri di depan. "Maaf, Pak, tadi saya terlambat."

"It's okay, karena kamu juga udah dapat hukuman. Sekarang silakan duduk karena saya akan memulai pembelajaran," titah guru tersebut.

Theresia pun berjalan ke arah bangkunya dan melirik Bhaskar yang menatap dirinya. Namun ia langsung membuang muka lalu duduk di bangku tanpa menengok ke arah lainnya.

...••••...

Di saat jam pembelajaran yang sangat penting untuk Theresia dan selalu memfokuskan dirinya ke depan, kini gadis itu risi karena ditatap oleh Bhaskar di bangku sampingnya.

Bahkan laki-laki itu terus-menerus seperti itu hingga bel istirahat berbunyi. Theresia yang tidak tahan langsung menghampiri Bhaskar dengan perasaan dongkolnya

"Jangan bikin gua risi bisa nggak? Gua nggak suka tatapan lo, dan gua bener-bener kurang nyaman sama perilaku lo," kata Theresia yang tidak suka diperlakukan seperti itu.

Bhaskar langsung mengubah raut wajahnya datar. "Maaf, kalau lo nggak nyaman."

Laki-laki itu membawa pensil serta buku catatan kecilnya keluar kelas setelah mendengar Theresia risi dengan dirinya. Tidak apa, ini masih permulaan untuk perjuangannya.

"Eh, Re! Lo kenal dekat sama Bhaskar?" tanya Mona yang datang menghampiri Theresia.

"Enggak."

"Kok dia tadi perhatiin lo terus ya? Jangan-jangan dia suka lagi sama lo." Mona memajukan wajahnya ke wajah Theresia dengan raut wajah menginterogasi.

"Nggak usah aneh-aneh, udahlah, gua mau ke taman cari angin." Theresia menjauhkan wajah Mona dengan telunjuknya dan melenggang pergi dengan Mona yang masih menatap kepergiannya dengan tersenyum.

Di siang teriknya matahari di taman, Theresia tidak bisa ke kantin ataupun memakan sesuatu untuk mengisi perutnya, kecuali air dari botol minum yang ia bawah dari rumah.

Duduk bersantai di bangku taman sambil melamun menunggu bel masuk berbunyi membuat gadis itu bosan, namun tidak ada hal lain yang dapat ia lakukan. Pergi ke perpustakaan pun tidak bisa karena kondisi ruangan tersebut tengah ramai.

Tidak jauh darinya, Bhaskar melepaskan kacamata yang terpasang di wajahnya dan memasukkannya di saku baju. Ia tersenyum puas, menatap gambaran wajah Theresia yang sedang melamun di buku catatan kecilnya.

Di belakang bangku Bhaskar yang terdapat pohon, ada seorang perempuan yang ngemut permennya sembari bersandar dan memerhatikan tangan Bhaskar yang sedang asyik mencorat-coret buku catatan untuk memperbaiki gambaran itu. Ia juga salah fokus karena sepertinya gambaran itu persis seperti seorang gadis yang tidak terlalu jauh dari situ.

Tiba-tiba gadis itu menghampiri Bhaskar dari belakang dan melihat lebih jelas gambaran tersebut. "Eh? Gila! Bagus banget gambarannya, boleh lihat dong..."

Bhaskar terkejut saat bukunya disahut oleh Flora yang berusaha menjauhkan buku tersebut agar ia tidak bisa mengambilnya.

"Balikin!" pinta Bhaskar yang berusaha meraih bukunya, tapi Flora lebih gesit untuk menghindarinya.

"Eits! Bentar, ini cewek itu, ya? Lo suka sama dia?" Flora langsung berlari menghampiri Theresia yang sedang melamun.

"Balikin bukunya!" Bhaskar mengejar Flora yang semakin dekat dengan Theresia, namun langkahnya terhenti dan langsung terkejut dengan aksi Flora yang langsung menunjukkan gambaran itu pada objek yang ia gambar.

Pandangan mata Theresia yang awalnya melihat sekitar taman sekolah tiba-tiba dihalangi oleh sebuah gambaran seorang gadis yang mirip dengannya. Ia langsung menatap gambaran tersebut sebelum melihat Flora yang menjulurkan lidah mengejek ke arah Bhaskar yang menghampiri.

"Ini lo, ya? Dia gambarin lo dari tadi di sana," kata Flora.

Theresia meraih buku catatan kecil Bhaskar dan menatapnya lagi. "Bagus, lo pandai gambar?"

Bhaskar terdiam sejenak mendengar pujian Theresia. Selintas kenangan masa lalu tiba-tiba melintas di benaknya saat Leta juga pernah memuji gambarannya.

Delapan tahun yang lalu, seorang bocah dengan posisi tengkurap di atas rerumputan di bawah pohon yang rindang serta tangan yang sibuk mencoret-coret buku kecilnya sambil tersenyum tipis melihat seorang gadis kecil yang bermain pasir.

Gadis kecil itu melirik Bhaskar yang tampak kesepian tidak ada temannya di bawah pohon. Ia menghampiri Bhaskar dan melihat gambaran bocah itu dari atas.

"Waw! Bagus, kamu pandai menggambar?" tanya Leta dengan tersenyum manis.

Bhaskar terdiam dengan menatap Leta yang tersenyum manis ke arahnya. Sebuah lesung pipi dengan mata yang menyipit karena tersenyum membuat Bhaskar jatuh cinta.

"Oh, iya," jawab Bhaskar.

"Bisa ajarin gua nggak?" tanya Theresia.

Laki-laki itu langsung mengembangkan senyumannya. "Bisa! Mau kapan? Sekarang? Atau pulang sekolah?"

Theresia dan Flora sempat kaget sebab Bhaskar menaikkan nada bicaranya. Laki-laki itu tampak semangat dan kesenangan saat Theresia ingin diajarinya.

"Pulang sekolah aja." Theresia mengembalikan buku kecil tersebut kepada Bhaskar dan beranjak dari duduknya. "Gua tunggu di taman Pawana, usahakan tepat waktu biar gua nggak nungguin lama."

"Oke! Gua bakal ke sana terlebih dahulu sebelum lo," jawab Bhaskar dengan penuh semangat.

"Lho? Padahal gua mau lo kesel ke nih anak kok malah mau jalan bareng?" Flora memajukan bibirnya kesal melihat tujuan aksinya telah gagal.

Theresia tidak memiliki keinginan untuk menjawab, lantas gadis itu melenggang pergi meninggalkan Flora dan Bhaskar di sana.

"Ehm... btw, makasih. Kalau nggak karena lo mungkin gua nggak akan ada alasan buat berdua sama dia," kata Bhaskar, sebelum melenggang pergi mengikuti Theresia yang mulai menjauh.

Flora yang biasanya menghabiskan waktu istirahatnya untuk menyendiri dan berusaha menjahili laki-laki yang menarik perhatiannya justru membuat laki-laki itu semakin dekat dengan gadis lainnya.

...••••...

...Bersambung....

Menunggu

Seorang laki-laki berkacamata mengayuh sepedanya dengan penuh semangat dan senyuman yang merekah melintasi sisi jalan raya menuju taman Pawana yang terletak di tengah kota.

Bhaskar meletakkan sepedanya dan menghampiri salah satu stan minuman yang berbaris sebelum memasuki taman.

Sementara itu di sekolah, Theresia baru saja keluar dari gerbang hendak menuju suatu tempat yang berlawanan arah dengan rumahnya. Bahunya tiba-tiba terasa berat dengan sebutan nama memuakkan yang masuk dalam gendang telinga.

Theresia sudah tahu pelakunya siapa. Siapa lagi jika bukan saudara tirinya, Linsi. Gadis yang berbeda setahun dengan dirinya. Apalagi sifatnya yang sangat bertolakan.

“Hai, Babu! Mau ke mana? Ayo! Pulang, gua udah laper. Nungguin lo keluar lama banget, apalagi lo kalau jalan kayak siput.” Linsi melepaskan tasnya dan melemparkan tas berat itu ke Theresia. "Bawain sekalian, pundak gua sakit.”

Theresia tidak terima ini, ia melempar balik tas tersebut dan hendak melenggang pergi namun tangannya ditarik dengan kasar oleh Linsi.

“Mau ke mana lo? Mau pergi hindarin tugas lo di rumah?” Linsi mencengkeram pergelangan Theresia hingga tercipta kemerahan.

“Lepasin! Ada sesuatu yang perlu gua lakuin, gua bukan babu lo yang selalu nurut sama perintah majikannya.” Sekuat tenaga Theresia memberontak, tapi semuanya sia-sia.

Linsi yang semakin kesal langsung menarik tangan adiknya yang membuat Theresia kesakitan di pergelangan tangannya. Kondisi sekolah yang sepi juga mendukungnya untuk melakukan aksi buruknya terhadap adiknya. Mau tidak mau Theresia harus menurut dengan kakaknya yang kejam.

“Lepasin gua!” bentak Theresia.

Tiada jawaban dari Linsi, gadis itu justru semakin kencang menarik tangan adiknya. “Tutup mulut lo, nurut sama apa yang gua mau, biar lo nggak kesakitan kayak gini,” kata Linsi sembari melanjutkan jalannya.

Tidak bisa berbuat apa-apa selain menurut. Bahkan Theresia sudah mengeluarkan air matanya karena merasakan kesakitan.

Menggunakan gang sempit yang sering digunakan untuk jalan pintas agar cepat sampai di sebuah kompleks perumahan, tidak ada rumah di gang tersebut karena rumah warga sekitar lah yang justru membelakangi jalan itu.

Saat keluar dari gang, Theresia membenarkan rambutnya setelah Linsi melepaskan tarikannya. Ia merapikan pakaiannya dan mengusap wajahnya yang terdapat sisa air mata.

Karena Linsi sedang asyik bercermin menatap wajahnya dan merapikan rambutnya juga. Theresia mengambil kesempatan dengan mengendap-endap pergi sementara kakaknya tidak merasakan hal itu. Ia berlari kencang meninggalkan Linsi yang langsung tersadar saat suara derap langkah kaki cepat menjauh.

“MAU KE MANA LO!”

Beberapa orang yang melintas seperti seorang wanita dengan menggandeng seorang bocah di sampingnya hanya menghela napas panjang serta geleng-geleng kepala melihat kelakuan kedua saudara tersebut. Mereka sudah tahu jika keluarga itu sangat jarang tidak ada pertengkaran ataupun rumah dalam keadaan tenang.

Mereka yang tahu mengenai keluarga Theresia hanya bisa berharap gadis itu tetap kuat dengan keluarga yang layaknya sebuah penyiksaan, bukan sebagai tempat singgah. Bahkan beberapa dari mereka juga tidak menyukai sifat dan sikap seluruh anggota keluarga Linsi kecuali si bungsu.

Karena sejak awal memang kasar dan hampir tidak pernah bergaul dengan sekitarnya, ditambah juga sifatnya sombong.

Jika ikut campur pun akan berimbas pada Theresia, padahal gadis itu tidak melakukan kesalahan.

Linsi langsung mengejar adiknya dengan sekuat tenaga kakinya berlari. Berlarian di sore hari untuk menghindari suasana mencekam dan menyeramkan di rumah, itu sangat sering Theresia lakukan.

Suasana dan keadaan dengan suara kebahagiaan yang merendahkan. Padahal, kurang beberapa rumah lagi mereka lewati akan sampai ke rumah. Akan tetapi, Theresia tidak suka dengan aura rumah yang seolah-olah mencekiknya.

Tidak ada rumah yang cukup nyaman untuk Theresia sebut sebagai rumah, dan tempat tersebut hanya bisa disebut dengan tempat singgah tubuh tanpa ada pelepasan kelelahan.

Napas terengah-engah setelah berlarian dan kaki yang lelah membuat Theresia kepenatan, ia duduk di sebuah bangku di sisi jalan. Beruntung ia bisa melarikan diri dari Linsi yang kasar.

Theresia mendongakkan kepalanya melihat langit yang semakin gelap. Ia jadi mengingat Bhaskar dan langsung berlarian lagi menuju Taman Pawana.

...••••...

“There mana?” tanya Papa yang melihat Linsi memasuki rumah sendirian.

“Kabur lagi.”

“Bener-bener tuh anak, emang kalau pergi itu ke mana, sih?” tanya Mama sembari mengupas kacang.

“Nggak tahu, bodo amat, kalau nggak ada dia juga nggak apa-apa. Nggak ada dampaknya juga,” jawab Linsi.

“Yang masak makan malam nanti siapa? Mama? Mama nggak mau.”

“Beli keluar aja kalau gitu,” balas Linsi.

“Nggak hemat, padahal di kulkas ada bahan masakan.”

“Ya, udah, terserah Mama.”

Di rumah tidak ada yang merasakan ada sesuatu yang hilang walaupun tidak adanya Theresia. Gadis itu memang sering tidak dianggap, bahkan hanya dijadikan babu bagi mereka.

Sementara itu, Bhaskar melirik minuman yang ia beli untuk Theresia, namun minuman itu sudah tidak lagi dingin. Melihat sekitarnya yang penuh dengan remaja-remaja bersama teman-temannya, sementara ia sendirian.

Bhaskar mulai berpikir jika Theresia tidak akan datang kemari. Apalagi mengingat dirinya dan gadis itu juga tidak terlalu dekat. Ia beranjak dari tempat duduknya menuju tempat sampah untuk membuang minuman Theresia yang ia siapkan.

“Maaf.”

Laki-laki membulatkan matanya saat melihat Theresia datang dengan napas terengah-engah. Gadis itu tertunduk menyentuh lutut dengan mengontrol pernapasannya.

“Theresia?”

“Maaf, gua yang terlambat,” kata Theresia.

Laki-laki itu tersenyum melihat seseorang yang ia tunggu-tunggu dengan rasa kesendirian dan kesepian telah datang. “Nggak apa-apa. Mau minum?”

Gadis itu menggeleng dan melepaskan tasnya. “Gua bawa.”

Setelah minum, Theresia dan Bhaskar menuju ke sebuah bangku di bawah pencahayaan lampu jalan untuk memulai pembelajaran menggambar dari Bhaskar.

“Kalau masih pemula, lo per-“

“Gua bukan pemula.” Theresia mengeluarkan buku diary yang penuh dengan gambaran-gambaran random.

Sontak Bhaskar membulatkan matanya, ternyata Theresia lebih jago daripada dirinya. Bahkan jika dibandingkan gambarannya dengan milik gadis itu, milik Theresia lebih detail dan jelas.

“Gua kira junior, ternyata senior,” kata Bhaskar. "Terus? Buat apa lo minta gua ajarin kalau bisa?”

Raut wajah Bhaskar berubah setelah melihat gambaran milik Theresia. Ia ingin menunjukkan kemampuannya pada gadis itu, tapi dirinyalah yang kini seolah-olah tertinggal jauh.

“Nggak apa-apa, biar ada alasan biar nggak pulang awal, selain itu juga gua mau lihat gambaran lo yang lain,” jawab Theresia.

“Kenapa?” Bhaskar memberikan bukunya pada Theresia.

Theresia menghela napasnya dan menatap Bhaskar dengan tersenyum tipis sembari menerima buku tersebut. “Pengen aja, lo udah berapa lama suka gambar?”

“Awalnya cuman iseng aja gambar sesuatu, sejak gua dapat pujian dari Leta tentang gambaran gua, yaa.. sejak gua waktu awal SMP lah.  Gua sekarang jadi makin suka gambar dan terus ngelakuin hal yang gua suka di atas kertas kosong dengan pensil ini.” Bhaskar mengangkat pensilnya untuk menunjukkannya kepada Theresia. "Kalau lo?”

Gadis itu mengangguk-anggukkan kepalanya selagi Bhaskar bercerita tentang sejak kapan laki-laki itu mulai suka menggambar. Theresia juga tidak melunturkan senyumannya, tangannya sibuk membolak-balik halaman sementara telinganya mendengarkan laki-laki itu berbicara.

“Kalau gua sejak kecil, mungkin dari TK yang suka coret-coret buku pakai krayon walaupun abstrak. Tapi ada seseorang yang bilang juga kalau coretan gua harus dikembangkan biar jadi sebuah gambaran yang bisa orang pahami. Dia juga ajarin gua metode-metode menggambar dari dasar.”

“Gambaran lo juga bagus, tapi lebih banyak kayak gambaran biasa dan kurang kedetailan, kurang sedikit arsiran tipis-tipis biar kelihatan makin bagus,” ujar Theresia mengenai gambaran Bhaskar.

“Makasih untuk sarannya, dan siapa yang ajarin lo itu? Pasti gambaran dia keren, lebih dari kata senior, mungkin bisa disebut sepuh aja ya?”

Theresia tertawa kecil dengan mengembalikan buku Bhaskar. “Bisa aja lo, tapi gambaran dia memang lebih bagus juga sih daripada gua dan bisa menggambar pakai digital, jadi nggak manual aja. Kalau gua belum terbiasa pakai benda digital buat menggambar. Dia sepupu gua yang dulu sering main tapi sekarang udah jarang.”

“Ohh.. pantesan, lo udah ada yang ngajarin sejak dulu, secara langsung lagi,” kata Bhaskar.

“Ya.. gitulah, lo nggak ada saran buat gambaran gua?”

“Gua aja bingung mau komentar apa.”

Selang beberapa waktu dengan angin yang berembus dan Theresia yang mulai jenuh dengan suasana canggung yang mulai tercipta langsung berdiri seraya merenggangkan pinggangnya. Ia menatap langit malam sebentar dan melirik Bhaskar yang memandangi bukunya.

“Lo ada sesuatu yang harus dilakuin nggak? Main atau apalah gitu? Gua bener-bener nggak pengen balik ke rumah.”

Bhaskar berpikir sejenak dan mendongak menatap Theresia. “Ke time zone mau nggak?”

“Nggak, deh, boros uang nanti gua.”

“Gua bayarin.” Wajah Theresia langsung berseri mendengar balasan Bhaskar.

“Bener, ya? Lo yang bayar?” Laki-laki itu mengangguk dengan tersenyum tipis melihat perubahan sikap Theresia.

Gadis itu langsung kegirangan dan memasukkan bukunya ke dalam tasnya. Bhaskar juga melakukan hal yang sama. Awal yang ingin belajar menggambar kini berubah menjadi bermain.

Theresia berjalan lebih dahulu dengan langkah senang, sementara Bhaskar menuntun sepedanya di belakang. Laki-laki itu memandangi seorang gadis dengan wajah bahagia di bawah langit yang mulai gelap dengan hati yang hangat.

“Buruan, Bhas!” pinta Theresia sambil berbalik namun kakinya tetap melangkah.

“Iya-iya.”

Karena kesal dengan langkah Bhaskar yang lamban menurutnya. Theresia langsung memegangi setir sepeda laki-laki itu di bagian kanan sementara Bhaskar di bagian kiri.

“Ngapain?” tanya Bhaskar.

“Biar cepet.” Bhaskar terkejut saat sepedanya di dorong dengan cepat oleh Theresia.

Keduanya kini berlarian sambil menuntun sepeda yang berdiri di antara keduanya. Entah kenapa, dengan hal sederhana seperti ini membuat Bhaskar tertawa bahagia bersama Theresia. Ia hampir lupa dengan hatinya yang dulu kosong, kini bukan terisi, tetapi menghangat merasakan sesuatu yabg sudah lama tidak ia rasakan. Bersama teman.

...••••...

...Bersambung....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!