NovelToon NovelToon

Gadis Kesayangan Tuan Ximen

Pertemuan Pertama

Malam hari.

Suara langkah kaki menggema di antara gang-gang sempit kota. Seorang gadis muda berlari sekuat tenaga, napasnya tersengal, keringat dingin membasahi pelipisnya.

“Tangkap dia! Jangan sampai dia kabur!” seru salah satu pria yang tampak menjadi ketua dari sekelompok lelaki yang mengejarnya.

Deru langkah kaki para pengejar terdengar semakin dekat. Gadis itu menoleh panik ke belakang, lalu berbelok ke gang kecil yang gelap dan sempit, berharap bisa bersembunyi atau menemukan jalan keluar.

“Sial sekali hidupku, aku Barbie Lu, yang selalu saja bertemu dengan hal buruk," gumamnya lirih, lebih kepada diri sendiri daripada siapa pun. Suaranya hampir tertelan oleh malam yang pekat.

Tiba-tiba, dari ujung lorong yang panjang dan gelap, muncul bayangan-bayangan lain. Sejumlah pria lain berlari cepat ke arahnya, dengan senjata tajam tergenggam di tangan.

“Ha… siapa mereka? Apa mereka dari kelompok yang sama? Tidak ada jalan lain lagi…” pikir gadis itu, matanya liar mencari jalan keluar. Dadanya berdebar tak karuan.

Tepat saat ia hendak memutar arah, sebuah tangan tiba-tiba menariknya dengan kasar ke sisi gang lain yang sempit. Tubuhnya terbanting ke dinding. Sebelum sempat menjerit, sebuah pistol dingin sudah menempel di pelipisnya.

“Kalau kau berteriak, aku akan membunuhmu,” ancam seorang pria bertopeng hitam dengan suara rendah dan tajam. Nafasnya terengah, namun sorot matanya di balik topeng begitu tajam dan dingin.

Gadis itu membeku. Suaranya gemetar, tubuhnya menggigil ketakutan.

“J-Jangan bunuh aku… aku masih muda… aku belum ingin mati…” pintanya lirih, nyaris menangis. Suaranya bergetar antara takut dan putus asa.

Pria itu menatapnya beberapa detik tanpa berkata. Lalu tanpa banyak bicara, ia menarik gadis itu untuk ikut dengannya. Dengan satu tangan menekan luka di sisi tubuhnya yang berdarah, dan satu tangan lain tetap menggenggam pistol, ia menyeret gadis itu meninggalkan tempat itu, menjauh dari para pengejar.

Di balik langkah tergesa mereka, samar terdengar teriakan dan bentakan orang-orang yang masih mencari. Sementara Barbie terus menatap pria bertopeng itu dengan bingung dan cemas.

Pria bertopeng itu menarik lengan Barbie dengan paksa, membawanya masuk ke dalam sebuah rumah tua yang terlihat kumuh dan tak berpenghuni. Bau nyengat dan debu yang menyesakkan segera menyergap begitu pintu ditutup dengan keras. Cahaya bulan purnama menyelinap masuk melalui jendela yang retak, menjadi satu-satunya penerangan di ruangan gelap itu.

Barbie terengah, matanya menyapu sekitar. Lantai tanahnya lembap, dindingnya dipenuhi lumut, dan tak ada perabotan selain satu kursi kayu reyot yang nyaris roboh. Pria itu segera mengunci pintu, lalu menodongkan pistol ke arahnya dengan tangan gemetar namun masih sigap.

"Kenapa kau membawa aku ke sini? Aku bahkan tak mengenalmu… tempat ini sangat gelap…" tanya Barbie dengan suara pelan, masih mencoba menenangkan dirinya meski jantungnya berdegup kencang.

Pria itu tak menjawab. Ia hanya menatap tajam dari balik topeng hitam yang menutupi wajahnya, lalu menyandarkan diri ke dinding di sudut ruangan. Napasnya berat dan tidak beraturan.

"Diam, dan jangan berulah!" desisnya kasar.

Namun dari tempatnya berdiri, Barbie bisa melihat dengan jelas. Cahaya bulan menyoroti sisi tubuh pria itu. Darah mengalir deras dari perut atau sisi pinggangnya, menghitamkan kain bajunya. Pria itu tampak berusaha menahan rasa sakit, tangannya menekan luka dengan paksa.

"Kamu terluka…" ujar Barbie lirih, refleks melangkah mendekat.

"Jangan mendekat!" hardiknya sambil menodongkan kembali pistol. "Kalau tidak, aku tidak ragu untuk menembakmu."

Barbie menahan napas, namun tetap berdiri tegak. Suaranya tetap tenang, meski ketegangan menggantung di udara.

"Tuan… kita dalam situasi yang sama. Kau dikejar, aku juga dikejar. Tapi kondisimu jauh lebih parah. Biar aku periksa lukamu… aku bawa obat, mungkin bisa menghentikan pendarahanmu," ucapnya dengan nada tulus.

Pria bertopeng itu menatapnya lama, seakan mencoba menebak niatnya.

"Kenapa kau bisa ada di sini? Kau bukan utusan mereka?" tanyanya curiga.

"Utusan siapa? Musuhmu?" Barbie menatap lurus ke arahnya, tak gentar meski masih waspada. "Aku dikejar sekelompok preman bersenjata tajam. Aku bahkan nyaris terbunuh sebelum kau menarikku masuk ke gang tadi. Dan kini, aku malah diculik olehmu tanpa sebab yang jelas."

Pria itu mulai terlihat limbung. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Barbie bisa melihat tangan yang menekan luka itu sudah bergetar, dan warna merah semakin menyebar.

"Tenang saja… aku hanya gadis lemah. Mana mungkin bisa menyakitimu? Lagi pula, kau memiliki pistol. Duduklah… tahan lukamu. Kalau masih ingin hidup kau harus percaya padaku. Aku bukan penjahat yang bisa mengunakan pistol dan pedang."

Ia membuka tas kecil yang tergantung di pundaknya, lalu mengeluarkan sebuah botol kecil berisi cairan kental berwarna keemasan.

"Ini obat dari tabib terkenal di kota tempat aku tinggal. Setidaknya, kau bisa bertahan hidup setelah menelannya," ujarnya sambil mengangkat botol itu agar pria itu bisa melihatnya di bawah cahaya bulan.

Barbie menghela napas dalam, berusaha menenangkan diri di tengah tekanan yang mengimpit dari segala arah. Dengan gerakan perlahan dan hati-hati, ia melepaskan syal tipis yang melilit lehernya, lalu melipatnya menjadi gulungan tebal. Ia menunduk, mendekati pria bertopeng yang kini duduk bersandar dengan nafas semakin berat.

"Tekan ini… dan minum obatnya," ucap Barbie tegas namun lembut, menekan syal itu ke bagian luka yang terus mengucurkan darah. Ia menyodorkan pil dari botol kecilnya dengan tangan lain.

Namun, pria itu tak serta-merta menerima. Dengan cepat, ia mengangkat kembali pistolnya dan menodongkan laras dingin itu tepat ke dada Barbie, yang kini berjongkok hanya beberapa inci di depannya. Jemarinya masih kokoh menggenggam senjata, meskipun terlihat mulai kehilangan tenaga.

"Bagaimana aku bisa yakin bahwa obat ini bukan racun?" tanyanya dingin, suaranya rendah tapi tajam, menembus udara yang sudah tegang sejak tadi.

Barbie mendongak perlahan, menatap lurus ke balik topengnya.

"Kau sangat keras kepala," katanya dengan lirih, namun nada kesalnya tak bisa disembunyikan. "Baiklah. Aku akan menelannya—dan setelah itu, kau akan menyesal karena mengira aku punya niat buruk padamu."

Tanpa ragu sedikit pun, Barbie mengambil satu pil dari botol itu dan menelannya di hadapan pria itu. Ia bahkan memperlihatkan gerakan menelan dengan jelas, lalu membuka mulut sejenak untuk menunjukkan bahwa ia tak menyembunyikan apa pun.

Setelah itu, ia menarik napas perlahan dan berkata, "Lihat? Aku masih hidup… tidak ada yang aneh. Sekarang giliranmu."

Dengan tangan yang gemetar, ia menuangkan satu pil lagi ke telapak tangannya, lalu menyodorkannya kembali pada pria tersebut.

"Kalau kau masih ingin hidup… dan berhenti bersikap seperti orang keras kepala, minumlah. Aku bukan ancamanmu malam ini."

Tak lama setelah Barbie menyodorkan pil itu ke tangan pria bertopeng, suara langkah kaki mulai terdengar dari luar. Semakin lama, semakin banyak. Suara sepatu menjejak tanah dengan tergesa, disertai napas terengah-engah dan suara-suara kasar.

"Cepat! Geledah tempat ini!" terdengar teriakan perintah dari seseorang yang terdengar seperti pemimpin kelompok.

Barbie dan pria bertopeng itu saling berpandangan, napas mereka tertahan. Mata mereka lalu serempak mengarah ke pintu kayu reyot yang tinggal menunggu waktu untuk didobrak paksa. Cahaya bulan yang tadinya memberi ketenangan, kini berubah menjadi saksi bisu dari teror yang semakin dekat.

Apakah mereka akan lolos atau akan ada yang datang menyelamatkan mereka?

Bab 2

"Mereka akan menemukan kita. Sepertinya aku harus mengorbankan sesuatu," ucap Barbie dengan nada rendah, suaranya hampir seperti bisikan. Matanya yang bening menatap lurus ke arah pria itu, sebelum tiba-tiba ia condong mendekat dan mengecup bibirnya.

Sentuhan bibir Barbie begitu singkat namun penuh kejutan. Pria bertopeng itu membelalak. Tubuhnya seolah membeku sesaat, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Untuk sesaat, rasa sakit di lukanya bahkan menghilang.

BRUK!

Pintu kayu akhirnya jebol, terpental ke dalam ruangan dengan suara keras. Sejumlah pria bersenjata menerobos masuk, wajah-wajah mereka garang dan siap menyerang.

"Aahh! Kalian siapa?!" teriak Barbie dengan ekspresi panik yang meyakinkan. Ia langsung memeluk pria bertopeng itu erat, menyembunyikan wajahnya yang tertutup topeng ke dalam pelukannya, seolah mereka hanyalah sepasang kekasih yang terganggu.

Orang-orang itu terdiam sejenak, bingung melihat pemandangan yang tidak mereka duga—seorang gadis muda memeluk seorang pria sekarat di tengah rumah kumuh.

"Bukan mereka. Cari di tempat lain!" perintah salah satu dari mereka akhirnya, lalu mereka pun pergi tergesa, meninggalkan ruangan dengan pintu yang sudah rusak.

Hening menyelimuti kembali. Napas Barbie masih terengah, tapi matanya penuh ketenangan. Perlahan, ia melepaskan pelukannya.

"Segera telan obatnya!" desaknya, kali ini dengan nada tegas.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, pria langsung menelannya.

Barbie menghela napas lega. Namun, saat mendekat, ia mengerutkan alisnya dan berkata polos, "Kenapa aroma tubuhmu wangi sekali?"

Pria itu menatapnya, sejenak tak tahu harus menjawab seperti apa. "Pertanyaan seperti apa itu?" balasnya dingin, meski bibirnya seakan menahan senyum.

Barbie tak terganggu oleh sikapnya. Ia malah tersenyum kecil. "Pengciumanku sangat tajam. Bahkan aroma racun dan penawar pun bisa kubedakan. Tapi aroma tubuhmu… sangat khas. Tak pernah aku temui pada siapa pun. Sebenarnya, kamu ini siapa?"

Tatapan pria itu mengeras. "Lebih baik kau tidak tahu," jawabnya pendek, seolah menyimpan sesuatu yang dalam dan tak ingin dibuka.

Beberapa saat kemudian, pria itu duduk bersandar di sudut ruangan. Tapi darahnya sudah tidak mengucur secepat tadi. Ia menahan rasa sakit, namun matanya masih awas.

"Racunmu tidak akan menyebar, dan darahmu juga tidak akan habis. Sepertinya mereka sudah pergi," kata Barbie, sambil berjongkok di sampingnya. Ia mencoba memapah pria itu dengan kedua tangannya yang kecil namun penuh niat. "Aku akan mengantarmu ke rumah sakit."

"Tidak perlu. Anggotaku sudah dalam perjalanan," tolak pria itu tegas, namun suaranya sudah melemah.

Barbie menghela napas keras. "Apa kau yakin ingin menunggu? Walaupun kau sudah minum obat penawar, lukamu harus segera ditangani. Kalau tidak, nyawamu bisa melayang," ujarnya serius, menatap matanya lurus-lurus.

Pria itu terdiam beberapa saat. Pandangannya mulai melunak, kemudian dengan suara pelan namun tulus ia berkata, "Terima kasih."

Barbie tersenyum tipis. "Siapa namamu?" tanyanya, suara gadis itu nyaris seperti bisikan dalam sunyi malam.

Pria itu tidak menjawab. Ia hanya menatapnya lekat-lekat, sorot matanya tajam namun sulit diartikan.

Barbie mengangguk pelan, maklum. "Baiklah. Kalau kau tidak ingin aku tahu, juga tidak masalah." Ia berdiri, merapikan rambut dan bajunya yang kusut. "Aku harus pergi sebelum mamaku membunuhku."

Saat ia melangkah menuju pintu yang rusak, suara berat pria itu akhirnya terdengar.

"Namamu?"

Langkah Barbie terhenti. Ia menoleh sedikit dan tersenyum lembut tanpa menatap langsung. "Kalau kita bertemu lagi, aku akan memberitahumu. Semoga kau panjang umur. Malam ini… aku sudah rugi banyak. Aku mengorbankan ciuman pertamaku untuk pria yang bahkan aku tak tahu seperti apa rupanya. Aku berharap kau bukan pria tua yang seimbang dengan usia mamaku!"

Dengan langkah cepat dan ringan, ia pun meninggalkan ruangan itu, membiarkan keheningan kembali menguasai tempat tersebut.

Di dalam, pria itu masih duduk bersandar. Perlahan, ia meraih bagian bawah topengnya, dan dengan satu gerakan, ia melepaskannya.

Wajah tampannya pun terlihat jelas di bawah cahaya bulan. Matanya tajam dan penuh tekad, rahangnya tegas, dan luka di pipinya memperkuat auranya yang berbahaya namun memikat.

Ia memandang ke arah pintu yang baru saja dilalui Barbie, lalu berbisik lirih,

"Aku adalah Damien Ximen… dan aku akan mencarimu setelah semua ini selesai," ucap pria itu pelan. Suaranya berat namun tegas, mengendap dalam gelap malam seperti sumpah yang takkan dicabut.

Beberapa jam kemudian.

Di ruang perawatan VIP sebuah rumah sakit elit, Damien Ximen terbaring di ranjang dengan infus terpasang di lengannya. Meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih, sorot matanya tetap tajam, mencerminkan sosok yang terbiasa memimpin dan ditakuti.

Di hadapannya berdiri dua pria berpakaian formal serba hitam, Calvin Wu dan Steven Soh—dua pengawal pribadinya yang paling loyal dan paling mematikan.

"Tuan Ximen, maaf atas kejadian ini. Kami datang terlambat, sehingga menyebabkan Anda terluka," ucap mereka sambil menunduk dalam-dalam, penuh penyesalan dan rasa bersalah.

Damien memandang mereka datar, lalu mengangkat syal merah muda yang kini berlumur darah—syal milik Barbie.

"Pihak musuh meracuni minumanku, membuatku tidak berdaya. Mereka menyerang saat aku dalam kondisi lemah. Tapi untung saja, gadis itu... dia menolongku," katanya lirih, namun setiap katanya penuh tekanan.

Ia mengepalkan syal itu dengan satu tangan, seperti menggenggam sesuatu yang jauh lebih berharga dari sekadar kain.

"Cari pemilik syal ini… sampai dapat. Dia menyelamatkan aku, dan aku akan memberi apa saja untuknya… termasuk nyawaku."

Kata-kata itu membuat Calvin dan Steven saling melirik diam-diam.

"Memberi nyawa…? Apakah aku salah dengar?" batin Steven, nyaris tak percaya mendengar pernyataan yang begitu dalam keluar dari mulut pria sekeras Damien Ximen.

"Tuan, setelah menemukannya… berapa nominal yang akan kita bayar padanya?" tanya Calvin dengan hati-hati, masih tak mengerti seberapa besar pengaruh gadis itu terhadap atasannya.

Namun Damien menatapnya tajam. Tatapan yang membuat darah para musuh beku di tempat.

"Dia tidak bisa dinilai dengan uang," jawabnya tegas.

Kalimat itu seakan menyambar udara, membekukan ruangan sesaat.

"Apakah itu berarti gadis itu… lebih berharga dari nyawanya sendiri?" gumam Calvin dalam hati, merasakan sesuatu yang belum pernah ia lihat dari atasannya sebelumnya—ketulusan.

Damien menyandarkan punggungnya ke bantal, matanya menyipit seolah membayangkan wajah gadis misterius yang telah mencuri perhatiannya dalam satu malam penuh darah dan pelarian.

"Setelah aku sembuh, aku akan membalas semua perbuatan musuh terhadapku. Siapkan semua anak buah kita. Selidiki tempat persembunyian mereka. Aku ingin semuanya… dilenyapkan," perintahnya, suaranya dingin seperti es, namun penuh bara dendam.

"Baik, Tuan!" jawab Calvin dan Steven serentak.

Damien Ximen… pria dari keluarga penguasa yang kekayaannya sulit ditandingi, dan kekuasaannya ditakuti para taipan dunia bisnis. Ia terbiasa mendapatkan apa yang diinginkannya. Membunuh tanpa ragu, melukai tanpa ampun. Dan kini… ia menginginkan satu hal:

Gadis bernama Barbie.

Bab 3

Barbie melangkah masuk ke dalam rumah dengan napas memburu, rambutnya berantakan, wajahnya kusut penuh letih. Namun belum sempat ia menutup pintu, sebuah panci melayang ke arahnya. Refleks, Barbie menunduk, dan benda logam itu membentur tembok dengan dentuman keras, menyisakan bekas goresan.

"KEMANA kau semalaman?!" suara melengking itu menghujam telinganya. Joey, ibunya, berdiri dengan napas terengah-engah, wajah merah padam, matanya menyala penuh amarah. "Sejak kapan kau belajar tidak pulang, ha? Bagaimana kalau sampai diketahui oleh tunanganmu?"

"Mama, dengarkan penjelasanku dulu sebelum melempar barang ke arahku!" bentaknya tak kalah keras.

Joey menyilangkan tangan di dada. “Baiklah! Katakan kemana saja kau semalam!”

“Aku… semalam aku melihat sesuatu di pelabuhan. Pemandangan yang sangat mengerikan dan menakutkan. Karena diketahui, aku dikejar oleh mereka sampai akhirnya bertemu dengan seorang pria asing. Dia juga dikejar dan terluka. Kami bersembunyi di sebuah rumah kumuh….”

Joey memicingkan mata. “Dikejar? Oleh siapa?”

“Iya, Mama! Aku tidak berbohong,” jawab Barbie.

Namun Joey mendengus sinis. “Siapa yang tidak tahu sifatmu? Polisi saja sudah muak dengan kelakuanmu.”

Barbie melirik tajam ke arah ibunya, “Kenapa Mama tidak pernah percaya padaku? Aku tidak berbohong. Aku benar-benar melihat sesuatu yang menakutkan. Aku ingin melapor polisi, tapi aku malah dikejar—”

“DIAM!” bentak Joey lagi, matanya tajam seperti pisau. “Jangan suka bicara yang tidak-tidak. Walaupun kau benar-benar melihat pembunuhan atau perampokan, lebih baik DIAM. Tidak usah ikut campur.”

“Tapi ini… lebih mengerikan dari pembunuhan atau perampokan biasa, Ma…”

“Sudah cukup! Jaga tingkah lakumu! Jangan sampai keluarga Yang tahu kalau kau tidur di luar semalaman!”

Barbie mengerutkan alis, lalu perlahan berkata pelan namun tegas, “Aku tidak mau menikah dengan Andy Yang.”

Suara derit pintu mendadak terdengar, seorang pria paruh baya muncul sambil membawa sepiring makanan. Pria itu adalah Simon, ayah tiri Barbie. Wajahnya datar, seolah baru pulang dari pura-pura peduli di luar rumah.

“Barbie, kau sudah pulang? Makan dulu, nanti baru dibicarakan lagi.”

Joey melirik tajam ke arah Simon. “Simon! Anak kita ini tidak pulang semalaman! Kalau tidak diajar, aku takut dia akan semakin menjadi-jadi!”

Simon mengangkat tangannya pelan, mencoba menenangkan. “Sudahlah… Anak kita sudah besar. Jangan terlalu ketat, kasihan dia…”

Barbie menatap tajam ke arah pria itu, rahangnya mengeras.

“Pintar akting…” gumamnya lirih, sambil melirik tajam ke arah ayah tirinya itu.

"Barbie, Mama sudah mengundang Andy Yang ke rumah untuk membahas pernikahanmu. Kalian akan menikah bulan depan," ujar Joey.

"Kenapa cepat sekali? Aku bahkan belum memiliki perasaan apa pun padanya," sahut Barbie, terkejut.

"Dia adalah putra semata wayang dari keluarga kaya raya. Selain itu, dia juga bekerja di pabrik milik keluarga Ximen. Dia orang kepercayaan Tuan Ximen. Bukankah itu keberuntungan besar?" balas Joey dengan penuh keyakinan.

"Apa hubungannya denganku? Bisa saja dalam waktu dekat dia kehilangan pekerjaannya, bahkan nyawanya," ucap Barbie dengan ceplas ceplos, lalu bangkit dan meninggalkan ruangan.

"Hei! Apa kau tidak bisa bicara hal yang baik?" teriak Joey, kesal.

"Siapa itu Ximen? Aku saja tidak kenal, dan tidak penting juga," gumam Barbie sambil menghempaskan tubuhnya ke atas kasur.

***

Sementara itu, di tempat lain, Damien berada di lapangan luas, dikelilingi oleh para pengawalnya. Beberapa pria dalam keadaan terikat berlutut di atas tanah, wajah mereka babak belur akibat pukulan dan siksaan.

"Tuan, pelakunya sudah ditemukan. Anda yang tentukan hukumannya," lapor Steven.

Damien mengayunkan tongkat besi di tangannya dengan amarah yang membara. Tanpa ragu, ia menghantam kepala pria-pria yang diikat di depannya satu per satu. Suara hantaman terdengar nyaring, diikuti jeritan kesakitan yang menggema di ruangan gelap itu.

Bruk!

Bruk!

“Aaaahh!!” Jeritan kesakitan memecah keheningan. Darah mengucur dari pelipis mereka, membasahi lantai. Tubuh mereka limbung dan akhirnya ambruk tak sadarkan diri.

Dengan nafas berat dan sorot mata penuh dendam, Damien menatap korban-korbannya. “Aku adalah Ximen. Aku tidak akan memberi ampun pada siapa pun yang berani menyinggungku!” teriaknya garang. Ia kembali mengayunkan tongkat besi itu dengan brutal, menghantam kepala mereka yang sudah tak berdaya.

Darah memercik, menyiprat ke wajah dan tangan Damien. Namun dia tak bergeming—seolah percikan itu hanyalah simbol kekuasaannya. Setelah puas, Damien melemparkan tongkat besi itu ke lantai. Bunyinya bergema seperti lonceng kematian.

"Sudah tahu siapa bos kita, mereka masih berani menyinggungnya. Sama saja cari mati," ujar Steven, anggota setia Damien, dengan nada sinis.

Calvin, tangan kanan Damien, segera menyodorkan saputangan putih untuk membersihkan wajah tuannya dari percikan darah. Damien mengambilnya, menyeka wajahnya perlahan, lalu membuangnya begitu saja ke lantai.

"Lenyapkan semua sampah ini!" perintah Damien dengan suara dingin dan tegas.

"Baik, Tuan!" jawab Calvin sambil memberi isyarat pada anak buah lainnya untuk bergerak.

Tiba-tiba, ponsel Steven berdering memecah suasana. Ia segera menjawabnya.

"Halo?" sapanya singkat. Wajahnya seketika berubah serius.

Setelah beberapa detik berbicara, Steven memutus panggilan itu dan melangkah cepat ke hadapan Damien.

"Ada apa?" tanya Damien, alisnya menyipit.

"Tuan, kami baru menerima laporan bahwa Manager Andy Yang menggelapkan dana penjualan dan saat ini menghilang. Mereka baru sadar setelah dia tidak masuk kerja selama tiga hari," jelas Steven.

Damien menyipitkan matanya, amarah kembali naik ke permukaan. "Andy telah meremehkan kita."

"Bukankah dia adalah tuan muda dari keluarga kaya raya? Kenapa menggelapkan uang perusahaan?" tanya Calvin, heran.

"Dia dikenal sebagai pria yang gila wanita, penjudi, dan pemabuk," jawab Steven sambil menggeleng pelan.

Damien menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan, menahan gejolak marahnya. Dengan suara rendah namun penuh ancaman, ia memerintahkan, "Cari semua orang yang terlibat dengannya. Geledah semua tempat perjudian, kasino, klub malam, dan tempat yang mungkin dia kunjungi! Jika ada yang mencoba menghentikan kita, TUTUP usaha mereka!"

Calvin, yang selama ini memantau gerak-gerik Andy, angkat bicara. "Sepertinya aku pernah mendengar bahwa dia memiliki seorang tunangan."

Damien menoleh tajam. "Siapa orangnya? Mungkin saja tunangannya tahu keberadaannya," ujar Steven dengan cepat menangkap maksud bosnya.

"Akan aku cari informasinya secepat mungkin," jawab Calvin penuh keyakinan.

"Tunangan atau wanita mana pun yang pernah bersamanya, bawa semuanya ke hadapanku! Jika mereka berani menyembunyikan keberadaannya, maka mereka akan aku kirim ke neraka!" perintah Damien.

Dengan sorot mata tajam, ia menginjak saputangannya yang tergeletak di lantai—seolah menjadi simbol akhir dari belas kasihan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!