Malam di Dusun Koto Lamo selalu datang lebih cepat dari yang seharusnya. Matahari seolah segan menyinari lembah hijau ini terlalu lama, seakan tahu bahwa kegelapan menyukai tempat ini lebih daripada cahaya.
Rumah-rumah panggung berdiri di antara pohon-pohon rambutan, durian, dan bambu yang menjulang tinggi. Jalan tanah membelah dusun seperti urat nadi tua, penuh dengan batu kecil dan genangan lumpur sisa hujan siang tadi. Tak banyak suara manusia malam-malam begini. Yang terdengar hanya angin mendesir lewat celah dinding bambu, suara kodok dari pematang sawah, dan… lolongan anjing yang bersahut-sahutan dari kejauhan.
Di tengah desa, di rumah panggung yang sudah miring tiangnya, Mak Leni duduk sendirian di dekat tungku yang mengeluarkan asap tipis. Di wajah keriputnya, sorot mata tajam menyiratkan lebih dari sekadar kebijaksanaan—ada sesuatu yang kelam. Ia mengenakan kebaya hitam lusuh dan kain batik yang sudah memudar warnanya.
Di pangkuannya, sebuah mangkuk tanah liat berisi air rebusan akar dan daun-daunan, mengepul pelan-pelan.
Tiba-tiba—Tok. Tok. Tok.
Suara itu datang dari balik dinding, dari arah ruangan belakang rumah. Tiga ketukan pelan namun jelas. Tak ada ekspresi terkejut dari wajah Mak Leni. Ia hanya menoleh perlahan ke arah suara dan tersenyum kecut.
“Kau datang juga malam ini, ya?” bisiknya, nyaris tanpa suara.
Ia berdiri, kakinya gemetar sedikit karena usia. Tapi langkahnya tetap stabil. Ia mengambil mangkuk tadi, lalu berjalan menyusuri lorong kayu yang sempit menuju ruangan kecil tanpa lampu di bagian belakang rumah.
Dinding kayu di ruangan itu sudah mulai lapuk. Di satu sisi, ada lubang sebesar kepalan tangan yang ditutupi dengan kain hitam.
Mak Leni jongkok di depan lubang itu. Ia letakkan mangkuk di tanah, dan dengan satu gerakan lambat, ia menarik kain penutupnya.
Hening.
Gelap.
Tak ada yang muncul dari balik lubang itu. Tapi Mak Leni tetap berbicara.
“Ini airnya… dari daun sirih tujuh tangkai, akar meranti, dan darah ayam hitam. Seperti yang kau minta.”
Angin mendesis dari arah lubang. Dan bersamaan dengan itu, sesuatu… muncul dari balik bayangan.
Sebuah kepala.
Rambut panjang menjuntai, matanya putih seluruhnya, dan wajahnya pucat kehijauan. Tanpa tubuh. Hanya kepala. Dan dari bagian bawah dagunya, menjulur keluar usus dan organ dalam yang menggantung berlendir.
Mak Leni tak bergeming. Matanya hanya menatap lurus, tanpa rasa takut.
“Kau belum kenyang, ya?” tanyanya pelan.
Kepala itu menggerakkan bibirnya, meski tanpa suara. Kemudian, ia menyedot isi mangkuk itu dalam sekali isapan.
Suara itu… seperti cairan ditarik paksa lewat jerami panjang.
Setelah itu, kepala tersebut mundur perlahan ke balik lubang. Gelap kembali.
Mak Leni menutup lubangnya. Ia berdiri, menghela napas panjang.
“Kau jangan ganggu yang tak bersalah. Aku masih menepati bagian perjanjianku…”
Sementara itu, jauh di ujung dusun, sebuah mobil tua berdebu berhenti di depan rumah panggung lainnya. Lampunya mati perlahan, dan seorang pria muda keluar dengan ransel besar di pundak.
Reno Pratama, 26 tahun, mengenakan jaket abu-abu dan sepatu trekking. Wajahnya lelah tapi tetap tenang. Ini pertama kalinya ia pulang ke dusun sejak tujuh tahun lalu.
“Dusun ini... masih sama baunya,” gumamnya pelan.
Ia menatap rumah di depannya—warisan orang tuanya. Kayu-kayu dindingnya sudah banyak yang lapuk, catnya mengelupas, dan rumput tinggi menjalar di bawah kolong rumah. Tapi masih kokoh berdiri. Masih menyimpan terlalu banyak kenangan.
Reno naik ke tangga kayu dan membuka pintu dengan kunci lama yang ia simpan dari dulu. Saat pintu itu terbuka, bau lembab dan kayu tua langsung menyergapnya.
Semua barang masih di tempatnya. Foto keluarga di dinding masih tergantung, meski sudah miring. Kursi rotan tua di sudut ruang tamu masih ada, dengan bantal yang sudah kusam.
Ia menyalakan lampu minyak karena listrik desa hanya menyala separuh waktu. Ruangan itu menjadi redup kekuningan, bayangan menari-nari di dinding.
Reno duduk dan membuka botol air. Baru saja hendak meneguk, ia mendengar suara—“Tep… tep… tep…”
Seperti air menetes.
Ia menoleh ke dapur.
“Tetesan dari keran?” pikirnya.
Ia berdiri dan berjalan perlahan menuju sumber suara. Tapi saat ia sampai di dapur, semua kering. Tak ada genangan. Keran tertutup rapat.
Lalu suara itu terdengar lagi. Kali ini… dari atap rumah.
Tep… tep… tep…
Reno menengadah. Tak ada apa-apa. Tapi suara itu kini terasa lebih berat, seperti… darah menetes dari langit-langit.
Ia menelan ludah. Nalurinya sebagai orang kota mengatakan, “Periksa.” Tapi sesuatu dalam dirinya berbisik, “Jangan.”
Perlahan ia melangkah keluar dari rumah, menyorotkan senter ke kolong rumah, ke pohon rambutan di samping, dan ke langit.
Kosong.
Namun… saat ia menyorot ke arah pohon mangga besar di belakang rumah—ia melihatnya.
Sesuatu menggantung di dahan tertinggi.
Sebuah kepala. Dengan rambut panjang, wajah pucat, dan—benar—usus bergelantungan seperti tali menggantung.
Mata kepala itu terbuka… dan menatap langsung ke arah Reno.
Jantungnya seperti berhenti berdetak. Ia tak bisa bergerak. Tak bisa berteriak. Hanya berdiri, terpaku, menatap sosok itu yang perlahan… terbang turun dari pohon.
Reno mundur selangkah. Dua. Tiga. Lalu berbalik dan berlari masuk rumah.
Pintu ia tutup keras-keras. Ia bersembunyi di balik dinding, napas memburu, tangan gemetar hebat.
“Gila… apa itu tadi… Astaga…”
Di luar, angin menderu. Genting rumah bergetar. Dan suara lolongan anjing semakin keras.
Malam pertama Reno di Koto Lamo, baru saja dimulai.
Dan ia belum tahu… bahwa itu hanya permulaan dari segalanya.
Pagi di Dusun Koto Lamo tidak seperti pagi kota. Tak ada suara kendaraan, hanya lenguhan kerbau, langkah orang menimba air, dan suara ayam yang terdengar seperti konser tak beraturan. Matahari baru setinggi daun pisang, tapi hawa lembab dari tanah masih belum hilang sejak semalam.
Di dalam rumah kayu tua warisan orang tuanya, Reno terbangun dengan kepala berat dan napas masih tak teratur. Malam itu masih membekas jelas di benaknya. Sosok kepala melayang, rambut panjang, usus yang bergelantungan—semuanya seperti potongan mimpi buruk yang tak mau pergi.
Reno meneguk air putih dari botol di sebelah kasur. Tangan kirinya gemetar. Tapi ia mencoba bersikap biasa. Ia tak mau terlihat lemah oleh dirinya sendiri.
"Mungkin itu cuma halusinasi karena kecapekan," gumamnya, meski suara dalam hatinya berkata lain.
Tiba-tiba, dari luar jendela terdengar suara orang bernyanyi...
"Kalau kau suka hati... tepuk tangan! Plak plak! Kalau kau suka hati... tepuk tangan! Plak plak!"
Reno mengerutkan dahi.
"Kalau kau suka hati... mari kita ke warung, beli kopi sama donat, biar hidup tak murung!"
"Apaan sih..." Reno berjalan ke jendela, mengintip keluar.
Tampak seorang pria dengan topi koboi mainan, kaos kuning ngejreng bertuliskan "Anti Miskin Club", dan celana sobek-sobek sampai lutut, berdiri sambil membawa kantong plastik besar. Ia menatap rumah Reno, lalu tiba-tiba berseru:
"WOY! RENOOO!! HIDUP LAGI KAU YA, HAAAH?!"
Reno tertegun.
"...Ajo?"
"SIAPAAA LAGI KALAU BUKAN AKUUU! HAHAHAHA!"
Pria itu adalah Ajo Randi, teman masa kecil Reno. Kalau Reno dulu dikenal pendiam dan kutu buku, Ajo adalah kebalikannya. Gokil, suka ngelawak, dan seolah tak pernah kenal malu. Mereka sempat sangat akrab sebelum Reno pindah ke kota setelah SMP. Ajo tetap di dusun, mengurus warung kelontong warisan orang tuanya.
Reno membuka pintu dan berdiri di tangga.
"Astaga, Ajo. Kau masih hidup rupanya."
"Loh, kok nanya gitu? Memangnya aku hantu? Ihh... serem ah!"
"Ya, siapa tahu. Di sini, hantu kan bisa nyanyi juga." Reno setengah bercanda, setengah serius.
Ajo naik ke tangga, lalu menepuk pundak Reno.
"Kau ni ya, udah lama nggak pulang, langsung muka muram gitu. Kayak orang baru nyium bangkai!"
"Lebih parah, mungkin," gumam Reno, tapi tak ingin menjelaskan lebih jauh. Ia belum yakin cerita tentang kepala melayang itu bisa diceritakan tanpa terdengar gila.
"Masuklah. Kita ngopi dulu," ajak Reno.
"Wah, nggak bisa. Kopinya aku yang bawa nih, satu plastik. Tapi air panasnya minta ya."
Reno tertawa kecil. Meski duniannya semalam seolah berantakan, kehadiran Ajo memberikan sedikit cahaya di sudut pikiran gelapnya.
Beberapa menit kemudian, mereka duduk di beranda rumah dengan dua gelas kopi tubruk dan sepiring kerupuk kulit.
"Dusun ini masih aja begini ya. Bau tanah, suara jangkrik, dan... ya, serasa nggak ada yang berubah," kata Reno.
"Eh, jangan salah. Sekarang sinyal udah 4G loh. Kadang kalau angin dari selatan, malah bisa 5G, tapi harus berdiri di atas genteng sambil megang panci."
Reno nyengir.
"Kau tetap nggak berubah ya, Jo."
"Lah, kalau berubah nanti malah jadi buaya. Janganlah. Cukuplah buaya itu di kota aja."
Obrolan mereka berlanjut ringan. Tentang masa kecil, tentang orang tua mereka, dan kabar-kabar warga dusun. Tapi perlahan, arah pembicaraan mengarah ke hal-hal yang lebih gelap.
"Eh, Ren," kata Ajo tiba-tiba, "Semalam kau tidur nyenyak?"
Reno menoleh pelan.
"Nggak juga. Kenapa?"
"Soalnya semalam... aku juga nggak bisa tidur. Ada yang aneh."
"Aneh gimana?"
Ajo menatap kosong ke arah kebun belakang.
"Anjing-anjing menggonggong nggak berhenti. Terus... aku lihat bayangan terbang di atas rumah Pak Anto."
"Kepala...?" Reno langsung refleks.
Ajo menatap Reno dengan cepat. Keduanya diam.
"Kau juga liat?" tanya Ajo setengah berbisik.
Reno mengangguk pelan.
"Tapi aku nggak yakin. Mungkin cuma lelah, mataku kabur."
Ajo mengambil napas panjang.
"Reno... aku nggak tahu kau masih percaya sama hal-hal kayak begini. Tapi di dusun ini, orang-orang tua bilang... 'kalau malam sunyi dan anjing menggonggong panjang, jangan keluar rumah. Bisa-bisa pulang tinggal kepala.'"
Suasana mendadak sunyi. Angin lewat, membuat suara dedaunan berbisik.
"Kau tahu Palasik, kan?" tanya Ajo lagi.
Reno mengangguk. "Dulu cuma cerita nenek. Buat nakut-nakutin anak-anak."
"Iya, tapi beberapa tahun belakangan... banyak kejadian aneh. Ibu hamil keguguran, bayi lahir prematur dan meninggal tanpa sebab. Nggak semua cerita masuk akal, Ren. Tapi kejadian-kejadiannya nyata."
Reno menatap kopi yang mulai mendingin.
"Aku nggak tahu harus percaya atau tidak. Tapi kalau yang kulihat semalam itu nyata... kita dalam bahaya, Jo."
Ajo memukul pahanya sendiri.
"Makanya! Kau balik pas waktu yang... bisa dibilang buruk. Tapi ya... juga bisa jadi waktu yang tepat."
"Maksudmu?"
Ajo menatap Reno dengan senyum tipis.
"Karena kita bakal nyari tahu bareng. Kita berdua. Kayak dulu waktu nyari kodok raksasa di rawa-rawa."
Reno tertawa lepas. Suara tawa yang langka setelah sekian tahun.
"Itu kodok raksasa ternyata cuma ember rusak."
"Ya! Tapi petualangannya yang keren! Sekarang kita hadapi Palasik, kepala beterbangan, usus menjuntai... Tapi jangan takut. Karena aku, Ajo Randi, anak muda paling ganteng se-Koto Lamo, siap melindungimu!"
"Dengan gayamu itu? Yang lari duluan kalau lihat cacing?"
"Eh, itu cacingnya besar banget, Ren! Panjangnya segini!" Ajo menunjukkan ukuran sepanjang lengan.
Tawa kembali meledak di antara mereka. Untuk sesaat, seolah dusun ini hanyalah dusun biasa. Tanpa kepala beterbangan. Tanpa suara ketukan dari dinding.
Tapi saat sore mulai menjelang dan bayangan matahari mulai memanjang di tanah, Reno kembali teringat—malam akan datang. Dan malam di Dusun Koto Lamo... bukan malam biasa.
Malam itu datang lebih cepat dari biasanya. Langit gelap tanpa bulan, hanya bintang yang tersebar jarang seperti biji-biji jagung tercecer. Rumah kayu peninggalan orang tua Reno berdiri sendirian di tengah kebun yang sebagian sudah jadi semak-semak liar.
Reno berdiri di ambang pintu, memandang gelap yang mulai merayap. Suara jangkrik nyaring, dan dari kejauhan kadang terdengar lolongan anjing yang membuat bulu kuduk berdiri. Di sebelahnya, Ajo sudah mulai sibuk dengan termos air panas dan gelas kopi.
"Ren, kalau malam begini jangan terlalu mikir yang aneh-aneh. Coba kau dengar suara malam—tenang, hening, nyenyak. Ini suara dusun yang asli. Bukan dusun versi sinetron yang penuh teriakan dan rebutan warisan."
Reno hanya melirik, tapi senyum tipis muncul di wajahnya. Ajo, dengan segala kelucuannya, seperti bisa membuat malam menjadi lebih ringan.
"Tapi serius, Jo. Aku nggak bisa tidur tadi malam. Tiap aku pejam, aku selalu dengar suara... seperti gesekan sesuatu dari dinding kamar. Kayak... kuku."
Ajo mendadak diam.
"Kamar yang mana?" tanyanya pelan.
"Kamar lama ayah."
"Ah... itu kamar yang sebelah belakang, kan? Yang langsung menghadap ke semak bambu?"
Reno mengangguk.
Ajo meletakkan gelas kopinya, lalu berdiri dan menatap ke arah rumah.
"Ren, ada hal yang aku belum sempat bilang. Sejak kau pindah ke kota, rumah ini sebenarnya nggak pernah benar-benar kosong. Maksudku... kadang ada yang bilang melihat cahaya dari jendela belakang. Kadang suara-suara. Tapi orang kampung nggak ada yang berani masuk. Mereka percaya rumah ini masih dijaga. Atau... ditempati."
"Ditempati...?"
Ajo mengangguk pelan.
"Ada yang bilang, setelah ibumu meninggal, arwahnya tak pernah benar-benar pergi. Ada juga yang bilang... Palasik bisa hinggap di rumah yang ditinggalkan. Mereka butuh tempat gelap, sunyi, dan... beraroma darah."
Reno memandang rumah itu dengan pandangan kosong. Ia tak tahu apakah harus percaya atau tidak. Tapi fakta bahwa malam ini ia akan tidur di rumah itu lagi, membuatnya sedikit gemetar.
Malam semakin larut. Ajo memutuskan untuk bermalam di rumah Reno, meski dengan alasan yang dibuat-buat.
"Bukan karena takut loh ya. Ini murni demi solidaritas! Aku nggak mau kau kesepian kayak tokoh utama film Korea."
Mereka akhirnya tidur di ruang tengah, membentang kasur lipat dan menyandarkan badan ke dinding.
Sekitar pukul dua dini hari, Reno terbangun. Bukan karena mimpi, tapi karena suara.
“Krekk... krek... krek...”
Suara itu seperti gesekan kuku panjang di dinding kayu. Perlahan. Lalu hening. Lalu muncul lagi.
Reno membuka mata. Ajo masih tertidur, bahkan mulutnya terbuka, mengeluarkan dengkuran yang entah mirip apa.
Reno bangkit perlahan, mengambil senter kecil dari meja. Ia berdiri dan berjalan mengendap menuju dinding yang tadi terdengar bunyi.
Tiba-tiba...
TOK... TOK... TOK...
Suara ketukan dari dinding. Tiga kali. Jelas. Pelan, tapi tajam.
Reno menahan napas.
TOK... TOK...
Dua ketukan lagi. Kali ini dari sisi lain dinding.
Ia menyorotkan senter ke sana. Tidak ada apa-apa.
Kemudian terdengar bisikan. Sangat pelan, seperti suara yang merayap di dalam telinga.
"Pulangkan... pulangkan..."
Reno mundur perlahan. Matanya membelalak. Suara itu bukan dari luar... tapi dari dalam dinding.
Tiba-tiba terdengar suara keras...
"WOOY! ADA APA INI?!" Ajo bangun sambil panik, masih dengan rambut acak-acakan dan sarung yang hampir melorot.
Reno menoleh. Ia menunjuk dinding.
"Ada... suara dari situ... kayak ada yang minta dipulangkan."
Ajo mendekat, menempelkan telinganya ke dinding. Ia diam beberapa detik, lalu melompat mundur dengan ekspresi kaget.
"Ren... sumpah ya, itu suara siapa? Aku denger. Serius denger!"
Tiba-tiba lampu di ruang tengah berkedip—sekali, dua kali, lalu mati total.
Reno dan Ajo hanya bisa saling menatap dalam gelap. Detik itu, suara dari dinding kembali muncul, kali ini jelas dan parau:
"JANGAN DIUSIK..."
Kemudian, dari atap terdengar bunyi berat seperti sesuatu yang merayap. Pelan. Tapi jelas. Disusul oleh suara seperti napas... atau desahan panjang.
“Hhhhkkkkkkkk...”
Ajo merapat ke Reno.
"Bro... boleh peluk nggak? Demi Tuhan ini bukan waktunya jaga gengsi."
Reno mencoba tetap tenang. Ia meraih senter dan menyorotkan ke atas.
Tak ada apa-apa. Tapi bayangan di dinding... menunjukkan sesuatu melayang di langit-langit.
Sesuatu... tanpa tubuh.
Pagi menjelang dengan langit pucat. Embun menempel di daun jambu dan pagar bambu yang sudah mulai lapuk. Setelah malam penuh teror itu, Reno dan Ajo tidak benar-benar tidur. Mereka duduk berdua di ruang tengah hingga fajar menyingsing, hanya ditemani kopi yang sudah dingin dan senter yang baterainya hampir habis.
Ajo memeluk bantal sambil menggumam, “Ren, serius ya… kalau ini film, kita udah masuk setengah jam pertama yang serem banget.”
Reno hanya mengangguk. Ia masih kepikiran dengan suara dari dinding. Apalagi bayangan di langit-langit yang seperti melayang tanpa tubuh. Apakah itu benar Palasik? Atau sesuatu yang lain?
“Jo, kau yakin masih mau nginep di sini malam nanti?”
Ajo melirik ke arah Reno. “Kalau bisa sih nggak. Tapi ya… masa’ ninggalin kau sendirian? Lagian aku penasaran. Ini kayak petualangan mistis level dewa.”
Mereka keluar dari rumah, menyusuri jalan setapak menuju sumur tua yang terletak di belakang rumah, tersembunyi oleh semak dan pohon pisang. Reno ingat, dulu waktu kecil ibunya selalu bilang untuk tidak bermain dekat sumur itu. Dulu, ia mengira alasannya karena takut jatuh. Tapi sekarang, ia bertanya-tanya apakah ada alasan lain.
Sumur itu disebut warga sebagai Sumur Buta. Bukan karena tak punya dasar, tapi karena ia selalu gelap, bahkan saat siang bolong. Orang bilang, sumur itu pernah menjadi tempat bersemedi seseorang yang mendalami ilmu hitam.
Reno berdiri di tepi sumur, memegang senter yang kini sudah diganti baterainya.
“Jo, kau lihat nggak? Dalam banget ya.”
Ajo menyipitkan mata, lalu mengambil batu kecil dan melemparkannya ke dalam.
Satu detik.
Dua detik.
Tiga.
Tak ada suara jatuh.
“…kok nggak ada bunyi?” gumam Ajo.
“Makanya disebut sumur buta, Jo.”
Reno menyorotkan senter ke dalam. Cahaya hanya menyorot beberapa meter ke bawah, lalu menghilang ditelan gelap.
Tiba-tiba, dari dalam sumur terdengar… suara lirih.
“…anak… pulang….”
Reno dan Ajo saling berpandangan.
“Ren, kau denger nggak barusan?!”
“Aku kira cuma aku yang dengar.”
Mereka mundur beberapa langkah. Hawa dingin tiba-tiba menyeruak dari dalam sumur, seperti nafas panjang yang dingin dan lembap. Ajo bergidik.
“Wah, ini sumur bukan tempat wudhu, ini tempat portal setan. Mending kita panggil orang pintar deh, Ren.”
Reno mengangguk setuju. Tapi siapa? Di dusun ini, dukun yang dikenal ahli sudah lama meninggal. Namun Ajo punya ide.
“Masih ingat Pak Yahya? Yang dulunya guru ngaji kita waktu kecil?”
Reno teringat. Pak Yahya adalah sosok tua yang tenang, tinggal di pinggir dusun dekat area sawah. Ia dikenal suka menyepi, bahkan kadang dianggap aneh karena sering berbicara sendiri.
“Tapi dia bukan dukun, Jo.”
“Justru itu. Dia tahu banyak, tapi nggak pernah makai. Dia bisa bantu kita dari sisi agama. Bukannya kita butuh itu juga?”
Mereka pun memutuskan untuk mengunjungi Pak Yahya.
Rumah Pak Yahya seperti rumah dari masa lalu. Dinding papan, jendela kecil dengan kawat nyamuk yang bolong, dan suara angin berdesir di sela-sela atap.
Pak Yahya sedang menyapu halaman saat mereka tiba.
“Assalamualaikum, Pak!” seru Ajo.
Pak Yahya menoleh. Wajahnya keriput, tapi matanya masih tajam.
“Waalaikumsalam. Lah, Reno? Pulang kampung rupanya.”
“Iya, Pak. Ada hal yang ingin kami tanyakan. Boleh bicara sebentar?”
Pak Yahya mengangguk dan mempersilakan mereka masuk.
Setelah duduk dan disuguhi air teh manis, Reno pun menceritakan semuanya. Dari kepala melayang, suara di dinding, hingga suara dari sumur buta.
Pak Yahya tak langsung bicara. Ia mengelus jenggotnya, termenung cukup lama.
“Apa kalian tahu, Reno, Ajo… bahwa rumahmu dulu bukan cuma rumah biasa?”
Reno dan Ajo saling pandang.
“Dulu… ayahmu pernah mengobati orang. Tapi ia juga pernah ikut dalam kelompok orang-orang yang mempelajari ilmu pelindung dusun. Salah satunya… adalah dengan ‘menyimpan’ sesuatu.”
“’Menyimpan’?” tanya Reno.
“Iya. Dalam dunia ini, ada entitas yang bisa dijadikan ‘penjaga’. Tapi mereka harus diberi tempat. Dan terkadang… tempat itu adalah rumah. Atau sumur.”
Reno merasa lemas.
“Jadi maksud Bapak, rumah kami menyimpan… Palasik?”
“Belum tentu. Tapi bisa jadi sesuatu yang berhubungan. Dan suara yang kalian dengar dari sumur… bisa jadi arwah yang terperangkap. Atau… bagian dari entitas itu sendiri.”
Ajo merinding. “Pak… jadi apa yang harus kami lakukan?”
Pak Yahya bangkit, lalu masuk ke bilik kecil di dalam rumahnya. Ia kembali membawa sebuah kitab tua dan seikat daun-daunan kering.
“Malam ini… kita akan mencoba menyapa makhluk itu. Tapi kalian harus siap. Jangan takut… karena kalau kau goyah, dia bisa masuk.”
Reno menelan ludah.
Ajo menyenggol lengan Reno dan berbisik, “Bro, serius… kita mainnya udah bukan di level dusun lagi. Ini udah kayak film horor yang mau tamat babak pertama.”
Reno menjawab lirih, “Sayangnya, film kita masih panjang, Jo.”
Dan mereka pun bersiap menghadapi malam yang akan datang. Malam yang tak akan pernah mereka lupakan.
Langit malam itu kelabu. Awan hitam menggantung berat seperti pertanda bahwa sesuatu akan datang. Angin malam berembus pelan namun dinginnya menusuk hingga ke tulang. Desa kembali sunyi, hanya sesekali terdengar suara burung hantu dari arah pepohonan bambu.
Di ruang tengah rumah Reno, tiga sosok duduk bersila di atas tikar pandan. Pak Yahya membuka kitab tua yang dibawanya siang tadi. Di hadapannya telah disiapkan mangkuk tanah liat berisi air, seikat daun kelor, sebatang kemenyan, dan sepotong kain kafan yang tampak usang.
Ajo sudah mulai gelisah dari tadi. Ia terus-menerus menyeka keringat meski udara sangat dingin.
“Ren... kau yakin ini aman? Jangan sampai besok aku muncul di berita dusun sebagai ‘Pemuda Hilang Tertelan Sumur Gaib’. Aku belum sempat nikah!”
Reno menatap Ajo dengan senyum lelah. “Jo, kalau kau takut, kau boleh keluar. Tapi aku harus lanjut. Aku nggak mau rumah ini terus dihantui.”
Ajo menggeleng cepat. “Nggak bisa. Kalau kau mati, aku juga ikut. Biar kisah kita jadi legenda.”
Pak Yahya mengangkat tangan, memberi isyarat agar mereka diam.
“Mulai saat ini, jangan bicara sembarangan. Jangan berpikir kotor. Jangan takut. Aku hanya bisa bantu membuka jalur komunikasi. Tapi kalian harus siap menahan apapun yang muncul.”
Reno dan Ajo meneguk ludah bersamaan.
Pak Yahya mulai membakar kemenyan. Aroma tajam menusuk hidung. Asap putih menari perlahan di udara, seperti membentuk bentuk-bentuk aneh. Pak Yahya mulai melafalkan doa dalam bahasa Arab yang terdengar berat dan dalam.
Setelah beberapa menit, suasana di dalam ruangan berubah drastis.
Udara menjadi lebih padat. Lampu petromak yang mereka nyalakan mulai berkedip pelan. Suara jangkrik dari luar tiba-tiba lenyap.
Pak Yahya menutup kitabnya.
“Dia... sudah datang.”
Tiba-tiba, suara seperti desiran angin muncul dari belakang mereka. Reno menoleh cepat, dan dari arah dapur, bayangan hitam melintas sekilas. Ajo mencengkeram tangan Reno.
“Sumpah... tadi aku lihat kepala. Kepala doang. Melayang!”
Pak Yahya menatap ke arah pintu dapur.
“Siapa kau?” tanyanya tenang.
Tidak ada jawaban. Tapi dari atap terdengar suara...
Dug... dug... dug...
Seperti sesuatu yang merayap berat.
Pak Yahya mengangkat mangkuk air dan menaburkan daun kelor ke dalamnya. Air bergolak seketika, meski tidak disentuh apapun.
“Jika kau datang membawa niat jahat, aku perintahkan pergi dengan nama-Nya. Jika kau membawa pesan... katakan.”
Asap kemenyan menggumpal membentuk sesuatu. Bayangan samar kepala melayang... dengan rambut panjang acak-acakan dan mata merah menyala.
Ajo hampir pingsan.
“Bro... bro... itu bukan filter TikTok, kan?”
Reno menatap entitas itu dengan tubuh gemetar.
“Siapa kamu... kenapa kau di rumah ini?”
Suara berat dan serak terdengar dari entitas itu, seolah keluar dari kedalaman tanah:
“Darah yang lama... belum lunas. Pengkhianatan... belum terbayar. Anak itu... harus tahu.”
Pak Yahya menyipitkan mata.
“Anak siapa yang kau maksud?”
Bayangan kepala itu mengarah tepat ke Reno.
“Anak dari penjaga... pewaris janji.”
Tiba-tiba tubuh Reno kejang. Ia jatuh ke belakang, matanya terbuka lebar namun kosong. Ajo berteriak panik, “RENO! RENOOOO!”
Pak Yahya segera mengambil air dari mangkuk dan memercikannya ke wajah Reno sambil membaca ayat.
Tubuh Reno menggeliat hebat, lalu... diam.
Beberapa menit kemudian, Reno membuka mata. Tapi bukan Reno yang biasanya. Wajahnya dingin, suaranya berubah rendah dan berat.
“Aku... yang dulu ditanam di sumur. Aku... yang dibuang saat janji dilanggar. Aku menunggu... darah yang sama... kembali.”
Ajo mundur ke dinding. “Pak... ini kerasukan beneran ya?! Jangan-jangan ini Palasik?”
Pak Yahya tetap tenang.
“Kalau benar dia yang ditanam, maka kita harus gali cerita masa lalu keluarga Reno. Ini bukan lagi tentang rumah angker. Ini tentang perjanjian tua.”
Reno tiba-tiba menjerit keras, lalu terhuyung dan roboh. Saat ia siuman, ia hanya ingat suara dalam kepalanya:
“Sumur... dan kamar ayah... adalah kunci.”
Pak Yahya menutup kitabnya dan berkata pelan, “Kita baru mulai, Reno. Tapi malam ini kita sudah tahu... bahwa ada rahasia besar yang tersembunyi di rumahmu.”
Ajo memandang Reno, lalu menghela napas panjang.
“Bro, gue nyesel nggak ambil jurusan IT aja. Kayaknya lebih aman ngoding daripada ngelawan setan.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!