NovelToon NovelToon

Bayangan Sang Kembar

Saat Dunia Tak Lagi Sama

Di sudut taman sekolah, tak jauh dari koridor utama, seorang gadis duduk sendiri. Earphone menempel di telinganya, musik mengalun mengisi ruang pikirannya yang sepi. Wajahnya datar. Tatapannya kosong, seperti menatap dunia yang tidak dimengerti siapa pun. Dia adalah Zee Vanya Alexandra Wolfe—gadis yang dikenal dingin, pendiam, dan enggan berbaur jika tak benar-benar perlu.

Beberapa siswa yang melintas hanya sekilas melirik lalu segera mengalihkan pandangan. Mereka tahu, Zee bukan tipe yang bisa diajak ngobrol santai. Suasana di sekitarnya seolah memberi jarak—tak terlihat, tapi nyata.

Tiba-tiba ponselnya bergetar di saku seragam.

Zee mengerutkan kening, sedikit terganggu. Dengan gerakan malas, ia mengeluarkan ponsel dan membuka layarnya.

Satu pesan masuk.

(Zee... Meninggal)

Jantungnya seperti di remuk dari dalam. Jemarinya lunglai, ponsel nyaris terlepas.

Tidak… Ini pasti salah. Ini pasti lelucon bodoh.

Namun rasa dingin menjalari tengkuknya. Tanpa berpikir panjang, Zee berdiri dari bangku dan berlari menuju kelas. Panik menggerogoti wajah tenangnya. Ia berlari, napasnya tak beraturan, menghancurkan citra dingin yang biasa ia tampilkan.

Beberapa siswa memperhatikan, bingung dan cemas. Bukan setiap hari mereka melihat Zee panik—gadis itu biasanya seperti tak tersentuh oleh apa pun.

Zee menerobos masuk ke kelas, mengambil tasnya dengan tangan gemetar.

“Zee kenapa, ya?” bisik Rara pada Dara, menyaksikan Zee yang buru-buru pergi tanpa suara.

“Gue juga bingung. Tapi takut nanya. Tatapan dia barusan... kayak orang yang baru kehilangan dunia.”

•••

Zee melaju di jalanan dengan motornya. Angin malam menghempas wajahnya, tapi ia tak peduli. Jemarinya mencengkeram setang kuat-kuat, seakan itu satu-satunya cara agar pikirannya tetap waras.

Tujuannya hanya satu: mansion keluarga. Di sana... jenazah Zia dibaringkan.

Zee menolak percaya. Tapi semakin dekat ia tiba, semakin nyata semuanya terasa.

Di depan rumah, sudah banyak orang berkumpul. Tapi ia tak menggubris mereka. Langkahnya besar, tergesa. Saat memasuki ruang tengah, dunianya benar-benar runtuh.

Tubuh itu... terbaring diam.

Zia.

Adik kembarnya. Bagian dari dirinya yang tak terpisahkan.

Zee jatuh berlutut di samping tubuh itu, tangannya gemetar saat menyentuh lengan dingin Zia.

“Mana janji lo mau ajak gue jalan-jalan liburan nanti? Zia… bangun… Bangun, Zi…”

Tangisnya pecah. Bukan hanya air mata yang jatuh, tapi juga semua dinding pertahanan yang selama ini dia bangun.

Zee tak lagi dingin. Tidak di hadapan Zia.

“Sayang…” suara lembut sang mommy, Zavira Wolfe, menggetarkan bahunya. Ia memeluk putrinya perlahan, mencoba memberi kekuatan di tengah kehilangan yang sama.

“Zia sudah pergi, Nak… Dia udah tenang sekarang…”

Zee hanya mengangguk perlahan, menatap mommynya dengan pandangan kosong. Tapi air matanya terus mengalir.

•••

Di pemakaman, tanah merah masih basah. Bunga-bunga segar menutupi pusara yang baru saja ditutup. Di sana, tiga sosok berdiri—diam, bisu oleh duka.

Zidan Alexander Wolfe mencium nisan putrinya. “Selamat tinggal, sayang… Maaf belum bisa jadi ayah terbaik buat kamu.”

Zavira menyusul, suaranya gemetar. “Zia… Mommy akan selalu doakan kamu. Suatu hari nanti, kita akan ketemu lagi…”

Sementara Zee berdiri terpaku. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Matanya sembab, tapi tetap menatap nisan itu dengan keras kepala. Seolah menolak kenyataan.

“Sayang, ayo kita pulang…” bujuk sang ibu, pelan.

Zee tak bergeming.

“Zia akan sedih kalau kamu terus seperti ini…” tambah sang ayah.

Hening.

Akhirnya, suara dingin itu terdengar lagi, lirih… tapi jelas.

“Kalian pulang duluan. Aku masih mau di sini.”

Zidan ingin membantah, tapi sorot mata Zee menghentikannya. Ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang bahkan lebih dingin dari sebelumnya.

Ia hanya mengangguk pelan. “Baiklah… Tapi jangan lama-lama ya.”

Zee kembali menatap nisan itu. Dunia di sekelilingnya seakan membisu.

Sebuah janji terbentuk dalam diam--bukan sekedar tekad, tapi sesuatu yang gelap... dan tidak bisa dibatalkan.

Jejak?

Sudah beberapa hari sejak zia pergi, dan zee belum kembali ke sekolah. Ia masih terperangkap dalam duka--dan diam-diam mulai menyusun teka-teki di kepalanya.

Sore itu, Zee tak sengaja mendengar percakapan antara kepala sekolah asrama tempat Zia bersekolah dan kedua orang tuanya.

"Menurut penyelidikan awal... Zia kemungkinan besar bunuh diri," ucap kepala sekolah hati-hati.

Zee mengepalkan tangan. Omong kosong, batinnya. Ia tahu betul seperti zia sebenarnya. Ceria, hidupnya penuh semangat--mustahil Zia mengakhiri hidupnya sendiri.

Yang membuatnya makin marah, saat polisi dan detektif datang menawarkan bantuan penyelidikan, kedua orang tuanya justru menolaknya mentah-mentah.

“Ini takdir Zia,” ucap Zidan, datar. “Kalau ajalnya memang sudah sampai, mau bagaimana lagi?”

Zee ingin sekali berteriak, ingin membantah semua yang mereka katakan. Tapi ia tahu, suaranya tak akan berarti di tengah dinding penyangkalan itu.

 

Malam hari, pukul dua dini hari.

Zee masih belum bisa memejamkan matanya. Ia hanya membolak-balik tubuh di ranjangnya, hatinya dipenuhi rasa kehilangan dan amarah yang menyesakkan dada.

"Zia... kumohon, datanglah ke mimpiku. Aku rindu banget sama lo..." bisiknya lirih, memeluk bantalnya erat-erat.

Karena tidak juga bisa tidur, Zee bangkit. Ia melangkah pelan keluar dari kamarnya, menuju kamar Zia. Entah kenapa, ia merasa lebih tenang jika berada di sana.

Ceklek.

Begitu pintu terbuka, aroma vanila yang lembut langsung menyambutnya. Aroma favorit Zia. Zee tersenyum samar. Ia ingat, Zia sangat ingin punya kamar beraroma seperti itu.

Barang-barang Zia dari asrama telah dikirim pulang tadi sore. Rencananya, besok bibi mereka akan membereskannya. Zee duduk di atas ranjang Zia, lalu mengambil bingkai foto dari nakas. Foto mereka berdua saat berusia lima belas tahun. Zia tersenyum lebar, sedang Zee hanya tersenyum paksa.

Zee tertawa pelan, getir. Setetes air mata jatuh, tapi cepat-cepat ia hapus. Ia mengembalikan foto ke tempatnya, lalu memperhatikan buku-buku Zia yang menumpuk. Ia membuka satu per satu, hingga buku ketiga terasa aneh—kosong, tak ada tulisan apa pun.

Saat hendak mengembalikannya, selembar kertas tipis jatuh ke lantai.

"### Kertas apa ini?" gumam Zee, mengambil dan membacanya.

(Aku nggak nyangka, dia adalah pengkhianat. Aku sudah anggap dia saudara sendiri di asrama ini, tapi ternyata dia nusuk aku dari belakang.Aku dengar dia mau bunuh aku, cuma karena R suka dengan aku.

Dia pikir dia siapa? Tuhan?

Semoga aku nggak mati muda. Aku pengen nikah, pengen jalan-jalan sama kembaranku si beku itu, hehe..

Tapi jujur, aku takut. Kalau dia berencana ingin membunuh aku..

Aku mau cerita ke Zee, tapi aku nggak bisa telponan dengan dia.

Dia bisa lacak ponselku, dia jago bela diri.

Aku takut Zee kenapa-kenapa.

Andai aku kuat, aku akan balas dia. Tapi aku nggak bisa.

Dia dilindungi oleh orang berkuasa di asrama ini.

Aku juga pengen minta bantuan Daddy dan Mommy,tapi mereka terlalu sibuk. Kalau mereka turun tangan, dia pasti akan di keluarin dari sekolah.

Tapi aku nggak mau nyusahin mereka)

 

Zee membaca surat itu berkali-kali. Napasnya tercekat. Tangannya gemetar.

“Zia nggak bunuh diri...” bisiknya. “Dia dibunuh.”

Amarah menggelegak dalam dadanya. Kertas itu ia lipat rapi dan disimpan dengan hati-hati. Zee tak akan tinggal diam.

Pagi pun tiba. Suara burung bersahut-sahutan menyambut mentari yang perlahan menyembul di balik langit. Namun di kamar Zia, Zee masih tertidur, masih terbungkus selimut, seolah enggan menghadapi hari baru.

Sementara itu, di meja makan, Zidan dan Zavira telah rapi dengan pakaian kerja mereka. Sarapan pagi tersaji di hadapan mereka.

“Zee belum turun?” tanya Zidan sambil mengaduk kopinya.

“Kalau dia belum turun, artinya dia belum bangun,” jawab Zavira, mengoles selai kacang di atas rotinya. “Mungkin dia masih sedih. Kamu tahu sendiri anakmu itu gimana.”

Zidan menghela napas. “Aku ingin kamu berhenti kerja, Vir.”

Zavira menghentikan gerakannya. Tatapannya tajam, menusuk.

“Mas, udah berapa kali aku bilang? Aku gak akan berhenti kerja. Orang tua aku dulu banting tulang biar aku bisa kuliah. Masa sekarang aku lepas semua cuma karena kamu suruh?”

“Aku sanggup biayai kamu. Aku cuma pengen kamu lebih perhatian ke Zee. Zia udah nggak ada, Vir. Aku nggak mau kehilangan Zee juga,” ucap Zidan tegas.

Zavira memejamkan mata sejenak, lalu menatap suaminya.

“Zee bukan anak kecil. Dan Zia… Zia pergi karena dia lemah. Dia bunuh diri.”

 

Dari balik tembok, Zee yang ternyata sudah terbangun mendengar semuanya. Telinganya panas. Dadanya sesak. Tangannya mengepal erat.

“Dasar... brengsek...”

Bukan Sekedar Pindah

Pagi menjelang dengan tenang, seperti tak pernah terjadi apa-apa. Seperti biasa, keluarga Wolfe duduk di meja makan, menikmati sarapan dalam diam. Hanya denting sendok dan garpu yang terdengar, membentur piring-piring porselen mahal.

Zee menatap makanannya tanpa minat. Suasana meja makan seperti biasa—dingin dan kosong. Sama seperti hatinya sejak kepergian Zia.

Lalu, tiba-tiba…

“Aku mau pindah sekolah,” ucapnya datar, tanpa mengangkat wajah.

Zidan dan Zavira sontak saling berpandangan. Keheningan mendadak terasa lebih menusuk. Suara angin di luar bahkan terasa lebih nyaring dibanding percakapan mereka.

“Kenapa tiba-tiba, Nak? Ada masalah?” tanya Zavira perlahan, mencoba menjaga nada.

Zee menatap mommynya—dingin, namun menyimpan api kecil di balik matanya. Api yang sejak malam itu tak pernah padam.

“Aku cuma... ingin pindah,” ulangnya, suaranya lebih tegas, seolah tak memberi ruang untuk perdebatan.

Zidan meletakkan garpunya perlahan. “Zee, kamu tinggal setengah semester lagi. Kalau kamu pindah sekarang, semua catatan akademikmu harus disesuaikan. Apa tidak lebih baik menunggu kelulusan?”

“Aku tidak peduli,” potong Zee.

Zavira memberi kode pada suaminya. Kode yang selama ini berarti: ikut saja maunya, jangan ribut sekarang.

Zidan mengangguk kecil, menelan napas.

“Baik. Kalau itu keinginan kamu, Daddy akan bantu proses perpindahannya.”

“Kamu mau pindah ke mana?” tanya Zavira, suaranya lebih tenang.

“Wolfe House,” jawab Zee singkat—menyebut nama sekolah asrama elit milik keluarga mereka. Tempat yang dulu dihuni Zia.

Zidan tampak terkejut.

“Kamu sendiri yang bilang, kamu tidak suka tinggal di asrama. Aturannya ketat, dan kamu selalu bilang butuh ruang bebas.”

Zee menatap mereka berdua, tanpa ragu.

“Aku muak tinggal di rumah ini,” katanya pelan, namun nadanya penuh tekanan.

Kalimat itu menghantam mereka lebih keras dari sekadar permintaan pindah sekolah. Zavira membuka mulut hendak membalas, namun urung. Mereka sudah tahu—Zee tak akan mengubah keputusannya.

“Kalau itu yang kamu inginkan, Mommy dan Daddy izinkan,” ucap Zavira akhirnya, pelan.

Zee berdiri. Sarapannya nyaris tak disentuh.

“Kalian pasti lebih tenang bekerja kalau aku di asrama,” gumamnya lirih, setengah menyindir.

Tanpa menunggu balasan, ia melangkah pergi—meninggalkan ruang makan dan dua orang yang dulu ia sebut ‘rumah.’

 

Zee memacu motornya melintasi jalanan kota dengan kecepatan tinggi. Angin menerpa wajahnya, membuat rambutnya berkibar liar. Tapi di dalam pikirannya hanya satu hal berputar: kemunafikan.

Sudah dua hari sejak kepergian Zia. Dan kedua orang tuanya… masih bisa sarapan seperti biasa, bersiap kerja seperti biasa. Seolah kehilangan seorang anak bukan sesuatu yang pantas diratapi.

Orang lain mungkin mengira dia sedang menuju sekolah. Seragamnya rapi, helmnya menutup wajah. Tapi arah tujuannya berbeda.

Zee membelokan motornya, lalu memasuki sebuah area sunyi—pemakaman umum.

 

Ia melangkah perlahan di antara barisan batu nisan, hingga akhirnya berhenti di hadapan pusara yang masih basah.

"Zia Venya Alexandra Wolfe," tertulis jelas di nisan putih bersih.

Zee berjongkok, menyentuh nama itu dengan tangan yang mulai bergetar. Air matanya mengambang, tapi tak jatuh.

“Zia…”

“Apa lo baik-baik aja di sana? Gue harap… lo tenang.”

“Baru dua hari. Tapi rasanya kayak setahun. Gue bener-bener ngerasa kosong.”

Tangannya meremas tanah basah di atas pusara. Rasa marah dan kehilangan menyatu dalam satu gejolak yang tak bisa ia redam.

“Gue nemu surat lo, Zi. Gue tahu lo gak bunuh diri.”

“Gue gak peduli dengan hasil penyelidikan mereka yang setengah hati… Gue gak akan berhenti sampai tahu siapa yang bikin lo gini.”

Zee menarik napas panjang, menahan emosi yang mendesak naik ke tenggorokan.

“Dan jangan khawatir… gue gak akan minta bantuan dua orang itu. Orang tua kita yang bahkan gak tahu gimana caranya jadi orang tua.”

“Gue akan masuk ke Wolfe House. Gue akan gali semua yang lo sembunyikan… dan gue bakal temui pelakunya."

Ia menunduk lebih dalam, membisikkan kalimat terakhir dengan suara yang hampir tak terdengar:

“Tunggu gue, Zia… Gue bakal balas semuanya.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!