Pagi itu, kediaman keluarga Ningrat berubah seperti medan perang kecil. Para pembantu mondar-mandir dengan wajah panik, pelayan dapur berteriak karena panci rebusan hangus, dan Mama Dewi berkali-kali menekan ponselnya dengan suara tinggi penuh kecemasan.
Di balik pintu kamar megah bergaya klasik, seorang gadis dengan rambut berantakan sedang berdiri di depan cermin sambil mengernyit. Matanya membelalak membaca pesan dari sang mama yang baru saja masuk ke ponsel.
> “Sayang, siapkan diri. Besok keluarga calon suamimu akan datang. Mereka ingin bertemu sebelum tanggal pertunangan ditetapkan.”
“Calon suami? Besok?” gumam Dewi, wajahnya berubah pucat. “Hah?!”
Kertas undangan pertunangan yang belum tercetak seakan sudah menjerat lehernya.
Dewi Ayu Ningrat, gadis ningrat berdarah biru, seharusnya bersikap anggun dan menerima semua yang ditetapkan keluarganya. Tapi dia berbeda. Meski lahir dari keluarga terpandang, sikapnya jauh dari kata “bangsawan”. Ia blak-blakan, jenaka, dan berani bicara. Sopan, iya. Tapi bukan berarti dia bisa dipaksa menikah dengan pria yang bahkan belum pernah ia lihat.
“Katanya dia pebisnis sukses,” keluh Dewi sambil duduk di pinggir ranjang. “Tapi usianya… empat puluh lebih? Bau tanah, dong?!”
Gemetar bukan karena takut menikah, tapi karena harga dirinya menolak dijadikan hadiah politik atau aliansi bisnis. Ia menatap koper merah di pojok kamar, mengembuskan napas panjang, lalu berdiri.
“Udah cukup. Hidupku bukan papan catur.”
Tangannya cekatan meraih baju secukupnya, skincare favorit, beberapa kaus, dan sepatu kets andalan. Ia bahkan sempat menyelipkan satu kebaya mewah—karena siapa tahu dunia luar tetap menuntutnya tampil elegan. Setelah rapi, ia menulis sepucuk surat di atas meja rias.
"Mama, Papa... maaf. Aku sayang kalian, tapi kali ini aku nggak bisa ikut permainan ini. Aku ingin memilih sendiri siapa yang menemaniku seumur hidup. Doakan aku baik-baik saja. Jangan cari aku. Aku akan baik-baik saja"
– Dewi
Ia menatap ruangan kamarnya untuk terakhir kali. Dinding berornamen ukiran emas, lukisan leluhur keluarga, tempat tidur ratu yang empuk… Semua tak lagi menarik jika hatinya terkekang. Sambil membawa koper kecil dan mengenakan hoodie favorit, Dewi menyelinap keluar lewat pintu belakang, naik taksi online yang sudah dipesan sebelumnya.
Tujuannya? Jakarta. Tempat Naya—sahabatnya sejak kuliah tinggal seorang diri. Tempat ia bisa mulai dari nol dan hidup sebagai orang biasa.
Mobil mulai melaju, meninggalkan halaman besar yang selama ini membatasi langkahnya.
Dewi menatap ke luar jendela, senyumnya tipis tapi mantap.
“Aku bukan kabur karena takut. Tapi karena aku berani. Dan ini... awal hidupku yang baru.” gumam Dewi dalam hati.
Saat di perjalanan ia baru ingat jika ia ingin menghubungi sahabatnya.
(Grup Chat: Duo Gila – Dewi & Naya)
Dewi: " NAYA....! AKU.DI JODOHKAN" 😭😭😭
Naya: "APAAA??? Sama siapa??
Oke, napas dulu, kita urai masalah ini" 😳
Dewi: Katanya sih pengusaha kaya raya, temen bisnisnya Bapak...
TAPI UMURNYA 40++
Aku nggak mau jadi istri pria bau tanah! 😤
Naya: 🤣 ' Dew, plis... jangan gitu.
Mungkin dia wangi?"
Dewi: "Wangi balsam, Naya! Aku yakin!
Dan tau nggak???
Aku udah kabur dari rumah! 😎
Naya: "HAH?! KAMU SERIUS?"
Dewi: Lagi duduk manis di mobil menuju Jakarta.
Goodbye rumah bergaya keraton, hello dunia bebas! 😌
Naya: "Dewi Ayu Ningrat... kamu ningrat rasa receh 🤦♀️
Terus kamu mau ngapain di Jakarta?"
Dewi: " Ngilang... Cari kerja, makan seblak, hidup normal.
Pokoknya, aku mau jadi rakyat biasa!"
Naya: "Kamu pikir ini sinetron?"
Dewi: "Kalau ini sinetron, aku perannya tokoh utama cewek yang kabur dari perjodohan dan akhirnya ketemu cinta sejatinya.
Yang penting jangan bos galak ya..."
Naya: "Awas ntar malah jatuh cinta sama bos sendiri " 😏
Dewi: "HAHAHA. Plis lah.
Aku cukup trauma sama pria 'kaya raya tapi tua'.
Gila aja kalau sampai jatuh cinta lagi"
Naya: "Jangan jumawa dulu, Dew. Kadang cinta itu...
Datangnya dari lift kantor" 🤭
Dewi: NOOO—
Eh, bentar, busnya berhenti.
Aduh... kayaknya aku salah turun...
Naya: " KAMU DI MANA LAGI, WEH?"
Dewi:
Chat ended. Dewi left the chat.
Jakarta.
Panas. Ramai. Padat. Berisik.
Dan Dewi? Berdiri di pinggir trotoar sambil menyeret koper kecil, menatap peta di ponsel dengan ekspresi seperti baru tersesat di dunia antah-berantah.
“Jakarta keras, men,” gumamnya, lalu melanjutkan jalan sambil menyeruput es teh jumbo dari abang-abang kaki lima.
Setelah nyasar dan hampir turun di terminal yang salah, Dewi akhirnya berhasil mencapai tujuan: rumah sahabatnya yang paling setia, Naya.
Naya tinggal sendiri di rumah mungil bergaya minimalis, jauh dari kesan ningrat. Tapi bagi Dewi, rumah itu serasa surga setelah drama perjodohan dan kekacauan keluarga.
"Aku chat dia dulu takut bukan rumah ya kan malu" ujar Dewi lalu membuka grup chat miliknya.
(Grup Chat: Duo Gila - Dewi & Naya)
Dewi: "NAYAAAAAAAA
AKU DI DEPAN GERBANG.
Buka pintunya sebelum aku berubah pikiran dan pulang ke neraka! 😫
Naya:
Gerbang? Itu pagar, Dew. Rumahku bukan istana 😒
Tunggu, aku keluar.
(10 menit kemudian)
Dewi:
Nay.
10 menit.
Aku bisa masak mie instan + nonton sinetron 3 episode.
Mana kamu?
Naya:
Bentar! Aku lagi bersihin piring bekas seminggu 🙈
Kamu tuh datang tiba-tiba kayak hantu gentayangan.
Dewi:
Lebih baik jadi hantu daripada istri pria 40 tahun 🙃
Setelah menjadi menunggu hampir satu jam akhirnya yang di tunggu keluar juga.
Di depan pintu berdiri seorang cewek berambut pendek yang langsung memeluk Dewi begitu melihatnya.
“NINGRAT PALSU!” teriak Naya, setengah ketawa setengah nangis.
Dewi terkekeh sambil memeluk balik. “Warga jelata siap bergabung!”
Setelah itu mereka pun masuk rumah,
"Kamu bawa apa aja sih itu?
Kenapa koper kamu isinya 80% skincare dan 20% kebaya?" tanya Naya heran
"Karena walau aku rakyat biasa, aku tetap glowing.
Dan siapa tau kerjaanku nanti butuh dandan cantik. Jangan remehkan kebaya!" jawab Dewi
"Oke, Putri Turun Tahta.
Ngomong-ngomong, kamu mau kerja di mana?" tanya Naya
"Belum tahu...
Pokoknya besok aku mau cari kerja. Asal jangan jadi ART aja." jawab Dewi asal
"ART tuh mulia, Dew.
Tapi aku ngerti, kamu takut disuruh nyapu pake sarung batik emas... Hehehe" ujar Naya
"Lah iya! Aku tuh biasanya nyuruh orang, masa sekarang harus nyuruh diri sendiri?
Eh tapi aku serius ya Nay...
Aku mau mandiri." jelas Dewi dengan sungguh-sungguh.
Dalam hati Naya ada rasa haru dan juga geli melihat sahabat terbaik nya ini,
Dewi terlahir dengan sendok emas keluarga berdarah biru, tapi ia tetap memilih menjadi darah merah putih katanya.
Setelah mendapatkan kamar untuk ia tinggali, Naya menyuruh Dewi istirahat dulu dan akan di bangunkan waktu makan siang.
Bersambung
Keluarga Ningrat tak pernah sepi dari drama.
Biasanya hanya ribut soal resepsi, pesta amal, atau persaingan bisnis ayah Dewi. Tapi pagi itu? Kekacauan datang bukan dari luar. Melainkan... dari satu-satunya putri keluarga itu.
“Dewiiiiii!”
Teriakan mama menggema dari ruang makan sampai ke taman belakang.
“Panggilkan semua sopir! Cari dia ke seluruh penjuru kota!” seru papa dengan wajah merah padam.
Pembantu berlarian seperti kehilangan arah, satpam ikut kebingungan, dan satu ekor kucing peliharaan bahkan sembunyi di bawah sofa saking paniknya suasana.
Pagi itu, rumah bak istana itu tak lagi anggun. Tapi huru-hara total.
---
Di ruang tamu, mama Dewi masih histeris sambil menelpon tante Ratna.
“Dia kabur! Gimana ini?! Keluarga Satria bisa batalin perjodohan! Maluuu kita, Ratna! MALU!”
Tante Ratna di ujung telepon mencoba menenangkan. “Tenang, tenang... siapa tahu dia cuma butuh waktu.”
“WAKTU APA? Dia naik mobil online ke Jakarta, Ratna! Jakarta! Itu bukan kabur 10 menit, itu kabur niat!”
Sementara papa duduk lemas di sofa, menatap undangan perjodohan yang sudah dicetak rapi.
Kepalanya pening. Usaha kerasnya menyatukan dua keluarga terpandang hancur seketika oleh keputusan putrinya yang katanya ingin “hidup normal”.
---
Beberapa jam kemudian, video CCTV rumah berhasil dibuka.
Terlihat Dewi berjalan cepat ke luar pagar, pakai hoodie abu-abu, celana training, dan masker. Gayanya lebih mirip fans K-pop yang siap ke konser daripada calon pengantin kabur.
Mama menjerit, “Astaga, dia bahkan nggak pakai lip balm! Itu kan hoodie kucel!”
Papa akhirnya hanya bisa menghela napas berat.
"Ma.... Anak kita kabur bukan mau lomba ratu kecantikan" keluh papa
"Tapi putri kita ini agak lain pa" keluh mama
“Dia memang beda, Ma…” jawab papa
---
Malam harinya, mereka duduk di ruang keluarga. Hening.
Pembantu sudah tak berani bertanya.
Baru kemudian, seorang sopir datang dengan wajah gugup.
“Pak... Bu... Ini ada surat dari Nona Dewi. Ditaruh di meja kamarnya.”
Mama merebut surat itu secepat kilat. Matanya membacanya keras-keras sambil sesekali ingin menangis.
“Papa, Mama… Maaf aku kabur. Tapi aku bukan boneka. Aku ingin hidup seperti orang biasa. Cari kerja sendiri. Beli baju sendiri. Bukan cuma jadi simbol kehormatan keluarga. Aku akan baik-baik saja. Jangan khawatir. Aku cuma pengen hidup sesuai caraku. —Dewi Ayu yang (katanya) Ningrat.”
Mama langsung menutup surat itu dan menangis.
Papa berdiri, mengambil surat itu, dan membacanya sekali lagi lebih pelan, lebih dalam.
Kemudian ia berkata, lirih tapi tegas, “Biarkan dia pergi. Kalau dia memang ingin mencari jati dirinya, tugas kita bukan memenjarakan dia… tapi menunggu sampai dia siap pulang.”
---
Di tengah keheningan rumah besar yang dulu penuh suara, seorang ibu duduk di ruang makan dengan mata sembab.
Seorang ayah berjalan ke taman belakang dan menatap langit Jakarta dari kejauhan.
Dan di dalam kamar Dewi yang kini kosong, boneka kelinci di atas ranjang masih tersenyum.
...----------------...
Malam itu...
Mereka duduk di lantai, makan mi instan plus telur dadar, sambil nonton drama Korea dan ngetawain dialognya yang terlalu dramatis.
Dewi merentangkan tubuhnya, merasa nyaman luar biasa. “Ini hidup nyata. Bukan hidup dalam sangkar emas.”
Naya menatap sahabatnya. “Tapi kamu kabur lho, Dew. Emangnya nggak takut dikejar?”
“Aku lebih takut nikah sama pria bau tanah.” jawab Dewi
Naya mendesah, lalu tersenyum geli. “Terus mau cari kerja di mana?”
“Aku cari kerjaan apa aja. Asal jangan jadi istri orang dulu.”
Naya membuka laptop. “Kalau gitu, ayo kita cari. Nih, ada lowongan admin kantor. Gajinya nggak gede sih, tapi kantornya gede banget. Bosnya terkenal banget... dingin dan galak katanya.”
Dewi menoleh cepat. “Galak? Skip.”
“Ya ampun, jangan gitu. Yang penting kamu keterima dulu. Nih aku bantuin isi CV kamu, nama lengkap, Dewi Ayu Ningrat—”
“Eh! Jangan pakai Ningrat! Nanti ketahuan identitas asli gue!”
“Oke, oke... Dewi Ayu aja ya.” jawab Naya
Setelah itu lamaran pun terkirim.
Sedangkan di posisi lain ada seorang pria yang duduk di kursi kerjanya.
Ia sedang memantau perubahan tapi tanpa sengaja Ia melihat email masuk ke email perusahaan.
Ia membukanya lalu melihat isinya
"Dewi Ayu... Kenapa seperti tidak asing" ujar pria itu pelan lalu melihat data yang di kirim hingga fas foto.
Saat melihat itu ia tersenyum kecil merasakan kelucuan dan menarik hatinya yang tidak pernah ia rasakan selama ini
Setelah iya menghubungi orangnya untuk menyuruh Dewi Ayu untuk datang kantor.
...----------------...
Keesokan harinya...
Dewi berdiri di depan gedung megah bernama Satria Corp.
Gemas.
Kagum.
Panas.
Deg-degan.
“Hidupku berubah, Naya. Dari kamar ukiran jati ke trotoar dan lift 20 lantai.” ujar Dewi pelan
Ponselnya bergetar.
Naya:
“Good luck interviewnya! Jangan sampe nyebelin duluan ya!”
Dewi:
“Tenang, aku bisa sopan kalau dibayar.”
---
Sementara itu...
Di lantai paling atas, Pria bernama Dewa sedang berdiri di depan jendela kaca besar, melihat ke bawah dengan wajah tenang.
“Dia datang,” bisiknya pelan, tanpa suara.
Candra, asisten pribadi Dewa yang cerewet dan loyal, masuk sambil membawa berkas.
“Bos, pelamar posisi admin hari ini... ada yang menarik?”
Dewa membuka file lamaran, lalu mengangguk pelan. “Yang bernama Dewi Ayu... terima.”
Candra berkedip. “Hah? Tapi dia belum interview.”
Dewa tetap menatap ke jendela. “Terima saja. Dia... punya potensi.”
Potensi? Candra mengernyit curiga. Tapi tidak berani bertanya lebih lanjut.
---
Sore hari.
Dewi kembali ke rumah Naya dengan wajah bahagia setengah tak percaya.
“Aku keterima! Tanpa interview!” seru Dewi
Naya langsung lompat dari sofa. “WHAT??! Bosnya suka kamu kali!”
Dewi menertawakan itu keras-keras. “Suka apaan, ya kali ada bos jatuh cinta sama karyawan baru, belum kenal pula!”
Naya tersenyum misterius. “Di dunia ini... segala kemungkinan bisa terjadi.”
Dewi hanya diam, " Kamu ini jangan nakutin aku Nay... Bukan apa aku takut tau tau bosnya kepala plontos, perut hamil 100 bulan, gigi palsu" ujar Dewi ngeri
"Hahaha.... Iya pas cium kami giginya lepas nyangkut di pipi kamu, hahaha" jawab Naya dengan tawa terpingkal pingkal.
Dewi pun ikut tertawa walau dalam hati berdoa jangan sampai itu terjadi.
Tapi Dewi tidak tahu. Tidak akan pernah menyangka jika ini lebih dari itu.
Bahwa pria yang kini menjadi bosnya pria dingin, tenang, nyaris tak banyak bicara adalah pria yang kemarin hendak dijodohkan dengannya.
Dewa Satria Wicaksono hanya menatap dari kejauhan, diam-diam menikmati caranya sendiri untuk mengenal sang 'tunangan kabur'.
Setelah berbincang lama akhirnya Dewi dan Naya masuk kamar masing masing untuk mandi
Bersambung
Pagi itu, Dewi berdiri di depan cermin kecil di kamar Naya sambil menatap dirinya dengan khidmat.
Kemeja putih, celana bahan hitam, sepatu kets yang disemir pakai tisu basah, dan senyum optimis yang dibuat-buat.
“Dewi Ayu Ningrat siap kerja, sodara-sodara!” katanya sambil angkat tangan ke atas.
Dari balik pintu, Naya berseru, “Cepet! Nanti telat! Bos kamu katanya suka marah kalau ada yang dateng lewat jam delapan!”
Dewi melirik jam dinding.
07.41.
“...Astagaaaa!”
---
Gedung Satria Corp tampak makin besar dan intimidatif saat dilihat dari dekat.
Dewi melangkah masuk sambil deg-degan. Di lobi, semua orang tampak rapi, sibuk, dan… seperti nggak punya masalah hidup.
Berbeda dengan Dewi yang sedang menahan detak jantung dan keringat dingin.
“Tenang... gue karyawan. Gue legal. Gue bukan maling,” gumamnya.
Di depan lift, dia terdiam.
“Eh… lantai berapa ya ruang admin?”
Dia menoleh ke resepsionis, tapi resepsionis itu terlalu cantik dan terlalu galak untuk didekati. Akhirnya Dewi pencet sembarang tombol.
Dan takdir membawanya ke lantai 20.
---
Saat pintu lift terbuka…
Dewi mendapati ruangan super tenang dan megah. Di tengah ruangan berdiri pria tinggi, bersetelan rapi, sedang menatap ke arah jendela.
Dewi langsung panik.
Salah lantai. Salah lantai parah.
Tapi pria itu… menoleh.
Dan mata mereka bertemu.
Tatapan itu.
Dingin. Dalam. Diam.
Tapi… untuk alasan yang tidak bisa ia jelaskan, Dewi merasa aneh. Ada sesuatu yang familiar. Seperti déjà vu.
Dewi membungkuk cepat, “Maaf, Pak! Saya… saya salah lantai!”
Pria itu hanya mengangguk pelan. Tanpa sepatah kata.
Dewi buru-buru balik badan dan mencet tombol lift. Mukanya merah padam.
“Gila… itu pasti bos besar. Ganteng sih. Tapi serem banget.”
Pintu lift menutup, dan Dewa menatap layar monitor kecil di mejanya.
Tersenyum tipis.
“Pagi yang menyenangkan.”
---
Ruang Admin, Lantai 12
Setelah kebingungan dan sempat nyasar ke pantry, Dewi akhirnya menemukan ruang kerjanya. Ruangan itu kecil tapi cukup nyaman. Di dalamnya sudah ada tiga orang staf lain.
“Pagi!” sapa Dewi ceria.
Seorang wanita bermakeup tebal menoleh, “Kamu anak baru?”
“Iya! Dewi Ayu. Admin baru.”
Wanita itu menyeringai. “Aku Tika. Senior admin di sini. Kamu bakal sibuk banget di minggu pertama.”
Seorang cowok berkacamata menimpali, “Dan kamu harus hati-hati. Bos kita tuh... ya gitu deh. Kalau dia udah bilang ‘rapat jam tiga’, berarti jam dua lima sembilan kamu udah duduk manis.”
Dewi tertawa kecut. “Noted. Disiplin ya, Bosnya…”
Tapi entah kenapa, tatapan Dewa di lantai 20 tadi masih membayang di benaknya.
Dingin.
Tapi… ada rasa hangat aneh yang tertinggal.
---
Siang hari.
Dewi sedang makan siangnya di pantry, sendirian, ketika tiba-tiba pintu terbuka.
Langkah kaki tegas. Aroma parfum maskulin.
Dewi menoleh.
Dan hampir tersedak.
Itu… dia.
Pria di lantai 20.
Dewi buru-buru berdiri, “Eh—Maaf, Pak! Saya… saya cuma makan siang, saya nggak… eh…”
Dewa duduk di meja seberang. “Lanjutkan saja.”
Dewi duduk kembali, kikuk, menyeruput sop soto dari tupperware warna pink.
Dewa membuka bekal makan siangnya—lebih elegan dari milik Dewi tentunya—dan mulai makan dalam diam.
Suasana canggung. Sangat canggung.
Sampai akhirnya Dewi nekat membuka suara.
“Pak… saya kayaknya pernah lihat Bapak ya?”
Dewa menatapnya sebentar. “Mungkin.”
“Bapak juga pegawai sini ya?” tanya Dewi
Dewa terdiam sebentar.
“Saya pemiliknya.” jawab Dewa
Dewi: 😱😱😱
Mulutnya terbuka, sendok jatuh ke soto, dan jantungnya seolah pindah ke lutut.
Salah satu mimpi buruk resminya terjadi.
Dia barusan nyapa bos besar...
Dengan bekal pink dan keringetan.
---
Di ruangannya, Dewa tertawa kecil sendirian untuk pertama kalinya setelah sekian lama.
“Masih lucu seperti dulu.”
Dan di layar monitornya, satu file bernama “Dewi Ayu – Data Karyawan” terbuka.
...----------------...
Sejak insiden makan siang kemarin, Dewi resmi menjadi bahan bisik-bisik satu departemen.
“Dia makan bareng Pak Dewa?”
“Serius? Di pantry? Berdua?”
“Gila... udah berapa tahun aku kerja di sini, belum pernah sedekat itu sama beliau!”
“Berarti Dewi anak emas dong sekarang?”
Dewi cuma bisa senyum kecut sambil mengunyah donat di mejanya.
Anak emas dari neraka.
Dia masih merinding tiap ingat ekspresinya saat tahu "pria dingin nan ganteng di lantai 20" itu adalah bos besar sekaligus pemilik perusahaan.
“Sial, kenapa aku nyapa dia kayak nyapa abang tukang parkir,” gumamnya sambil menunduk malu.
---
Tapi anehnya…
Sejak kejadian itu, Dewa sering muncul di tempat yang tidak masuk akal untuk level direktur utama.
Kadang muncul di pantry waktu Dewi bikin kopi.
Kadang nongol pas Dewi isi ulang air galon.
Pernah juga... duduk di ruang meeting kecil padahal nggak ada jadwal meeting apa pun.
Dan setiap kali itu terjadi, Dewi jadi makin yakin… “Pak Dewa itu suka inspeksi dadakan. Mungkin hobi kali ya.”
---
Suatu sore, ketika hujan turun deras dan petir menyambar-nyambar, Dewi sedang lembur sendirian di ruang admin.
Yang lain sudah pulang.
Lampu kantor sedikit redup. Suara hujan mengalahkan bunyi ketikan keyboard.
Tiba-tiba... "Ceklek."
Pintu terbuka.
Dewi menoleh.
Dan jantungnya hampir lompat dari dada.
Pak Dewa. Lagi.
Dengan jas hitam basah sebagian, rambut sedikit berantakan, dan ekspresi tetap datar tapi... entah kenapa, Dewi merasa… ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dari tatapannya.
“Belum pulang?” tanyanya.
Dewi buru-buru berdiri. “Eh, belum, Pak. Lagi beresin laporan pengeluaran minggu ini.”
Dewa berjalan pelan ke arahnya. Suaranya tenang, tapi tegas. “Jangan terlalu sering lembur sendirian. Itu berbahaya.”
“Hujannya mendadak deres, Pak. Nggak bisa pulang juga,” ujar Dewi sambil senyum kecil.
Dewa diam sebentar. Lalu meletakkan sesuatu di meja Dewi.
Payung lipat.
“Hati-hati di jalan.” ujar Dewa
Lalu dia pergi. Begitu saja.
Meninggalkan Dewi yang menatap payung itu seolah baru dikasih kunci rumah.
“Dia bos... tapi kenapa perhatian gitu ya?” tanya Dewi heran, “Dan... kenapa jantungku kayak abis ikut lomba lari estafet?”
---
Beberapa hari setelah itu…
Dewi membuka email internal kantor. Ada undangan presentasi dari divisi marketing yang akan dihadiri semua direktur. Termasuk Pak Dewa.
Dewi yang ditunjuk buat nyiapin slide, panik bukan main.
Chat grup
Dewi : “Naya, tolong! Gue gugup!”
Naya : “Lu tuh deg-degan kerja atau deg-degan liat si bos?”
Naya : “Fix, ini kayak drama Korea! Ntar lu jatuh cinta, terus... baru tau kalau dia—”
Dewi: “HUS! Jangan sambung kalimat itu! Amit-amit!”
Chat berakhir
Tapi di lubuk hatinya yang terdalam…
Dewi mulai bertanya-tanya.
Kenapa dia sering muncul?
Kenapa dia diam-diam perhatian?
Dan kenapa… rasanya dia udah kenal aku lebih lama dari yang aku sadari?
---
Sementara itu…
Di ruangannya, Dewa menatap file rahasia miliknya.
Foto Dewi saat kecil. Salinan dokumen perjodohan. Data latar belakang keluarga.
Senyumnya tipis, nyaris tak terlihat.
“Aku nggak akan paksa kamu, Dewi…
Aku hanya ingin kamu mengenalku tanpa nama keluarga, tanpa janji orang tua" ujar Dewa pelan
"Tapi bisakah kamu jatuh cinta… pada Dewa yang biasa?” lanjutnya
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!