...~°Happy Reading°~...
Arlena merasa wanita paling bahagia dalam penerbangan dari New York ke Jakarta. Dia hampir memiliki semua yang didambakan oleh seorang wanita dewasa. Suami yang mencintai, rumah dan mobil mewah, juga bisnis yang sukses. Kini dilengkapi dengan calon bayi yang sedang dikandung lebih dari 4 (empat) minggu.
Hatinya bertaburan bunga indah dan wangi semenjak dinyatakan proses bayi tabung yang dijalaninya berhasil positif. Dia telah menyusun rencana untuk menyampaikan hasil bayi tabung yang dijalaninya berbulan-bulan di New York secara langsung kepada suaminya.
Oleh sebab itu, hatinya meluap dengan rasa bahagia sambil memandang keluar jendela pesawat. Dia tidak sabar bertemu dengan Dominus, suami tercinta untuk membagi kebahagiaannya.
Dia berulang kali mengelus perutnya dan menghabiskan semua menu first class yang disajikan pramugari demi bayi yang sedang dikandung.
~*
Setelah pesawat mendarat dan melewati imigrasi, Arlena segera menelpon Dominus untuk mengetahui posisinya dan memberitahukan bahwa dia sudah mendarat.
"Dom, sudah di mana?"
"Di parkiran."
"Aku lagi tunggu bagasi."
"Ok. Kalau sudah mau keluar, call."
"Ok. See you."
Arlena makin tidak sabar bertemu Dominus untuk menyalurkan luapan kebahagian yang terus datang beruntun bagai gelombang. Perasaan hangat dan indah yang dirasakan tidak bisa dilukiskan.
Hal itu membuat dia tidak sabar menunggu bagasi. Dia terus membayangkan kebahagiaan Dominus setelah mengetahui rencana mereka berhasil. Mereka akan jadi orang tua bagi bayi yang diperkirakan akan lahir 30 minggu lagi.
Arlena sengaja menyembunyikan kehamilannya yang hampir memasuki usia 5 (lima) minggu dari Dominus. Dia mau memberikan surprise dengan beritahukan secara langsung, agar sama-sama bisa merasakan kebahagiaan sebagai calon Mama dan Papa. Oleh sebab itu, sebelum terbang dari New York, dia hanya mengatakan mau pulang ke Jakarta, karena sudah sangat rindu pada Dominus, suami tercinta.
Setelah mengambil bagasi, Arlena berjalan keluar menuju tempat di mana Dominus sudah menunggu. Aura kebahagiaan terpancar jelas di wajah cantik, lembut di usianya yang sudah kepala 3 (tiga). Semua orang yang dilewati memandangnya dan tanpa sengaja ikut tersenyum melihat senyum kebahagiaan di wajahnya.
Dari jauh Arlena melihat mobil sedan mewah milik Dominus sudah menunggu. 'Dom datang jemput sendiri?' Arlena membatin, karena melihat bagasi mobil sudah dibuka dan sopir tidak turun.
Arlena makin mempercepat langkahnya, sebab dia yakin Dominus jemput sendiri, tanpa sopir. Suasana hati yang beria-ria, bahagia membuat dia tidak mau menunggu lama. Dia memasukan koper ke bagasi, lalu menuju pintu depan.
Sambil tersenyum senang, Arlena membuka pintu mobil lalu masuk dan duduk di samping Dominus. "Sudah lama menunggu?" Tanya Arlena sambil memakai sabuk pengaman.
"Ngga juga. Belum lama tiba." Jawab Dominus singkat, lalu menjalankan mobil
"Oh, syukur. Tadi agak lama di Imigrasi." Arlena menjelaskan tanpa ditanya. Dia mau memeluk Dominus, tapi tidak jadi, karena mobil sudah dijalankan. Sehingga tangan dan tubuhnya tertahan, diam dan mematung.
Arlena hanya bisa melihat samping wajah Dominus yang sudah fokus ke depan, tanpa menanggapi reaksinya yang mau memeluk. Seketika Arlena merasa aura berbeda dalam mobil. Tidak ada sambutan hangat dengan pelukan atau ciuman tipis yang biasa mereka lakukan setelah lama tidak bertemu.
Arlena melihat ke depan dan kembali melirik ke arah Dominus yang hanya diam menatap lurus ke depan, padahal bandara tidak terlalu sibuk. Arlena merasa heran, atas sikap dingin Dominus. Seakan cuaca dingin di Amerika terbawa ke dalam mobil.
Dia makin heran saat menyadari, Dominus tidak turun dari mobil seperti biasanya dan memeluknya dengan sayang. Padahal kondisi tempat jemputan sepi, sehingga memungkinkan Dominus lakukan itu. Apa lagi sudah tiga bulan lebih mereka tidak bertemu. Perasaan kangen yang menggunung tidak ditunjukan oleh Dominus, hanya dirinya.
Arlena bersabar untuk tidak bertanya dan tidak mempersoalkan perubahan sikap Dominus, agar tidak merusak suasana hati mereka. Dia berharap, surprise yang sudah disiapkan akan membuat Dominus bahagia. Oleh sebab itu, semua perubahan Dominus dia simpan dalam hati.
'Dia pasti mengira proses bayi tabung tidak berhasil lagi. Tunggu saja sampai rumah.' Arlena membatin untuk menyemangati dan menenangkan hatinya.
Dia terus berdoa dalam hati dan berharap agar mereka bisa cepat tiba di rumah. Dia menjaga perasaan bahagianya, agar tidak mempengaruhi janin yang sedang tumbuh dan bisa menularkan kebahagiaannya kepada Dominus.
"Kerjaan lancar?" Arlena tidak tahan untuk terus berdiam diri, seakan mereka tidak saling kenal. Dia berusaha melakukan percakapan untuk mengusir kebekuan di antara mereka dengan bertanya tentang pekerjaan. Sebab rasa bosan tiba-tiba menjalar dan melengkapi rasa dingin dalam mobil.
"Lancar..." Jawaban singkat Dominus membuat Arlena kembali meliriknya. Arlena harus mencari topik pembicaraan agar mereka tidak seperti orang asing dalam mobil.
Arlena terus menjaga suasana hati tetap happy dengan memikirkan kehadiran calon bayi sambil melihat keluar jendela. Dia yakin, Dominus akan kembali hangat dan penuh cinta mendengar kabar bahagia yang akan dia sampaikan.
Setelah melewati jalanan yang padat merayap, mobil Dominus memasuki perumahan mewah di bilangan Jakarta Selatan. 'Welcome home.' Arlena membatin saat melihat pintu gerbang terbuka otomatis lalu mobil masuk ke halaman rumah yang luas dan asri.
Para pelayan dan sopir yang sudah keluar menunggu, segera mendekati mobil saat Dominus berhenti di depan rumah. "Rapikan. Saya cape'." Dominus berkata kepada sopir yang mendekat. "Siap, Pak." Sopir dengan sigap dan hormat masuk ke mobil, lalu menyapa Arlena yang sedang melepaskan sabuk pengaman.
Sikap Dominus yang dingin dan ketus kepada sopir membuat Arlena menautkan alis. 'Mungkin dia kecewa karena berpikir usaha untuk punya bayi tidak berhasil lagi.' Arlena coba berpikir positif.
"Pak, biarkan mobil begini dulu. Tolong buka bagasi untuk turunkan bagasi saya." Arlena berkata kepada sopir lalu turun dari mobil. Dia heran melihat Dominus sudah menghilang, tanpa menunggunya.
"Tari, tolong ambil semua itu, lalu letakan di kamar, ya." Arlena meminta kepala pelayan yang mendekatinya. "Baik, Bu." Tari menunduk sopan lalu mendekati sopir yang sedang menurunkan bagasi.
Setelah berada dalam rumah, Arlena tidak melihat Dominus di ruang keluarga, tempat mereka suka duduk bercengkrama sambil menonton film atau berita. Dia coba menghalau rasa heran dengan beristirahat sebelum makan malam. Agar dia bisa segar saat memberitahukan kabar bahagia kepada Dominus.
Arlena langsung menuju kamar untuk mencari Dominus. Namun ketika tiba di kamar, dia heran melihat Dominus sedang berbaring di atas tempat tidur sambil telpon dan tertawa senang. Suatu pemandangan yang bertolak belakang saat mereka berada dalam mobil.
Tidak terlihat wajah capek seperti yang dikatakan kepada sopir. "Kau sudah mandi?" Arlena bertanya, sebab melihat Dominus sudah duduk bersandar di atas tempat tidur, padahal mereka baru tiba dari luar.
Dominus sangat tidak menyukai kalau tiba dari luar rumah, lalu naik ke tempat tidur sebelum membersihkan badan atau mandi. 'Satu lagi kebiasaannya berubah.' Arlena membatin.
...~*~...
...~▪︎○♡○▪︎~...
...~°Happy Reading°~...
Dominus melirik Arlena sekilas, lalu mematikan telpon. "Aku sudah mandi sebelum pergi jemput dan tidak turun dari mobil." Jawab Dominus cuek lalu turun dari tempat tidur.
Sebelum Arlena mengatakan sesuatu lagi, Dominus sudah berjalan keluar dari kamar. Arlena jadi tercengang melihat punggung Dominus yang meninggalkan dia seakan dia makhluk asing atau pembawa virus.
Dia seperti ditampar melihat sikap dan gerakan Dominus yang turun begitu saja dari tempat tidur tanpa berkata apa pun. Hanya meninggalkan penutup dan selimut mewah yang berantakan, pertanda dia baru berada di sana.
'Dia sedang menghindariku?' Arlena membatin sambil melihat pintu yang sudah ditutup.
Beribu pertanyaan seperti laron bertebangan dan menyerbu isi kepalanya. 'Apa dia sudah putus asah, hingga dia tidak bersemangat untuk menantikan hasil bayinya?' Arlena bertanya pada diri sendiri, mengingat mereka sudah hampir dua tahun berusaha dengan berbagai cara untuk punya anak.
Arlena menarik nafas panjang dan mencoba tenang, ketika pintu diketuk. Dia yakin bukan Dominus yang mengetuk. "Letakan saja di situ." Arlena menunjuk lantai di dekat lemari yang berjejer, ketika Tari masuk membawa bagasinya.
"Ada yang diperlukan lagi, Bu?" Tanya Tari sebelum keluar kamar.
"Tidak. Saya mau mandi dan istirahat sebentar."
"Baik, Bu." Tari segera keluar.
Setelah Tari keluar, Arlena merasa aura kamar tidur yang selalu dirindukannya telah berubah. Dia merasa sendiri dan asing dalam kamar luas, miliknya.
Aura cuek dan dingin Dominus telah menguasai kamar tidur. 'Aku tidak boleh menunda lagi. Aku harus beritahukan kehadiran bayi ini sesegera mungkin.' Arlena memutuskan.
Arlena mengambil pakaian yang nyaman dan segera mandi untuk menunggu Dominus kembali ke kamar. Dia sudah menetapkan hati untuk tidak menunda dan akan memberitahukan Dominus setelah kembali, agar mereka bisa happy dan hangat lagi saat makan malam.
Arlena mengubah rencana sebelumnya, sebab dia sudah mengatur dengan kepala pelayan untuk menyiapkan makan malam dengan menu kesukaan mereka sebelum dia memberikan surprise tentang kehamilannya. Namun sikap Dominus tidak mungkin akan ada makan malam romantis, pikir Arlena.
Setelah mandi, Arlena duduk di tepi tempat tidur sambil memikirkan cara yang tepat untuk melunakan hati Dominus. Dia merasa itu agak sulit, sebab belum pernah menghadapi sikap Dominus seperti itu.
'Huuuuuu....' Arlena menghembuskan nafas kuat dan merasa lelah juga bingung. Dia menyandarkan punggung sambil menunggu Dominus kembali. Namun sampai dia tertidur, Dominus tidak masuk lagi ke dalam kamar untuk menemuinya.
~*
Ketika terbangun dan melihat Dominus tidak ada dalam kamar, Arlene segera turun dari tempat tidur lalu keluar kamar untuk mencarinya. Namun dia tidak menemukan Dominus di mana-mana. "Tari, bapak di mana?" Tanyanya kepada kepala pelayan yang datang mendekat.
"Bapak tadi keluar, Bu."
"Keluar?" Arlena terkejut hingga bertanya dengan nada suara agak keras. Dia heran Dominus keluar rumah, sedangkan dia baru tiba di rumah. Sungguh aneh dan membingungkan.
"Saya tadi tertidur, jadi tidak tahu." Arlena buru-buru meralat dan menurunkan nada suaranya karena para pelayan terkejut mendengar nada suaranya yang tidak seperti biasanya.
Arlena tidak bertanya lagi tentang Dominus, agar tidak terjadi pergunjingan di antara pelayan. Dia juga tidak mau tambah persoalan, karena suasana hatinya mulai tidak happy. Dia kembali naik ke kamar untuk ambil ponsel karena berpikir, mungkin Dominus sudah kirim pesan atau telpon tapi dia tertidur.
Ketika melihat tidak ada pesan dan panggilan tak terjawab dari Dominus, Arlena tercengang. 'Ada apa dengan Dom?' Arlena membatin sambil memegang erat ponselnya.
Dia kembali turun ke ruang makan, karena hampir tiba waktu makan malam. Dia masih berharap, Dominus kembali sebelum waktu makan malam. 'Mungkin akan terjadi seperti rencana awal. Dinner, baru kasih surprise.' Arlena membatin.
"Ibu mau makan malam sekarang, atau mau tunggu bapak?" Tanya kepala pelayan saat melihat Arlena masuk ke ruang makan.
"Tunggu 10 menit lagi, ya." Arlena berkata pelan dan berusaha tenang, sebab Dominus belum juga pulang.
Dia segera keluar dari ruang makan untuk menelpon. Ketika telpon beberapa kali, ponsel Dominus tidak bisa dihubungi, Arlena masuk kembali ke ruang makan. "Tari, siapkan makan malam saya saja." Arlena langsung duduk walau tidak berselera, tapi dia berusaha makan demi calon bayinya.
Dia menundukan kepala untuk bersyukur atas makanan yang tersaji dengan hati berat. Tanpa ditahan, air mata yang sudah tergenang, menetes membasahi tangannya. Makan malam romantis yang dibayangkan menguap seketika. 'Mari kita makan, sayang.' Arlena berkata dalam hati sambil mengelus perutnya.
Arlena makan hanya sedikit, karena suasana hatinya tidak bisa menikmati menu yang disajikan. "Tari, simpan atau kalian habiskan semua ini, kalau bapak pulang malam. Mungkin bapak makan di luar." Arlena berkata kepada kepala pelayan, lalu berdiri dan keluar dari ruang makan.
Para pelayan yang mendengar itu, tidak girang akan makan makanan lezat dan mahal. Mereka jadi terenyuh melihat nyonya mereka yang baru pulang setelah pergi sekian lama, ditinggal makan sendiri.
Tiba di kamar, Arlena berusaha menghilangkan rasa sedih dengan mengeluarkan semua barang dan ole-ole yang dibawa dari Amerika.
'Dia pergi kemana sampai malam begini?' Arlena membatin, karena sepanjang mereka menikah hampir 6 (enam) tahun, belum pernah terjadi Dominus keluar malam sendiri tanpa beritahu.
Arlena menghembuskan nafas panjang sambil mengelus perutnya yang masih rata. "Semoga kau baik-baik di situ, sayang." Arlena berkata pelan. Dia khawatir bayi yang ada dalam perut ikut merasakan kegundahan hatinya.
Menjelang larut malam, Dominus masuk ke dalam kamar. Dia terkejut melihat Arlena masih merapikan koper. Dia mengira, Arlena sudah tidur, jadi tidak perlu berbicara dengannya. "Kau pulang jam segini?" Arlena meletakan semua yang ada ditangannya, lalu menatap Dominus.
"Aku dinner dengan client." Dominus berkata tanpa melihat Arlena dan hendak ke kamar mandi.
"Bukannya aku sudah bilang pulang hari ini dan mau dinner bersama?" Arlena tercengang mendengar jawaban Dominus.
"Aku sudah janji dan ngga bisa dicancel."
"Ngga bisa cancel? Jadi dinner dengan client lebih penting dari dinner kita? Kita sudah lebih dari tiga bulan ngga bertemu dan dinner bersama. Apa itu ngga penting bagimu?"
"Ngga usah dipersoalkan..." Dominus mengibaskan tangan agar Arlena berhenti beradu argumen dengannya.
Arlena jadi emosi mendengar yang dikatakan Dominus. "Kau ngga mau tahu hasil proses bayi kita?"
"Aku sudah tidak berminat lagi dengan proyek itu."
"Tidak berminat dengan proyek? Kau anggap mau punya bayi hanya sebuah proyek? Jadi waktu itu kau yang mendorong untuk lalukan itu, seperti sedang berbisnis?"
"Waktu itu aku terlalu bodoh, mau saja usulkan itu. Sekarang aku berubah pikiran dan ngga berminat untuk tahu hasilnya."
"Kau gampang saja bilang berubah pikiran setelah semuanya sudah sukses dan berhasil positif?"
"Sukses? Positif?" Dominus menatap Arlena, limbung. Dia terdiam sejenak, mencerna yang dikatakan Arlena sambil berpikir.
...~*~...
...~▪︎○♡○▪︎~...
...~°Happy Reading°~...
Dominus tidak siap mendengar yang dikatakan Arlena. "Aku ngga inginkan anak dari laki-laki lain." Dominus meninggikan suaranya untuk menghentikan perdebatan.
Arlena seperti disambar petir mendengar yang dikatakan Dominus. Mata Arlena terbelalak melihat Dominus. "Sekarang kau bilang ngga menginginkan anak dari laki-laki lain? Lalu mengapa saat itu kau setuju untuk kita lakukan itu?"
"Kau sendiri yang antusias dengar penjelasan dokter dan tanda tangan persetujuan untuk lakukan prosesnya." Arlena melongo dan tidak habis pikir dengan apa yang dikatakan Dominus.
"Aku sudah bilang, saat itu aku terlalu bodoh. Mau menerima begitu saja penjelasan dokter tanpa berpikir." Dominus jadi gusar dan kelabakan cari alasan untuk menghindar dari desakan Arlena.
"Tanpa berpikir? Dom... Ada apa denganmu? Kita membahas usulan dokter itu berhari-hari, sebelum putuskan untuk menerima solusi yang ditawarkan."
"Kau sendiri yang meyakinkan aku untuk menerima opsi yang ditawarkan dokter. Kau sendiri yang tanda tangan dokumen tanpa ragu. Ada apa denganmu? Kau amnesia?"
Dominus melihat Arlena dengan wajah memerah, marah. "Kau ngga bisa diam?" Dia tidak siap dengan argumen Arlena.
"Bagaimana bisa diam? Kau lupa dengan yang kau lakukan. Kau lupa yang dijelaskan dokter kalau prosesnya bisa berhasil? Kau lupa kalau sukses bisa seperti apa?" Arlena bertanya dengan emosi yang mulai naik level dan mata tergenang.
"Aku setuju karna kau sangat antusias mau lakukan itu. Kau ingin punya anak." Dominus merasa terdesak dan mengatakan yang terlintas.
"Oh, jadi hanya aku yang antusias dan kau tidak? Lalu siapa yang berulang kali ke dokter di sini untuk konsultasi dan mau ikut diperiksa? Siapa yang seret aku ke New York?" Nada Arlena semakin tinggi, tidak terima yang dikatakan Dominus.
"Aku lakukan supaya kau senang." Dominus kehabisan alasan untuk menjawab Arlena.
"Supaya aku senang? jadi hanya aku yang senang dan kau tidak? Bukannya aku bilang tidak usah? Untuk apa punya anak, kalau kau tidak mau? Kau lupa itu?"
"Aku sudah bilang, waktu itu aku terlalu bodoh. Setuju saja, terima anak dari laki-laki lain." Dominus kehabisan alasan untuk mempertahankan niat hatinya.
"Dominus, bicaramu seperti orang gila. Lalu bagaimana nasib anak yang sedang kukandung ini?"
"Terserah padamu. Kau putuskan sendiri. Aku tidak mau bertanggung jawab buat anak orang." Dominus bicara keras dan tegas.
Arlena terduduk di lantai yang beralaskan karpet saat mendengar ucapan Dominus. Dia seakan sedang berbicara dengan orang yang tidak dikenal. "Kau Dominus, suamiku?" Mata Arlena membulat dan tergenang.
Dia mulai menangis, menyadari Dominus mau lepas tangan dan tidak mau bertanggung jawab. "Kau mau aku membuang anak ini?" Air mata Arlena mengalir tak terkendali.
"Membuang atau tidak, itu keputusanmu. Dia ada dalam perutmu." Dominus seakan tidak peduli dan tidak mau ikut campur dengan kehamilan istrinya. Dia tidak jadi ke kamar mandi, tapi kembali keluar dari kamar, agar tidak terus terdesak oleh protes Arlena.
Mendengar yang dikatakan Dominus, Arlena seakan dilempar ke jurang yang tak bertepi. Kepalanya merasa pusing dan berkunang-kunang, juga mulai mual. Dia tidak bisa kendalikan emosinya.
Tanpa berpikir panjang dan situasi, dia menjerit dan meneriaki Dominus sambil menangis, hingga lupa kalau sedang mengandung.
Ketika hendak berdiri untuk mengejar, dia merasa oleng dan makin banyak kunang-kunang berterbangan di mata. Dia jadi tersadar sedang hamil, lalu cari pegangan. Dengan tangan bergetar dan jantung berdetak kuat, dia meratapi nasib bayi yang ada dalam kandungannya.
Rasa panik dan gemetar mulai menjalar ke seluruh tubuhnya, karena emosi dan marah. 'Dia bilang tidak menginginkan bayi ini? Apa dia sudah tidak waras? Dia tidak mau bertanggung jawab? Apa dia Dominus suamiku?' Arlena mengulang pertanyaan karena bingung dengan perubahan Dominus.
Arlena bertanya dalam kepanikan, karena Dominus tidak seperti yang dia kenal. Tidak ada lagi suami yang hangat, bertanggung jawab dan menyayanginya. Arlena memegang perut dan pinggangnya dengan tangan gemetar.
Tertatih-tatih Arlena ke tempat tidur lalu duduk di tepinya. Dia mencengkram selimut dengan kuat untuk menyalurkan emosinya sambil menangis histeris. Semua bayangan akan melihat kebahagiaan Dominus bersamanya dan seorang anak, sirna tak berbekas. Yang ada hanya rasa panik dan ketakutan nasib janin yang ada dalam kandungannya.
'Ya, Tuhan. Jangan biarkan aku jadi pembunuh.' Arlena berseru dalam tangisan yang tidak bisa dihentikan.
Sambil bercucuran air mata, Arlena ingat semua yang terjadi sebelum memutuskan untuk punya anak.
...Malam penuh kehangatan dan percakapan dari hati ke hati tentang rencana mau punya anak kembali terbayang, bagaikan baru saja terjadi....
..."Ar, ini ulang tahun pernikahan kita yang ke lima. Ada yang kau inginkan?" Dominus bertanya saat mereka selesai merayakan ulang tahun pernikahan dengan makan malam romantis, lalu dilanjutkan dengan berbaring di ranjang....
...Dominus memainkan rambutnya yang lebat dan wangi. Arlena memeluknya, erat. "Ngga ada lagi, Dom. Semua ini membuatku bersyukur. Tuhan sudah berkati kita lebih dari yang kita pikirkan dan bayangkan."...
..."Ngga berniat punya anak? Mumpung usia kita masih bisa."...
..."Bukan ngga mau, tapi kalau dikasih sama Tuhan, pasti terima. Tapi sampai sekarang belum juga dikasih, ya, mau gimana. Yang penting kita sehat. "...
..."Tuhan kasih, tapi kita harus berusaha. Seperti bisnis kita berhasil seperti sekarang, karena harus kerja keras."...
..."Jadi, maksudmu gimana?" Arlena mendongak menatap Dominus, karena belum mengerti maksudnya....
..."Sebelumnya kita fokus bangun bisnis. Sekarang sudah aman, sudah banyak orang yang bantu. Kita cari dokter yang bagus untuk konsultasi. Mungkin ada solusi untuk punya anak."...
..."Bagaimana baik menurutmu. Aku nurut saja. Bagiku, kondisi kita seperti ini, saling sayang dan support, sudah cukup."...
..."Kau ngga berpikir, semua ini buat siapa, kalau kita tidak punya anak?"...
..."Dulu pernah kita bahas. Kau bilang mungkin kita bisa adopsi seorang anak."...
..."Aku mau kita berusaha dulu. Adopsi adalah opsi terakhir setelah tidak ada cara lagi untuk punya anak sendiri."...
..."Aku nurut aja, kalau kau padang itu lebih baik."...
..."Ok. Nanti aku cari dokter yang baik dan sudah terkenal berhasil menolong pasangan seperti kita."...
..."Iya, apa lagi kita sudah periksa sebelumnya dan hasilnya kita sama-sama subur, tidak masalah. Jadi mungkin ada cara yang bisa kita lakukan."...
..."Kalau solusinya harus dengan cara bayi tabung, kau mau lakukan? Kita punya dana lebih dari cukup untuk lakukan itu."...
..."Baiklah. Aku nurut, kalau kau mau jalani itu juga."...
..."Sekarang kau jangan sering ke kantor dan kerja keras lagi, karna kau yang akan hamil." Ucap Dominus lalu mencium kepalanya yang berada di dada, lalu memeluknya....
..."Kita coba dulu, siapa tahu ada hadiah spesial di ulang tahun pernikahan ke lima kita." Bisik Dominus lalu mempererat pelukannya. Dia mencium lembut dan makin bergelora, menikmati setiap sentuhan di lekuk tubuh yang mulai menghangat....
Mengingat itu lagi, Arlena makin tersedu. Dia terus menangis hingga tertidur karena kelelahan.
...~*~...
...~▪︎○♡○▪︎~...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!