NovelToon NovelToon

Satu Satunya Yang Tak Terpilih

Chapter 1: Oiko, Yang Tak Diinginkan

Pagi itu, SMA Miharaya tampak seperti sekolah biasa. Suara lonceng menggema, siswa-siswa mengalir ke dalam kelas, beberapa tertawa riang, yang lain masih mengantuk. Namun di sudut sekolah yang paling sunyi, di balik pintu toilet lantai dua, ada kenyataan yang tak pernah tercatat dalam buku tahunan tempat luka yang tak kasat mata menganga setiap hari.

Oiko Mahakara, siswa kelas 11, berdiri membisu menghadap tembok. Tubuhnya sedikit membungkuk, memeluk tasnya erat-erat seperti pelindung semu. Suara langkah kaki menggema masuk.

“Masih di sini rupanya,” suara itu tenang, nyaris terdengar seperti basa-basi. Tapi bagi Oiko, suara itu adalah alarm bahaya.

Veron masuk, wajahnya seperti biasa: santai, percaya diri, tampan, dan penuh kebencian. Di belakangnya ada Zinta, Takamura, dan Daniel. Mereka tertawa kecil seolah sedang menyaksikan acara komedi.

“Hei, Oiko,” kata Veron sambil mendekat. “Katanya kemarin kamu ngomong ke Sina, ya?”

Oiko tidak menjawab. Ia tahu dari pengalaman, membantah hanya memperpanjang siksaan. Namun diam pun seringkali dianggap sebagai tantangan.

“Sok jual mahal?” Zinta menyenggol bahunya dengan kasar. “Gue liat sendiri kok kamu lirik-lirik dia di kantin.”

Takamura menyeringai. “Bahkan mimpi pun lu gak pantas buat deketin cewek kayak Sina.”

Daniel menendang pelan kaki Oiko dari belakang. “Jawab, woy.”

“Aku… cuma jawab salamnya,” suara Oiko nyaris tak terdengar.

Veron tertawa kecil, lalu mendadak meninju dinding tepat di samping kepala Oiko. “Cuma jawab? Siapa yang suruh lu nyaut?!”

Oiko terdiam. Bahunya gemetar.

“Kayaknya anak ini masih belum ngerti posisinya,” ujar Veron, menarik kerah seragam Oiko dan mendorongnya ke dinding.

Zinta membuka botol air mineral dan menyiramkan isinya ke kepala Oiko. Rambutnya lepek, tetesan air menetes ke lantai. “Biar dingin dikit otaknya.”

Takamura menyodorkan spidol permanen. “Yuk, kasih dia tato baru.”

“Jangan,” kata Veron santai. “Kalau ketauan guru susah. Tapi kita bisa... titipin salam dari ‘teman-teman’.”

Ia menarik ponsel dari sakunya, memotret wajah Oiko yang sudah basah dan lemas, lalu menekan tombol kirim.

“Lihat? Sekarang satu sekolah bisa lihat wajah ‘pahlawan tragis’ kita.”

Daniel mendekat dan berbisik di telinga Oiko, “Nanti malam lu bakal trending. Gak sabar liat reaksi anak-anak grup.”

Hampir setiap hari seperti ini. Oiko tidak mengerti mengapa dunia ini begitu kejam padanya. Ia bukan orang yang ingin menonjol. Ia hanya ingin belajar, lulus, hidup tenang. Tapi seperti selalu, yang tenang selalu menjadi target.

Seketika bel masuk berbunyi. Mereka semua bersiap keluar. Veron menatap Oiko sekali lagi, kali ini dengan senyum yang menusuk.

“Lu harusnya bersyukur kami masih ‘peduli’ sama lu.”

Mereka pergi, meninggalkan Oiko sendirian. Basah, kotor, dan patah.

Ia berjalan pelan ke wastafel, menatap wajahnya sendiri di cermin. Rambut acak-acakan. Mata merah. Luka kecil di pipi. Tapi yang paling menyakitkan bukanlah luka fisik, melainkan kehampaan di matanya sendiri.

"Kenapa... aku tetap ada di sini?" bisiknya. "Apa gunanya hidup seperti ini?"

Ia menyalakan keran air, membasuh wajahnya, mencoba menenangkan diri. Tapi rasa dingin dari air itu tak sebanding dengan dingin yang merayap di hatinya.

Langkah kakinya berat saat ia kembali ke kelas. Sepanjang perjalanan di koridor, tak ada satu pun yang menyapa. Beberapa siswa hanya melirik dan tertawa kecil, seolah keberadaannya adalah lelucon buruk.

Sampai akhirnya bel berbunyi tanda pelajaran dimulai.

Namun bagi Oiko, pelajaran sebenarnya baru saja dimulai—pelajaran bahwa dunia bukanlah tempat untuk orang seperti dirinya.

Dan tak ada yang tahu... bahwa dalam diamnya itu, sesuatu perlahan bangkit di dalam dirinya. Sesuatu yang bahkan Oiko sendiri belum menyadari.

Oiko duduk di bangkunya, sudut paling belakang dekat jendela. Tempat yang sepi, nyaris tak tersentuh oleh cahaya, sama seperti dirinya. Suara pelajaran Matematika bergema di kelas, tapi pikirannya mengembara jauh dari rumus-rumus itu.

Guru mengajar seperti biasa. Murid-murid lain sibuk mencoret-coret buku, memainkan ponsel di bawah meja, atau melirik satu sama lain sambil tertawa kecil. Dunia terus berjalan... seolah Oiko bukan bagiannya.

Sina, gadis populer yang disebut-sebut sebelumnya, duduk dua baris di depan. Sekali-sekali ia menoleh ke belakang, seolah ingin memastikan Oiko baik-baik saja. Tapi pandangan itu hanya berlangsung sepersekian detik, lalu kembali menunduk. Bahkan orang baik pun tak bisa terlalu terang di dunia yang penuh bayangan ini.

“Oiko,” suara pelan itu datang dari samping. Seorang gadis berkacamata, Hana, satu-satunya yang kadang mau bicara dengannya.

“Hm?” gumam Oiko lemah.

“Ini… buku yang kamu pinjam minggu lalu.” Ia menyerahkan buku catatan.

“Terima kasih…” jawabnya pelan. Tapi sebelum percakapan bisa berlanjut, suara keras meledak dari depan.

“Oi, Oiko!” Veron berdiri dari kursinya. “Kalau kamu pengen ngobrol, ngobrol aja sama kita. Jangan sok dekat sama cewek.”

Seluruh kelas tertawa. Hana langsung menunduk, wajahnya merah karena malu. Oiko hanya menatap lantai. Tak ada yang membelanya—lagi.

Guru di depan menoleh sebentar, tapi hanya menghela napas. “Veron, duduklah. Lanjutkan pelajaran kalian.”

Kelas kembali seperti semula. Tapi hati Oiko kembali terkoyak.

Waktu bergulir pelan. Jam dinding menunjukkan pukul 12:40. Sudah saatnya istirahat, tapi Oiko tetap duduk di kursinya. Ia terlalu lelah untuk ke kantin. Tak ada yang menunggunya di sana, tak ada yang mencarinya. Lebih baik diam.

Namun tiba-tiba, hawa aneh menyelimuti ruangan.

Seketika udara menjadi berat. Cahaya lampu berkedip pelan, lalu kembali stabil. Angin berembus dari jendela yang seharusnya tertutup rapat.

“Oiko… kamu lihat itu?” bisik Hana dengan suara bergetar, menunjuk ke lantai tengah kelas.

Di sana, perlahan, mulai muncul cahaya biru membentuk pola aneh di lantai. Lingkaran… dengan simbol yang tak bisa dikenali. Garis-garis bercahaya seperti ukiran muncul satu demi satu.

Seluruh kelas terdiam.

“Apa itu...?” bisik salah satu murid.

Veron berdiri, mencoba bersikap tenang. “Ini... ini prank, kan? Siapa yang masang beginian?!”

Tapi tak ada yang menjawab.

Cahaya itu semakin terang. Suara berdengung muncul, seperti getaran dari dalam tanah. Jendela bergetar. Papan tulis mengeluarkan suara gesekan meski tak ada yang menyentuhnya.

Lingkaran sihir itu kini lengkap. Bersinar biru menyilaukan, dan perlahan mengangkat debu dari lantai.

Sina berdiri dari tempat duduknya. “Kita harus keluar dari sini!”

Namun saat semua murid mencoba bangkit, tubuh mereka terasa berat. Seolah ditahan oleh sesuatu.

“Oiko!” Hana berteriak, tubuhnya gemetar. “Kenapa ini terjadi?!”

Oiko menatap lingkaran sihir itu. Anehnya, ia merasakan sesuatu… akrab. Bukan rasa takut, tapi seperti... panggilan.

Lingkaran itu mulai bersinar lebih terang, menjangkau seluruh lantai kelas.

Guru berteriak panik. “Semua keluar sekarang!!”

Tapi sudah terlambat.

Cahaya menyelimuti seluruh ruangan.

Dan detik itu juga, semuanya lenyap dalam cahaya putih menyilaukan…

. . . . .

. . . . .

. . . . .

. . . . .

. . . . .

Jangan lupa suportnya ..... Makasih.....

Chapter 2: Kebangkitan Sang Terluka

Suasana kelas berubah drastis.

Cahaya biru yang semula samar kini menyala tajam, menyelimuti ruangan dengan aura yang tak bisa dijelaskan oleh logika dunia.

Lingkaran sihir raksasa terbentuk sempurna di tengah kelas—tepat di bawah kaki Oiko.

“APA INI?!”

Hana menjerit, mundur sambil memeluk tasnya.

“PRANK?!! INI BUKAN PRANK KAN?!”

Zinta panik, nyaris tersandung saat mundur.

Takamura, yang biasanya paling santai, kini wajahnya pucat pasi. Daniel hanya bisa menatap kosong ke cahaya itu, matanya membesar.

Veron, si raja kelas, melangkah maju. “Berhenti main-main, Oiko. Matikan ini sekarang juga!!” suaranya keras—tapi penuh ketakutan yang ditutup-tutupi.

Tapi Oiko…

tidak berkata sepatah pun.

Ia hanya berdiri di pusat lingkaran sihir itu, diam, mata terbuka lebar, namun tak bergetar. Seolah tubuhnya bukan lagi tubuh seorang manusia biasa.

Simbol-simbol bercahaya berputar di udara.

Udara bergetar.

Lantai berdenyut seperti jantung.

Seluruh dunia seolah menghisap napas terakhirnya sebelum… terjadi sesuatu yang tak bisa diulang.

...

DORRRRRRR!!!

...

Ledakan cahaya membutakan semua orang.

Suara lonceng menggema, bukan dari sekolah... tapi dari sesuatu yang jauh lebih besar.

Dari dimensi lain.

...

“Pengangkatan Dimensi Dimulai.”

Sebuah suara… besar, berat, surgawi, namun mengerikan menggema ke dalam pikiran setiap murid.

...

Proses pemindahan… DIMULAI.

...

...

“APA?!!”

“APA MAKSUDNYA DIPINDAHKAN?!”

Tubuh-tubuh mulai melayang—satu per satu murid terangkat ke udara oleh kekuatan tak terlihat.

Jeritan menggema. Meja-meja berhamburan. Papan tulis meledak. Jendela-jendela pecah, dan realitas seolah runtuh seperti kaca retak.

Veron menjerit... tapi tak bisa bergerak.

Zinta, Takamura, Daniel, bahkan Hana pun mulai menghilang dalam cahaya.

Oiko menatap tangannya. Cahaya ungu tua berdenyut dari dalam kulitnya.

Ia tahu. Ini bukan kebetulan. Ini panggilan. Ini… awal dari segalanya.

“Transmigrasi ke dunia Ravellion telah dikonfirmasi. Selamat datang, para calon Raja dan Korban.”

...

...

...

...

Dan dalam sekejap…

Semua menghilang.

Kelas kosong. Sekolah sunyi.

Seolah mereka tak pernah ada.

semua murid teleportasi...

Ibukota Kerajaan Ravellion: Megah, luas, dan ramai.

Langitnya cerah, matahari satu menyinari hamparan bangunan bata putih dan menara-menara megah.

Di tengah kota, terdapat bangunan terbesar kedua setelah istana:

Balai Kota Agung Ravellion, tempat kerajaan menggelar pertemuan penting.

Hari ini, aula megahnya dipenuhi oleh seluruh siswa yang dipanggil dari dunia lain, sebanyak 32 orang.

Para bangsawan dan rakyat berdiri di balkon atas, menyaksikan prosesi penting ini.

Di depan mereka, berdiri Raja Aldrion Ravellion V, Penyihir Agung Kerajaan, serta para jenderal dan ksatria utama.

...

Pengujian Bola Sihir

Di tengah aula berdiri bola sihir besar mengambang, bersinar lembut biru.

Bola ini mampu mengukur aura, potensi, dan level kelas sihir.

Semua mata tertuju pada bola itu.

Raja berdiri dan berbicara dengan suara lantang:

“Kalian semua adalah yang terpilih dari dunia lain.”

“Kini saatnya menunjukkan nilai kalian di hadapan kerajaan ini.”

Veron Maju

“Veron, kau lebih dulu,” ujar Penyihir Agung.

Veron melangkah maju penuh percaya diri.

Bahkan sebelum menyentuh bola, aura sihirnya sudah meledak keluar.

Angin bergemuruh di aula. Rakyat bersorak.

Tangannya menyentuh bola.

[Kelas: Blade King]

[Atribut: Elemen Angin dan Petir]

[Peringkat: S]

Sorak-sorai terdengar dari balkon.

“Pahlawan sejati!”

“Itu dia harapan kita!”

Raja tersenyum puas.

...

Giliran Oiko

“Berikutnya… Oiko,” ucap Penyihir Agung, ragu-ragu.

Oiko melangkah dengan gugup. Wajahnya tenang, tapi kakinya gemetar.

Ia meletakkan tangannya di atas bola.

...Hening.

...Tak terjadi apa pun.

Bola sihir tetap diam. Tidak ada cahaya. Tidak ada aura. Tidak ada bunyi.

...

[Kelas: Tidak Teridentifikasi]

[Atribut: Tidak Terdeteksi]

[Peringkat: Tidak Layak]

Hening.....

.

.

.

Kemarahan Raja

“Apa ini!? Ini penghinaan!”

Raja berdiri. Matanya memerah karena murka.

“Kau… bukan pahlawan. Kau bukan siapa-siapa!”

“Bawa dia pergi dari sini! Campakkan dia ke lembah salju! Anak ini adalah aib bagi kerajaan!”

Dihina, Dilempar, Diseret

Penjaga istana langsung mencengkeram tangan Oiko.

Dia terhuyung, mencoba melawan, tapi tubuhnya lemah.

“Tunggu… aku… aku belum…”

BRAK!

Salah satu ksatria menendangnya dari atas tangga aula.

Oiko jatuh ke bawah.

Kepalanya membentur batu. Darah mengalir dari pelipisnya.

Para murid menatapnya dengan jijik.

Rakyat bersorak mencemooh.

“Dasar lemah.”

..

“Pantas dibuang.”

..

“yatim piatu juga dia!”

Veron tertawa keras dari atas panggung.

“Hahaha! Inilah perbedaan kita, Oiko...”

...

Oiko terbaring di lantai, darah mengalir, wajahnya menyentuh tanah dingin.

Namun matanya terbuka… menatap langit biru dari sela pintu aula…

Dan semua tatapan itu—tatapan hina, sinis, penuh benci—terpatri dalam jiwanya.

Diseret.

“Seret dia sekarang!” bentak Raja.

Dua penjaga kerajaan menarik Oiko yang terluka, menyeret tubuhnya di jalanan batu kota.

Warga menyingkir, menghindari darahnya, mencaci tanpa belas kasihan.

“Pergi dan mati saja di lembah beku, anak gagal!”

.

.

.

Sebelum kesadarannya hilang, Oiko mendengar suara dingin Raja:

“Semoga dia membeku di sana sebelum monster memakan jasadnya.”

...

...

Akhir Bagian

Saat gerbang kota tertutup, dan kereta beroda baja membawanya ke utara…

Oiko mengerang pelan dalam tidur berdarahnya.

“Aku... akan kembali... dan... aku akan buat... kalian semua... merangkak di bawah kakiku…”

oiko tertidur di penuhi darah di baju sekolah nya...

Langit masih biru.

Tapi dalam hatinya... badai telah lahir...

...

...

...

Suara roda kereta berhenti mendadak.

Suara derap kaki kuda menghilang di balik hembusan angin salju.

“Bangun. Turun sekarang.”

Suara berat, dingin, tanpa emosi, membangunkan Oiko dari pingsannya.

Matanya terbuka perlahan, pandangannya kabur oleh rasa sakit.

Wajahnya memar. Darah kering menempel di pelipis dan pipi.

Bajunya—seragam sekolah—lusuh, sobek, dan beku oleh darah serta salju.

Ia ditarik paksa dari dalam kereta dan dijatuhkan ke tanah keras bersalju.

Tanpa sepatah kata pun, pengemudi menarik kembali tali kekang.

Kereta berputar dan berlalu…

…meninggalkannya sendirian.

Angin salju menerpa wajahnya.

Oiko terbatuk. Tubuhnya menggigil hebat.

“Di mana... ini...?” gumamnya lemah.

Ia berusaha berdiri, tubuhnya limbung, hampir jatuh lagi.

Langkahnya goyah.

Salju menutupi kakinya yang tak lagi terasa.

Ia berjalan tanpa arah.

Lurus... lalu berhenti.

Hembusan salju begitu tebal, menutup pandangan.

Namun—sesuatu menangkap sudut matanya.

Ke kanan.

Sebuah celah gelap... seperti mulut naga yang menganga.

Sebuah goa.

“…mungkin… aman... di sana…”

Suaranya nyaris tak terdengar.

Napasnya terputus-putus.

Ia menyeret tubuhnya.

Langkah demi langkah.

Pelan… tapi pasti.

“S-sedikit… lagi…”

Setiap gerakan seperti mengangkat batu besar di atas tubuh yang remuk.

Namun ia tak berhenti.

Matanya tetap menatap mulut goa.

Badai meraung di belakang.

Salju menyelimuti rambut dan tubuhnya.

Kakinya nyaris mati rasa. Tangannya beku.

Namun tatapan Oiko... tetap hidup.

Akhirnya...

Ia sampai.

Tepat di depan goa, di ujung langkah terakhir...

Tubuhnya ambruk.

BRUK.

Darah dari pelipisnya kembali mengalir…

Lidahnya bergetar, mencoba bicara… tapi tak ada suara.

Oiko tak sadarkan diri.

Terbaring diam di ambang batas…

antara hidup dan mati.

Antara dunia manusia... dan kekuatan yang tersembunyi di dalam kedalaman goa itu.

Di luar, badai terus menggila.

Namun di dalam...

gelap...

hening...

dan sesuatu...

sedang terbangun.

...

Chapter 3: Lelaki di Singgasana Es

Tubuh Oiko tergeletak di mulut gua. Angin salju mengamuk, menggulung rambutnya yang membeku, membalut seragam sekolahnya dengan lapisan salju tebal. Nafasnya berembun, tubuhnya menggigil. Perlahan, matanya terbuka—kabur, berat, seperti baru terlahir kembali dari mimpi buruk yang tak berujung.

“Ugh…”

Suara geraman pelan itu lepas dari bibirnya yang pucat. Ia mencoba mengangkat tubuhnya, namun hanya bisa merangkak. Darah di kakinya membeku, menghitam di sela pakaian koyak. Napasnya berat, setiap gerakan seperti menusuk tulang.

Ia merangkak masuk ke dalam gua. Dingin tetap menusuk, namun setidaknya tidak sekeras badai di luar.

Langkah demi langkah, lutut menyeret tanah beku, tangan menggigil memegang lantai es. Pandangannya gelap. Namun sesuatu… menarik perhatiannya.

Cahaya biru samar dari ujung gua.

“...Apa itu…?”

Ia memaksa tubuhnya terus maju. Nafasnya nyaris putus, tapi ia tetap bergerak. Sampai akhirnya, ia melihatnya—seorang pria duduk di atas singgasana es. Dikelilingi kristal-kristal runcing dan cahaya magis yang mengambang di udara. Matanya tajam, tak berkedip. Rambutnya perak, jubahnya panjang menyapu lantai, dan aura misterius mengalir dari setiap gerakannya.

Oiko terpaku.

‘Siapa dia…?’

‘Akankah dia menolongku…?’

Hanya itu yang ada di pikirannya.

Namun pria itu tidak berbicara. Ia hanya mengangkat tangannya. Suatu kekuatan sihir terbangun. Di udara, sebuah tombak es terbentuk—indah tapi mematikan.

Oiko menegang.

Dan tanpa peringatan… pria itu mengarahkan jari ke bawah.

ZRAAKKK!

Tombak itu meluncur dan menancap di kaki kiri Oiko.

“AAARRRGHH!!”

Jeritannya menggema dalam gua. Rasa sakit itu—terasa nyata, seperti seluruh tubuhnya terkoyak. Darah beku memercik. Rasa dingin menjalar cepat dari luka ke tulangnya. Kakinya perlahan membeku… kaku… dan diam.

Namun Oiko tidak lari. Ia tidak bahkan menyumpah.

Ia justru tertawa pelan… getir… mata basah.

“...Heh… Bunuh saja aku... Jangan siksa aku…”

Wajahnya tersenyum… miris. Pandangan kosong ke atas singgasana.

“Kalau memang aku tak layak hidup di dunia ini… selesaikan saja sekarang…”

Pria itu masih tak bergeming. Namun aura di sekelilingnya makin berat.

Ia kembali mengangkat tangan.

Kali ini tombak es kedua terbentuk.

“Tidak…”

Oiko membisik pelan, namun tubuhnya sudah pasrah. Tangannya terkulai di lantai. Ia hanya bisa menatapnya datang.

DARRK!

Tombak kedua menghantam tangan kanan Oiko—tepat di atas lengan bawah. Darah memuncrat. Es langsung membekukan luka sebelum darah bisa mengalir lebih jauh. Rasa sakit itu bukan sekadar fisik—tapi menusuk hati dan jiwa.

Oiko meraung keras. Namun tidak dalam kemarahan.

“…Kenapa…” gumamnya, sambil menangis tertahan.

“Kenapa aku… selalu jadi yang paling terluka…?”

Suara isaknya bercampur dengan deru angin luar.

Ia tidak lagi mencoba bangkit. Hanya diam… menangis… dalam tubuh yang perlahan membeku.

Namun dari atas singgasana… Pria itu akhirnya membuka mulutnya.

Suara yang dingin namun dalam.

“Jika kau bisa bertahan tiga hari di sini… dengan luka-luka itu… maka aku akan mengakui keberadaanmu.”

...

Oiko menggertakkan gigi.

Tiga hari…? Dalam kondisi seperti ini…?

Seketika, suara pria itu menggema kembali:

“Namun jika kau mati… maka memang itulah takdirmu.”

...

...

...

...

...

...

Ia kemudian diam.

Kembali duduk dalam kesunyian es. Mata tertutup seolah tak peduli lagi.

Tubuh Oiko gemetar, terbaring dalam genangan darah yang membeku… napasnya makin lemah…

Namun… di balik rasa sakit itu… satu hal menyala:

Tekad.

“...Aku tidak akan mati di sini…”

“...Tidak sebelum kau, Veron… tunduk padaku…”

Oiko masih tergolek di atas lantai gua yang membeku, tubuhnya gemetar, tertutup campuran darah dan serpihan es yang menempel seperti kulit kedua. Nafasnya tersendat-sendat, dadanya naik turun dengan rasa sakit yang tak mampu dijelaskan oleh kata. Luka di kaki kirinya masih menganga—beku dan menghitam, sementara tangan kanannya kini hanyalah sisa tulang yang menyembul dari lengan yang patah dan hancur.

Di depan sana, duduklah sang pria di atas singgasana es. Sosok tinggi berbalut jubah kristal biru, seperti raja tanpa kerajaan, namun menyandang kekuasaan mutlak atas ruang dingin yang membunuh ini. Tatapannya tajam, namun kosong, seperti langit malam tanpa bintang. Ia memandang Oiko seperti sedang menonton seekor binatang yang sekarat—bukan dengan iba, tapi dengan rasa nikmat.

Lalu… ia tersenyum. Bukan senyum hangat, bukan senyum manusiawi. Tapi senyum bengkok yang perlahan melebar di wajahnya, seperti iblis yang tengah menikmati tarian terakhir mangsanya.

Tangannya—pucat, ramping, dan panjang—diangkat tinggi. Ujung jari-jarinya berkilau seolah menggenggam udara beku itu sendiri.

Gema aneh terdengar. Dinding gua bergetar pelan. Lalu dari atas, dari langit-langit yang tertutup kristal es, muncul bayangan-bayangan panjang dan runcing. Satu, dua, puluhan, lalu ratusan. Ribuan pedang terbuat dari es mulai terbentuk. Tajam. Mengkilap. Mengerikan.

Mata Oiko membelalak. Kepalanya perlahan menengadah meski seluruh tubuhnya memohon untuk diam. Ia melihat langit gua itu telah dipenuhi hujan kematian. Ribuan ujung pedang menggantung, siap menghantam tubuh ringkihnya kapan saja.

“Hah… ha… ha… haaaa…”

Tawa. Tawa panik yang muncul bukan karena bahagia, tapi karena otaknya sudah tidak mampu lagi menahan ketakutan. Tawa itu meluncur dari mulut Oiko, bercampur darah yang merembes dari sela bibirnya.

Dan pria itu… masih tersenyum.

Ia menurunkan tangannya perlahan. Jarinya hanya bergerak sedikit, seperti memberi aba-aba bagi alam semesta untuk membunuh.

Seketika itu juga… langit runtuh.

Pedang pertama menghantam bahu Oiko, menancap sampai tembus ke lantai batu.

“AAARRRGHHH!!!”

Jeritan itu memecah sunyi gua. Darah memercik liar, menghangat sejenak sebelum membeku di udara dan jatuh seperti kristal merah.

Pedang kedua—menembus pinggangnya.

Ketiga—paha kirinya.

Keempat—dada.

Kelima—perut.

Setiap detik, satu lagi jatuh. Setiap hantaman, dunia bergetar. Dan tubuh Oiko…

...dipenuhi luka.

Ia tidak bisa bergerak. Hanya bisa menjerit. Menjerit dan menjerit, hingga suara parau itu pun pecah seperti es retak. Tangisannya bercampur darah, air matanya membeku sebelum bisa jatuh ke pipi.

“Sakit… sakiiittt… kenapaa… aku… kenapaa aku… masih hidup…?” pikirnya dalam diam.

Lalu pedang kesepuluh menembus lengan kirinya, memaku tubuhnya ke lantai es.

Ia tak bisa lagi menahan rasa sakit itu. Tak bisa lari. Tak bisa mati. Hanya bisa menyaksikan tubuhnya dicabik-cabik oleh ribuan bilah es seperti boneka kain dalam badai duri.

“AAAAAAAAAAAAAARRRRGGGGGGGHHHHH!!!!”

Darah. Es. Rasa sakit. Ketakutan.

Itulah yang tersisa dari Oiko.

Namun pria itu… belum selesai.

Ia berdiri, langkahnya ringan tanpa suara. Jubahnya berkibar seperti tirai kematian. Ia mendekat… sedikit demi sedikit, membiarkan Oiko melihat wajahnya semakin jelas.

“Menyerahlah,” bisiknya.

Tapi Oiko, meski hampir hancur, meski tubuhnya hanya sisa-sisa daging dan darah, tetap menatapnya. Dengan satu mata yang masih bisa terbuka, ia menatap tajam… bukan dengan harapan… tapi dengan kebencian.

Dan di sanalah… di antara luka dan tangis, lahirlah sesuatu dalam dirinya.

Sesuatu yang belum pernah ada.

Kegelapan.

Dan kekuatan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!