NovelToon NovelToon

The Antagonist Wife : Maxime Bride

Tubuh yang Bukan Milikku

Suara monitor jantung terus berdetak ritmis di ruang operasi yang penuh tekanan. Vanessa Caelum menekan pelipisnya, mencoba tetap fokus sementara jarum jam sudah melampaui angka kesepuluh. Sudah hampir tujuh jam berlalu sejak ia mulai operasi kraniotomi darurat pada pasien remaja dengan aneurisma pecah. Fokusnya tak tergoyahkan, bahkan saat tubuhnya sendiri mulai mengeluh karena lapar dan letih.

Akhirnya, saat jahitan terakhir selesai dan pasien dibawa keluar, Vanessa melepas sarung tangannya dan menghela napas panjang. Sekujur tubuhnya terasa mati rasa, tapi pikirannya masih terus bekerja.

Di ruang dokter, ia duduk membungkuk di depan meja, mengelus pangkal hidungnya dengan mata tertutup.

Tak lama kemudian, pintu terbuka.

“Gila, kamu masih kuat berdiri?” suara Tania, sahabat sekaligus rekan kerja Vanessa, terdengar sambil masuk membawa dua botol kopi dingin.

Vanessa tersenyum lelah. “Setidaknya pasiennya selamat.”

Tania menyerahkan salah satu botol padanya. “Minum ini dulu. Kamu kelihatan kayak bisa pingsan kapan aja.”

“Thanks,” jawab Vanessa pelan.

Tania duduk di kursi sebelah. “Van, kamu mau dijemput nggak? Kebetulan kakakku mau pulang, searah sama rumah kamu.”

Vanessa langsung diam. Tatapannya menajam.

Tania mengangkat kedua tangan, menyadari kesalahannya. “Ups. Lupa. Maaf. Lupa kalo mantanmu itu… ya, agak toxic.”

Vanessa mengembuskan napas. “Aku bisa pulang sendiri, Tan. Tapi makasih udah nawarin.”

Tania tersenyum tipis. “Ya sudah. Tapi hati-hati, ya. Jangan maksain nyetir kalau ngantuk banget.”

Vanessa mengangguk. “Iya, tenang aja.”

Tania berdiri, lalu seakan ingat sesuatu, mengeluarkan sebuah buku dari tasnya. “Oh iya, hampir lupa! Nih, aku bawain novel yang lagi viral banget. The Antagonist’s Wife. Aku baru baca setengah, tapi ceritanya gila sih.”

Vanessa menerima novel itu. Sampulnya gelap dengan gambar wanita berdiri di depan istana besar.

“Tentang apa?” tanyanya.

“Cerita tentang permaisuri jahat yang akhirnya dihukum mati karena racunin pelayan istana. Tapi katanya, si pelayan itu ternyata nggak sepolos yang dikira. Ada banyak misteri di balik cerita aslinya.”

Vanessa terkekeh lemah. “Tipe cerita favorit kita banget, ya.”

“Makanya. Baca pas udah sampai rumah. Jangan baca di mobil!” ujar Tania sambil mengedipkan mata.

“Iya, iya,” jawab Vanessa.

Tania memeluknya singkat. “Istirahat yang cukup. Jangan bikin aku panik lagi.”

Langit malam menggantung kelam saat Vanessa menyetir menembus jalanan lengang. Radio menyala pelan, tapi tak mampu mengusir kantuk yang mulai menari di kelopak matanya.

Matanya sempat terpejam sepersekian detik.

“Tinggal sepuluh menit lagi,” gumamnya. Tapi rasa kantuk seperti menyergap dari segala arah.

Tangannya berusaha menggenggam setir erat. Lalu sebuah kilatan lampu dari mobil lain menyilaukan mata.

Dalam sekejap, semuanya kabur.

Ban tergelincir, suara rem melengking… dan kemudian—

BRUKK!

Tubuh Vanessa terhempas, kepalanya menghantam keras sisi jendela.

Gelap. Hening. Lalu, tidak ada apa-apa lagi.

___

Kepalanya terasa seperti dihantam palu godam. Setiap helaan napas membawa nyeri tajam yang menusuk tengkuk.

Vanessa membuka matanya perlahan. Cahaya hangat menyilaukan pandangan, membuatnya harus memicingkan mata untuk menyesuaikan diri. Tapi ketika akhirnya bayangan di depannya mulai jelas, ia terdiam.

Tempat ini… bukan rumah sakit.

Langit-langit kamar dihiasi lukisan tangan rumit bergaya baroque dengan aksen emas. Tirai berat menjuntai dari langit-langit, sementara sekelompok orang berbusana aneh—seperti keluar dari film sejarah abad pertengahan—berdiri di sekeliling tempat tidurnya.

Salah satu dari mereka sedang menumbuk sesuatu di dalam mangkuk porselen. Yang lain menempelkan kain hangat ke leher dan dahinya.

Apa ini… cosplay? Set film? Aku di mana?

Panik mulai merayap ke dadanya.

“A—aku…”

Seorang wanita tua berambut kelabu tiba-tiba mendongak dan mata tuanya membulat. “Yang Mulia… Yang Mulia telah sadar!”

Suara itu nyaring, penuh air mata. Ia segera tersungkur di samping ranjang, memegang tangan Vanessa dengan gemetar. “Syukurlah… Anda kembali kepada kami…”

Vanessa tercengang. Yang Mulia? Siapa?

Ia membuka mulut untuk bertanya, tapi belum sempat sepatah kata pun keluar, rasa pusing yang luar biasa menyergapnya.

Semua menjadi gelap.

Udara di sekeliling terasa asing. Lembut, terang, dan hening.

Vanessa berdiri di sebuah ruang tak berdinding yang dipenuhi cahaya putih mengambang. Bayangan dirinya tampak memantul ke segala arah meski tidak ada cermin. Suaranya sendiri menggema saat ia berkata pelan, “Apakah ini… mimpi?”

Langkah lembut terdengar dari belakang. Saat Vanessa berbalik, ia melihat sosok wanita berjalan ke arahnya.

Wanita itu mengenakan gaun putih mutiara yang tampak bersinar, rambutnya panjang bergelombang, matanya seindah langit senja—namun menyimpan luka yang dalam.

“Aku telah menunggumu,” ujar wanita itu dengan senyum lembut.

“Siapa kau?” Vanessa bertanya, menahan rasa takut.

“Aku adalah Vivienne Seraphielle d’Aurenhart. Dan tubuh yang kini kau tempati… adalah milikku.”

Vanessa terdiam. Detak jantungnya terasa hampa.

Vivienne melanjutkan, “Aku tidak meminta kehidupan ini. Tidak pula takdir yang membuatku menjadi antagonis dalam cerita yang tak bisa kuubah. Tapi kau—kau adalah harapan terakhirku. Seseorang yang tak terikat oleh naskah, seseorang dari luar cerita.”

Vanessa menelan ludah. “Maksudmu ini… sebuah novel? Dunia fiksi?”

Vivienne mengangguk pelan. “Dunia ini telah ditulis. Tapi takdirku tak adil. Aku hanya ingin satu hal—kesempatan untuk dihakimi sebagai manusia, bukan sebagai karakter jahat. Dan untuk itu, aku membutuhkanmu.”

“Aku sudah mati, kan?” suara Vanessa serak. Ia tahu jawabannya, tapi sulit untuk menerimanya.

Vivienne tidak menjawab langsung. Ia hanya menatapnya penuh belas kasih.

“Tubuhmu sudah hancur. Tapi jiwamu masih utuh. Kau tidak bisa kembali. Tapi kau bisa… hidup lagi. Sebagai aku. Dengan satu syarat.”

Vanessa menarik napas dalam. “Apa?”

“Kau tidak bisa mengubah alur secara kasar. Dunia ini… ditulis. Penulis tidak suka intervensi terang-terangan. Kau harus menyelinap di antara takdir. Mengubah cerita dengan lembut. Jika tidak, dunia akan menolakku. Menolakmu.”

Vanessa tertawa pahit. “Kau bicara seolah ini permainan.”

Vivienne menggeleng pelan. “Tidak, Vanessa. Ini bukan permainan. Ini penebusan.”

Ada keheningan panjang.

Akhirnya Vanessa menatapnya lurus-lurus. “Kalau aku membantu… bagaimana aku tahu kau tidak bohong? Bagaimana aku tahu aku tidak akan mati seperti ceritanya?”

Vivienne mendekat dan menyentuh dada Vanessa, tepat di atas jantungnya. “Karena jika kau mati… aku juga akan benar-benar lenyap. Kita terikat sekarang. Dan bersama-sama, kita bisa menyusun ulang akhir cerita ini.”

___

Napasnya memburu saat kesadaran kembali menghampiri.

Vanessa membuka mata untuk kedua kalinya. Langit-langit megah dengan hiasan emas yang sebelumnya ia lihat masih ada di sana. Wajah-wajah cemas mengelilinginya lagi — pelayan-pelayan muda dengan busana klasik, seorang wanita tua dengan rambut digelung rapi, serta seorang pria paruh baya dengan jubah abu-abu dan lambang singa bersayap di dada.

Namun kali ini, Vanessa tidak panik.

Ia tahu… ini bukan mimpi.

Ia sudah bukan Vanessa Caelum si dokter bedah.

Sekarang, ia adalah Vivienne Seraphielle d’Aurenhart — bangsawan, permaisuri, istri sah sang kaisar… dan wanita yang dicap sebagai antagonis oleh seluruh dunia.

“Yang Mulia… Anda benar-benar telah sadar?”

Suara lirih itu datang dari sisi kiri. Seorang pelayan muda berlutut dengan mata sembab. Wajahnya mungil dan polos, dan saat matanya bertemu milik Vanessa, senyumnya pecah dalam tangis bahagia.

“Sera…” gumam Vanessa pelan — nama itu muncul begitu saja dari mulutnya.

Sera. Pelayan pribadi Vivienne. Orang terakhir yang ada di sampingnya.

Seketika, kilatan memori menyergapnya—seolah layar film diputar di benaknya:

Vivienne berdiri di balkon menara timur, mengenakan gaun malam berwarna hitam. Angin malam menggoyangkan rambutnya yang panjang. Di tangannya, sebotol kecil cairan keperakan bergetar. Wajahnya kosong. Lelah. Putus asa.

“Kalau aku pergi… tidak akan ada yang menangis.”

Ia mengangkat botol ke bibirnya.

Tapi tepat sebelum cairan menyentuh lidahnya, pintu dibuka paksa.

“Yang Mulia!!”

Sera menerobos masuk dan merampas botol itu dari tangan Vivienne. Dalam pergulatan panik, botol terjatuh dan pecah, namun Vivienne yang sudah kehabisan napas terjatuh tak sadarkan diri di lantai marmer.

Jerit Sera memenuhi ruangan malam itu.

Napas Vanessa tercekat saat memori itu menghilang. Dada Vivienne… dadanya sendiri sekarang, terasa berat menanggung luka yang bukan miliknya.

Tapi… kini menjadi tanggung jawabnya.

“Sera,” Vanessa berkata lirih, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang. “Terima kasih… telah menyelamatkanku.”

Pelayan muda itu terisak dan menggenggam tangan Vanessa erat. “Saya pikir… saya telah kehilangan Anda, Yang Mulia. Dunia ini akan sangat sunyi tanpamu.”

Vanessa memaksakan senyum. Dalam hati, ia berkata,

“Aku tidak tahu apakah aku bisa menjadi dirimu, Vivienne. Tapi… aku janji, aku akan mencoba.”

Dari kejauhan, langkah kaki bergema. Seorang pelayan membisikkan sesuatu pada wanita tua yang berdiri di samping ranjang. Sang wanita mengangguk dan menoleh ke arah Vanessa dengan hormat.

“Yang Mulia… perwakilan dari Istana Kekaisaran akan datang besok pagi untuk menyampaikan pesan dari Kaisar.”

Detak jantung Vanessa berhenti sejenak.

Kaisar. Maxime Théo Leclair d’Aragon.

Suami sah Vivienne. Pria yang bahkan dalam naskah cerita tak pernah menyebut nama Vivienne tanpa nada dingin.

Dan sekarang, Vanessa harus menghadapi takdirnya.

Kebencian Maxime

Malam itu, Vanessa berdiri diam di depan jendela besar yang terbuka lebar di kamarnya. Udara malam yang sejuk menyapu lembut wajahnya, membawa aroma samar dari bunga-bunga yang sedang mekar di taman istana.

Pandangan matanya tertuju pada hamparan taman di bawah sana—terang remang diterangi cahaya bulan. Setiap sudutnya tampak teratur dan rapi, seolah dirancang dengan penuh cinta dan ketelitian. Mawar putih menjalin di antara lavender ungu dan bunga lili yang menjulang anggun. Angin malam menggoyangkan kelopak-kelopak itu, membuatnya tampak seperti melambai padanya dari kejauhan.

Indah. Terlalu indah… seperti dunia dalam dongeng.

Suara pintu terbuka pelan memecah kesunyian. Seorang gadis muda masuk dengan langkah hati-hati, membawa baki perak berisi makanan hangat.

“Makan malamnya sudah siap, Yang Mulia,” ucap gadis itu sambil menunduk sopan.

Itu adalah Sera Alwine, putri dari kepala pelayan istana, Eleanor Alwine — seorang wanita bijak dan setia yang telah melayani keluarga bangsawan d’Aurenhart selama bertahun-tahun. Sera adalah pelayan pribadi Vivienne. Meski tampak lugu dan bersahaja, kesetiaannya tidak pernah goyah, bahkan di saat-saat tergelap Vivienne.

Vanessa mengingat sekilas memori yang ia lihat. Tentang bagaimana Vivienne—dengan emosinya yang tidak stabil—pernah bersikap kasar pada Sera. Teriakan, lemparan benda, bahkan…

Luka-luka kecil yang kini tampak samar di lengan Sera… bukanlah hasil dari kecelakaan.

Dan meski demikian, Sera-lah yang tetap berada di sisinya hingga akhir. Satu-satunya orang yang dengan suara lantang mengatakan bahwa Vivienne tidak bersalah atas tuduhan meracuni Selene.

Satu-satunya yang percaya padanya.

Vanessa merasa dadanya sesak. Betapa tulusnya hati seorang Sera… dan betapa hancurnya Vivienne hingga menyakiti satu-satunya orang yang masih peduli padanya.

“Letakkan saja di meja,” ucap Vanessa pelan.

Sera mengangguk, meletakkan baki dengan hati-hati di atas meja bundar dekat tempat tidur. Ia kemudian berdiri tegak dan menatap Vanessa dengan wajah cemas yang tak disembunyikan.

“Kalau begitu, saya pamit undur diri. Saya harap Anda menghabiskan makan malamnya, Yang Mulia. Saya ingin melihat Anda sehat kembali…” katanya lembut, seolah menahan kekhawatiran yang terus menggerogoti pikirannya.

Vanessa hanya mengangguk pelan, menatap punggung Sera yang perlahan menghilang di balik pintu.

Begitu pintu tertutup, pikirannya kembali hanyut.

Desas-desus tentang Kaisar dan pelayan cantik bernama Selene Lysandra Vexmont telah menjadi racun yang perlahan menghancurkan Vivienne. Ditinggalkan, diabaikan, dan dicap sebagai istri yang tak dicintai, Vivienne mulai kehilangan akal sehatnya.

Obsesi pada cinta Maxime berubah menjadi penderitaan yang ditanggung sendirian. Ia bahkan rela menyiksa dirinya sendiri—berhenti makan, menyendiri, mengabaikan kesehatan… semua demi satu hal:

Diperhatikan.

Namun sia-sia.

Bahkan hingga napas terakhirnya, Maxime tak pernah menoleh padanya.

Vanessa menghela napas panjang. Betapa tragisnya nasib seorang wanita yang hanya ingin dicintai. Ia teringat wajah cantik Vivienne yang dilihatnya di cermin tadi. Kecantikan yang agung, memikat, seperti karakter dari lukisan klasik. Dengan wajah seperti itu, dengan gelar dan martabat yang ia punya… Vivienne seharusnya bisa mendapatkan pria mana pun yang ia inginkan.

Tapi tetap saja… ia memilih mengejar cinta yang tak pernah membalas.

Dan tak ada yang lebih menyakitkan dari cinta yang tak terbalas.

——

Sementara itu, jauh dari ibu kota, di sebuah kota perbatasan yang dilanda musim dingin paling kejam dalam dua dekade terakhir, suhu telah turun mendekati titik beku. Angin memekakkan telinga, menggigit kulit bahkan di balik lapisan pakaian tertebal.

Di tengah perkemahan militer yang berdiri kokoh di antara tumpukan salju, sebuah tenda besar berdiri paling mencolok, diterangi cahaya obor dan suara riuh peta yang dibentangkan. Di dalamnya, para komandan dan jenderal berkumpul mengelilingi meja kayu panjang yang dipenuhi dokumen, gulungan strategi, dan peta wilayah musuh.

Seorang pria dengan postur tinggi dan tegap berdiri di ujung meja. Jubah bulu hitam pekat membalut tubuhnya, namun dingin itu tak mampu menyentuh sorot matanya yang tajam dan penuh perhitungan.

Dialah Maxime Théo Leclair d’Aragon. Putra Mahkota. Pewaris takhta Kekaisaran. Dan pemimpin tertinggi pasukan dalam kampanye ini.

“Laporan terakhir dari unit pengintai?” tanya Maxime, suaranya dalam dan tegas, memotong kesunyian di dalam tenda.

Seorang perwira muda, Jenderal Adrien Thorne, melangkah maju dan meletakkan selembar peta bertanda tinta merah.

“Mereka mengonfirmasi bahwa pasukan musuh sedang memperkuat sisi timur Sungai Eravell. Mereka membangun benteng pertahanan dengan persenjataan berat. Jika kita menyerang langsung, korban di pihak kita akan sangat besar.”

Maxime menunduk memandangi peta dengan seksama. Jemarinya bergerak menyusuri garis pertahanan musuh, lalu berhenti di satu titik sempit di sebelah selatan sungai.

“Di sinilah celahnya,” ucap Maxime. “Kita akan mengalihkan perhatian mereka dengan pasukan utama dari utara, dan mengirim unit elit untuk menyusup dari selatan—saat fajar.”

“Dengan segala hormat, Yang Mulia,” sela Jenderal Caldus, veteran yang telah bertempur di puluhan medan perang. “Jalur selatan terlalu sempit dan berbatu. Kita berisiko kehilangan separuh pasukan hanya untuk bisa menyeberang.”

Maxime menoleh padanya, tenang tapi tajam. “Karena itu aku akan memimpin langsung dari jalur selatan. Tidak ada yang lebih efektif dari kekacauan yang datang dari pemimpin pasukan sendiri.”

Hening sejenak. Semua yang ada di tenda terdiam, terkejut oleh keputusan itu. Tapi mereka tahu… itulah Maxime. Selalu berada di garis depan. Dan karena itulah pasukannya menghormatinya lebih dari siapa pun.

“Siapkan seratus orang terbaik. Diam-diam. Tanpa suara. Kita bergerak sebelum matahari menyentuh puncak pegunungan,” lanjut Maxime.

“Perintah diterima,” serempak mereka menjawab.

Maxime lalu mengangkat cangkir logam berisi anggur hangat dan menatap satu per satu wajah komandan di sekelilingnya.

“Besok, kita tidak hanya merebut tanah. Kita merebut kembali martabat yang dirampas dari rakyat kita. Jangan ragukan kemenangan—kita hanya tinggal menjangkaunya.”

Tenda pun dipenuhi anggukan dan suara setuju.

Dan malam pun berlalu, sementara badai salju menggila di luar sana… besok adalah hari penentu.

Setelah rapat berakhir, tenda pusat komando mulai sunyi. Para komandan telah membubarkan diri, menyisakan udara dingin yang menyusup diam-diam melalui sela-sela kanvas tebal. Di sudut utama tenda, sang pemimpin agung duduk di singgasananya — kursi kayu berat berlapis bulu serigala — dengan mata terpejam dan napas berat.

Maxime Théo Leclair d’Aragon.

Wajahnya terlihat lelah, terukir oleh tekanan perang, kelelahan jiwa, dan dendam yang tak kunjung usai. Tubuh tegapnya tak sedikit pun kehilangan wibawa, meski rasa letih tampak mengendap di balik kelopak matanya.

Langkah kaki seseorang terdengar mendekat. Tak tergesa, tapi pasti.

Jenderal Bastian du Rocher — sahabat sekaligus tangan kanan Maxime — masuk membawa hawa dingin dan aroma salju. Bertahun-tahun berada di sisi Maxime membuatnya tahu, kapan harus bicara… dan kapan harus diam.

Tanpa membuka matanya, Maxime berkata pelan, “Aku tahu kau di sana. Katakan saja langsung, untuk apa kau datang?”

Bastian menghela napas pendek sebelum menjawab, “Akan lebih baik jika kau tidur di tempat tidur, bukan di kursi dingin seperti itu.”

Maxime membuka matanya perlahan, menatap sahabatnya dengan mata setajam elang.

“Kau tidak ke sini hanya untuk menawariku nasihat basi tentang istirahat, Bastian. Katakan saja tujuanmu, sebelum aku berubah pikiran dan membatalkan semua rencana penyerangan besok.”

Bastian tersenyum miring. Ia sudah terbiasa dengan lidah tajam Maxime. “Baiklah.”

Ia maju selangkah, lalu mengulurkan selembar kertas bersegel yang baru saja dikirim dari ibu kota.

“Laporan dari istana. Tentang… Ratu Vivienne.”

Mata Maxime menyipit, tapi ia tidak bergerak.

“Menurut laporan tabib kerajaan, pagi tadi… Ratu mencoba mengakhiri hidupnya. Racun. Tapi ia berhasil diselamatkan. Zat itu belum sempat menyebar ke seluruh tubuhnya,” ucap Bastian hati-hati.

Sunyi.

Lalu terdengar tawa sinis — dingin, pahit, dan tanpa belas kasih — keluar dari mulut Maxime.

“Rupanya wanita itu belum menyerah memainkan drama murahan.”

Matanya menatap api unggun yang mulai meredup. Tak ada sedikit pun kilatan iba di sana.

“Jika tidak karena peraturan dan statusnya, sudah lama aku membunuhnya dengan tanganku sendiri,” gumamnya dingin.

Bastian menatap Maxime, seperti hendak berkata sesuatu… namun mengurungkannya. Ia tahu, luka yang satu ini terlalu dalam, terlalu tua untuk disembuhkan dengan kata-kata.

Ingatan Maxime kembali melayang ke masa kelam bertahun lalu.

Hari di mana ia dijebak.

Ayah Vivienne — Adelric d’Aurenhart — bangsawan ambisius yang rela melakukan apa pun demi memperkuat kedudukan keluarga mereka, sengaja mencampurkan ramuan perangsang ke dalam anggur Maxime. Malam itu, Maxime nyaris kehilangan kesadaran penuh.

Dan di saat terlemah itulah, Vivienne muncul. Manis, lembut, berpura-pura menjadi penyelamat.

Pagi harinya, semuanya sudah terlambat.

Kaisar Alaric d’Aragon, ayah Maxime, murka saat mendengar skandal memalukan itu. Demi menjaga martabat keluarga kekaisaran, pernikahan diputuskan tanpa negosiasi. Tidak ada yang peduli apakah Maxime menginginkannya atau tidak.

Sejak hari itu, Maxime menolak menyentuh Vivienne.

Baginya, wanita itu tidak lebih dari simbol pengkhianatan dan permainan kotor.

“Kalaupun dia mati… aku tidak akan kehilangan apa-apa,” ujar Maxime datar, seperti berbicara tentang musuh, bukan tentang istri sahnya.

Namun Bastian, yang memperhatikan dengan seksama, menyadari sesuatu yang tak diucapkan oleh sahabatnya. Ada jeda kecil… terlalu kecil… sebelum Maxime mengucap kata “mati.”

Dan itu, bagi Bastian, cukup untuk membuatnya curiga bahwa… mungkin, hanya mungkin… kebencian itu tak seutuhnya murni.

Wanita yang Menarik

“Bagaimana dengan Selene?”

Pertanyaan itu meluncur pelan namun tajam dari bibir Maxime, membuat Bastian yang hendak berbalik menghentikan langkahnya. Dahi sang jenderal sedikit berkerut.

Ia menatap punggung sahabatnya dengan sorot sulit dibaca. Nama itu… sejak dua minggu terakhir, terlalu sering terdengar dari mulut sang Kaisar.

“Dia baik-baik saja, Tuan,” jawab Bastian setelah jeda singkat.

Itu bohong. Bukan berarti Selene dalam bahaya, hanya saja—tak ada laporan apa pun tentang wanita itu sejak terakhir kali mereka meninggalkannya di barak belakang istana perbatasan. Dan Bastian, entah kenapa, merasa itu janggal.

Maxime membalas dengan gumaman pendek, lalu memerintahkan, “Perintahkan dua prajurit kepercayaanku untuk berjaga di sekitar Selene. Aku tak ingin mendengar kabar bahwa dia disakiti… oleh siapa pun.”

Suara itu tegas, dingin, mutlak. Bastian hanya mengangguk, meski benaknya dipenuhi tanya. Wanita itu… apa yang sebenarnya dia lakukan hingga bisa menembus benteng es yang selama ini mengelilingi hati Maxime?

Dua minggu lalu, di jalan berbatu menuju perbatasan barat yang beku oleh angin malam…

Pasukan Kekaisaran tengah bergerak menuju lokasi bentrokan ketika kereta mereka dihentikan oleh suara jeritan lirih dari hutan.

Di antara semak belukar dan dedaunan beku, ditemukanlah seorang wanita—Selene Lysandra Vexmont.

Tubuhnya penuh luka, bajunya compang-camping, dan kulitnya memar. Dia tampak seperti korban penyiksaan atau perampokan. Para prajurit ingin melewatinya begitu saja, menganggapnya hanya beban.

Tapi dia bersimpuh, memohon sambil menangis: “Tolong… aku hanya ingin hidup.”

Maxime awalnya bersikap acuh. Ia bahkan telah memberi isyarat agar pasukannya lanjut tanpa memperdulikannya.

Namun, tatapan wanita itu—campuran ketakutan, keberanian, dan keputusasaan—menghentikannya. Ia jarang melihat mata seperti itu, terutama dari seorang wanita biasa.

Dan saat itu juga, seperti ironi yang disusun oleh takdir, seekor kuda panik menghentak dan menyerempet bahu Maxime, menciptakan luka gores ringan.

Bagi Maxime, itu tak lebih dari calar kecil. Tapi Selene, yang baru saja diselamatkan, segera bersimpuh dan memohon izin untuk mengobatinya. Ia bersikeras dengan lembut, penuh hormat, dan… cerdas.

“Lukanya ringan, tapi jika tak dibersihkan dengan benar, bisa infeksi dalam cuaca seperti ini,” katanya tenang.

Maxime, entah mengapa, membiarkannya.

Selama seminggu mereka berada di satu perkemahan yang sama. Dalam waktu sesingkat itu, Maxime mendapati bahwa Selene bukan sekadar cantik dan lembut. Ia juga pintar. Terlalu pintar.

Ia tahu cara membaca peta kuno, tahu ilmu pengobatan dasar, dan selalu berbicara seolah tahu betul bagaimana menyenangkan hati seseorang tanpa berlebihan.

Dan di sanalah awal ketertarikan itu tumbuh. Perlahan… diam-diam.

Bastian menyadari perubahan itu lebih dulu. Maxime mulai sering menanyakan kabar Selene. Mulai memerintahkannya untuk tinggal di tempat yang lebih aman. Bahkan… membiarkan Selene duduk di satu meja makan dengannya saat para prajurit masih mengisi perut di luar tenda.

Tapi bagi Bastian, yang telah lama mengabdi pada kekaisaran—perasaan datang terlalu cepat sering kali mengandung racun.

——

Pagi menjelang, menyibak tirai malam yang perlahan menghilang.

Di dalam kamar megah berhias lukisan langit-langit dan pilar emas, Vanessa berdiri di hadapan cermin tinggi yang memantulkan sosok wanita tak asing namun terasa asing sekaligus.

Gaun berpotongan elegan membalut tubuh rampingnya, jatuh dengan sempurna mengikuti lekuk pinggang dan bahu Vivienne yang anggun. Warna biru muda pucat dengan benang emas menyulam ujung lengan dan bagian dada—gaun itu bukan sekadar pakaian, tapi simbol status, kekuasaan, dan… pengasingan.

Wajah cantik Vivienne terlihat menawan meski hanya dengan riasan tipis.

Kilau alami kulitnya, mata keemasan yang seperti bisa membakar atau membeku sekaligus, dan bibir merah muda yang terlihat halus—membuat Vanessa nyaris lupa bahwa wanita dalam cermin itu bukan dirinya.

“Vivienne… kau benar-benar cantik. Terlalu cantik. Tapi… kenapa Maxime bisa tak menyukaimu?” gumamnya lirih, setengah tak percaya.

Ia menyentuh pipinya sendiri. Lembut. Hidup. Tapi bukan miliknya.

“Vivienne memintaku mengubah takdirnya… tapi bagaimana caranya?”

Vanessa mendesah berat, rasa frustasi mencuat dari dadanya. Ia melirik sekilas ke arah jendela besar yang terbuka, membiarkan angin pagi menyelinap lembut ke dalam ruangan.

“Aku tidak mungkin bisa tiba-tiba keluar dari istana hanya karena ingin memulai hidup baru, kan?” katanya sambil mendongak, menatap langit-langit kamar yang tinggi.

Semua ini masih terasa tak nyata. Dunia modernnya yang penuh logika dan kebebasan terasa seperti mimpi jauh yang perlahan memudar. Kini ia terjebak di dunia dengan hukum kerajaan, intrik istana, dan… cinta sepihak seorang wanita bernama Vivienne.

“Apa sebaiknya aku menjaga jarak saja dari Maxime? Jangan ikut campur, jangan terlalu dekat. Toh, semakin aku tidak terlihat, semakin besar kemungkinan dia menceraikanku, bukan?”

Senyum pelan terukir di wajahnya. Rasanya seperti rencana jenius.

Ya. Biarkan Maxime dan Selene mendekat. Biarkan mereka saling jatuh cinta.

Dan ketika waktunya tiba, Maxime pasti akan menceraikan Vivienne—dan Vanessa bisa pergi. Bebas. Hidup damai di pelosok kota, mungkin membuka klinik kecil, atau sekadar menjalani hari-hari tanpa istana dan darah biru.

Terdengar alami. Terdengar aman. Penulis tak akan curiga. Dan Vivienne… akan selamat.

Atau setidaknya, itulah yang Vanessa yakini.

Meski jauh di dalam dirinya, sesuatu terasa… belum seutuhnya benar.

——

Vanessa baru saja menyelesaikan sarapannya.

Hidangan di istana ini begitu menggoda—penuh pilihan dan disajikan dengan keanggunan khas kaum bangsawan. Aroma mentega, madu, dan roti panggang berpadu dengan rasa manis buah segar dan teh herbal yang menghangatkan tenggorokan.

Ia menyandarkan tubuhnya ringan ke sandaran kursi.

“Kalau saja perutku lebih besar, mungkin aku bisa mencoba semuanya…” gumamnya sambil menatap sisa-sisa hidangan yang menggoda tapi tak bisa lagi ia sentuh.

Di sampingnya, Sera berdiri tenang menunggu perintah seperti biasa.

“Sera, apa ada kegiatan yang bisa aku lakukan hari ini?”

Pertanyaan itu membuat Sera langsung menoleh, memandanginya dengan raut… aneh.

Vanessa mengernyit, merasa tatapan itu terlalu tajam untuk pertanyaan sesederhana itu.

“Kau kenapa memandangiku seperti itu? Apa ada yang salah dengan ucapanku?”

Sera buru-buru menunduk, tampak sedikit panik.

“Ampun, Yang Mulia! Tentu tidak ada. Hanya saja… rasanya aneh mendengar Anda bertanya seperti itu.”

“Aneh kenapa?”

“Biasanya, Anda paling tidak suka jika ada kegiatan yang mengganggu waktu tenang Anda. Saat Yang Mulia Kaisar sedang tak ada di istana, Anda lebih senang menghabiskan waktu seharian di kamar.”

Vanessa nyaris menghela napas keras.

“Vivienne, kau ini… pemalas juga rupanya,” batinnya getir.

Tak heran Maxime tidak tertarik. Cantik memang, tapi malas dan terlalu penuh drama. Kombinasi buruk.

“Lupakan kebiasaanku sebelumnya. Anggap saja aku… sedang ingin berubah. Jadi, ada kegiatan apa hari ini?”

Sera masih tampak ragu, namun menjawab sopan.

“Hari ini tidak ada agenda resmi, Yang Mulia. Tapi… bila berkenan, Anda bisa melakukan kegiatan kewanitaan seperti menyulam, merangkai bunga, atau membaca buku.”

Vanessa meringis dalam hati. Menyulam dan merangkai bunga? Jiwanya yang biasa menghadapi operasi kompleks di ruang steril langsung menolak gagasan itu.

“Apa di sini ada perpustakaan?” tanyanya cepat.

“Tentu saja ada. Anda ingin ke sana?”

“Ya. Bisa antar aku?”

Sera tersenyum kecil dan mengangguk, memberi isyarat agar Vanessa mengikutinya.

Mereka pun meninggalkan ruang makan, melewati lorong panjang berhiaskan ukiran kuno dan jendela kaca patri yang memantulkan cahaya pagi. Langkah Vanessa terasa ringan, namun pandangan orang-orang di sepanjang lorong tak sehangat cahaya matahari.

Pelayan yang mereka lewati menatap Vanessa dengan pandangan sinis, tajam, bahkan ada yang menunduk terlalu cepat seolah enggan bertemu mata.

Vanessa menahan desahannya.

“Sepertinya reputasi Vivienne di istana ini benar-benar menyedihkan…” pikirnya.

Seorang wanita yang dikenal angkuh, kasar, dan penuh sandiwara. Bukan tipe yang akan dipuji atau dibela. Bahkan pelayan pun tampaknya lebih senang membencinya diam-diam.

Tapi kini, Vanessa yang mengisi tubuh Vivienne, menatap dunia ini dari kacamata berbeda.

Dan ia tahu—kalau ingin mengubah takdir Vivienne, maka ia harus mulai dari cara pandang orang-orang ini terlebih dahulu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!