NovelToon NovelToon

Bukan Karena Tak Cinta

Cobaan Itu Dimulai

Suasana kelas 11 IPA 2 siang itu cukup ramai. Meja dan kursi bergeser, derap langkah tergesa-gesa terdengar dari luar. Bel istirahat baru saja berbunyi lima menit yang lalu, tapi sebagian besar siswa sudah siap menyantap bekal atau jajan di kantin. Namun, Novia Anwar, guru Bahasa Inggris mereka, masih sibuk di depan kelas, membereskan tumpukan LKS dan buku paket.

Novia menghela napas panjang. Usianya sudah 30 tahun, dan enam tahun terakhir ini ia mengabdi sebagai guru honorer di SMA Negeri di kota kecil ini. Gaji? Jangan ditanya. Selalu dirapel tiga bulan sekali, kadang lebih. Nominalnya pun tak seberapa, jauh dari kata cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Tapi toh, setiap kali ia melangkah masuk ke kelas, semangatnya selalu penuh. Senyum tulus tak pernah lepas dari bibirnya. Ia percaya, mendidik adalah panggilan hati.

"Bu Novia, tidak ke kantin?" tanya seorang siswa bernama Rio, yang masih bertahan di bangkunya, asyik bermain gim di ponsel.

Novia menoleh, senyum tipis mengembang. "Nanti, Rio. Ibu mau rapikan ini dulu. Kamu tidak jajan?"

Rio menggeleng. "Sudah bawa bekal, Bu. Ibu terlihat lelah."

"Tidak juga. Hanya sedikit pegal," jawab Novia, meraih botol minumnya. "Mungkin karena tadi pagi jogging." Ia berbohong, tentu saja. Kelelahan yang ia rasakan lebih disebabkan oleh tekanan ekonomi dan ketidakpastian statusnya. Tapi ia tak mau itu terlihat di hadapan murid-muridnya.

Tiba-tiba, Arini, siswi yang dikenal paling cerdas di kelas, mendekati meja guru. "Bu Novia, tadi penjelasan tentang conditional sentence sudah sangat jelas, terima kasih. Saya jadi lebih paham."

Mendengar itu, mata Novia berbinar. "Syukurlah, Arini. Ada bagian yang masih belum kamu mengerti?"

"Sepertinya tidak ada, Bu. Hanya saja, terkadang saya masih tertukar antara tipe 2 dan tipe 3," jawab Arini sambil tersenyum malu.

Novia tersenyum lebar. "Itu wajar. Kuncinya ada di pola tenses-nya. Nanti kita ulang lagi di pertemuan berikutnya, ya."

"Baik, Bu," kata Arini.

Sejenak, Novia menatap keluar jendela. Langit biru dihiasi awan putih berarak. Ia membayangkan bagaimana jika statusnya sudah diangkat menjadi PNS. Pasti gajinya lebih teratur, dan ia bisa menabung untuk masa depan. Tapi lamunan itu cepat ditepisnya. Saat ini, yang terpenting adalah bagaimana ia bisa memberikan yang terbaik untuk murid-muridnya.

****

Pukul empat sore, Novia tiba di rumah kecilnya yang sederhana. Setelah seharian mengajar, rasa lelah mendera, namun ia berusaha menepisnya. Ia sudah menikah empat tahun dengan Januar Hadi, suaminya yang bekerja sebagai staf administrasi di sebuah perusahaan swasta. Sejak menikah, mereka tinggal bersama mertua Novia, Diana, yang sayangnya memiliki kebiasaan ‘julid’ terhadap dirinya.

Begitu pintu terbuka, aroma masakan langsung menyeruak. Di ruang tengah, Diana sedang menonton televisi, sesekali melirik sinetron di layar kaca.

"Baru pulang, Novia?" sapa Diana tanpa menoleh, suaranya terdengar dingin.

Novia mengangguk, meletakkan tas di sofa. "Iya, Bu. Tadi ada rapat sebentar."

"Rapat apalagi? Guru honorer itu kerjanya begitu-begitu saja, kan? Gajinya kapan cairnya? Tiga bulan sekali, kan? Kalau ibu jadi kamu, sudah lama cari kerjaan lain," cibir Diana, kini menoleh dengan tatapan merendahkan.

Hati Novia mencelos. Ini bukan kali pertama ia mendengar kata-kata pedas seperti itu. Ia mencoba menahan diri agar tidak terpancing emosi. "Sudah pilihan Novia, Bu. Novia nyaman mengajar," jawabnya pelan, berusaha mengabaikan sindiran mertuanya.

"Nyaman? Dengan gaji pas-pasan begitu? Kapan kalian bisa punya rumah sendiri kalau begini terus? Kapan Ibu bisa punya cucu?" Nada suara Diana semakin menusuk. "Jangan-jangan memang kamu yang mandul, ya? Sudah empat tahun menikah, belum juga ada tanda-tanda kehamilan."

Kata ‘mandul’ itu seperti belati yang menancap tepat di ulu hati Novia. Matanya berkaca-kaca, tapi ia berusaha keras menahannya. Ia menarik napas dalam-dalam. "Insya Allah, Bu. Doakan saja," jawab Novia, berusaha sekuat tenaga agar suaranya tidak bergetar.

Tak lama kemudian, terdengar suara motor Januar memasuki halaman rumah. Novia langsung bergegas menyambut suaminya. Januar Hadi, dengan seragam kerjanya yang rapi, tersenyum hangat melihat Novia.

"Assalamualaikum," ucap Januar seraya mencium kening Novia. "Sudah pulang, Sayang?"

"Waalaikumussalam, Mas. Iya, baru saja," jawab Novia, sedikit lega dengan kehadiran Januar.

Ketika mereka masuk ke dalam, Diana langsung memulai lagi. "Itu istrimu, Jan. Kerjanya santai, gajinya kecil, cucu juga belum ada. Apa tidak dicari solusi?"

Januar menatap ibunya dengan tatapan peringatan. "Ibu, jangan begitu, Bu. Novia sudah bekerja keras. Masalah anak, kan, Allah yang menentukan."

"Alah, alasan saja! Ini pasti karena Novia yang tidak subur," timpal Diana tanpa rasa bersalah.

Mendengar itu, air mata Novia akhirnya tumpah. Ia tak sanggup lagi menahannya. Januar segera merangkul Novia, menenangkan istrinya.

"Ibu! Cukup!" bentak Januar, suaranya meninggi. "Novia istriku. Aku tidak peduli dengan semua kata-kata Ibu. Yang penting, Novia selalu ada untukku dan Novia guru yang baik."

Diana terdiam, terkejut mendengar bentakan putranya. Januar kemudian membawa Novia masuk ke kamar, meninggalkan Diana sendirian di ruang tamu. Di dalam kamar, Januar memeluk Novia erat.

"Jangan dengarkan perkataan Ibu, Sayang," bisik Januar lembut. "Kita akan terus berusaha, dan kita akan melewatinya bersama."

Novia terisak di pelukan suaminya. Meskipun lelah fisik dan batin, ia tahu ia tidak sendiri. Ada Januar yang selalu mendukungnya. Dan dukungan itu, bagi Novia, adalah kekuatan terbesar untuk menghadapi segala badai dalam hidupnya.

****

Sabtu pagi itu, mentari sudah merangkak tinggi, memancarkan sinarnya ke seluruh penjuru kota. Namun, ada yang berbeda pagi ini di kediaman Novia. Januar, suaminya, harus masuk kerja. "Ada beberapa hal yang perlu aku selesaikan di kantor, Sayang. Tidak bisa ditunda," ujarnya semalam, saat Novia menanyakan alasannya. Novia sedikit heran, tak biasanya Januar masuk di hari libur. Namun, ia hanya mengangguk mengerti, mencoba memahami tuntutan pekerjaan sang suami.

Setelah Januar berangkat, rumah kembali sunyi, hanya ada Novia dan mertuanya, Diana. Novia memutuskan untuk membersihkan rumah dan mencuci pakaian. Saat sedang menjemur, suara Diana menggelegar dari dapur.

"Novia! Ke sini sebentar!" panggil Diana dengan nada tinggi.

Novia segera menghampiri. Diana sedang duduk di meja makan, menatapnya tajam. "Kamu ini, sudah hampir empat tahun menikah, bukannya mikir bagaimana caranya punya anak, malah sibuk dengan pekerjaanmu yang tidak seberapa itu," sindirnya, lagi-lagi mengungkit soal keturunannya. "Lihat tetangga sebelah, baru setahun menikah sudah hamil. Kamu ini sebenarnya kenapa, sih? Jangan-jangan memang benar kamu mandul!"

Hati Novia mencelos mendengar kata itu terucap lagi. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba meredam gejolak di dadanya. "Bu, kan sudah Novia bilang, masalah anak itu kehendak Allah. Kami juga sudah berusaha dan berdoa," jawab Novia, berusaha menahan air mata yang sudah menggenang.

"Usaha apa? Doa apa? Jangan cuma omong kosong! Sudah jelas-jelas tidak ada hasilnya, berarti memang ada yang salah denganmu!" Diana tak henti-hentinya menekan. "Ibu ini kasihan sama Januar. Punya istri kok begini."

****

Siang harinya, Novia pergi ke tukang sayur keliling yang biasa mangkal di ujung gang. Ia ingin membeli beberapa bahan untuk makan malam. Sesampainya di sana, Novia melihat Diana sedang bercengkerama dengan beberapa ibu-ibu kompleks lainnya. Begitu melihat Novia, Diana langsung menghentikan obrolannya, dan ibu-ibu lainnya pun menatap Novia dengan pandangan aneh.

"Itu lho, Bu, menantu saya," kata Diana kepada ibu-ibu, dengan suara yang sengaja dikeraskan agar Novia bisa mendengar. "Sudah empat tahun menikah, belum juga hamil. Kasihan anak saya, Januar, belum punya keturunan juga sampai sekarang."

Salah satu ibu, Bu Siti, menimpali, "Oh, iya, Bu Diana. Saya juga dengar-dengar begitu. Padahal Bu Novia ini cantik, ya, tapi kok...?" Ia sengaja menggantungkan kalimatnya, melirik Novia dengan tatapan penuh tanda tanya.

Wajah Novia memerah padam. Ia merasakan tatapan prihatin, atau mungkin penasaran, dari ibu-ibu lain. Ini sungguh memalukan. Ia merasa harga dirinya diinjak-injak di depan umum. Novia buru-buru mengambil beberapa sayuran, membayarnya dengan cepat, dan bergegas pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Sepanjang perjalanan pulang, air mata Novia tak bisa lagi dibendung. Hati Novia sakit sekali. Ia merasa dunianya runtuh. Ia tidak hanya menghadapi tekanan di rumah, tapi kini juga harus menanggung malu di depan tetangga. Pikirannya kalut. Mengapa ia harus melalui semua ini?

Ternyata Dia Selingkuh?

Sore itu, Novia sedang membereskan dapur setelah makan siang yang terasa hambar. Hatinya masih perih mengingat kejadian di tukang sayur. Tak lama kemudian, terdengar suara bel pintu. Novia melihat Diana sudah membuka pintu dan menyambut seseorang. Itu Ema, kakak perempuan Januar, putri sulung Diana. Ema datang dengan senyum cerah dan tas tangan bermerek.

"Assalamualaikum, Ibu! Apa kabar?" sapa Ema riang sambil memeluk Diana.

"Waalaikumussalam, Ema. Baik, Nak. Ibu kangen sekali," jawab Diana, raut wajahnya langsung berubah sumringah.

Keduanya kemudian duduk di ruang tamu. Novia melirik dari dapur. Ia tahu, setiap kali Ema datang, topik pembicaraan pasti tidak jauh dari dirinya. Dan benar saja, tak lama kemudian, samar-samar ia mendengar namanya disebut.

"Ema tahu tidak," mulai Diana dengan suara dibuat lebih rendah, "Ibu ini pusing sekali dengan Novia. Sudah empat tahun menikah dengan Januar, tapi belum juga punya anak."

Ema mengernyitkan dahi. "Loh, memangnya kenapa, Bu? Kan urusan anak itu rezeki dari Allah."

Diana mendengus. "Rezeki bagaimana? Ini pasti karena Novia yang bermasalah. Ibu sudah bilang berkali-kali, Novia itu mandul! Percuma saja dia jadi guru, gajinya kecil, anak juga tidak ada."

Novia yang sedang membawa nampan berisi teh, tiba-tiba berhenti di ambang pintu dapur. Genggaman tangannya mengerat pada nampan. Kata itu lagi, mandul. Diucapkan dengan begitu gamblang, tanpa beban, di hadapan kakak iparnya. Dadanya terasa sesak. Ia mencoba menenangkan diri dan melanjutkan langkahnya, meletakkan teh di meja.

"Silakan diminum, Mbak Ema," ucap Novia dengan suara bergetar yang ia coba tutupi.

Ema melirik Novia, ekspresinya sulit ditebak. "Terima kasih, Novia."

Diana menatap Novia sekilas, lalu kembali berbicara pada Ema, mengabaikan kehadiran Novia seolah ia tak ada. "Ibu ini sampai malu dengan tetangga. Tiap ditanya cucu, Ibu cuma bisa geleng-geleng kepala. Coba kalau Novia punya anak, kan Ibu bisa bangga."

"Tapi, Bu," sahut Ema hati-hati, "bukankah sudah periksa ke dokter? Bisa jadi kan Januar juga ada masalah?"

Diana langsung mendelik. "Tidak mungkin! Januar itu sehat walafiat. Pasti Novia ini yang tidak becus. Menantu tidak berguna!"

Mendengar cercaan itu, Novia menunduk. Air mata yang selama ini ia tahan, kini menetes satu per satu membasahi pipinya. Ia merasa sangat kecil, tidak berdaya. Semua kerja kerasnya sebagai guru, semua kesabarannya menghadapi mertua, seolah tak ada artinya di mata Diana. Ia merasa seperti sampah, tak diinginkan, dan tak dihargai.

"Novia dengar semua yang Ibu katakan," batinnya lirih, "tapi aku tak tahu harus berbuat apa."

Ia pergi ke kamarnya, meninggalkan Diana dan Ema yang masih asyik bergosip. Di dalam kamar, Novia menjatuhkan diri di tepi ranjang. Ia menatap kosong dinding kamar. Mengapa harus sebegini kejamnya dunia ini padanya? Mengapa semua beban ini harus ia tanggung sendirian? Perasaan sedih dan putus asa menyelimutinya.

****

Malam itu, Novia sedang menyiapkan makan malam saat suara motor Januar terdengar memasuki pekarangan rumah. Hatinya sedikit menghangat. Ia tahu, sebentar lagi ia tak akan merasa sendirian lagi. Segera ia menghampiri pintu depan, menyambut suaminya dengan senyum.

Januar masuk dengan wajah berseri-seri, senyum lebar terlukis di bibirnya. Ia langsung memeluk Novia erat. "Sayang, aku punya kabar gembira!" ucapnya penuh semangat.

Novia menatapnya heran, namun ada binar kebahagiaan di mata suaminya yang membuatnya ikut tersenyum. "Ada apa, Mas? Kok senyum-senyum begitu?"

"Aku... aku diangkat jadi manajer, Sayang!" seru Januar, raut wajahnya menunjukkan kebanggaan yang luar biasa. "Mulai bulan depan, aku resmi jadi manajer pemasaran! Gaji juga naik drastis!"

Mendengar itu, Novia terperanjat saking kagetnya. Kebahagiaan langsung menyelimuti hatinya. Akhirnya, ada titik terang dalam kehidupan ekonomi mereka. Air mata haru menggenang di pelupuk matanya. Ia memeluk Januar erat-erat. "Alhamdulillah, Mas! Selamat! Aku ikut bahagia sekali!"

"Ini semua berkat doamu, Sayang," bisik Januar, mencium puncak kepala Novia. "Terima kasih sudah selalu mendukungku."

Kebahagiaan itu begitu nyata, seolah mampu menghapus semua luka yang Novia rasakan dari cercaan Diana dan tetangga. Ia membayangkan masa depan yang lebih cerah, mungkin mereka bisa menabung untuk rumah sendiri, atau bahkan program kehamilan. Malam itu, makan malam terasa lebih nikmat dari biasanya. Novia terus tersenyum, membayangkan Januar yang kini adalah seorang manajer.

****

Setelah makan malam, Januar pamit untuk mandi. Ia meletakkan kemeja kerjanya yang baru dilepas di kursi dekat tempat tidur. Novia, dengan hati penuh sukacita, mengambil kemeja itu untuk dimasukkan ke keranjang cucian. Namun, saat ia mengangkatnya, indra penciumannya menangkap sesuatu yang aneh.

Ada aroma parfum wanita yang sangat asing, bukan parfum yang biasa ia atau Diana gunakan. Baunya manis dan menyengat, sangat berbeda dari aroma sabun atau cologne Januar. Novia mengernyitkan dahi. Perasaan tidak enak mulai menyelinap.

Ia mendekatkan kemeja itu ke hidungnya, mencoba memastikan. Ya, benar. Aroma ini kuat sekali. Lalu, matanya menatap kerah kemeja. Di sana, di bagian kerah yang sedikit terlipat, ada sebuah noda kecil. Noda merah muda samar, berbentuk seperti... bekas lipstik.

Jantung Novia seolah berhenti berdetak. Seluruh kebahagiaan yang baru saja ia rasakan seketika sirna. Tangannya gemetar, kemeja itu terasa berat di tangannya. Otaknya berputar, mencoba mencerna apa yang baru saja ia temukan. Bekas lipstik? Parfum wanita asing? Di kemeja Januar?

"Tidak mungkin," bisiknya pada diri sendiri, suaranya tercekat. "Ini pasti salah lihat. Atau mungkin ini lipstik temannya yang tidak sengaja menempel."

Namun, argumen itu tak bisa menenangkan pikirannya. Sebuah firasat buruk merayap, menelan kebahagiaannya bulat-bulat. Wajah sumringah Januar tadi, kabar gembira tentang kenaikan jabatannya, kini terasa hambar. Apa yang sebenarnya terjadi selama Januar "bekerja" hari ini? Siapa pemilik parfum dan lipstik ini?

Novia menggenggam kemeja itu erat, menempelkannya di dadanya. Air mata yang sempat kering karena kebahagiaan, kini kembali membasahi pipinya. Kali ini, air mata itu membawa rasa sakit yang jauh lebih dalam.

****

Hari itu, setelah bel pulang sekolah berbunyi, Novia tidak langsung bergegas pulang seperti biasanya. Pikirannya masih dipenuhi bayang-bayang kemeja Januar, aroma parfum asing, dan bekas lipstik samar. Rasa penasaran bercampur cemas mendesaknya untuk melakukan sesuatu. Dengan hati berdebar, ia memutuskan untuk pergi ke kantor Januar. Ia hanya ingin memastikan, melihat dengan mata kepalanya sendiri, apakah kecurigaannya beralasan.

Sesampainya di gedung perkantoran tempat Januar bekerja, Novia memarkir motornya agak jauh dari pintu gerbang utama. Ia mencoba mengatur napas, menenangkan detak jantungnya yang bergemuruh. Gedung tinggi menjulang di hadapannya, dipenuhi kaca-kaca reflektif yang memantulkan langit kota yang cerah.

Saat ia mencoba melangkahkan kaki mendekati gerbang, seorang satpam berbadan tegap langsung mencegatnya. "Maaf, Bu. Ada keperluan apa datang ke sini?" tanyanya dengan nada tegas, menghalangi jalan Novia.

Novia sedikit terkejut. "Saya... saya mau bertemu suami saya, Januar Hadi," jawab Novia gugup. "Dia bekerja di sini."

Satpam itu menatap Novia dari atas ke bawah, seolah menilainya. "Apa sudah ada janji, Bu? Kantor sudah mau tutup, karyawan sebentar lagi bubar."

"Belum ada janji, Pak. Tapi saya istrinya," Novia mencoba menjelaskan, suaranya sedikit bergetar.

"Maaf, Bu. Tanpa janji tidak bisa masuk. Ini sudah prosedur," kata satpam itu, gestur tangannya menunjukkan agar Novia menjauh. "Sebaiknya Ibu pulang saja."

Hati Novia mencelos. Ia merasa seperti diusir. Rasa kecewa dan putus asa mulai menjalari hatinya. Ia tak bisa berbuat apa-apa selain menuruti perintah satpam tersebut. Dengan langkah gontai, Novia berbalik, menuju motornya yang terparkir.

****

Saat Novia hendak meraih kunci motornya, pandangannya tak sengaja tertuju pada area parkir yang tidak terlalu jauh dari gerbang. Di sana, sebuah mobil sedan hitam mewah baru saja berhenti. Jantung Novia tiba-tiba berdegup kencang saat melihat pintu mobil terbuka.

Sosok Januar keluar dari kursi penumpang. Wajahnya tampak riang, jauh lebih cerah dari biasanya saat di rumah. Namun, yang membuat Novia tertegun adalah siapa yang keluar dari kursi pengemudi. Seorang wanita cantik berambut sebahu, mengenakan blus sutra berwarna terang. Wanita itu tersenyum lebar pada Januar.

Novia mematung, menatap pemandangan di depannya dengan mata membelalak. Januar dan wanita itu tidak langsung berpisah. Mereka berdiri sangat dekat, saling berhadapan. Lalu, tangan Januar bergerak, menyentuh lembut pipi wanita itu. Wanita itu terkekeh, lalu mencondongkan tubuhnya dan mencium pipi Januar dengan mesra.

Dunia Novia runtuh seketika. Pemandangan itu adalah pukulan telak yang menghantamnya. Jadi, inilah alasan Januar sering pulang terlambat, inilah asal parfum asing dan bekas lipstik itu. Bukan rapat, bukan pekerjaan lembur. Januar berselingkuh.

Air mata Novia langsung tumpah ruah, tak tertahankan. Tangannya mencengkeram erat kunci motor. Nafasnya tercekat. Ia merasa sakit yang luar biasa, seolah-olah ada ribuan jarum menusuk hatinya. Kebahagiaan semalam tentang promosi Januar, kini terasa seperti lelucon pahit. Promosi itu, kebahagiaan itu, ternyata dinikmati juga oleh wanita lain.

Ia buru-buru menyalakan motornya, ingin segera pergi dari tempat terkutuk itu. Ia tidak ingin Januar melihatnya, tidak ingin Januar tahu bahwa ia telah menyaksikan pengkhianatan ini. Dengan pandangan kabur oleh air mata, Novia melajukan motornya, meninggalkan kantor yang menyimpan rahasia pahit itu.

Air Mata Pengakuan

Setibanya di rumah, Novia masih merasakan sisa-sisa kepedihan dan keterkejutan dari apa yang baru saja ia saksikan. Tangannya masih gemetar saat ia memarkir motor. Air mata tak henti-hentinya mengalir, membasahi pipinya yang sudah sembab. Pemandangan Januar dengan wanita lain, sentuhan mesra, ciuman di pipi—semua itu berputar-putar di benaknya, menghantam hatinya berkali-kali.

Ia membuka pintu rumah dengan hati-hati, berharap bisa menyelinap masuk tanpa menarik perhatian. Namun, seperti yang sudah ia duga, Diana, mertuanya, sudah menunggu di ruang tamu dengan wajah masam.

"Dari mana saja kamu, Novia? Baru pulang jam segini!" seru Diana, nadanya langsung menuduh. "Guru macam apa kamu ini? Jam segini baru pulang, padahal sekolah sudah bubar dari tadi!"

Novia tak sanggup menjawab. Tenggorokannya tercekat, dan ia takut jika ia membuka mulut, tangisnya akan pecah di hadapan Diana. Ia hanya bisa menunduk, mencoba menghindari tatapan tajam mertuanya.

"Novia! Kamu dengar tidak, sih, Ibu bicara?!" Diana mendekat, menyilangkan kedua tangan di dada. "Sudah tidak becus urus rumah, tidak becus punya anak, sekarang pulang malam pula! Kamu ini benar-benar menantu yang tidak ada gunanya!"

Setiap kata yang keluar dari mulut Diana terasa seperti pisau yang menusuk luka Novia yang masih menganga. Kata tidak berguna itu bergema di telinganya, bercampur dengan gambaran Januar yang bermesraan dengan wanita lain. Novia merasa dunia benar-benar menghimpitnya dari segala arah.

"Apa kamu tuli, Novia?" Diana terus menyerang. "Ibu tanya, dari mana kamu? Kenapa pulang telat begini? Jangan-jangan kamu keluyuran tidak jelas, ya?"

Novia akhirnya mengangkat kepala, matanya yang merah dan bengkak menatap kosong ke arah Diana. Ia ingin berteriak, ingin menceritakan semua rasa sakitnya, tapi tak ada suara yang keluar. Yang ada hanyalah isakan pelan yang tak bisa lagi ia tahan.

"Kenapa menangis? Drama apa lagi ini?" Diana mendengus jijik. "Dasar cengeng! Bisanya cuma menangis! Sudah Ibu bilang, kamu itu tidak ada gunanya! Kenapa sih Januar bisa memilih istri seperti kamu?"

Air mata Novia semakin deras. Rasanya ia ingin menghilang saja dari muka bumi ini. Beban pengkhianatan Januar dan cercaan mertuanya terasa begitu berat. Ia merasa tak punya siapa-siapa, tak ada tempat untuk bersandar. Selama ini ia sudah mencoba menjadi istri yang baik, menantu yang sabar, dan guru yang berdedikasi. Namun, semua itu seolah tak pernah cukup.

Ia berbalik, melangkah gontai menuju kamarnya, meninggalkan Diana yang masih terus mengomel di belakangnya. Di dalam kamar, Novia menjatuhkan dirinya di lantai dingin. Ia meringkuk, memeluk lututnya erat-erat, dan membiarkan air mata mengalir deras. Hatinya hancur berkeping-keping.

****

Jarum jam menunjukkan pukul dua belas malam lewat. Novia masih terjaga, duduk sendirian di tepi ranjang, menanti kepulangan suaminya. Lampu kamar sengaja ia matikan, hanya menyisakan sedikit cahaya dari celah gorden yang terbuka. Pikirannya kalut. Pemandangan di kantor Januar, cercaan Diana, semua bercampur aduk menciptakan badai dalam dirinya. Setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan.

Tak lama kemudian, suara mesin mobil Januar terdengar memasuki halaman. Novia menahan napas, jantungnya berdegup kencang. Pintu rumah terbuka, dan langkah kaki Januar terdengar masuk ke dalam. Novia pura-pura memejamkan mata, berharap Januar tak menyadari ia masih terjaga. Namun, langkah kaki itu berhenti di ambang pintu kamar.

Januar menyalakan lampu tidur, dan cahaya remang-remang menerangi wajah Novia. Ia tampak terkejut melihat istrinya belum tidur. "Sayang? Belum tidur?" tanyanya, berusaha bersikap biasa, seperti tak ada yang terjadi. Suaranya terdengar sedikit lelah.

Novia membuka matanya perlahan, menatap lurus ke arah Januar. Ia tak bisa lagi menahan diri. Emosi yang sudah ia pendam seharian ini tiba-tiba meluap. "Dari mana saja, Mas?" tanyanya, suaranya serak dan bergetar.

Januar meletakkan tas kerjanya di meja, lalu duduk di tepi ranjang, di samping Novia. "Dari kantor, Sayang. Tadi ada pekerjaan yang harus diselesaikan."

"Pekerjaan apa sampai tengah malam begini, Mas?" desak Novia, matanya tak lepas dari wajah suaminya, mencari celah kebohongan. "Pekerjaan yang ditemani wanita itu?"

Januar terdiam. Ekspresi wajahnya berubah tegang. Ia menunduk, menghindari tatapan Novia. "Wanita apa maksudmu?"

Air mata Novia mulai menetes lagi. "Jangan pura-pura tidak tahu, Mas! Aku melihatmu hari ini di kantor. Dengan seorang wanita, di mobilnya. Kalian... kalian mesra sekali!" Suaranya meninggi, dipenuhi kepedihan. "Siapa dia, Mas? Jawab aku! Siapa wanita itu?!"

Januar menghela napas panjang. Ia mengangkat wajahnya, menatap Novia dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada gurat penyesalan, tapi juga ketakutan. "Novia... aku bisa jelaskan."

"Jelaskan apa?!" seru Novia, tak mampu menahan emosinya. "Jelaskan bekas lipstik di kemejamu? Jelaskan bau parfum itu? Jelaskan pelukan dan ciuman yang aku lihat langsung di depan mataku, Mas?!"

Januar mengusap wajahnya kasar. Keheningan sesaat menyelimuti kamar, hanya terdengar isakan Novia. Lalu, Januar menarik napas dalam, seolah mengumpulkan keberanian. "Dia... dia Karina, Novia."

"Karina siapa?!"

Januar menatap Novia lurus-lurus, dengan tatapan penuh beban. Kata-kata selanjutnya yang keluar dari mulutnya bagaikan petir yang menyambar. "Dia... istri siri-ku, Novia."

Novia tersentak. Seluruh tubuhnya menegang. Kata-kata itu, istri siri, terasa asing dan menusuk, menghancurkan sisa-sisa harapannya. Kepalanya terasa pening, dunia seolah berputar. Ia merasa seperti jatuh ke dalam jurang tanpa dasar. Tidak... ini tidak mungkin. Januar, suaminya, orang yang ia cintai, orang yang selalu ia percaya, tega mengkhianatinya sejauh ini?

"Apa... apa yang kau katakan, Mas?" Suara Novia sangat pelan, nyaris tak terdengar. Ia menggelengkan kepala berkali-kali, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Tidak mungkin... kau bohong, kan, Mas? Kau tidak mungkin melakukan ini padaku..."

Januar menunduk lagi, membenarkan semua ketakutan Novia. "Maafkan aku, Novia. Aku tahu aku salah. Aku..."

Sebelum Januar menyelesaikan kalimatnya, Novia sudah tidak mampu lagi mendengarkan. Seluruh tubuhnya terasa lemas, dan ia ambruk, terduduk di lantai kamar yang dingin. Air mata dan isakan pilu memenuhi ruangan. Kenyataan pahit ini jauh lebih menyakitkan daripada cercaan Diana sekalipun. Ia tidak hanya mandul di mata mertuanya, tapi kini ia juga tidak cukup di mata suaminya sendiri.

****

Suara isakan Novia yang pilu dan pengakuan Januar yang jujur rupanya terdengar hingga ke ruang tamu. Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka kasar. Diana, ibu mertua Novia, merangsek masuk dengan wajah penasaran. Ia menatap Januar dan Novia yang tergeletak di lantai dengan bingung.

"Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut tengah malam?!" seru Diana, pandangannya beralih dari Januar ke Novia yang masih terisak. "Novia, kenapa kamu menangis lagi? Jangan drama, ya!"

Januar yang tadinya menunduk, kini mengangkat wajahnya. Ia terlihat lelah dan putus asa. "Ibu... maafkan Januar."

"Maaf kenapa? Apa yang terjadi?" Diana mendesak. "Jangan bilang kamu bertengkar lagi karena masalah anak?"

Sebelum Januar menjawab, Diana melihat sorot mata Novia yang penuh luka dan air mata. "Januar, apa yang kamu sembunyikan?" tanyanya, ada nada curiga dalam suaranya.

Dengan berat hati, Januar akhirnya berucap, "Januar... sudah menikah lagi, Bu."

Seketika, ruangan hening. Novia yang tadinya terisak, kini terdiam, menatap Januar dengan mata memerah. Sementara itu, reaksi Diana sungguh tak terduga. Wajahnya yang semula masam, perlahan berubah. Sebuah senyum tipis, lalu senyum lebar, bahkan tawa kecil, muncul di bibirnya.

"Menikah lagi? Benarkah?!" Diana terlihat girang, seolah kabar ini adalah berita terbaik yang pernah ia dengar. "Siapa wanita itu? Anak siapa? Dari keluarga mana?" Rentetan pertanyaan meluncur cepat dari mulutnya.

Januar menelan ludah. "Dia... Karina. Dia anak pemilik perusahaan tempat Januar bekerja, Bu."

Mata Diana langsung membelalak lebar. Wajahnya berseri-seri, seolah melihat tumpukan uang di depannya. Sebuah ide licik melintas di benaknya. Anak pemilik perusahaan! Ini berarti pintu gerbang menuju kekayaan sudah terbuka lebar.

"Apa?! Anak pemilik perusahaan?!" Diana tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Ia berjalan mendekati Januar, mengabaikan Novia yang masih terduduk di lantai. "Bagus, Jan! Bagus sekali! Kamu memang anak Ibu!"

Lalu, Diana menoleh ke arah Novia, tatapan matanya berubah dingin, penuh perhitungan. "Kalau begitu, tunggu apa lagi, Jan?! Ceraikan saja perempuan mandul ini sekarang juga! Buang saja istri tidak berguna ini! Kamu tidak butuh dia lagi!"

Kata-kata Diana menusuk Novia bagai belati. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Mertuanya, yang seharusnya menjadi panutan, kini dengan tega memintakan cerai untuk putranya sendiri. Hanya demi harta dan status. Novia merasa dirinya benar-benar hancur, terbuang, tak lagi memiliki nilai di mata siapapun. Ia tak bisa lagi menahan air matanya yang kembali mengalir deras.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!