"Dek, usia kehamilan kamu tuh udah tiga puluh enam minggu. Kata dokter kemungkinan minggu ini kamu akan melahirkan, kamu gak usah ikut Mas jualan lagi. Di rumah aja, takut kandungan kamu kenapa-kenapa."
Bagas sedang berbicara dengan istrinya, Winarsih. Bagas merupakan seorang agen sembako di pasar, Winarsih selalu membantu suaminya itu dari pagi sampai sore hari tiba.
Ada tiga orang pelayan yang membantu Bagas dan juga Winarsih dalam berjualan, satu orang perempuan dan dua orang laki-laki. Ada Wati yang usianya sama seperti Winarsih, wanita itu belum menikah dan begitu cekatan dalam melayani pembeli ataupun dalam menimbang bahan sembako yang akan dibungkus seperti gula.
Ada juga Basri dan juga Bagus, keduanya begitu catatan dalam bekerja. Mereka juga akan bergantian mengantarkan pesanan pembeli, Bagas dan juga Winarsih mempekerjakan orang-orang yang begitu lihai dan pandai dalam bekerja.
"Tapi Adek nggak mau jauh-jauh dari Mas, dedek bayinya juga maunya terus barengan sama Mas."
Winarsih selalu cekatan dalam bekerja, tetapi ketika dekat dengan suaminya pasti dia akan bersikap manja. Wanita berparas cantik itu sangat suka dimanjakan oleh suaminya.
"Dek, demi anak kita loh. Kamu gak ingat kalau kemarin saja kamu hampir jatuh? Kamu perutnya udah gede, jalannya udah mulai agak sulit. Ingat keselamatan kamu dan juga dedek bayi."
Ya, kemarin Winarsih hampir saja jatuh karena ada minyak yang tumpah. Beruntung dia masih selamat dan tidak terjatuh karena berpegangan kepada Wati.
"Mas cuma khawatir kamu kenapa-kenapa, Mas khawatir kalau kamu kecapean. Di rumah aja ya?"
Selama ini Bagas memang terlihat begitu pengertiannya juga perhatian terhadap Winarsih, semua kebutuhan wanita itu juga selalu dicukupi. Sikapnya juga sangat manis dan juga romantis, Winarsih merasa kalau suaminya itu memang benar-benar peduli terhadap dirinya.
Makanya pria itu meminta dirinya untuk tinggal di rumah saja, agar dia dan juga bayinya tetap aman. Bagas bahkan mempekerjakan tenaga pembantu di rumah, wanita itu akan datang pagi-pagi sekali untuk membersihkan rumah.
Wanita itu juga akan mencuci dan dan membuatkan sarapan untuk mereka, setelah selesai wanita itu akan pulang. Sedangkan Bagas dan juga Winarsih akan pergi ke pasar untuk berjualan sembako.
"Iya, mulai besok aku di rumah aja."
"Istri pintar," ujar Bagas.
**
Keesokan harinya Winarsih menyempatkan waktu untuk memasak, dia menyiapkan sarapan dan juga menyiapkan bekal untuk suaminya tersebut.
"Hati-hati kerjanya, Win nunggu Mas di rumah."
Winarsih memeluk Bagas dengan penuh kasih sayang, walaupun perut besarnya menghalangi, tetapi tetap tidak menghalangi cintanya yang begitu besar kepada pria itu.
"Iya, Mas akan pulang cepat. Kamu di rumah santai-santai saja, Mas sayang banget sama Dek Win."
Bagas menyatukan bibirnya dengan bibir istrinya, cukup lama mereka beradu bibir. Hingga beberapa saat kemudian keduanya saling melepas pagutan.
"Matanya jangan nakal selama gak ada Adek," ujar Winarsih.
"Ya, Sayang." Bagas mengecup kening istrinya sebelum dia benar-benar pergi dari kediamannya.
Setelah kepergian suaminya, Winarsih menyiram tanaman yang ada di halaman. Bi Tuti menghampiri, wanita paruh baya itu tak mau melihat nyonya-nya kecapean.
"Biar Bibi saja, Nya."
"Gak usah, aku aja. Bibi rapi-rapi di rumah aja, lagian kata dokter juga aku harus sering gerak. Biar kelahirannya nanti lancar," ujar Winarsih.
"Ya udah, tapi Nyonya harus hati-hati. Suka banyak ulet," ujar Bibi.
Bibi Tuti ditugaskan untuk menjaga Winarsih sampai sore hari, karena Bagas tidak akan membiarkan istrinya itu sendirian di rumah. Jam kerja wanita itu kini bertambah, tetapi Bagas mengatakan akan menambahkan uang upah bi Tuti.
"Iya, Bibi. Makasih perhatiannya," ujar Winarsih.
Winarsih kembali menyiram tanaman, sedangkan bi Tuti melakukan tugasnya di dalam rumah. Selesai menyiram tanaman, Winarsih memutuskan untuk berjalan-jalan di kampung halamannya itu.
Banyak yang menegur Winarsih, karena tidak biasanya wanita itu masih berada di rumah. Winarsih tersenyum sambil menjelaskan kalau dia tak lagi menjaga warung sembakonya, tetapi akan ada di rumah untuk menjaga kehamilannya.
"Bosan juga ya, Bi. Biasanya aku dagang, bertemu banyak orang. Di rumah sepi, cuma kita berdua aja."
Waktu sudah sore, Winarsih merasa bosan sekali. Padahal, dia baru satu hari berada di rumah. Bi Tuti tersenyum ke arah majikannya itu, kelihatan sekali jika majikannya itu begitu bete.
"Dibiasakan saja, Nyonya. Demi kesehatan Nyonya dan juga dedek bayi," ujar Bi Tuti.
"Iya, ya udah sana Bibi pulang. Udah jam empat, mas Bagas dikit lagi juga pasti pulang."
"Siap, Nyonya. Saya pulang dulu," ujar Bi Tuti.
Selepas kepergian bi Tuti, Winarsih bersiap untuk menyambut suaminya yang akan pulang. Dia sudah mandi dan memakai dress yang cantik, tetapi tiba-tiba saja dia mendapatkan pesan kalau suaminya itu tak akan pulang malam ini.
"Dek, Mas mau kondangan dulu. Pulang agak malam, si Dedi nikahan. Gak enak kalau gak datang, Adek hati-hati di rumah."
"Yah, Adek kecewa. Padahal udah kangen berat, tapi ya udah. Jangan lama-lama, Adek tunggu Mas pulang."
"Ya, Sayang."
Wajah Winarsih cemberut setelah mendapatkan pesan dari Bagas, dia kecewa karena suaminya akan pulang malam.
"Terus aku ngapain coba? Bisanya cuma tiduran doang," ujar Winarsih.
Winarsih hanya merebahkan tubuh sambil menonton televisi, hingga malam hari tiba dia mendengar ada yang mengetuk pintu.
"Pasti mas Bagas pulang," ujar Winarsih dengan penuh semangat.
Wanita itu dengan penuh kehati-hatian turun dari tempat tidur, kemudian dia melangkahkan kakinya menuju pintu utama. Namun, saat dia membuka pintu tidak ada siapa pun di sana.
Tidak ada mobil milik Bagas, bahkan pintu gerbang rumahnya pun masih tertutup dengan rapat. Tidak ada tanda-tanda manusia yang datang ke sana.
"Apa aku salah dengar ya?" tanya Winarsih kepada dirinya sendiri.
Winarsih kecewa karena ternyata suaminya belum pulang, dia akhirnya masuk kembali ke dalam rumah dan menutup pintunya dengan rapat. Namun, lagi-lagi dia mendengar ada yang mengetuk pintu.
"Siapa sih? Masa iya ada orang iseng," ujar Winarsih.
Karena takut seperti tadi tidak ada orang, akhirnya Winarsih membuka sedikit hordeng rumahnya. Dia melihat ada sosok wanita yang berdiri tak jauh dari pintu rumah, wanita itu membelakangi rumahnya. Rambutnya panjang dengan baju putih yang dia pakai.
"Siapa ya?" tanya Winarsih.
Karena merasa penasaran akhirnya Winarsih membuka pintu rumahnya tersebut, tetapi setelah pintunya terbuka, lagi-lagi dia tidak melihat siapa pun.
"Kayaknya mata sama telinga aku ada masalah deh," ujar Winarsih sambil menutup dan mengunci pintunya.
Dia bahkan langsung masuk ke dalam kamar walaupun kembali mendengar ketukan pintu, karena setiap kali dia membuka pintu, tidak ada orang yang datang.
"Kayaknya besok aku benar-benar harus ke dokter, harus cek pendengaran dan juga mata aku."
Tok! Tok! Tok!
Kali ini ada yang mengetuk jendela kamarnya, Winarsih yang sedang merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur langsung menolehkan wajahnya ke arah suara. Dia menatap jendela yang tertutup hordeng.
Lalu, wanita itu menajamkan pendengarannya. Takut-takutnya dia salah dengar, tetapi tak lama kemudian dia kembali mendengar ada yang mengetuk jendela kamarnya.
Tok! Tok! Tok!
"Siapa sih? Jangan iseng dong!" ujar Winarsih kesal juga.
Winarsih turun dari tempat tidur dengan begitu hati-hati, tentunya karena dia takut kalau kandungannya akan kenapa-kenapa. Lalu, dengan perlahan dia melangkahkan kakinya menuju jendela kamarnya. Dia buka gordennya dan terlihatlah sosok wanita yang sedang berdiri seperti sosok wanita yang tadi ada di depan rumahnya.
"Ini beneran apa nggak sih? Takutnya kaya tadi, salah lihat."
Winarsih memperhatikan sosok wanita yang ada di depan jendela kamarnya itu, wanita itu berdiri sambil membelakangi jendela kamarnya. Rambutnya panjang dengan bajunya yang terlihat putih lusuh.
"Kok penampilannya kusut banget ya?" tanya Winarsih kepada dirinya sendiri.
Cukup lama Winarsih memperhatikan wanita yang ada di balik jendela itu, hingga tidak lama kemudian dia dikagetkan dengan wanita itu. Kepalanya tiba-tiba saja memutar tetapi tubuhnya tetap berdiri menghadap ke arah lain.
Wajah wanita itu nampak cantik sekali, tetapi tetap saja hal itu membuat Winarsih kaget karena tidak mungkin ada manusia yang bisa memutar kepalanya seperti itu.
"Ini--- ini pasti halusinasi," ujar Winarsih.
Winarsih mengucek matanya beberapa, dia merasa yakin kalau dirinya hanya berhalusinasinya saja. Karena tak mungkin ada manusia yang bisa memutarkan kepalanya dengan tubuhnya yang hanya diam saja.
Namun, berkali-kali dia mengucek matanya, sosok wanita itu masih ada dan terus menatap dirinya dengan keadaan kepala yang seperti itu.
"Hiih!" ujar Winarsih sambil bergidik ngeri.
Winarsih dengan penuh rasa ketakutan menutup gorden tersebut, dia berharap tidak akan ada lagi gangguan dari makhluk yang mengerikan itu.
"Mending aku rebahan di ruang keluarga saja, lagian mas Bagas mana sih? Kenapa dia belum pulang?"
Winarsih segera keluar dari dalam kamarnya, dia menyalakan tv dengan suara yang cukup kencang. Lalu, dia duduk di atas sofa sambil mengirimkan pesan kepada suaminya.
Namun, suaminya tidak membalas pesan darinya. Saat Winarsih mencoba untuk menelpon, tetap saja pria itu tidak mengangkat teleponnya.
"Mas Bagas, pulang dong. Dek Win takut," ujar Winarsih.
Sebenarnya Winarsih merasa sangat ketakutan, tetapi dia mencoba untuk menguatkan diri sambil mengusap perutnya yang begitu besar.
"Dedek jangan takut, Bunda akan berusaha untuk melindungi kamu. Kita harus tenang," ujar Winarsih.
Wanita itu menghela napas panjang, kemudian mengeluarkannya dengan perlahan. Hal itu dia lakukan berulang-ulang, hingga akhirnya merasa tenang.
Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Karena tiba-tiba saja lampu di rumahnya padam, Winarsih sampai menjerit karena ketakutan.
"Argh! Kenapa lampunya mati?!" teriak Asih.
Wanita itu menyalakan senter di ponselnya, tetapi tetap saja cahaya sedikit itu tak mampu membuat dirinya tenang. Winarsih merasa sangat takut sekali.
"Pulang dong, mas. Adek takut," ujar Winarsih.
Brak!
Prang!
Winarsih kembali menjerit ketakutan, karena tiba-tiba saja jendela rumahnya pecah. Seperti ada orang yang melemparkan batu, pecahan kaca itu sampai mengenai tubuhnya. Untungnya dia tak terluka.
"Astagfirullah! Tolong aku ya Allah," ujar Winarsih dengan tubuhnya yang bergetar hebat.
Lututnya bahkan terasa kopong, untuk berdiri saja dia kesulitan. Tak lama kemudian Winarsih bahkan merasakan perutnya begitu tegang, sepertinya itu karena reaksi ketakutan yang dia alami.
"Aduh! Keram," ujar Winarsih sambil mengelus perut besarnya.
Dia merasa punggungnya begitu sakit, pinggangnya panas. Perut bagian bawahnya juga begitu kencang dan sangat sakit, Winarsih mengerang penuh kesakitan.
"Tolong! Ini sangat sakit," ujar Winarsih dengan panik karena tiba-tiba saja ada cairan bening yang keluar dari inti tubuhnya.
Kriet!
Brak!
Di sela kesakitannya, Winarsih kembali dibuat takut karena pintu rumahnya terbuka dengan begitu kencang. Angin dari luar berhembus dengan sangat kencang, Winarsih tentunya kesulitan untuk menutup pintu rumahnya tersebut.
"Ya Allah, ada apa sebenarnya ini?" tanya Winarsih dengan tubuhnya yang bergetar dengan begitu hebat.
Jeder!
Guntur terdengar begitu kencang, bahkan kilatnya seakan membelah bumi. Winarsih sampai memejamkan matanya karena takut, dia lebih takut lagi ketika mendengar suara cekikikan seorang wanita.
Wanita yang tadi dia lihat di luar kini masuk ke dalam rumah, wanita itu terlihat begitu cantik dengan rambut panjangnya. Namun, suara cekikikan dari wanita itu membuat Winarsih begitu ketakutan.
Jeder!
Suara guntur bercampur kilat terdengar dengan begitu kencang, cahaya dari kilat itu membuat Winarsih bisa melihat siapa wanita yang ada di hadapannya.
Wanita itu memang terlihat berparas cantik, tatapi baju yang dipakainya begitu lusuh seperti sudah terkena air tanah. Kaki wanita itu tak menapak.
"Se--- setan! Pe--- pergi!"
Karena begitu ketakutan Winarsih sampai tergagap dalam berbicara, dia sampai seperti patung yang begitu kesulitan untuk bergerak. Kakinya seakan ada yang memaku, tubuhnya seakan ada yang mengikat.
Winarsih benar-benar kesulitan untuk bergerak, terlebih lagi ketika sosok wanita cantik itu berubah menjadi mengerikan, Winarsih berteriak dengan sekencang-kencangnya.
"Argh! Mas Bagas, tolong Adek!"
Sayangnya tak ada Bagas yang datang, justru wanita cantik yang berubah mengerikan itu kini melayang di udara dan mengelilingi tubuh Winarsih.
Wanita itu semakin panik dan juga ketakutan, sayangnya dia tak bisa menghindar dari wanita yang kini berubah menjadi buruk rupa itu.
"Jangan!" teriak Winarsih ketika wanita itu mencekik lehernya.
Cekikannya begitu kencang sekali, Winarsih sampai kesulitan untuk bernapas. Untuk meminta tolong saja tidak seakan tak sanggup, Winarsih rasanya mau berhenti bernapas.
"To--- tolong," ucap Winarsih dengan suaranya yang sudah melemah.
Sosok mengerikan itu melepaskan tangannya dari leher Winarsih, dia tertawa dengan suaranya yang begitu menakutkan. Tubuh Winarsih ambruk ke lantai, dia memegangi perutnya yang semakin tegang.
"Sabar, Sayang. Ayah pasti pulang," ujar Winarsih berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri.
Winarsih mencoba menenangkan diri dengan menarik napas panjang, lalu mengeluarkannya dengan perlahan. Perutnya terasa begitu mulas sekali, tetapi dia tak tahu harus berbuat apa.
"Hihihi! Waktu kematian kamu sudah dekat," ujar sosok mengerikan itu.
Winarsih menggelengkan kepalanya, air mata langsung terurai di kedua pipinya. Winarsih ingin hidup dengan bayi yang akan dia lahirkan, dia tidak mau meninggal dalam keadaan seperti ini.
"Bersiaplah untuk mati!"
Sosok mengerikan itu mengulurkan kedua tangannya, kuku-kuku tangan sosok mengerikan itu tiba-tiba saja berubah menjadi panjang. Winarsih benar-benar sangat ketakutan, apalagi ketika kuku yang begitu tajam itu menancap di perutnya dan membelah perutnya.
"Argh!" teriak Asih ketika dia melihat bayi keluar dari dalam perutnya.
Bayi itu masih terbungkus rapi oleh pelindungnya, masih ada cairan bening di dalam pelindung bayi itu. Winarsih menangis, dia sedih, takut dan juga merasa tidak becus sebagai seorang ibu. Dia tidak bisa melindungi dirinya dan juga bayinya.
Bayi itu nampak lemas, matanya terpejam dan tak bersuara karena memang masih terbungkus rapi. Namun, Winarsih bisa melihat kalau keadaan bayi itu tak baik-baik saja.
"Ma-- maafkan ibu, Nak."
Winarsih meregang nyawa, perutnya yang terbelah tak mampu membuat dia bertahan. Sungguh Winarsih meninggal dalam keadaan yang sangat mengenaskan.
"Tugasku sudah selesai," ujar wanita yang begitu mengerikan itu. Tak lama kemudian sosok mengerikan itu langsung menghilang dari pandangan.
**
Janga lupa koment ya🥰
Beberapa saat sebelumnya.
Bagas hendak pulang karena waktu sudah menunjukkan pukul empat sore, dia sudah merapikan warung sembako miliknya. Dia sudah bersiap untuk pulang. Namun, Basri tiba-tiba saja menghampiri pria itu.
"Pak Bagas nggak kondangan ke tempat teman Bapak? Kok malah mau pulang?"
Bagas yang hendak masuk ke dalam mobilnya untuk pulang langsung terdiam, mengingat-ingat siapa yang menikah hari ini. Saking seriusnya memikirkan istrinya yang ditinggal di rumah, Bagas sampai lupa dengan beberapa hal.
"Memangnya siapa yang mau menikah?"
"Pak Dedi, tukang ikan itu loh yang jualan di ujung pasar."
Bagas langsung menepuk keningnya, dia benar-benar lupa kalau hari ini adalah hari pernikahan temannya. Jika saja ingat, dari siang hari dia pasti sudah datang ke acara pernikahan sahabatnya itu.
"Astagfirullah! Aku kok bisa lupa, mana belum beli kado lagi."
Padahal Dedi adalah teman satu kelasnya saat sd, dari pertama masuk kelas 1 sampai kelas 6 selalu saja satu kelas. Namun, dia malah melupakan pernikahan sahabatnya itu.
"Nggak usah kasih kado, Pak. Kasih amplop aja yang tebel," ujar Basri disertai tawa.
"Kamu bisa aja, tapi itu bener."
Bagas akhirnya pergi ke tempat Dedi, dia tentunya di pertengahan jalan memasukkan uang ke dalam amplop. Tak lupa Bagas mengirimkan pesan kepada istrinya, kalau hari ini dia pulang malam.
"Astagfirullah! Apa itu?"
Di saat sedang menyetir, tiba-tiba saja Bagas merasa melindas sesuatu. Pria itu menghentikan mobilnya, lalu dia turun dari mobilnya itu dan mengecek apa yang dilindas.
Mata Bagas langsung membulat dengan sempurna, karena di sana ada kucing berwarna hitam yang terlindas. Padahal, sejak tadi dia begitu fokus dalam menyetir dan tak melihat kucing lewat.
"Astagfirullah! Aku harus gimana ya Allah? Kenapa bisa melindas kucing?"
Mata kucing itu melotot, darah bercucuran dari perut kucing itu dan bahkan usus dari kucing itu keluar dari tempatnya. Sangat mengerikan, karena memang terlindas ban mobil yang besar, sedangkan kucingnya terlihat begitu kecil.
"Udah sore lagi, kalau ngubur kucing dulu pasti ke tempat Dedi jadi lama."
Bagas berpikir dengan begitu keras dengan apa yang harus dia lakukan, hingga tidak lama kemudian akhirnya dia mengambil baju miliknya yang ada di dalam mobil. Lalu, dia membungkus kucing itu dengan baju miliknya.
"Kalau dikubur kelamaan, mana udah sore, mana nggak ada cangkul. Gimana dong?"
Bagas yang tak bisa menggali tanah untuk mengubur kucing itu, akhirnya dia menyimpan kucing yang sudah mati terlindas itu di bawah pohon yang ada di pinggir jalan.
"Duh Gusti, maafkan hamba. Bukan maksud hamba tidak bertanggung jawab. Tapi hamba buru-buru, nanti deh kalau pulang aku bawa kucingnya. Aku kubur di rumah," ujar Bagas.
Setelah itu, Bagas pergi ke kediaman Dedi. Dia mengucapkan selamat kepada sahabatnya itu, memberikan amplop dan bersiap untuk pulang. Namun, Dedi tidak membiarkan pria itu pulang.
"Ada dangdutan abis maghriban, jangan pulang dulu. Nyawer biduan dulu, sesekali nggak terus-terusan sama dek Win terus."
"Tapi, istriku lagi hamil besar loh. Kasihan kalau harus ditinggal sendirian di rumah," ujar Bagas.
"Sesekali, Gas. Temani aku nyawer biduan," ujar Dedi.
Teman-temannya yang lainnya juga ikut hadir di sana, mereka tidak pulang terlebih dahulu karena bersepakat akan naik ke panggung dan joget di sana dengan para biduan cantik. Bagas tak bisa menolak, pria itu akhirnya tak pulang.
Mereka asik mengobrol sampai Bagas lupa jika Winarsih sedang sendirian di rumah, saat Dedi mengajak Bagas untuk naik ke atas panggung, pria itu juga asik berjoget dan bahkan memberikan saweran kepada para biduan.
"Rame kan' Gas?" tanya Dedi seperti telinga pria itu karena suara musik yang begitu keras membuat Dedi tak bisa berkata dari jauh.
"Rame, Ded. Seru," jawab Bagas sambil asik bergoyang.
"Kamu tuh setelah menikah tidak pernah keluar rumah lagi bareng teman-teman, sekalinya keluar cuma barang dek Win saja."
"Hehe, habis enak kalau ke mana-mana sama istri. Kalau mau tinggal tancap," jelas Bagas yang langsung mendapatkan pukulan di lengannya.
"Sueeee!" ujar Dedi yang langsung dibalas dengan tawa oleh Bagas.
Mereka asik bergoyang di atas panggung sampai hampir setengah jam, setelah itu mereka turun dan kembali mengobrol. Hingga tiga jam kemudian Bagas yang haus mengambil minuman.
Namun, baru saja dia akan meminum minuman yang sudah dia ambil, dia merasa tangannya begitu licin dan gelas yang berisi minuman itu jatuh begitu saja.
Prang!
"Astagfirullah!" kaget Bagas karena pecahan gelas itu mengenai kakinya, kaki pria itu sampai berdarah.
"Wah! Padahal gak minum alkohol, tapi udah mabok aja." Reno yang sejak tadi ada di sana nampak meledek Bagas, Bagas hanya tersenyum menanggapi ucapan pria itu.
"Sepertinya sampean udah ngantuk, Gas. Udah pulang aja sana, kasihan juga dek Win sendirian."
"Ya, aku akan pulang."
Bagas akhirnya memutuskan untuk pulang, saat dia masuk ke dalam mobil, entah kenapa dia melihat seperti ada Winarsih yang lewat di depan mobilnya sambil menangis.
"Dek Win," ujar Bagas yang dengan cepat turun dari mobil lalu mencari istrinya.
Namun, dia tidak menemukan istrinya di manapun. Bagas sampai menggelengkan kepalanya beberapa kali, lalu dia mengelus dadanya karena tiba-tiba saja perasaannya menjadi tidak enak.
"Ada apa ya sebenarnya?"
Bagas gegas masuk ke dalam mobil dan melajukan mobilnya tersebut menuju rumahnya, saat dia datang, Bagas begitu kaget karena saat dia membuka pintu, rumahnya begitu berantakan.
"Ya Allah, apakah ada maling? Dek! Sayang!" teriak Bagas.
Bagas berlari menuju ruang tengah, semakin kaget saja saat berada di ruang tengah karena melihat tubuh Winarsih dengan perutnya yang terbelah. Di samping wanita itu ada bayi yang masih terbungkus rapi oleh pelindungnya.
Ruangan itu begitu berantakan, pecahan beling terlihat di mana-mana. Tubuh istrinya penuh luka dan juga kaku, ada darah yang mengucur dari tubuh istrinya itu.
"Dek! Ini ada apa?!" teriak Bagas.
Pria itu ingin sekali menghampiri istrinya yang nampak mengenaskan, tetapi kakinya begitu sulit untuk digerakkan.
"Argh!" teriak Bagas dengan begitu kencang.
Bagas tidak mampu melangkahkan kakinya, dia bahkan tidak mampu menggerakkan tubuhnya karena terlalu gemetaran. Namun, pria itu masih bisa berteriak memanggil nama istrinya. Bahkan Bagas berteriak dengan begitu histeris, tentu saja hal itu mengundang banyak tetangga yang datang.
"Ada apa, Gas? Kenapa teriak-teriak?"
Salah satu warga memberanikan diri untuk bertanya, warga lainnya juga berdatangan dan langsung menghampiri Bagas.
"Itu! Itu----"
Bagas yang begitu kesulitan untuk berbicara menuju ke arah istrinya, semua warga nampak kaget, takut dan juga kasihan melihat keadaan Winarsih yang seperti itu.
"Ada apa ini, Gas? Kenapa dengan istri kamu?" tanya salah satu warga.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!