Seorang wanita berpakaian sedikit terbuka tampak sempoyongan berjalan di sebuah koridor hotel. Wanita itu baru saja merayakan pesta private pernikahannya dengan teman-teman kantornya dan suaminya. Bisa dibilang pesta perpisahan juga, karena dia tidak akan lagi bekerja di kantor setelah pernikahannya ini.
"Aduh, kepalaku pusing. Perasaan aku hanya minum satu gelas yang diberikan Nick, biasanya aku menemani minum klien juga tidak seperti ini..."
Kata-katanya terjeda, ketika dia berhenti di depan sebuah pintu dengan nomor kamar yang tadi disebutkan oleh Nicklas. Suaminya yang masih berada di bar, dan mengatakan kalau Helen tidak enak badan, dia bisa kembali duluan. Kartu kamarnya juga sudah diberikan Nicklas padanya.
Wanita itu adalah Helen, 25 tahun. Dia menikah dengan bosnya Nicklas Bernando, 28 tahun, karena perintah dari kedua orang tua Nicklas. Sedangkan Helen, dia hanya seorang wanita yatim piatu yang hidup sebatang kara.
Ceklek
Pintu kamar itu terbuka, kartu kamar yang dia pegang artinya benar.
"Hohh, syukurlah mataku masih benar melihat nomor kamar ini!" gumamnya sambil berjalan masuk dan menutup pintu kamar itu hingga terdengar bunyi klik, kalau pintu kamar itu kembali terkunci.
Helen berjalan tertatih ke arah tempat tidur. Dia berbaring, berharap pusing kepalanya berkurang. Tapi semakin dia diam, rasanya tubuhnya semakin panas.
"Haus sekali..." gumamnya sambil beranjak dari tempat tidur, menuju ke arah meja yang di atasnya ada satu teko kaca air minum.
Ceklek
Baru akan meraih gelas, terdengar suara pintu terbuka.
"Nick, aku merasa...."
"Ha ha ha, cantik! kamu memang sangat cantik!"
Mata Helen melebar, meski dia merasa kepalanya pusing dan tubuhnya sangat tidak nyaman. Tapi dia masih bisa mengenal dengan jelas kalau pria di depannya itu sama sekali dia tidak kenal.
"Kamu siapa? bagaimana kamu bisa masuk?" tanya Helen panik.
Dia tahu, ini hotel mahal. Jika tidak punya kartu kamar, tidak mungkin bisa masuk.
Pria di depannya itu malah berjalan mendekat, membuat Helen merasa terancam. Karena dia benar-benar dalam kondisi yang kemungkinan tidak bisa banyak melawan.
"Bagaimana aku masuk? tentu saja karena aku punya kartunya. Sayang sekali wanita secantik kamu dianggurin di malam pernikahan. Kamu dan suami kamu ingin anak kan? aku akan membantu kalian!"
Mata Helen semakin melebar. Apa-apaan pria itu. Bahkan pria itu sudah meraih kedua lengan Helen.
"Lepaskan aku brengsekk!" pekik Helen yang tidak terima, pria itu mau menciumnya.
"Jangan jual mahal cantik, aku sudah dinyatakan aman dan bersih. Suami kamu dan pacarnya yang suruh aku kemari. Mereka itu pasangan serasi, kita sama-sama dimanfaatkan dan dibayar, bekerja samalah denganku cantik!"
"Tidakk! lepaskan aku!" pekik Helen.
Sayangnya minuman yang diberikan oleh Nicklas padanya bukan minuman biasa. Itu membuatnya menjadi lemah, kepalanya pusing, dan tubuhnya menjadi sangat panas.
"Lepaskan aku!" pekik Helen lagi.
Meski dalam kondisi seperti itu, Helen masih berusaha memberontak. Tangannya meraih gelas yang ada di atas meja. Dan mengangkatnya ke atas kepala pria yang mencoba untuk membuka pakaian yang dia gunakan itu.
Prangg
"Agkhhh!" pekik pria itu.
Mata pria itu melotot marah, Helen tahu di antara dia dan pria itu. Hanya satu yang akan selamat setelah ini. Naluri bertahan hidup dan mempertahankan kehormatan serta harga dirinya. Membuat Helen mengambil teko kaca berisi air itu, menuangkan semua isinya ke lantai. Dan melemparkannya lagi ke arah pria itu. Tepat ke arah kepalanya.
Prangg
Brukkk
Pria itu jatuh ke lantai, tak sadarkan diri. Kepalanya berlumuran.... Helen ketakutan, dia menutup mulutnya yang terbuka dan air matanya mengalir begitu deras. Wajahnya pucat, tangannya gemetar.
Dengan sisa tenaga dan kesadaran yang dia miliki. Dia berjalan dengan cepat ke arah pintu. Kartu kamarnya untungnya masih dia simpan, dia membukanya dan pergi darisana.
Sambil berjalan sempoyongan, dia berpikir untuk bisa pergi ke rumah sakit. Tapi, dia bahkan lupa ponselnya masih ada di mobil Nicklas.
"Siall, Nicklas brengsekk..."
Helen tahu, dia harus secepatnya pergi dari tempat ini. Dia mencoba untuk menekan tombol di samping lift.
"Terbukalah!" ujarnya sambil memegang kepalanya.
Ting
Sayangnya, saat pintu lift itu terbuka. Helen malah mulai kehilangan kesadarannya.
Hampir saja Helen terjatuh, untung saja seorang pria yang keluar dari dalam lift menangkap tubuhnya tepat waktu.
"Tolong aku, bawa aku pergi dari sini" pinta Helen pada pria itu.
Dia hanya mencoba bergantung pada keberuntungannya saja. Karena detik selanjutnya, dia benar-benar tak sadarkan diri.
Pria itu menggendong tubuh Helen. Dan sebelum membawa Helen masuk kembali ke dalam lift, pria itu tersenyum tipis.
Sementara itu di bar, seorang wanita berpakaian mini tampak mendekati pria yang merupakan suami Helen, Nicklas.
"Sayang" ujar wanita itu sambil duduk di pangkuan Nicklas.
"Moza"
"Aku tahu, kamu sangat mencintaiku. Sekarang aku percaya padamu, apapun yang terjadi kamu tidak akan pernah meninggalkan aku!" kata wanita itu menggelayut manja di pelukan Nicklas.
Dan sambil tersenyum, seolah apa yang dia lakukan bukan kesalahan sama sekali. Nicklas mengecup mesra bibir Moza.
"Aku sudah katakan padamu sayang, aku menikah dengannya hanya untuk membuat ayah dan ibuku percaya padaku, dan memberikan perusahaan itu. Kamu adalah wanita satu-satunya yang aku cintai. Kamu wanita pertamaku, aku tidak mungkin mengkhianati kamu. Aku tidak akan menyentuh wanita lain"
Wanita bernama Moza itu tampak begitu puas mendengar ucapan Nicklas. Dan terus mencumbu pria yang merupakan suami wanita lain itu.
Sementara di tempat berbeda, di hotel yang ada di sebelah hotel dimana Nicklas sedang berdua dengan Moza.
Pria yang membawa Helen tampak kesulitan melepaskan dirinya dari wanita yang tengah terpengaruh obat yang tidak benar itu.
"Nona, lepaskan aku! aku ini pria normal..."
Helen yang merasa tubuhnya panas, namun begitu menyentuh kulit leher pria itu merasa sejuk dan sangat nyaman. Rasanya enggan melepaskan tangannya dari leher pria itu.
"Aku haus sekali..." ujarnya tanpa sadar.
"Nona..."
"Kamu pria yang sangat tampan, dengar! aku ini istri pengusaha kaya. Suami brengsekk ku itu, dia membuat aku seperti ini, membayar pria untuk membantuku punya anak. Jika kamu mau jadi simpananku, aku akan bayar kamu, berapapun yang kamu mau"
Helen mulai melampiaskan kekesalannya pada apa yang telah Nicklas lakukan padanya. Tapi pria di depannya itu terlihat tertarik dengan apa yang dikatakan oleh Helen.
"Siapa suamimu?" tanya pria itu.
Helen mengernyitkan keningnya.
"Pria brengsekk itu, Nicklas Bernando. Dia pengkhianat! dia itu brengsekk!"
Alis pria di depan Helen itu mulai terangkat.
"Baiklah, jika aku jadi simpananmu. Kamu akan berikan apapun yang aku mau?" tanya pria itu.
"Apapun!" sahut Helen tanpa sadar.
***
Bersambung...
Helen mulai merasa begitu gelisah, pandangannya sudah mulai kabur. Pria itu menyentuh wajah Helen.
"Panas sekali" gumamnya sambil bergerak gelisah tak karuan.
Pria itu mendorong tubuh Helen ke atas tempat tidur. Senyuman menyeringai terlihat di wajah tampan pria yang memiliki rambut halus di sekitar rahangnya itu.
"Coba lakukan seperti ini, kamu akan merasa sangat nyaman" kata pria itu sambil mencium leher Helen dengan bibirnya yang terbuka.
Awalnya Helen merasa sedikit terusik. Tapi semakin lama, dia merasa apa yang dilakukan pria itu memang membuatnya nyaman. Naluri dan tubuhnya, membuat Helen tanpa sadar mengikuti apa yang pria itu lakukan. Pria itu mencengkram pinggiran tempat tidur di bawah mereka dengan kuat.
"Siapa namamu?" tanya pria itu.
Helen tak bisa lagi berkonsentrasi, dia bahkan tak bisa mengendalikan pikiran dan tubuhnya sendiri. Pria itu mengerangg menahan dirinya ketika Helen bahkan tanpa sadar seperti orang kehausan yang menyesap setiap inci tubuh pria itu, seperti sedang minum dari tubuh pria itu.
**
Pagi menjelang, cahaya matahari mulai membuat mata Helen yang tadinya terpejam begitu rapat, terbuka perlahan.
Dia merasakan tubuhnya tidak nyaman. Hingga ketika matanya terbuka sepenuhnya. Dia mulai panik, karena merasa kalau dia tidak berada di tempat yang seharusnya.
Spontan, Helen bangkit duduk. Dan saat dia melakukan itu, selimut yang dia pakai menutupi tubuhnya melorott. Mulutnya terbuka lebar, matanya juga sama, ketika melihat di dalam selimut, tubuhnya polos tak mengenakan apapun.
Hingga dia menoleh ke sebelahnya. Seorang pria bertubuh kekar, tampak tidur dengan pulas.
"Astaga!" pekiknya tertahan.
Helen memegang kepalanya, dia mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Dan wajahnya memerah, bukan sedang malu tapi sangat marah, ketika dia ingat apa yang dikatakan oleh pria yang masuk ke dalam kamar hotelnya dengan Nicklas semalam.
Pria itu jelas mengatakan kalau semua ini rencana Nicklas dan kekasihnya. Siapa lagi kalau bukan Moza. Yang katanya sudah dia putuskan saat ketahuan ayah dan ibunya.
"Dasar penipu, aku akan buat perhitungan denganmu, Nicklas!" pekik Helen.
Helen memejamkan matanya. Sepertinya dia mengingat apa yang dia katakan dan lakukan para pria di sebelahnya itu semalam.
'Bodohh, bagaimana aku bisa mengatakan aku akan memberikan apapun yang pria ini mau. Apartemen saja belum lunas. Bagaimana ini?' batin Helen.
Tapi, saat dia melihat pria itu masih tertidur. Helen memikirkan sesuatu.
'Ahh, aku tahu. Aku kabur saja. Dia tidak mungkin mengenaliku kan? kabur, iya kabur saja!' batin Helen lagi.
Helen turun perlahan dari atas tempat tidur. Dia benar-benar tidak punya dompet, atau apapun di tangannya. Dia meninggalkan tasnya di mobil Nicklas. Tapi dia punya gelang pemberian Ibu mertuanya. Helen mengenakan pakaiannya. Dan melepaskan gelangnya lalu, di letakkan di atas bantalnya. Di sebelah pria itu tertidur.
Dengan mengendap-endap. Helen keluar dari kamar hotel itu. Yang ternyata berada di sebelah hotel tempatnya dan Nicklas menginap.
"Suami tidak tahu diri, suami mana yang menyuruh pria lain menidurii istrinya. Benar-benar!" geram Helen yang emosi setengah mati pada Nicklas.
Sementara itu di kamar hotel, Nicklas dan Moza datang setelah mereka tidur nyenyak semalam. Mengira, kalau pria bayaran mereka telah berhasil menyelesaikan tugasnya dengan baik. Ternyata, mereka salah. Begitu mereka masuk, pria itu bahkan sekarat. Moza yang terkejut, berteriak. Kebetulan ada petugas hotel yang lewat. Sepertinya akan butuh uang yang sangat banyak untuk menyelesaikan masalah itu.
Nicklas yang merasa rencananya sudah gagal. Dan tak menemukan keberadaan Helen di apartemen mereka. Memutuskan untuk pergi ke apartemen Helen.
Awalnya Helen sama sekali tidak mau membuka pintu. Tapi Nicklas mengancam akan menghancurkan panti asuhan tempat dia dibesarkan kalau tidak membuka pintu.
"Brengsekk!" maki Helen pada Nicklas.
Meski kesal, tapi pada akhirnya Helen membiarkannya masuk.
"Kamu pikir, aku akan diam saja membiarkanmu memakiku seperti itu?" tanya Nicklas dengan tidak senang.
"Lalu kamu mau apa? pukull aku? pukull saja, jika ayahmu melihatku terluka, lihat apa kamu masih bisa mewarisi perusahaan itu!" gertak balik Helen pada Nicklas.
Sepertinya dia sudah paham, Nicklas hanya memanfaatkannya untuk mendapatkan perusahaan ayahnya.
"Sudah tahu kamu ternyata. Bagus, aku tidak perlu repot-repot menjelaskan padamu!" ujarnya tanpa rasa bersalah.
Helen sama sekali tidak perduli. Dia juga menikah karena bunda Shafa, pemilik panti asuhan itu yang memintanya. Dia juga tidak suka pada Nicklas. Hanya saja, dia tidak mengira kalau Nicklas sangat kurang ajar.
"Aku sangat mencintai Moza, dia wanita pertamaku dan aku adalah pria pertamanya. Aku tidak akan menyentuhmu, Moza akan terluka kalau aku melakukan itu. Tapi ayahku sudah katakan padamu kan, jika kamu punya anak. Perusahaan itu baru akan menjadi milikku. Jadi, lakukan sesuai perintahku kalau mau panti asuhan itu tetap berdiri!"
Tangan Helen mengepal dengan kuat.
"Kamu pria brengsekk..."
"Aku anggap itu pujian. Sebenarnya ini tidak sulit Helen. Kamu tinggal hamil lalu punya anak. Anak itu akan aku anggap anakku, aku kurang apa coba?" tanya Nicklas dengan santainya.
Tangan Helen benar-benar terkepal sampai buku-buku tangannya memutih. Dia tidak pernah bertemu pria sebrengsekk Nicklas ini. Enteng sekali mulutnya bicara.
"Aku hanya beri waktu kamu satu tahun, jika dalam satu tahun kamu tidak punya anak juga. Panti asuhan itu, akan rata dengan tanah!"
Mata Helen melebar. Kalau dia tidak merasa banyak hutang budi pada ayah pria di depannya itu. Dia benar-benar ingin menamparr dengan keras pria tidak tahu malu dan tak punya hati di depannya itu.
"Dan kalau ayah atau ibuku tahu masalah semalam. Aku pastikan, anak-anak di panti asuhan itu akan menderita...."
"Nicklas!" bentak Helen kesal.
"Sssttt, jangan berteriak padaku. Aku tidak suka! ganti pakaian dan ikut aku bertemu ayah dan ibu. Moza ingin jalan-jalan ke luar negeri. Kamu harus bilang pada ayah, kamu ingin liburan. Kita akan pergi bersama!"
Helen mendengus kesal. Di sebelahnya ada rak buku. Rasanya dia ingin mengangkat rak itu dan melemparkannya ke arah Nicklas. Sayangnya dia tidak akan mampu melakukan itu.
"Tunggu apalagi? ingin aku mengurangi dana bulanan panti..."
"Aku pergi, aku akan ganti pakaian!" kata Helen bergegas masuk ke kamarnya meski sangat kesal.
Nicklas terkekeh pelan.
"Helen... Helen, kelemahanmu ada di tanganku. Kamu tidak akan bisa macam-macam denganku!" gumamnya sangat arogan.
***
Bersambung...
Di kamar hotel yang telah di tinggalkan oleh Helen. Pria berkemeja hitam yang tengah duduk di sebuah sofa, dan memutar-mutar gelang yang ditinggalkan Helen di tangannya itu tampak berpikir dengan serius.
"Tuan, selimut dan sprei sudah di ganti" kata seorang pria dengan setelan jas lengkap yang terlihat mahal, sambil sedikit membungkukkan badannya.
Dan dengan santai, pria itu menoleh ke arah pria berjas itu.
"Max, cari tahu siapa wanita yang semalam bersamaku. Dia istri Nicklas Bernando. Ini akan sangat menarik!" ujarnya.
"Baik tuan!" kata pria bernama Max itu, lalu pergi dari sana dengan cepat.
Pria itu masih memainkan gelang yang ada di tangannya.
"Keluarga Bernando ya? baru datang ke kota ini sudah di sambut oleh menantu keluarga Bernando. Ini sangat menarik" gumamnya dengan senyuman tipis di wajahnya.
Dan di tempat berbeda, Mobil Nicklas sudah berada di kediaman Bernando. Tidak seperti rumah mewah biasa, rumah dengan tiga lantai itu seperti sebuah mansion. Besar, luas, megah dan mewah. Dengan lapangan parkir di sekeliling bangunan, yang kerap juga di gunakan sebagai tempat perayaan acara istimewa keluarga Bernando.
Begitu mobil menepi, Helen dengan cepat melepaskan sabuk pengamannya.
"Jangan turun sebelum aku buka pintu. Mata-mata ayahku sangat banyak di rumah ini!" ucap Nicklas.
Helen menghela nafas panjang. Tangannya bahkan sudah hampir memegang gagang pintu. Tapi karena dia memikirkan nasib puluhan anak-anak panti yang berada di panti asuhan. Helen meredam semua emosinya pada Nicklas.
Nicklas turun dari dalam mobil, merapikan jasnya, dan membuka pintu mobil sisi Helen.
Tangan Nicklas terulur, sebenarnya Helen merasa sangat enggan. Namun karena sudah terlanjur jatuh ke jurang ini, dia pikir tidak mungkin ada jalan kembali.
Tangan Helen terulur, menerima uluran tangan Nicklas. Pria itu tersenyum puas, ada semburat ejekan di senyuman itu. Tapi Helen memilih untuk pura-pura tidak melihatnya. Dengan santai, Nicklas mengaitkan tangan Helen di sikunya.
Dan begitu pintu utama terbuka, Helen pun menghela nafas dan tersenyum begitu ceria, ketika ibu mertuanya menyapanya.
"Menantu ibu, Helen bagaimana malam pertama kalian?" tanya Anika yang segera memeluk Helen merangkulnya, melepaskan rangkulan tangan Nicklas dari menantu kesayangannya itu.
"Ibu, kenapa malah pertanyaan seperti itu?" tegur Vicky, ayah Nicklas.
Helen hanya bisa menundukkan kepalanya. Dia benar-benar harus meredam emosinya.
"Jangan khawatir, aku sudah melakukan kewajibanku dengan baik. Sekarang aku bisa dapatkan perusahaan itu?" tanya Nicklas yang duduk dengan santai di seberang ayahnya.
"Tidak tahu malu, kamu anggap pernikahan ini apa? tutup mulutmu Nicklas. Atau aku akan coret namamu dari kartu keluarga!" gertak Vicky.
Nicklas mendengus kesal. Tapi tidak juga berani membantah.
"Jangan dengarkan mereka Helen, kamu pasti lelah kan? ibu sudah buatkan sup herbal. Itu akan membantu tubuhmu pulih dengan cepat. Ayo!" ajak Anika ke arah ruang makan pada Helen.
Sampai di ruang makan, Anika benar-benar memberikan sup yang begitu mahal untuk Helen.
"Apa dia memperlakukanmu dengan baik?" tanya Anika dengan tatapan mata teduh.
Seolah ingin mengatakan pada Helen, kalau dia tidak perlu khawatir untuk jujur. Tidak perlu takut, kalau memang Nicklas jahat padanya, Anika bahkan akan membela Helen.
Sayangnya, meski Anika memberikan keyakinan seperti itu. Tetap saja Helen tidak berani mengatakan semua kebenaran tentang apa yang terjadi semalam pada Anika. Selain dia yakin, kalau Nicklas telah membereskan semua kekacauan itu. Dia juga tidak mau mempertaruhkan anak-anak panti asuhan.
"Nicklas baik, Bu!" jawab Helen.
Meski jawaban itu tidak sesuai dengan hati nuraninya. Tapi mau bagaimana lagi, dia terpaksa mengatakan semua itu.
Anika tersenyum lega, dan mengusap kepala Helen dengan sangat lembut.
"Syukurlah, ibu tadinya khawatir. Moza si penggoda itu benar-benar pandai merayu Nicklas. Sekarang kamu adalah istrinya Helen, kamu jangan takut ya, ada apapun, katakan pada ibu. Ibu pasti akan membela kamu. Nicklas itu buta, wanita munafik gilaa harga seperti itu malah begitu dia cintai. Ibu harap, perlahan Nicklas bisa berubah, kamu mau kan berusaha untuk rumah tangga kamu ini?" tanya Anika dengan sangat lembut.
Helen sebenarnya sama sekali tidak mengharapkan cinta itu dari Nicklas. Dia merasa sebenarnya lebih baik tidak punya hubungan apapun. Tapi nasi telah jadi bubur. Jadi dia bisa apa? selain menikmati bubur itu dengan sedikit tambahan topping mungkin.
Helen mengangguk.
"Bagus, oh ya kalian kan sudah menikah. Kamu juga sudah tidak akan bekerja lagi, karena fokus program hamil kan? bagaimana kalau kalian bulan madu, kamu mau kemana?" tanya Anika dengan sangat antusias.
Mereka, para orang tua sudah membicarakan semua ini. Dan berharap kehadiran seorang anak dari Helen. Akan membuat Nicklas mencintai istrinya itu dan melupakan Moza. Jadi, mereka sangat bersemangat untuk anak dari pengantin baru itu.
"Maldives saja Bu"
Helen menoleh, Nicklas tampak bicara menyahut pertanyaan Anika. Dan Helen tahu, itu bukan keinginannya. Itu pasti keinginan Moza.
Anika melirik ke arah Nicklas. Lalu kembali pada Helen.
"Kamu mau kesana? baiklah. Ibu akan urus semuanya. Kalian tinggal siap-siap. Ibu akan mengaturnya" kata Anika sangat bersemangat.
Setelah makan siang, Helen dan Nicklas kembali ke apartemen.
"Mulai sekarang, kamu tinggal di sini. Ini bahkan lebih bagus dari apartemen kamu yang kecil itu. Jangan sampai saat ibu atau ayah datang, kamu tidak ada di sini! kamu bereskan semua barang-barang yang besok akan kita bawa ke Maldives. Aku mau ke apartemen Moza, dan memberinya kabar bahagia ini. Ingat, jangan macam-macam Helen!" ujar Nicklas sebelum pergi.
Helen menghela nafas panjang. Dia masuk ke kamar di apartemen itu. Menarik koper besar, dan memasukkan barang-barangnya juga Nicklas kesana.
Malam datang begitu cepat, Helen sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Saat dia melihat pemandangan dari balkon apartemen. Sebuah klub malam di dekat apartemen menarik perhatiannya.
Beban pikiran dan hatinya yang menumpuk. Membuatnya melangkah tanpa sadar ke tempat itu.
Helen sudah hampir mabukk, tapi dia masih terus meminta pelayan di bar itu menyajikan minuman untuknya.
"Nona, kamu sudah mabuk. Berikan nomor yang bisa kami hubungi. Kami akan minta keluargamu menjemputmu!" kata bartender di depan Helen.
Helen menggelengkan kepalanya.
"Aku? aku tidak punya keluarga" ucapnya dengan nada lirih.
"Kata siapa? aku ada di sini!"
Helen mendongak. Pandangannya sempat kabur, tapi kemudian kembali fokus.
"Kamu..."
***
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!