Elena berjalan di lorong apartemen mewah dengan senyum yang menghiasi wajahnya, dia baru saja kembali dari luar kota setelah 2 minggu mengurus pekerjaan di sana.
Dia ingin membuat kejutan untuk kekasihnya, jadi dia tidak memberitahu kedatangannya saat ini.
Begitu sampai di depan unit miliknya, Elena menekan sandi pintu dan pintu pun terbuka. Baru satu langkah masuk, dua buah sneakers berbeda ukuran menarik perhatiannya. Dia mengenali salah satu sepatu tersebut karena dia yang membelinya.
Elena melanjutkan langkahnya hingga dia sampai di depan kamarnya dengan sang kekasih, pintu kamar tersebut terbuka sedikit.
"Kenapa kamu selalu bersikap lembut pada kakakku, tetapi selalu menggodaku?"
"Kakakmu tidak pernah membiarkanku menyentuhnya selama 3 tahun aku menjadi kekasihnya. Dia kaku dan aku kehilangan gairah dengannya. Dia tidak bisa dibandingkan denganmu yang imut ini."
Elena sangat mengenali suara dua orang yang sedang berbincang di dalam kamar tersebut. Ekspresinya menjadi dingin dan kedua tanganya mengepal kuat.
Salah satu orang yang ada di dalam kamar tersebut menyadari kehadirannya dan mengulas senyum lebar. "Kak Alex, aku merasa tidak nyaman dan ingin mandi," ucap orang itu dengan nada manja.
"Oke. Aku akan menggendongmu," balas Alex-- kekasih Elena yang belum menyadari kehadirannya.
Elena membuka pintu kamar lebih lebar, hal itu membuat Alex yang tengah menggendong seseorang melihat kedatangannya.
"Elena?" panggil pria itu dengan tatapan terkejut. "Sayang, kamu...kenapa kamu kembali dengan cepat?" lanjutnya.
Alex kembali meletakkan orang yang dia gendong di atas kasur, pria itu mendekat ke arah Elena hanya dengan menggunakan celana dalam.
"Sayang! Dengarkan aku, ini tidak seperti yang---"
Belum sempat ia melanjutkan ucapannya, Elena sudah lebih dulu tertawa keras. "Aku kembali setelah 2 minggu pergi, dan sekarang apa yang aku lihat? Pacarku dan adikku tersayang baru saja bercinta? Sungguh kejutan yang luar biasa," ucapnya.
"Kakak!"
Sophia--adik Elena mendekat ke arah keduanya. "Kakak! Jika ingin marah, marah saja padaku. Jangan bertengkar dengan Kak Alex, ini semua salahku," ucapnya. Wanita yang 2 tahun lebih muda dari Elena itu berlutut di depan sang Kakak.
"Aku mohon, jangan benci Kak Alex!" ucapnya lagi dengan memohon, air mata sudah mengalir deras di wajahnya.
Tangis Sophia semakin mengeras, dia meraih tangan Kakaknya tetapi Elena segera menghempaskannya.
"Elen! Ini antara kamu dan aku, Sophia masih terlalu muda. Jangan membuatnya kesulitan," tegur Alex. Hal itu membuat Elena tidak bisa berkata-kata lagi.
"Ayo bangun, lantainya dingin," ucap Alex dan membantu Sophia berdiri.
Elena menatap adiknya, "Benar! Kamu memang masih muda, seseorang akan menjadi dewasa saat berusia 18 tahun, dan sekarang usiamu 20 tahun. Tapi kamu sudah berani naik ke atas tempat tidur orang lain, itu sangat mengagumkan."
Dia menarik kerah kaos yang di kenakan Sophia, dan tanpa dia sadari sang adik tersenyum miring.
Plak!
"AHH! Kakak menamparku?! Tak apa, aku menerimanya dengan lapang dada. Aku sudah mengecewakanmu," ujar Sophia sembari memegangi pipinya yang memerah.
"Berhenti, Elen! Dia mungkin anak yang tidak sah, tetapi dia tetaplah adikmu! Bagaimana bisa kamu menamparnya!" marah Alex, pria itu membawa Sophia ke dalam pelukannya.
"KAMU TAU DIA ADIKKU, TAPI KENAPA KALIAN TETAP MELAKUKANNYA!" teriak Elena tak percaya.
Alex seketika terdiam, "Kalian berdua membuatku jijik!"
Setelah mengatakan itu Elena berbalik dan keluar dari kamar dengan wajah datarnya. Kekasih yang amat begitu dia cintai sudah bermain api dengan adiknya.
Percayalah, bukan dia yang menampar Sophia. Wanita itu menampar pipinya sendiri.
Begitu keluar dari kawasan Apartemen, Elena melajukan mobilnya tak tentu arah. Kabar baiknya adalah, dia tidak mengeluarkan air mata setetes pun.
2 tahun lalu, ada seorang wanita muda yang datang ke rumahnya dan mengaku sebagai anak dari ayahnya. Setelah melakukan tes DNA, ternyata wanita itu memang anak sang ayah yang pernah meniduri sekretarisnya 17 tahun silam.
Saat itu, Sophia langsung menarik perhatian sang ayah dengan ucapan manisnya. Ayahnya yang tidak begitu menyukainya justru semakin menjauh dari hidupnya. Hanya sang Kakek lah yang selalu mendukungnya sejak kecil, bahkan setelah kematian Ibunya.
Alex masih terus mengirim pesan dan mengajaknya untuk berbicara, tapi dia abaikan. Perselingkuhan adalah hal yang tidak akan pernah dia maafkan.
...****************...
Malam datang dengan cepat, Elena sudah lelah berkeliling mencari udara segar. Malam ini dia akan tidur di rumah utama, di mana sang Kakek tinggal. Ayahnya memiliki rumah sendiri dan tinggal bersama adik tirinya.
Ponselnya berbunyi, nama "Kakek" terpampang jelas di layar ponselnya. Tanpa menunggu lama Elena menggeser tombol hijau, kebetulan dia sedang menunggu lampu merah.
"Uhuk! Uhuk!"
Suara batuk dari Kakeknya menjadi sapaan pertama yang dia dengar. "Uhuk! Uhuk! Sophia...."
"Kamu ingin melihatku menendangmu keluar dari keluarga ini? Beraninya kamu menganggu Elena di saat aku masih hidup!"
Elena terdiam saat mendengar Kakeknya menyebut nama adik tirinya. Apakah sekarang Kakek sedang berbicara dengan Sophia? Apalagi yang anak itu perbuat sekarang! batinnya.
"Kakek! Kondisimu sedang tidak baik! Jangan bertengkar dengannya, aku akan pulang secepatnya!" ucapnya dengan panik. Begitu lampu sudah berganti menjadi hijau, dia segera menginjak pedal gas dan mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi.
"Uhuk! Uhuk! Uhuk!"
"Kamu mengusir semua pelayan dan memaksaku untuk menulis ulang surat wasiat, memberikan semua harta keluarga...."
"Apa kamu tidak takut apa yang akan Elena lakukan padamu jika dia mengetahui hal ini?"
"HA HA HA HA HA" Sophia tertawa keras. "Memangnya apa yang akan dia lakukan padaku?
"Pacarnya sudah ku rebut. Cucu yang sangat kamu sayangi itu pasti sedang bersembunyi di pojokan sekarang, Kakek bau tanah."
"Kamu membenciku, kan? Kamu hanya sayang pada cucu tertuamu, kan? Aku memang berniat mengambil semua miliknya."
Elena mendengar semuanya, dia menambah kecepatan mobilnya. Kakeknya sudah berusia 75 tahun, dia tidak akan membiarkannya menghadapi Sophia sendiri.
"Sophia!" geramnya sembari mencengkeram kuat stir mobil.
Bersambung
Jangan lupa like dan subscribe jika suka ya🤗
Kediaman utama
"Uhuk! Uhuk! "
Kursi roda dan pemiliknya berada di tempat yang berbeda, Kakek Surya tersungkur di atas lantai akibat di dorong oleh Sophia.
"Uhuk! Uhuk! Aku merekam semua yang kau katakan tadi!"
"Kamu ingin mencuri kekayaan keluarga Atmadewa? Harusnya kamu menanyakan pada dirimu sendiri, pantaskah kau mendapatkan harta keluarga ini."
Mendengar kalimat itu Sophia menggeram marah, dia menerjang sang Kakek dan mencekiknya. "Mati kau, Pria tua! Mati!"
"Berani---"
Srek!
Seseorang menarik lengannya dan mendorong Sophia ke samping. Orang itu adalah Elena yang baru saja datang, "Kakek!" teriaknya lalu membawa sang Kakek ke dalam pelukannya.
"Bertahanlah, Kek!"
"Uhuk! Uhuk!"
Sophia menatap Elena dengan tatapan marah, Aku sudah menyuruh Alex untuk menghalanginya, kenapa wanita jalang ini sampai sini? ucapnya di dalam hati.
"Aku akan membawa Kakek ke rumah sakit, aku sudah menelpon polisi untuk mengurus orang itu. Kakek tidak perlu khawatir," ucap Elena membantu Kakeknya untuk berdiri.
"Ini..Berikan ini..ke polisi. Beri tahu ayahmu...dia...tidak..boleh," kata Kakek Surya dengan napas berat, dia mengeluarkan ponselnya yang berisi rekaman suara Sophia tadi dan hendak memberikannya pada Elena.
"Aku tau, aku tahu, Kek. Jangan berbicara lagi, aku akan membawamu ke rumah sakit."
Ekspresi wajah Sophia semakin menggelap saat melihat Elena menuntun Kakek Surya. "Aku tidak bisa membiarkan mereka pergi. Jika rekaman itu ketahuan, ini semua akan sia-sia," gumamnya dengan gusar.
Matanya melihat sekitar, begitu menangkap sebuah guci yang cukup besar, dia tersenyum miring. Dia mendekati guci tersebut dan mengangkatnya dengan susah payah. Sophia berjalan mendekati Elena dan Kakek Surya.
Brak!!
Sophia menghantamkan guci tersebut tepat di atas kepala Kakek Surya dan Elena. Hal itu membuat keduanya limbung dan jatuh di atas lantai.
Elena dengan kesadaran separuh berusaha bangun, "Kakek," panggilnya dengan lemah.
Kakek Surya terbaring tak berdaya di atas lantai dengan darah menggenang di sekitar kepalanya. "Kakek!" teriak Elena. Karena posisi Kakek Surya tadi agak di belakang, jadi pria tua itu yang mendapatkan hantaman lebih keras.
"Kakek! Kakek!" Elena merangkak mendekati Kakeknya, dia tidak menghiraukan darah yang mengalir di pelipisnya.
Sophia mendekati Elena dan berdiri di depannya. "Bagaimana? Apa Kakak suka dengan kejutan yang sudah aku siapkan?" ucapnya dengan sumringah.
"Karena aku sudah menyiapkannya," kata Sophia sembari memegang kapsul obat. "Jadi... Kakak harus menerimanya."
Sophia berjongkok dan mencengkeram dagu Elena, dia memasukkan obat tersebut ke dalam mulut Elena dan memaksa sang Kakak untuk menelannya.
"HA HA HA"
"HA HA HA"
"HA HA HA"
Wanita itu tertawa seperti orang gila saat Elena sudah menelan obat tersebut. "Ah ya! Aku hampir melupakan sesuatu yang penting," ujarnya.
Krak!
Sophia menginjak-injak ponsel milik Kakek Surya hingga layarnya retak parah dan mati. "Elena Atmadewa, kali ini aku menang," ujarnya dengan senyum bangga.
"Sebentar, sebentar. Masih ada penutup."
Setelah mengatakan itu Sophia mendekat ke arah dinding, dan DUG! Dia membenturkan dahinya dengan keras ke atas tembok.
Dia mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang. "Kak Alex, cepat datang ke rumah Kakek! Selamatkan Kakekku, Kak Elena sudah gila!"
"Hiks..Hiks. Dia membenciku dan membenturkan kepalaku ke dinding. Tetapi Kakek tidak bersalah...Dia...Dia...Kakek ingin memisahkan perkelahian, tapi Kak Elena justru mendorong Kakek hingga kepalanya terbentur guci."
"Apa yang harus aku lakukan? Ada begitu banyak darah! Sangat banyak! Kak Alex cepat datang."
Saat mengatakan kalimat terakhir tersebut, Sophia menatap Elena dengan senyum puas. Seolah baru saja memenangkan sebuah lotre besar.
Sejak malam itu, Elena kehilangan semuanya.
...****************...
5 tahun kemudian, penjara wanita XXX
"Terus, terus?" ucap seorang wanita dengan raut penasaran. "Apakah wanita itu meninggal juga? Tapi jika dia mati adiknya akan lolos begitu saja!"
"Setelah itu..."
Elena memutar kembali memori di otaknya atas kejadian 5 tahun lalu. Saat itu dia di bius, tidak ada satupun pelayan karena sudah di usir Sophia sebelumnya. Tidak ada CCTV yang bisa membantunya, dan polisi menemukan banyak barang bukti yang mengarah padanya.
Sophia? Wanita itu menangis keras di dekapan Alex yang datang bersama polisi. Tidak ada satupun yang berdiri di sisinya, hingga dia di bawa polisi dan berada di posisi saat ini.
"Dia? Tentu saja dia di penjara, apa lagi yang bisa dia lakukan," jawab Elena.
Teman satu sel Elena tampak terkejut, "Apa-apaan itu! Wanita itu terlalu sengsara, bahkan melebihi diriku!" marahnya.
Elena terkekeh kecil, "Sudahlah, jaga suaramu. Aku bilang ini hanya sebuah cerita, kan?"
"Apa yang kalian bicarakan? Cepat selesaikan pekerjaan kalian!!"
Itu adalah suara polisi penjaga, saat ini para narapidana memang sedang melakukan kegiatan bersama, yaitu membuat kerajinan tas dari bungkus kopi bekas. Setiap tahanan memiliki hak untuk memilih kegiatan apa yang ingin mereka lakukan selama di dalam penjara, ada berbagai macam pilihan.
Elena sendiri bergabung dengan pembuat kerajinan dari bahan daur ulang. Dia di ajak oleh Tiara, teman satu selnya yang tadi mengobrol dengannya.
"Kamu bebas besok, kan?" tanya wanita polisi itu pada Elena.
Elena mengangguk, "Iya, Bu."
"Kalau begitu jaga sikapmu hingga kau keluar besok," balas polisi dengan name tag Ayu tersebut.
Elena kembali mengangguk dan melanjutkan pekerjaannya. Di dalam penjara wanita ini, dia berada di dalam satu sel dengan 4 narapidana lain dengan kasus berbeda.
Tiara, menyiram suaminya dengan air panas karena terang-terangan berselingkuh, dia dipenjara selama 7 tahun, dan bulan depan dia bebas.
Marina, wanita berusia 35 tahun yang membunuh anak keduanya yang baru berusia 10 bulan. Marina masih mengalami baby blues, dia tidak tahan dengan suara tangisan anaknya dan berakhir menutup wajah anaknya menggunakan bantal hingga kehabisan napas dan meninggal.
Nina, wanita itu baru masuk penjara 2 tahun lalu, dia dipenjara karena mencuri susu untuk bayinya di supermarket. Dia di vonis penjara 3 tahun.
Terakhir, dia adalah penghuni sel yang paling lama. Namanya Marni, wanita yang di tuduh mengkorupsi uang perusahaan, padahal dia hanya dijadikan kambing hitam. Dia divonis penjara 10 tahun, dan masih tersisa 4 tahun lagi.
Syukurlah ke-empat orang tersebut baik kepada Elena, di awal dia sudah was-was akan di satukan dengan orang-orang bermasalah.
Bersambung
Terima kasih sudah membaca, jangan lupa like dan subscribe ya🤗
Hari kebebasan
Elena menarik napas dalam-dalam, seolah mencoba menyerap kenyataan bahwa akhirnya dia bebas. Matahari terasa terlalu terang setelah bertahun-tahun hidup dalam bayang-bayang tembok penjara.
Di dekat gerbang, seorang petugas lapas menyerahkan sebuah kantong plastik berisi barang-barang miliknya sebelum ditahan—sebuah ponsel rusak, dompet kosong, dan selembar foto yang sudutnya sudah melengkung. Fotonya bersama sang Kakek tercinta.
"456, sekarang kamu sudah bebas. Berperilaku lah yang baik dan jalani hidupmu yang baru, mengerti?" ucap sang petugas.
Elena menatap petugas tersebut, "Ya," balasnya di iringi senyum kecil.
"Di mana keluargamu? Apakah akan ada yang datang untuk menjemputmu?" tanya petugas.
Elena menggelengkan kepalanya, apakah aku masih memiliki keluarga di dunia ini? Ayahku bahkan tidak pernah mengunjungiku selama 5 tahun. Alex? Dia bukan siapa-siapa lagi di hidupku. Sophia? Dia musuhku sekarang, batinnya.
"Berjalan kaki tidak akan memakan banyak waktu. Saya pergi dulu."
"Baiklah," balas petugas dan menutup kembali gerbang tinggi tersebut.
Sebuah mobil mewah dengan plat nomor khusus berhenti di depan gerbang, Elena segera berlari dan bersembunyi di balik pohon besar di samping lapas.
Mata Elena memicing, memperjelas penglihatannya akan mobil tersebut. "Mobil keluarga Atmadewa?" gumamnya.
"Mereka tidak pernah muncul selama 5 tahun, dan saat aku sudah bebas mereka baru saja muncul?" lanjutnya.
Sopir mobil tersebut keluar dan membuka pintu penumpang. Seorang pria paruh baya keluar dari dalam mobil, "Ayah?" kata Elena.
Adipati Atmadewa, dia adalah ayah dari Elena dan juga Sophia.
"Ayah, kamu tidak pernah datang menemuiku. Kamu juga tidak mau mendengarkan penjelasanku saat itu, sekarang apa yang kamu lakukan di sini?" Elena masih bersembunyi dan mengintip.
"Apa yang kau lakukan di dalam? Turunlah!" perintah paruh baya itu kepada seseorang yang masih berada di dalam mobil.
Seorang wanita muda dengan dress selutut keluar dari dalam mobil, dia adalah Sophia. Elena reflek mengepalkan kedua tangannya saat melihat wanita itu setelah kejadian 5 tahun lalu.
"Maaf Ayah, tadi ada kabar dari perusahaan. Maaf membuatmu menunggu, apakah sudah ada kabar dari Kakak?" ucap Sophia dengan merangkul lengan sang Ayah.
Adipati tersenyum dan mengelus lengan Sophia. "Ayah sudah bilang tidak perlu datang, jadinya kamu harus buru-buru dengan pekerjaanmu. Kamu sudah sangat sibuk, dan kamu masih punya waktu untuk mengkhawatirkan orang lain?"
"Bagaimana pun juga dia adalah saudaraku, dia bukan orang lain. Kak Elena pasti sangat menderita selama 5 tahun di dalam penjara, dan dia pasti sangat ingin bertemu denganmu setelah dibebaskan," balas Sophia dengan raut sedih.
Cih!
"Saat dia membunuh ayahku bahkan dia tidak merasa bersalah sedikitpun. Dia juga hampir membunuhmu, apakah kamu lupa?"
"Jika bukan karena dirimu yang memohon padaku, aku tidak akan pernah melangkahkan kakiku ke sini. Anak durhaka itu bukan lagi anakku!"
Sophia menatap ayahnya dengan sendu, "Jangan, jangan bilang begitu. Meskipun ada sedikit kesalahpahaman diantara kami, aku selalu menyesalinya. Jika saja aku menjelaskan kepadanya saat itu, mungkin dia tidak akan masuk penjara, Kakek juga tidak akan meninggal."
Wanita itu memang sangat pandai merangkai kata-kata manis!
Elena mendengar semuanya dengan jelas, kepalan di tangannya semakin menguat. "Perkataan itu terdengar seperti sedang membelaku, tetapi sebenarnya dia ingin Ayah selalu mengingat apa yang sudah terjadi dalam setiap kalimatnya," gumamnya.
"Dia berkata aku iri dan membencinya, dan aku juga membunuh Kakekku? Sungguh akting yang buruk," lanjutnya.
"CUKUP!
Adipati membentak Sophia, "Aku tidak ingin mendengar apapun lagi tentang anak durhaka itu! Kamu jangan dekat-dekat dengannya!
"Aku mengerti Ayah," balas Sophia dengan mata yang memerah. "Ini salahku karena membuatmu marah."
"Sudahlah! Kita kembali saja, tidak ada gunanya menemuinya. Buang-buang waktu saja," tukas Adipati.
"Tapi---"
"Tidak ada tapi-tapian, Sophia. Kamu kembali ke kantor dan urus perusahaan," sela sang Ayah dengan tatapan yang membuat Sophia menciut.
Pada akhirnya, kedua orang yang memiliki hubungan "keluarga" dengan Elena itu pergi begitu saja.
"Datang atau tidaknya kalian, tidak berarti apa-apa lagi untukku," ucap Elena dengan tangan yang mengepal kuat, tatapan matanya mengarah ke arah mobil yang semakin menjauh.
...****************...
Elena berjalan menyusuri jalanan dan sesekali beristirahat. Ponselnya rusak, begitupun dengan dompetnya yang kosong melompong. Matahari sudah terbenam satu jam yang lalu, dan perutnya belum terisi sejak dia meninggalkan lapas.
Entah kenapa sejak tadi dia merasa jika ada seseorang yang mengikutinya. Sebisa mungkin dia berjalan dan beristirahat di tempat ramai, setiap kali menoleh tidak ada siapapun yang terlihat mencurigakan.
Tidak, dia tidak bisa terus seperti ini, dia butuh tempat untuk beristirahat dan juga pekerjaan. Sambil berjalan menyusuri trotoar, dia terus berpikir.
"Sial! Pasti orang suruhan Sophia," umpatnya pelan. Memangnya siapa lagi yang memiliki niat jahat kepadanya? Apalagi sekarang dia sudah bebas.
Langkahnya semakin cepat, hingga tanpa sadar dia sampai di depan sebuah club malam yang kebetulan tidak ada penjaganya. Tanpa pikir panjang Elena masuk ke dalam.
Samar-samar, aroma dari alkohol serta asap rokok menyambut kedatangannya. Masih sangat awal bagi pecinta dunia malam, tapi sudah ada beberapa pelanggan yang datang.
Lampu-lampu neon berwarna ungu, biru, dan merah muda sudah mulai menyala, menciptakan kilauan redup yang menari-nari di dinding dan lantai.
Elena menatap sekitar, mencari tempat untuk bersembunyi. Sudah pasti orang yang mengikutinya melihatnya masuk ke dalam.
Kakinya langsung melangkah cepat menuju tangga untuk menuju lantai 2. Seorang barista yang sedang membawa nampan sempat menoleh, keningnya berkerut. Siapa yang datang ke klub malam dengan celana jeans dan kemeja longgar? Begitulah isi pikirannya.
Tapi Elena tak peduli.
Begitu sampai di lantai dua, ia segera menyusuri lorong gelap yang remang. Musik dari bawah terasa seperti gema jauh, tertahan oleh tembok dan pintu-pintu tertutup.
Suara langkah berat dari bawah membuatnya panik, mereka benar-benar mengejarnya.
Di tengah kepanikannya, dia melihat satu pintu kecil bertuliskan “Staff Only”. Tanpa ragu, ia mendorongnya dan masuk ke dalam.
Ruangan itu gelap, sempit dan bau alkohol yang memenuhi udara. Rak-rak berisi minuman dan kardus kosong mengisi sudut-sudutnya. Ia berjongkok di belakang salah satu rak, menahan napas.
Pintu terbuka perlahan, cahaya dari lorong menyelinap masuk. Langkah kaki itu berhenti di ambang pintu.
“Keluarlah, kami tahu kau ada di sini. Jangan bodoh, ini hanya akan lebih buruk kalau kau terus lari.”
Elena memejamkan kedua matanya, "Jangan bergerak, jangan bersuara," ucapnya di dalam hati.
“Cek ruangan lain,” terdengar suara kedua, lebih kasar dan tak sabaran. “Cari sampai ketemu, jangan sampai bos marah pada kita."
Kedua pria itu menjauh, mencari Elena ke ruangan lain tanpa menutup pintu. Saat itulah Elena baru berani bernapas.
Tapi saat ia bangkit perlahan, seseorang berdiri di ambang pintu, tinggi dan tegap, serta mengenakan kemeja dan jas hitam. Tapi bukan salah satu pengejarnya.
“Heboh sekali untuk seorang tamu ilegal,” ucapnya pelan dan tenang, tatapan matanya setajam elang.
Elena terperanjat, mundur setengah langkah. “Kau siapa?”
“Pemilik tempat ini,” jawabnya sambil menyilangkan tangan. “Dan kau baru saja membuat malamku jadi sangat… menarik.”
“Aku tidak sedang mencari masalah,” sahut Elena cepat. “Aku hanya butuh tempat bersembunyi, sebentar saja.”
Pria itu diam sejenak, “Kau sedang diburu. Aku tidak suka masalah masuk ke clubku tanpa izin.”
Elena menggenggam ujung kemejanya. “Kalau kau mau aku pergi, aku akan keluar sekarang.”
“Salah,” katanya, matanya kembali padanya. “Kalau kau keluar sekarang, kau akan mati. Dan tubuhmu akan ditemukan di gang belakang."
Elena membeku, pria itu melangkah pelan ke arahnya.
“Aku bisa membantumu,” lanjutnya, nada suaranya tetap tenang tapi tegas. “Tapi kau harus ikut aku.”
“Kenapa?” gumam Elena curiga.
“Karena aku lebih suka menyelamatkanmu malam ini, sebelum aku memutuskan apakah kau layak dibuang besok pagi.”
Bersambung
Terima kasih sudah membaca, jangan lupa like dan subscribe 🤗
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!