Namaku Kirana Ayuningtyas. Aku duduk di bangku kelas sebelas SMA Pradipta. Dilihat dari luar, aku seperti remaja biasa. Tapi kenyataannya... tidak sesederhana itu.
Sejak kecil, aku memiliki kemampuan melihat dan merasakan kehadiran makhluk yang tidak kasat mata. Orang menyebutku anak indigo. Bukan karena aku suka warna biru, tapi karena indra keenamku lebih aktif dari orang kebanyakan.
Awalnya, aku berpikir aku hanya berhalusinasi. Namun setelah kejadian-kejadian aneh terus berulang, aku mulai menerima kenyataan bahwa aku bisa berkomunikasi dengan arwah.
Kemampuan ini seringkali merepotkan, terutama ketika aku harus bersekolah seperti biasa. Bayangkan saja, sedang ulangan tiba-tiba ada suara dari bawah bangku yang memanggil namaku. Atau saat presentasi, tiba-tiba papan tulis jatuh sendiri karena ada arwah iseng lewat.
Namun hari itu, sesuatu yang berbeda terjadi.
Pengumuman dari Ibu Guru
Jam pelajaran Sejarah baru saja dimulai. Ibu Lestari, guru sejarah kami yang terkenal disiplin, berdiri di depan kelas sambil membawa setumpuk kertas.
“Anak-anak, minggu ini kalian akan mendapatkan tugas kelompok. Topiknya adalah Cerita Rakyat Daerah. Kalian boleh memilih daerah mana saja, selama ceritanya berasal dari Indonesia.”
Kelas langsung riuh. Beberapa teman langsung mengangkat tangan, meminta kelompok yang mereka inginkan.
Aku duduk tenang di bangku belakang, sambil membuka bekal roti cokelat buatan Mama.
Ibu Lestari memanggil nama-nama berdasarkan daftar kelompok yang sudah ia susun. Aku mendapat kelompok bersama Nila dan Diriya, dua siswi yang cukup rajin dan tidak banyak bicara. Aku bersyukur, setidaknya mereka tidak termasuk tipe teman yang suka melimpahkan tugas pada orang lain.
Setelah pulang sekolah, kami membuat janji akan berkumpul untuk menentukan cerita apa yang akan kami angkat.
Sampai tidak terasa waktu istirahat pun tiba kami keluar menuju kantin.
Di kantin
“ Kirana apa bener kamu sekelompok sama Diriya dan Nila?” tanya Kezia, sahabat Kirana yang udah kenal Kirana sejak masih bisa ngompol di TK.
“Iya. Plus satu bonus makhluk halus,” jawab Kirana santai.
Kezia nyengir. “kamu gak kapok? Yang kemarin aja si Sukma seminggu kerasukan gegara kamu bawa boneka tua ke kelas.”
“Itu boneka yang kerasukan. Bukan aku yang nyuruh.” ujar Kirana
“Tapi kan kamu yang bawa!” seru
Kezia
Kirana cuman angkat bahu lalu berkata, " Kadang manusia emang lebih parno dari setannya sendiri"
Kezia yang mendengar itu pun hanya bisa menghela nafasnya
...----------------...
Awal Keanehan saat pulang sekolah Kirana dan Kedua temanya pun melakukan diskusi.
“Bagaimana kalau kita ambil cerita rakyat dari daerah sini saja?” usul Nila.
“Misalnya legenda Nyai Roro Kidul?” kata Diriya.
Kirana menggeleng pelan. “Itu sudah terlalu umum. Hampir setiap tahun ada yang mengangkat cerita itu.”
mereka diam sejenak.
Lalu, entah kenapa, sebuah nama melintas di kepala Kirana, Putri Lulut dari Danau Setra.
Kirana bahkan tidak tahu dari mana ia mendengar nama itu. Tapi seperti ada dorongan untuk mengatakannya.
“Ada satu cerita yang mungkin belum banyak diketahui,” kata Kirana perlahan. “Judulnya Putri Lulut dari Danau Setra.”
Keduanya saling berpandangan.
“Putri Lulut? Aku belum pernah dengar,” gumam Nila.
“Kalau begitu, itu bisa jadi pilihan yang menarik,” sambung Diriya. “Kamu tahu detailnya, Na?” tanya Diriya
Kirana mengangguk ragu. “Belum. Tapi aku rasa... aku bisa mencari tahu.”
Malam Hari di Kamar Kirana.
Malam itu, Kirana duduk di meja belajar sambil membuka laptop. Kirana mengetik nama Putri Lulut di mesin pencarian, tapi hasilnya nihil. Tidak ada artikel, berita, atau bahkan catatan apapun tentang cerita itu.
Kirana bersandar ke kursi, bingung.
Tiba-tiba, lampu kamar Kirana meredup. Udara menjadi dingin. Helaian rambutku berdiri seperti tersentuh listrik.
Seseorang hadir.
“Aku tahu kau mencariku.” ujar sosok itu
Suaranya lembut, namun menggema. Di sudut ruangan, sesosok bayangan mulai terbentuk. Wujud seorang perempuan muda dengan gaun panjang yang basah. Rambutnya panjang menutupi sebagian wajah, dan kulitnya pucat seperti bulan.
“Kau... Putri Lulut?” tanya Kirana, menahan getaran dalam suara.
Dia mengangguk. “Namaku dulu Lulut. Aku hidup ratusan tahun lalu di sebuah desa yang kini telah tenggelam.”
Jantung Kirana berdetak cepat.
“Kenapa kamu muncul padaku?” tanya Kirana
“Aku ingin ceritaku didengar kembali. Aku ingin orang tahu kebenarannya. Aku ingin... pembebasan.” ujar sosok itu
Lalu Lulut mulai bercerita. Suaranya tenang, namun menyimpan luka dalam.
“Aku adalah anak kepala desa yang tinggal di dekat Danau Setra. Suatu hari, danau itu mulai meluap. Banjir tak kunjung surut. Warga panik. Dukun desa berkata, hanya pengorbanan jiwa murni yang bisa menenangkan roh air.” ujar Lukut
Ia menatap Kirana, matanya berkaca-kaca.
“Dan mereka memilihku.” lanjut sosok itu pelan
Kirana terdiam. “Kamu... dikorbankan?” tanya Kirana
“Ya. Aku dijadikan tumbal, dijatuhkan ke dalam danau saat bulan purnama. Sejak itu, desa itu memang tidak pernah kebanjiran lagi. Tapi aku... tidak pernah tenang.” jawab sosok Lulut
Kirana memejamkan mata sejenak. Bayangan seorang gadis muda dijatuhkan ke danau oleh orang-orang yang ia percayai membuat dada terasa sesak.
“Aku akan menceritakan kisahmu,” janji kirana.
“Tapi aku butuh bukti. Aku butuh data, agar teman-temanku percaya.” lanjut kirana
Lulut mengangguk. “Pergilah ke Perpustakaan Lama di Desa Sindang Rawa. Di sana, ada catatan kuno tentang kejadian ini.”
Lalu sosoknya menghilang perlahan, menyisakan aroma bunga danau yang lembut.
Dua hari kemudian, Kirana mengajak Nila dan Diriya ke Perpustakaan Lama yang disebut Lulut. Bangunannya tua, berdinding kayu gelap, dan dipenuhi debu.
“Kamu yakin ini tempatnya?” bisik Nila.
Kirana mengangguk. “Aku dengar dari seseorang yang pernah membaca tentang cerita rakyat di sini.”
Meraka masuk dan langsung disambut udara lembab dan sunyi yang menyesakkan. Penjaga perpustakaan, seorang pria tua, hanya mengangguk ketika aku bertanya tentang buku-buku daerah.
Setelah satu jam mencari, Kirana menemukan buku lusuh berjudul Catatan Ritual Kuno Desa Setra.
Kubuka pelan, dan di halaman tengah, tertulis nama: Lulut. Anak Kepala Desa. Pengorbanan di Danau Setra. Tahun 1798.
Tangan Kirana gemetar. “Ini dia...”
lalu mereka mengambil buku itu dan mulai membaca cerita itu hingga selesai.
Beberapa hari berlalu
Malam sebelum presentasi, Lulut kembali muncul.
“Terima kasih,” katanya lembut. “Tapi aku masih belum tenang.”
“Kenapa?” tanya Kirana
“Karena ada yang memalsukan kisahku. Di antara penduduk dulu, ada yang menulis bahwa aku sukarela dikorbankan. Padahal aku dipaksa.” jawab Lulut
Kirana terdiam.
“Bolehkah aku hadir saat presentasi itu?” tanyanya.
Kirana menatapnya. “Jika itu bisa membuatmu tenang... silakan.”
Hari Presentasi di mulai
Ruang kelas penuh dengan ketegangan. Kirana maju ke depan, membawa buku catatan dan salinan halaman dari perpustakaan.
“Selamat pagi. Hari ini, kelompok kami akan mempresentasikan cerita rakyat yang berasal dari wilayah Danau Setra, berjudul Putri Lulut.” ujar Kirana
Saat Kirana mulai bercerita, angin dingin tiba-tiba masuk dari jendela. Listrik bergetar. Suara pelan mulai terdengar, hanya bisa didengar oleh mereka yang peka.
bersambung
Hari Presentasi di mulai
Ruang kelas penuh dengan ketegangan. Kirana maju ke depan, membawa buku catatan dan salinan halaman dari perpustakaan.
“Selamat pagi. Hari ini, kelompok kami akan mempresentasikan cerita rakyat yang berasal dari wilayah Danau Setra, berjudul Putri Lulut.” ujar Kirana
Saat Kirana mulai bercerita, angin dingin tiba-tiba masuk dari jendela. Listrik bergetar. Suara pelan mulai terdengar, hanya bisa didengar oleh mereka yang peka.
“Aku... tidak pernah bersedia...” seru Lulut
Sontak beberapa murid menoleh ke belakang. Sebagian merasa merinding, sebagian mulai gelisah.
Kirana melanjutkan, membacakan isi dari catatan kuno itu, lalu berkata:
“Putri Lulut bukan hanya legenda. Ia adalah korban. Korban ketakutan, korban budaya, korban tradisi. Dan melalui kisah ini, semoga ia bisa tenang.”
Setelah Presentasi
Kelas hening. Tidak ada yang berani bersuara selama beberapa saat. Ibu Lestari akhirnya bertepuk tangan perlahan, diikuti oleh siswa lain.
“Sangat menyentuh dan berbeda. Terima kasih atas keberanian kalian mengangkat kisah yang belum pernah terdengar sebelumnya.”
Kirana menarik napas lega.
Malamnya, Lulut datang untuk terakhir kalinya.
“Terima kasih, Kirana,” katanya. “Sekarang aku bisa pergi...”
Lalu ia tersenyum. Dan cahaya lembut menyelimuti dirinya sebelum perlahan menghilang.
Sejak hari itu, Kirana tahu bahwa kemampuanku bukan kutukan.
Ia adalah amanah.
Selama masih ada arwah yang belum tenang, selama masih ada cerita yang terkubur, aku akan mendengarkan.
Dan mungkin... membagikannya
...----------------...
Sudah satu minggu berlalu sejak kisah Putri Lulut dari Danau Setra berhasil Kirana dn teman temanya presentasikan. Kisah itu tidak hanya membuat kelas mereka terpukau, tapi juga membuat Kirana semakin yakin bahwa kemampuan miliknya bisa digunakan untuk membantu mereka yang belum tenang.
Namun ketenangan itu tidak berlangsung lama.
Hari Kamis, saat matahari bersinar malu-malu dan langit mendung menggantung, sekolahku tiba-tiba diguncang kabar aneh.
Ruang musik yang selama ini jarang dipakai mendadak menjadi pusat perhatian.
Semua bermula dari cerita Pak Seno, penjaga sekolah. Ia dikenal sebagai pria yang tidak mudah takut, walaupun sering mendapat tugas ronda malam.
“Jam dua belas malam saya dengar suara gamelan dari ruang musik,” katanya saat ngobrol santai di kantin.
“Tapi waktu saya buka pintunya... kosong. Nggak ada siapa-siapa. Bahkan alat musiknya pun masih tertutup kain.”
“Ah, masa, Pak? Jangan-jangan Bapak ngantuk, jadi ngelindur?” sahut salah satu siswa, tertawa.
Namun Kirana tahu, dari caranya bercerita dan getaran suaranya, Pak Seno tidak mengada-ada.
Kirana mulai merasakan hawa yang tak biasa di sekitar gedung musik itu seperti desir angin yang terlalu dingin, dan bisikan pelan yang hanya bisa kudengar saat melewati lorong menuju ruang itu.
Niat Menyelidiki pun di lakukan oleh Kirana.
Sepulang sekolah, Kirana mengajak Nila dan Diriya serta Kezia kembali ke ruang musik.
“Apa kamu yakin ini ide bagus?” bisik Nila sambil melirik ke sekeliling lorong kosong.
“Kita hanya lihat-lihat sebentar saja,” jawab Kirana tenang, meski dalam hati ikut deg-degan.
Pintu ruang musik tua itu berderit saat dibuka. Bau debu dan kayu lapuk langsung menyergap hidung. Di dalamnya, berbagai alat musik tradisional tertata rapi. Ada gamelan, gong, angklung, bahkan sebuah kecapi yang diletakkan di atas meja kayu panjang.
Namun ruangan itu sangat... dingin. Tidak seperti ruang biasa. Nafas mereka berempat bahkan tampak membentuk uap tipis.
Diriya melangkah pelan ke arah gamelan, lalu membuka kain penutupnya.
“Kalian dengar itu?” bisik Kirana tiba-tiba.
mereka semua terdiam.
Deng... deng...
Bunyi gamelan pelan terdengar. Padahal tidak ada yang menyentuhnya.
Tiba-tiba, lampu ruangan berkedip. Dingin semakin menusuk. Dan dari arah sudut ruangan, kabut tipis mulai muncul.
Sebuah sosok muncul perlahan wanita muda berbaju kebaya warna merah, rambut disanggul, dan wajahnya... tidak utuh. Sebagian wajahnya tampak seperti hangus terbakar.
kirana mundur setapak, menahan napas.
“Siapa kamu?” tanya Kirana perlahan.
Sosok itu menoleh pada Kirana. Matanya yang putih kosong menatap Kirana dalam.
“Aku Ratna...” bisiknya.
“Apa yang kamu butuhkan?” tanya Kirana
Suaranya terdengar seperti pecahan kaca. “Aku... ingin gamelanku dibunyikan lagi. Aku tidak ingin dilupakan. Aku dulu pengajar musik di sekolah ini. Tapi... aku mati dalam kebakaran ruang musik.” serunya
Ratna mulai bercerita dalam potongan-potongan suara.
Beberapa tahun lalu, ia adalah guru musik yang sangat dicintai. Ia melatih murid-murid dengan penuh semangat, terutama dalam seni gamelan.
Namun suatu malam, terjadi korsleting di ruang musik. Api menyala begitu cepat, dan Ratna terjebak di dalam, saat tengah menyusun partitur gamelan untuk lomba seni tradisional.
Tidak ada yang tahu bahwa ia masih berada di dalam ruangan itu. Saat api padam, tubuhnya telah hangus, dan sejak itu... tidak ada lagi yang mengajar gamelan.
Dan lebih menyakitkan lagi namanya tidak pernah disebut. Tidak ada penghargaan. Tidak ada upacara perpisahan.
Ia lenyap begitu saja dari sejarah sekolah.
“Aku tidak minta banyak,” kata Ratna. “Aku hanya ingin satu malam, satu malam gamelanku dibunyikan. Agar aku bisa menyelesaikan lagu terakhirku.” ujarnya sedih
Kirana terdiam. Kirana tahu, jika permintaannya tidak dituruti, arwahnya bisa menjadi tidak terkendali.
Kirana juga tahu, membunyikan gamelan malam-malam bukanlah hal yang biasa. Bisa dianggap main-main dengan budaya.
Namun ada rasa iba dalam hatinya
“Nanti malam. Pukul sembilan. Kita akan datang kembali.” putus Kirana akhirnya
Kirana, Kezia, Nila, dan Diriya diam-diam membawa kunci cadangan ruang musik yang di pinjam dari Pak Seno dengan alasan "butuh untuk latihan presentasi seni".
Mereka datang kembali pukul sembilan malam. Sekolah gelap dan sepi, hanya suara jangkrik dan tiupan angin yang menemani.
Begitu pintu ruang musik terbuka, mereka langsung merasakan hawa berbeda. Ratna sudah menunggu di dekat gamelan.
Kirana duduk di depan saron, sementara Kezia, Nila dan Diriya duduk di belakangku dengan waspada.
Ratna mulai membimbing Kirana, bukan dengan suara, tapi dengan bisikan di dalam kepala.
Dang... ding... deng...
Irama demi irama mulai terdengar. Awalnya pelan, kemudian semakin lengkap. Gamelan itu seperti hidup kembali.
Ratna menari di tengah ruangan. Wujudnya berubah, kini tampak cantik dan utuh, tak lagi hangus. Ia menari seperti penari klasik Jawa, gerakannya anggun dan dalam.
Lagu yang ia mainkan adalah lagu perpisahan tentang seorang guru yang mencintai musik, murid, dan pekerjaannya.
Air mata Kirana menetes tanpa di sadari.
Saat lagu selesai, Ratna menunduk, lalu tersenyum kepada kitana. “Terima kasih, Kirana. Sekarang... aku bisa pergi.”
Dan dalam kilauan cahaya tipis, tubuhnya menghilang. Aroma dupa dan melati menyelimuti ruangan.
Keesokan Paginya
Berita tentang suara gamelan di malam hari tersebar. Tapi kali ini, tidak ada rasa takut. Hanya keheranan.
Kepala sekolah menemukan ruangan gamelan rapi, bahkan lebih bersih dari sebelumnya. Di atas meja kayu, seseorang entah siapa meninggalkan sebuah partitur lagu berjudul Lagu Pengabdian Guru Ratna.
Tidak ada yang tahu siapa yang menulisnya. Tapi kini nama Ratna kembali disebut.
Dan di papan pengumuman, sebuah pengumuman dipasang:
“Mulai bulan depan, akan dibuka kembali kelas musik tradisional. Kita hidupkan kembali semangat Bu Ratna.”
Kemampuan kirana mungkin masih akan mendatangkan rasa takut, tapi sekarang aku tahu setiap arwah hanya ingin dikenang.
Dan kirana... akan menjadi penghubung mereka.
Siap mendengar kisah siapa lagi yang terpendam dalam diam.
Bersambung
Setelah kejadian di ruang musik, Kirana merasa sedikit lega. Arwah Bu Ratna kini telah tenang, dan sekolah mereka seolah mendapat energi baru.
Kegiatan seni kembali hidup, dan bahkan beberapa siswa mulai tertarik pada alat musik tradisional.
Namun, suasana damai itu hanya bertahan sebentar.
Karena minggu berikutnya, sesuatu yang lebih mengerikan muncul... dari arah tangga utara sekolah.
Awal Keganjilan pun terjadi hari itu
Tangga utara adalah tangga paling tua di sekolah kirana. Letaknya berada di belakang gedung laboratorium lama dan jarang dilalui siswa karena posisinya yang sunyi serta penerangannya yang minim.
Suatu pagi, Kirana mendengar cerita dari Wulan, siswa kelas sebelah, yang terlihat pucat saat duduk di kantin.
“Aku… aku lihat ada perempuan di atas tangga utara,” katanya pelan. “Dia duduk di anak tangga paling atas… rambutnya panjang banget… bajunya seperti baju tidur, tapi lusuh dan kotor. Dia menatapku terus.” ujar Wulan ketakutan
Wulan mengaku sempat terdiam selama hampir satu menit, tak bisa bergerak, sebelum akhirnya perempuan itu menghilang secara tiba-tiba. Tidak berlari, tidak kabur lenyap begitu saja seperti asap.
Cerita itu membuat bulu kuduk Kirana berdiri.
Malamnya, saat Kirana duduk di kamar sambil membaca buku pelajaran, jendela kamarnya tiba-tiba bergetar. Kirana tahu, ini bukan getaran biasa.
Ada sesuatu yang ingin berbicara.
Kirana memejamkan mata, mencoba membuka jalur batinya
Dalam keheningan itu, sebuah suara masuk ke dalam kepala Kita lembut, namun dipenuhi rasa sedih.
"Kiran...na ... tolong... aku di tangga utara..." bisik suara itu
Seketika tubuh Kirana merinding. kirana merasa dingin menjalari tulang punggungnya. Arwah itu... memanggilnya.
Besoknya, Kirana tidak bisa fokus belajar. Kata-kata itu terus berputar di kepala.
Kirana tahu jika ia harus menyelidiki. Maka sepulang sekolah, Kirana mengajak Diriya dan Nila serta Kezia kembali terlibat.
“Kita ke tangga utara?” tanya Diriya sambil mengerutkan dahi. “Kamu yakin?”
“Sepertinya ada yang terjebak di sana,” jawab Kirana tenang
Mereka membawa senter, air garam, dan kantong kecil berisi daun kelor kering barang-barang yang selalu kirana bawa saat menghadapi energi tak terlihat.
Ketika mereka sampai di tangga utara, udara terasa lebih berat. Langit mulai gelap, dan angin bertiup lembut tapi dingin.
Mereka baru menaiki lima anak tangga ketika senter Diriya mulai berkedip.
“Ini mulai aneh,” gumam Nila pelan.
"Cepat berdoa kita jangan sampai terpisah" ujar Kezia
mereka menatap ke atas. Di anak tangga ke-15, sosok perempuan itu muncul. Rambutnya panjang menjuntai, menutupi wajahnya. Bajunya memang seperti baju tidur, berwarna putih yang sudah berubah menjadi coklat kotor. Kakinya telanjang, dan tubuhnya seolah melayang.
“Apa kamu… Butuh bantuan?” tanya Kirana dengan suara yang berusaha tenang.
Perempuan itu tidak menjawab. Ia perlahan mengangkat wajahnya—wajahnya... rusak. Separuh dari pipinya mengelupas, dan matanya hanya satu.
Diriya menjerit kecil dan mundur dua langkah bersama Kezia sedangkan Nila menahan napas sembari berpegangan erat dengan Karina.
Namun Kirana tetap berdiri.
“Namamu siapa?” tanya Kirana pelan.
“R... rina…” jawabnya akhirnya. “Aku jatuh dari tangga ini… tiga tahun lalu…”
Akhirnya mengalirlah kisah tragis Rina
Rina mulai menjelaskan kisahnya.
Tiga tahun lalu, ia adalah siswi kelas tiga. Satu malam, ia dipaksa menemani dua temannya yang hendak mencoba uji nyali di tangga utara. Saat mencoba naik sambil menutup mata, temannya iseng mendorongnya.
Rina terpeleset, dan kepalanya membentur sudut tangga. Ia meninggal di tempat.
Namun karena semua ketakutan, tubuhnya baru ditemukan keesokan harinya, dan teman-temannya menyebut peristiwa itu sebagai “kecelakaan tak sengaja”.
Rina tidak pernah mendapat keadilan. Dan jiwanya masih tertinggal, mengitari tangga itu, penuh dendam, penuh luka.
Rina Tidak Sendiri
Tiba-tiba, Rina berteriak suara jeritannya melengking dan memekakkan telinga. Cahaya senter mereka padam seketika.
Kemudian… muncul sosok lain di belakangnya.
Sosok pria tinggi, berkepala botak, mengenakan pakaian satpam. Wajahnya gelap, matanya merah menyala.
Dia mencengkram bahu Rina dengan kasar.
“Bukan urusanmu, anak kecil!” geramnya.
Kirana tercekat. Arwah itu bukan manusia biasa ia adalah penjaga gerbang antara dunia arwah dan dunia nyata, dan ia sedang mencoba menahan Rina agar tidak bebas.
“Lepaskan dia!” teriak kirana sambil melemparkan garam ke arah makhluk itu.
Sosok satpam itu mendesis, lalu menghilang dalam asap hitam.
Rina terjatuh, menangis, tubuhnya lemah.
“Aku… tidak tahu dia mengawasi aku selama ini,” ucapnya lirih. “Aku ingin bebas, tapi... setiap kali aku mencoba, dia datang…” tangis Rina
Malam itu, Kirana dan tiga temannya melakukan doa kecil untuk Rina.
Mereka meletakkan bunga kamboja dan lilin di puncak tangga utara. Kirana ketiga temannya memanjatkan doa, meminta agar Tuhan memberi ketenangan bagi Rina, dan membuka jalannya untuk pergi.
Rina berdiri di ujung tangga, menatap kami dengan air mata yang menetes.
“Terima kasih… Aku akan pergi…” pamit Rina
Lalu tubuhnya perlahan bersinar, menghilang dalam kabut putih.
Keesokan harinya, lorong menuju tangga utara dipenuhi aroma bunga kamboja. Tangga itu kini tidak lagi terasa dingin. Bahkan Pak Seno sempat berkata,
“Entah kenapa, sekarang lorong itu terasa lebih terang, ya?” ujar pak seno
Karina dan ketiga tanya hanya tersenyum.
Satu jiwa lagi kembali ke tempatnya.
Tapi Kirana tahu, masih banyak yang menunggu bantuannya, walau terdengar tidak masuk akal. Masih banyak kisah yang belum selesai.
Dan malam berikutnya Kirana justru kembali bermimpi tentang lorong gelap di lantai tiga sekolah.
Ada sosok anak kecil... tertawa pelan... memegang boneka dengan wajah menyeramkan.
Sudah dua malam berturut-turut Kirana bermimpi tentang seorang anak kecil yang duduk di lorong gelap, tertawa pelan sambil memeluk boneka.
Bonekanya bukan boneka biasa.
Kepalanya botak sebelah, matanya hanya satu, dan pada bagian perutnya, tampak noda merah seperti darah yang sudah mengering. Setiap kali Kirana mencoba mendekat dalam mimpi itu, anak kecil itu hanya berkata:
"Main… yuk… tapi jangan pergi kalau sudah mulai berdarah."
Kata-katanya tidak pernah berubah, seolah kaset rusak yang diputar ulang terus-menerus.
Dan anehnya, setiap kali Kirana bangun, Kirana menemukan boneka kecil di lantai kamarku. Boneka yang sama seperti dalam mimpi.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!