NovelToon NovelToon

Kelas Tujuh Untuk Zahrana

TUHAN, MAMPUKAH AKU?

Aku terbangun dari tidur dan beranjak dari peraduan menuju ruang tamu. Kulihat sekilas ke arah dinding dan menatap jam dinding analog yang berada di ruang keluarga yang ternyata sudah menunjukkan pukul dua malam. Di ruang tamu tak kutemukan motor mas Anton, suamiku di sana. Aku sudah menduga bahwa mas Anton tak akan pulang setelah teguran kerasku kemarin karena ia saja sampai rumah menjelang pukul empat pagi. Teguran tentang melarangnya pulang malam dan game online.

"Apa kamu tetap tak akan berubah mas? Pulang pagi dan dirumah selalu game. Saat pagi, waktu aku repot dirumah, kamu malah tidur. Seharian aku capek ngurusin anak-anak, ngurusin rumah," ujarku secara beruntun pada mas Anton.

Mas Anton menatapku dengan tatapan marah.

"Kamu mau mengatur keluarga? Apa kamu mau menjadi kepala rumah tangga. Ya sudah lakukan sesuai dengan keinginanmu," ucap mas Anton dengan nada tinggi.

"Aku sudah bosan dengan sikapmu Mas. Lima belas tahun menikah kamu tak berubah sama sekali."

Mata mas Anton terlihat nanar menahan amarah.

"Bosan? Ya sudah kalo begitu. Apa maumu?"

Aku menghela napas panjang untuk menghalau pikiranku yang kalut.

"Sepertinya mas Anton belum siap untuk memiliki tanggungjawab dalamnya pernikahan yang kita lalui selama lima belas tahun ini. Menurutku mas masih asik dengan duniamu sendiri. Masih suka keluar malam, hobi game online, nongkrong di warung kopi hingga larut malam. Lebih baik kamu tuntaskan saja hobimu mas. Kamu puas-puaskan kebiasaanmu itu. Untuk sementara kita sendiri-sendiri dulu. Kita introspeksi diri. Bila kita sudah menjadi pribadi yang lebih baik, mari kita bertemu kembali dalam versi terbaik kita masing-masing untuk merawat anak kita. Sungguh, aku sudah lelah sekali saat ini mas," ujarku dengan nada rendah.

Mas Anton terperangah.

"Oh, kamu mengusirku dari rumah peninggalan bapakmu ini? Oke, aku akan menuruti keinginan. Bila aku keluar dari rumah ini, resiko tanggung sendiri. Aku gak akan memberi nafkah sepeserpun padamu," ucap mas Anton berapi-api.

Aku menatap wajahnya sekilas.

"Kamu selalu salah paham. Aku hanya ingin kita sendiri dulu. Aku sudah lelah dengan sikapmu. Untuk nafkah, bagaimana aku bisa menyukupi kebutuhan rumah. Aku tidak bekerja karena masih mengurus anak kita," ucapku membela.

Ia menatapku dengan tajam.

"Aku tak peduli. Kau juga telah mengusirku. Aku akan pergi dari sini," ujarnya sambil berjalan ke arah kamar.

Kulihat dari jauh, mas Anton mengemasi pakaiannya, menaruh di tas ransel, kemudian mengeluarkan motor matic satu-satunya milik kami dan menghidupkannya dengan kasar. Ia meninggalkan rumah saat azan Subuh berkumandang dari mushalla yang terletak tak jauh dari rumah.

"Tuhan, mampukah aku menjalani kehidupan ini tanpa mas Anton? Aku memiliki tanggungan tiga orang anak ya Rabb," ucapku dengan lirih.

Kembali ke masa lalu

Mas Anton memiliki kebiasaan yang menurutku sangat buruk sejak dulu, saat kami masih tinggal bersama dengan almarhum dan almarhumah mertua. Saat ia masih kerja di diler motor, ia suka main game online hingga lupa waktu. Tak memperdulikan bagaimana kerepotanku mengurus Zahrana serta saat itu aku juga masih menjadi tenaga pendidik honorer di sekolah swasta yang berada agak jauh dari rumah. Mertua pun tidak menegur kebiasaan buruk tersebut hingga game online sehingga menjadi kebiasaan bagi suami. Saat aku menegur, mertua malah membela mas Anton.

"Biarkan saja Anton bermain game online. Game itu hiburan dia setelah penat bekerja. Toh ia masih dirumah. Tidak kelayapan di luar," ucap ibu mertua kala itu.

Kebiasaan game online mas Anton semakin menjadi karena ada pembelaan dari ibu mertua. Apalagi saat bapak dan ibu mertua tiada, game online malah semakin tak karuan saja karena mbak ipar akan selalu terdepan membela adik tercinta yang bungsu tersebut. Setelah PHK dari diler saat COVID melanda, pekerjaan mas Anton hanya bergumul di kasur sambil memegang gadget berwarna hitam di tangannya, padahal saat itu aku telah memiliki Mumtaz dan Arsenio yang masih balita. Meskipun kedua anakku merengek dan aku terlihat begitu kelelahan karena masih kondisi menyusui, dan mengasuh mereka sendirian,  mas Anton tak peduli sama sekali. Ia tetap asik dengan gadgetnya. Ia juga tak berusaha untuk mencari pekerjaan. Malah sebaliknya, aku yang begitu repot mencarikan pekerjaan untuknya, mengingat keuangan kami semakin menipis karena pesangon yang didapat dari kantor tak seberapa dan tak cukup untuk menyukupi kebutuhan kami sehari-hari.

Saat bapak masih ada, beliau sempat membantu perekonomian kami. Ibu juga sedikit membantu karena tak tega melihat keadaanku yang tak memiliki pekerjaan. Saat aku hamil si tengah, Mumtaz, aku memutuskan untuk resign karena tak ada yang mengasuh anakku kelak. Saat dibantu oleh orang tua, mas Anton malah semakin malas saja. Ditambah pula ujaran mbak ipar yang seakan memperkeruh suasana rumah tangga kami.

"Anton, nggak usahlah repot-repot cari kerja. Toh istrimu sudah dapat uang dari orang tuanya. Jadi gak perlu ngasih uang belanja." Itu kata mbak ipar yang kudengar dari slentingan teman akrabku yang membuat hati terasa perih.

Setelah mendengar perkataan tersebut, aku meminta orang tua menghentikan bantuan mereka agar mas Anton bisa mandiri dan tak bergantung pada orang tuaku mengingat kondisi mereka juga sudah tak lagi muda serta aku sudah memiliki berkeluarga. Tak enak rasanya. Bukannya membantu malah selalu merepotkan orang tua.

Saat ini mas Anton bekerja di toko furniture yang juga memiliki depo air isi ulang. Ia berangkat kerja pada pukul setengah delapan pagi, mengingat masuk kerja pukul delapan pagi karena perjalanan dari rumah menuju ke tempat kerja membutuhkan waktu tiga puluh menit. Setelah pulang kerja, biasanya mas Anton pulang kerja pada pukul enam atau tujuh malam, tergantung hari tersebut ada kiriman barang secara mendadak atau tidak, baik galon atau furniture ia tak langsung pulang ke rumah. Bila ada kiriman barang, ia akan sedikit terlambat untuk pulang kerja. Seusai pulang kerja, kerapkali ia akan bablas menuju rumah temannya yang memiliki warung dan terdapat wifi disana untuk bermain game hingga larut malam. Ia baru akan pulang sesuai dengan keinginannya. Jam sepuluh malam, jam dua pagi ataupun pada pukul empat menjelang subuh. Sesampainya di rumah, mas Anton segera mengambil bantal dan baru bangun jam tujuh pagi, menjelang berangkat kerja.

Saat ini aku memiliki tiga orang anak. Zahrana, usia dua belas tahun, Mumtaz, lima tahun dan Arsenio, tiga setengah tahun. Bapakku sudah meninggal dunia dua tahun yang lalu, sedangkan ibu masih menjadi TKW di negeri Jiran. Aku mengurusi anak dan kebutuhan sendirian saja di rumah dari pagi hingga malam. Saat pagi hari hingga malam sudah bisa dibayangkan bagaimana kerepotanku menghadapi dua balita tersebut. Belum lagi sulung yang kerapkali mengusik ketenangan para adiknya yang membuat suasana begitu gaduh. Bila suasana hati dan keadaan tubuhku sedang sehat, aku akan tersenyum menghadapi apapun ulah mereka. Bila suasana hati sedang tidak baik-baik saja dan tubuhku di fase kelalahan yang amat sangat, sudah bisa dibayangkan caraku menghadapi ketiga aku bisa berubah tiga ratus enam puluh derajat. Dari seorang ibu peri yang baik hati berubah menjadi monster jahat yang siap menerkam siapapun. Sungguh, aku merasa keadaanku saat sangat tidak baik-baik saja.

KEADAAN TAK LAGI SAMA

Azan Subuh terdengar berkumandang di mushalla yang tak terlalu jauh dari rumah. Aku segera beranjak dari kasur yang berada di ruang keluarga menuju ke kamar mandi untuk wudhu dan menunaikan salat subuh. Semenjak kepergian mas Anton tempo hari, aku memutuskan kami berempat, aku, Zahrana, Mumtaz, dan Arsenio tidur bersama di ruang keluarga. Entah mengapa aku merasa kurang nyaman saja bila tidur di kamar karena kurang bisa menjaga keadaan rumah pada saat malam hari. Sejak mas Anton tidak dirumah, aku kerapkali terjaga di malam hari untuk sekedar melihat keadaan rumah. Aku juga semakin menyadari satu hal bahwa kondisiku saat ini telah berubah. Keadaanku saat ini adalah tulang rusuk yang sekaligus merangkap sebagai tulang punggung bagi keluarga kecilku. Aku juga masih belajar berproses untuk keadaan yang sedemikian ini karena sekarang dalam kondisi sendirian. Tak ada bantuan dari siapapun, baik dari keluarga besar maupun dari saudara. Ibu yang saat ini menjadi seorang TKW di negeri Jiran, saat ini sedang fokus menabung untuk kebutuhan beliau sendiri yaitu umrah ke tanah suci serta kakak laki-lakiku satu-satunya, mas Rahman sedang fokus mencari uang tambahan karena anak sulungnya sedang memasuki jenjang SMA dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Mengingat dulu, saat mas Anton meninggalkan sering rumah, aku tak terlalu memikirkan masalah keperluan rumah tangga dan mengasuh anak, mengingat saat itu aku masih memiliki tempat bersandar yaitu almarhum bapak.

Segera kugelar sajadah untuk melakukan salat Subuh. Seusai salat, aku hanya terdiam di depan sajadah. Tak meminta do'a berderet apapun yang seperti biasa kulantunkan, do'a untuk keluarga, ketiga anak shalihah shalih, orang tua. Hari ini aku hanya ingin diam saja, bersimpuh di atas sajadah dan berusaha menenangkan hati untuk menyelaraskan antara pikiran tentang apa saja yang harus kulakukan saat ini dan hati yang terasa berkecamuk antara benci dan cinta pada mas Anton.

Seusai hati merasa tenang, sajadah dan mukena kembali kugantung dikayu yang berada di musholla mini, tepat berada di samping kamar mandi. Dengan hati masih kalut, aku memulai aktivitas seperti biasanya. Masak, mencuci baju, membersihkan rumah dan pekerjaan rumah lainnya.

"Bila bukan, aku, siapa lagi yang menyediakan kebutuhan ketiga anakku." Kata itu terdengar bergema di kepalaku saat ini. Tak lupa Zahrana juga membantu sesuai dengan kemampuannya. Menyapu, menjaga kedua adiknya saat aku melakukan aktifitas dan lain sebagainya.

Aku juga sudah berusaha mencari pekerjaan sampingan yang bisa dikerjakan di rumah, karena tak memungkinkan bagiku mencari pekerjaan yang penuh waktu di luar. Masih ada dua balitaku, Mumtaz dan Arsenio yang harus aku jaga selama dua puluh empat jam serta aku tak memiliki kendaraan apapun sama sekali. Hatiku juga merasa sungkan karena sudah dua minggu Zahrana berangkat dan pulang dari sekolah dibarengi tetangga. Tapi menemukan pekerjaan yang bisa dikerjakan dirumah itu, ternyata susah juga. Aku saat ini masih pengangguran, sementara pengeluaran untuk dapur tidak bisa berhenti. Yang bisa dilakukan hanya melakukan penghematan saja.

Sebenarnya, aku ingin menulis di platform penulisan. Tapi entah mengapa, aku merasa masih kurang percaya diri karena tak memiliki ilmu dasar tentang kepenulisan yang baik dan sesuai dengan ejaan yang benar. Saat aku melihat para penulis yang sudah terkenal di platform penulisan, acapkali membuatku minder sekali. Aku selalu bertanya pada diri dan hatiku, apakah aku mampu membuat cerita sebaik karangan mereka? Ah ... Belum berusaha saja, aku sudah rendah diri duluan. Alasanku yang lain, bukankah tulisan adalah cerminan dari diri kita sendiri sebagai penulisnya? Aku takut bila tulisanku secara tidak langsung membuka aib yang ada dalam diriku, maupun yang ada didalam rumah tangga yang tengah aku jalani bersama mas Anton yang tengah pasang surut seperti ini. Aku juga paling takut bila ceritaku dibaca oleh orang yang tak suka padaku, terutama dibaca oleh Mbak iparku? Apakah ia juga memiliki platform ini? Entahlah aku juga tak tahu. Tapi, aku butuh uang agar dapurku tetap bisa mengepul? Sungguh dilema sekali bukan?

Ini masih liburan kenaikan kelas, jadi Zahrana masih ada dirumah. Setelah semua makanan untuk sarapan pagi telah siap, aku meminta Zahra untuk menemani makan kedua adiknya. Hari ini aku hanya memasak nasi, sawi yang kubumbui sop. Sawi itu kubeli seharga dua ribu rupiah per ikat, lalu kubagi menjadi dua, untuk sayur pagi dan sore hari, serta menggoreng tiga papan tempe sebagai lauk. Sederhana saja, yang penting memenuhi kebutuhan tubuh, seperti karbohidrat, protein, dan mineral.

"Mbak Zahra, minta tolong ambilkan nasi untuk mas dan adik. Setelah makan, mas dan adik ditemani. Jangan dibuat menangis ya. Ibu mau ke gudang sebentar," pesanku pada putri sulung.

Aku membiasakan dari kecil, sebutan mbak, untuk Zahrana, sebutan mas untuk si tengah Mumtaz dan sebutan adik untuk si kecil Arsenio agar mereka terbiasa memanggil dengan sebutan saja. Menurutku, tak sopan rasanya bila adik memanggil kakaknya hanya dengan sebutan nama.

Zahra menatapku keheranan.

"Kenapa ke gudang bu?" Tanyanya penasaran

"Mau melihat sepeda pancal milik ibu. Mau ngecek apakah masih bisa digunakan atau tidak? Kalau masih bisa, nanti bisa mbak gunakan untuk ke sekolah," terangku sambil berjalan ke arah gudang yang berada di belakang rumah sembari membawa kemoceng ditangan sebelah kiri.

Kubuka pintu gudang yang terbuat dari seng dan kulihat sepeda mini berwarna biru masih ada di sana. Kukeluarkan sepeda tersebut dan membersihkan dengan kemoceng yang kubawa dari rumah. Kulihat ragangan sepeda masih terlihat bagus, tapi terlihat berkarat di bagian roda, karet ban roda juga terlihat mengumpul, baik untuk bagian depan maupun belakang serta bagian dudukan yang sudah mulai mengelupas bagian penutupnya.

Kubawa sepeda mini berwarna biru yang catnya sudah mengelupas di sana sini ke depan rumah dan menuntunnya ke tukang servis sepeda yang berada tak jauh dari rumah.

"Mbak Siti, mau servis sepeda?" Tanya pak Samain, tukang servis tersebut.

"Iya pak."

Pak Samain menatap sepeda miniku lekat-lekat.

"Mbak, ini nanti habis banyak lho. Ban bagian depan dan belakang, baik ban dalam maupun luar sadel, rem," jelas pak Samain padaku.

Aku terdiam sesaat.

"Maaf pak Samain. Saya mau tanya. Kira-kira nanti habis berapa ya?" Tanyaku agar aku bisa memastikan servis sepeda mini berwarna biru habis berapa agar aku tetap memiliki uang untuk mengepulkan asap dapurku.

Kening pak Samain berkernyit tanda berpikir.

"Mungkin kira-kira habis seratus ribuan mbak soale nanti tambah rem juga," jelas pak Samain.

Aku masih punya sisa uang bila ternyata biaya servis seratus ribu.

"Ya pak. Mau tanya, kalau tambah keranjang di depan sepeda, berapa ya?" Selidikku lagi.

"Tergantung mbak. Kalau keranjang biasa, empat puluh ribuan mungkin sudah dapat," jelas pak Samain.

"Tambah keranjang ya pak. Biar bisa buat menaruh tas Zahrana."

"Iya mbak."

"Ini mohon jenengan belanjakan ya pak. Saya izin pamit. Terima kasih njeh pak," ucapku sambil mengulurkan tiga uang pecahan lima puluhan berwarna biru pada pak Samain.

"Ya mbak. Nanti kalau sudah selesai, sekalian saya antar. Besok sudah selesai insyaallah."

"Terima kasih pak. Saya pamit dulu," ucapku pada pak Samain.

Sesampainya di rumah, Zahrana menghampiriku.

"Sepedanya mana bu?" Tanya Zahrana.

"Masih diservis sama pak Samain," balasku.

Si tengah, Mumtaz tampak ikut menghampiri.

"Bu, ayah kapan pulang?" 

Aku masih bisa menjawab pertanyaan yang lain, tapi untuk satu pertanyaan itu, bagaimana aku menjawabnya. Sungguh, aku masih bisa menahan semua beban yang ada dalam hati, tapi saat anakku mencari sosok ayahnya, hatiku seakan luruh. Tapi meminta mas Anton untuk kembali ke rumah, sementara ia masih belum merubah sikapnya, masih asik pulang malam dan game online, itu seakan menambah garam pada luka yang tengah menganga. Sakit sekali.

HARI MINGGU

Saat ini liburan kenaikan kelas selama satu bulan. Ada rasa syukur tak terhingga dan sedikit bernapas lega mengingat untuk sementara bisa menghemat pengeluaran untuk kebutuhan setiap hari karena berkurang satu pengeluaran yaitu untuk uang saku bagi Zahrana dan Mumtaz.

Kubuka map rapot bersampul hitam milik putri sulungku, Zahrana. Tertera jelas disana, ia naik ke kelas enam. Aku sudah bisa menebak, ia pasti naik karena dari kelas satu hingga saat ini, Zahrana selalu masuk lima besar peringkat kelas. Tahun ajaran ini, ia mendapat peringkat dua.

Mengingat Zahrana sudah kelas enam, aku sudah berpikir untuk mencari informasi tentang kelas tujuh. Aku butuh persiapan ektra jauh-jauh hari karena aku hanya sendirian dalam menyukupi kebutuhan rumah tangga

Kuketik pesan di gawai jadul merek samxxxx merek Jxx yang terlihat cuil disana sini karena terbanting oleh duo bocilku yang super duper aktif. Aku mengirimkan pesan pada Nana, sahabatku.

Assalamu'alaikum

Na, apa kabar?

Maaf aku mengganggu

Mohon info beasiswa untuk kelas enam yang akan ke kelas tujuh ya?

Aku sedang ada masalah saat ini

Terima kasih

Kutekan tombol kirim pada gawai tersebut. Disana terlihat masih centang satu yang berarti wanita itu masih sibuk dengan urusan dapur, atau ia tengah sibuk dengan keluarga kecilnya, mengingat hari ini adalah hari minggu yang berarti hari libur dari rutinitas mengajar dan hari berkumpul bersama keluarga. Saat di rumah, selain guru, IRT, ia juga merangkap kerjaan sebagai florist. Mungkin saat ini, Nana sedang asik dikebunnya. Wanita itu sangat menyukai bunga. Kadang bunga yang dijual tak kunjung laku, ia pun biasa saja. Kadang ia malah menangis tergugu bila bunganya laku. Pernah saat bunga kesayangannya laku, ia malah menangis tersedu-sedu tiada henti.

"Kau tahu Siti, aku sebenarnya tak menjual bunga anggrekku. Tapi pembeli itu menawar dengan harga tinggi sekali. Aku takut bila anggrekku mati. Karena, biasanya, setelah ditawar dengan harga tinggi dan kita tak memberikannya, tumbuhan itu layu dan ... aku tak mau itu terjadi. Kuberikanlah bunga kesayangan itu padanya. Padahal aku begitu tulus merawat anggrek itu seperti anak sendiri," ujar Nana panjang sekali.

"Sebentar Na. Aku seperti tak asing mendengar kata tulus kurawat seperti anak sendiri ya?" Tanyaku pada Nana

Nana menyembik.

"Iya. Aku tahu. Slogan kecap sachet yang bungkusnya berwarna biru itu kan? Kamu ini. Temen lagi sedih malah nglawak. Embuh. Tapi ... Aku harus senang, apa susah ya atas lembaran gambar Presiden proklamasi ini ya?"

Aku menggeleng pelan.

Tak berselang lama, rona wajah Nana berubah.

"Mie ayam yuk Sit. Laper perutku ini. minta diisi, tapi sama yang enak," ujar Nana yang sudah selesai dengan tangisannya yang kutanggapi dengan senyum.

Nana, oh Nana. Cepet banget sedihnya ya.

Kuletakkan gawai dilemari bagian atas agar anak-anak tak mampu meraih gawai tersebut. Aku sangat berhati-hati dengan benda yang satu itu mengingat mas Anton seorang gamer dan anak-anak sering melihat sikap tersebut saat mas Anton sedang di rumah. Aku tak ingin anak-anak meniru sikap yang kurang baik dari ayahnya tersebut.

"Bu, ada pak Samain di depan," seru Zahrana dari halaman rumah. 

Aku segera melangkahkan kaki ke arah depan. Tampak sepeda mini berwarna biru itu sudah dikemudikan oleh Zahrana dan membonceng Mumtaz. Sang adik, Arsenio mengikuti kakaknya sambil berlari-lari.

"Mbak Siti, sepedanya sudah jadi. Zahrana sedang mencoba. Kali aja masih ada yang kurang nyaman, nanti saya servis kembali," terang pak Samain.

"Iya pak," sahutku.

Zahrana berhenti tepat dihadapanku. Arsenio terlihat terengah mengikuti sepeda yang dikendarai kakaknya.

"Mbak, apa masih ada yang kurang nyaman bila sepeda dipakai untuk berkendara?" Tanyaku pada Zahrana.

"Nggak ada bu. Terima kasih bu. Aku suka sepedanya," jawab putriku.

Aku menoleh pada pak Samain.

"Pak Samain, Zahrana sudah merasa nyaman dengan sepedanya. Terima kasih njeh," ucapku pada pria tersebut.

"Ya mbak. Bila sepeda mini itu dipakai dan masih kurang nyaman, mohon kabari saya mbak Siti. Kula pamit," jawab pak Samain undur diri.

"Inggih pak," jawabku pada pak Samain sembari menganggukan kepala.

Zahrana turun dari sepeda dan menghampiriku.

"Bu, aku boleh menemui ayah nggak? Ini hari minggu. Biasanya ayah kerjanya libur. Sepertinya kemarin juga tanggal ayah gajian. Aku ingin beli jajan bu," pamit Zahrana.

Tujuan mas Anton saat meninggalkan rumah biasanya ada dua, di rumah kakak sulungnya, mbak Nina. Tapi lebih sering di rumah peninggalan orang tuanya yang saat ini menjadi bagian dari adik ipar, Hadi. Hadi saat ini tengah merantau di Kalimantan. Ia kerapkali meminta tolong pada mas Anton untuk merawat rumah peninggalan orang tua tersebut.

Jarak rumah ke rumah mertua lumayan agak jauh menurut anak kecil. Jaraknya kurang lebih tiga kilo meter. Aku sangat khawatir bila mengizinkan Zahrana kesana karena jalan tersebut melewati sawah dan sungai.

"Nggak usah khawatir bu. Aku akan menjaga mas dengan baik. Ini juga masih pagi hari. Di sawah masih banyak orang," jelas Zahrana seperti mengetahui apa yang kupikirkan.

"Aku ingin ketemu sama ayah," sahut Mumtaz.

"Aku juga ikut," rengek Arsenio

"Adik nggak usah ikut. Sepedanya nggak muat. Ya sudah. Ibu perbolehkan ke rumah ayah. Mas tolong dijaga ya mbak. Setelah selesai, cepat pulang. Jangan mampir kemana-mana," ujarku pada Zahrana.

Zahrana mengangguk, tanda mengiyakan.

"Pamit bu. Assalamu'alaikum," ucap Zahrana yang kujawab dengan " Wa'alaikumussalam. Hati-hati dijalan."

Aku melihat kedua anakku yang tengah berboncengan hilang dari pandangan karena tikungan jalan dan menghampiri Arsenio untuk menenangkannya karena menangis ditinggal oleh kedua kakaknya.

"Anak ganteng kok nangis? Ayo masuk. Kita cari kertas ya. Katanya mau gambar robot," bujukku pada putra ragilku itu sambil menggandengnya berjalan ke dalam rumah.

"Ayo," jawabnya masih dengan sengukan kecil.

Aku bergegas mengambil kertas hvs dan krayon yang kutaruh didalam lemari dan memberikannya pada Arsenio agar ia merasa senang. Aku kembali ke kamar sebentar untuk memeriksa gawai yang kutaruh ditaruh diatas lemari.

"Semoga saja ada kabar baik digawai itu," ucapku dalam hati.

Aku melihat ada notifikasi di gawaiku. Pesan dari Nana.

Cek website say

Ada beasiswa sekolah bertaraf internasional di kota jogja

Ini sedang pembukaan tes tahap pertama

Untuk syarat-syarat cek juga disana ya

Nanti di rumah kan?

Aku ada beras sedikit buat kamu dan camilan untuk anak-anak

Paling agak sorean kesana

Nunggu Rachel les renang dulu

Kubaca pesan Nana sambil menangis. Aku begitu beruntung memiliki sahabat seperti Nana.

Aku membuka google dan mengecek website sesuai arahan dari Nana. Aku membaca keseluruhan website tersebut dan membaca semua prosedur dengan jelas terkait dengan beasiswa yang akan diberikan serta persyaratan apa saja sudah tertera dalam website tersebut.

Aku mengambil map yang terletak dilemari bagian atas dan memilih semua dokumen sebagai persyaratan beasiswa tersebut. Persyaratan beasiswa tersebut antara lain seperti surat keterangan aktif dari sekolah, KK, KTP kedua orang tua, rapot calon peserta penerima beasiswa dan piagam prestasi dari perlombaan yang selama ini diikuti oleh calon penerima beasiswa. Setelah semua dokumen persyaratan beasiswa terkumpul, kemudian aku mengemasinya dalam stop map bersampul kuning dan membawanya ke ruang keluarga agar aku bisa mengisi formulir secara online dengan tetap mengawasi Arsenio yang tengah menggambar robot di kertas HVS.

Setelah selesai mengisi semua data diri Zahrana secara online, aku kembali mengemasi persyaratan tersebut dan meletakkannya di lemari bagian atas. Kulihat jam dinding analog di ruang keluarga. Tak terasa sudah tiga jam Zahrana dan Mumtaz pergi dari rumah dan aku merasa khawatir karena mereka belum terlihat tanda-tanda akan segera pulang.

Saat aku berjalan ke halaman depan, Zahrana terlihat di ujung jalan. Saat sudah mendekat, baru terlihat kedua matanya begitu sembab.Sepertinya Zahrana habis menangis.

"Zahrana, ada apa?" Selidikku.

Zahrana terdiam sesaat dan menghela napas panjang.

"Ayah tadi bilang, katanya saat ibu punya uang, ibu ngusir ayah. Sekarang ibu nggak punya uang, malah menyuruh kami untuk meminta uang," jelas Zahrana.

Aku memejamkan mata menghalau pikiranku yang kacau.

"Lha mbak diberi uang sama ayah nggak?" Tanyaku ingin tahu.

Zahrana menggeleng pelan.

"Ibu tadi juga sudah bilang. Nggak usah kesana. Bila ayah ingin pulang, nanti juga akan pulang sendiri. Sabar ya mbak," ucapku pada sulungku tersebut.

Kuulurkan uang dua ribuan sejumlah tiga buah padanya.

"Maaf ya. Ibuk baru bisa memberi uang jajan sedikit sama mbak. Mbak dua ribu, mas dua ribu dan adik dua ribu. Tolong belikan jajan di rumah Mbah Jum ya. Cepat. Ini sudah jam dua belas siang. Nanti keburu tutup tokonya," nasihatku padanya.

Zahrana mengambil uang dengan wajah masam tapi dengan cepat melangkah pergi ke toko.

"Mas Anton, kali ini sikapmu benar-benar keterlaluan. Anakmu sendiri kamu perlakukan seperti ini," ucapku dalam hati.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!