NovelToon NovelToon

Mengejar Cinta Gadis Bercadar Gamon

BAB 1 : PENOLAKAN

Fiksi harap baca dengan bijak.

Dikantor pusat henz group—perusahaan nomor 1 didunia. Tepatnya, dilantai 60, didalam ruangan milik Arhan.

"Bella, aku mengagumimu. Mau kah kamu menikah denganku?"

ucap Lucky Raze—pria tampan berusia 35 tahun, berparas tegas dengan bulu halus di rahang dan kumis tipis.

Ia adalah pengusaha nomor dua di dunia dan ke dua di negara ini, seorang duda yang baru saja kehilangan istri dan anak tercintanya seminggu lalu. Meski hatinya masih berduka atas kepergian arhan, istri dan anaknya. Tanpa ragu ia menyatakan cintanya pada Bella, disaksikan Revan (adiknya lucky), Leon (asisten arhan) dan Sabrina (istri arhan sekaligus adik kembarnya Bella). Di dalam satu ruangan.

"Maaf, saya belum mau menikah dengan siapapun. Termasuk kamu, mas. Saya juga tidak punya perasaan apapun sama kamu. Tidak tertarik dengan kamu!"

Namun, jawaban Bella Salsabila Evalina—gadis cantik bercadar berusia 25 tahun itu. Sungguh, diluar ekspektasinya. Lontaran penolakan itu bagai hantaman keras, menyentak hati lucky, sakit tak berdarah.

"Carilah wanita lain, tapi jangan saya. Karena saya tidak bisa membalas perasaan kamu. Selain itu, kamu tidak termasuk kriteria laki-laki idaman saya!" Jawab Bella dingin, melenggang pergi keluar ruangan, meninggalkan lucky yang terpaku, tak menyangka mendapat penolakan mentah-mentah serta menusuk itu dari Bella. Sorot matanya memerah, tangannya terkepal, menahan amarah dan rasa kecewa yang membuncah dalam diam.

"Maaf kamu tidak termasuk kriteria laki-laki idaman saya! Hahahahahah!" Revan mempraktekkan gaya bicara Bella, menertawakan abangnya sendiri.

Lucky mengeraskan rahangnya, berbalik badan dan.

Bugh!

Kepala Revan dipukul dengan keras tanpa aba-aba. Lumayan melampiaskan kekesalannya pada Revan yang langsung terbungkam, tawanya lenyap. Adiknya itu meringis, memegangi kepalanya.

"Tega Lu bang!"

"Bodo amat! Suruh siapa ngeledek gue!" Desis lucky, mengangkat tangannya didepan muka Revan. "Sekali lagi ngeledek gue. Nih Bogeman ini gue layangin ke muka Lo, bonyok-bonyok sekalian." Ancamnya kesal bukan main.

"Sorry bang!" Revan mengatupkan bibirnya rapat-rapat.

Lucky tidak menjawab. Ia mengusap kepalanya dengan kasar, berulang kali, antara kesal dan malu setengah mati ditolak sehina itu didepan mereka-mereka.

"Jangan nyerah Luk! Pepet terus aje. Nanti juga luluh tuh!" Ucap Leon memberi semangat sebagai sesama pria.

"Kejarlah kakakku, kak lucky. Sebelum dia pergi lebih jauh. Semangat, kakak pasti bisa dapetin kakakku. Ayo kejar, deketin terus." Sabrina menyemangatinya, meskipun hatinya diliputi rasa kasihan dan tidak enak dengan lucky, yang ditolak separah itu oleh sang kakak.

Lucky berpikir sejenak. Benar, ia tidak boleh menyerah dan pasrah setelah mendapat penolakan pertama. Tanpa banyak bicara, lucky mengganguk pamit dan keluar ruangan.

Pria itu berlari-lari, menyusul Bella yang entah sudah dimana. Matanya celingukan ke kanan kiri, mencarinya namun Bella tidak ditemukan. tanpa peduli dengan karyawan cantik dan seksi dihadapan nya, Lucky masuk kedalam lift. Ia berdiri, nafasnya memburu memunggungi kelima wanita cantik yang saling lirik-lirikan, senyum-senyum sendiri, terpikat dengan pesonanya. Aroma parfum, menguar menyengat indera penciuman para wanita. Namun, lucky tidak peduli. Dalam pikirannya hanya ada Bella, Bella dan bella, ia ingin mencari Bella, bukan mencari wanita lain, bukan juga godaan sesaat.

Pintu lift terbuka dilantai dasar, segera lucky keluar. Pandangannya menyapu ke segela arah. Matanya tak sengaja menangkap sosok Bella yang tampak berbicara dengan satu laki-laki. Tidak akrab, hanya sebatas menyahut singkat dan menjaga jarak. Namun, Dimata lucky itu akrab dan cukup dekat. Ia bergerak cepat, melangkah tergesa-gesa, menghampiri keduanya.

"Ehem!" Suara deheman keras itu menyentak dua manusia itu.

"Tu-tuan lucky." Ucap pria itu terbata-bata.

"Ayo pergi! Jangan mengobrol-ngobrol dengan laki-laki lain. Saya tidak suka." Tekan lucky, menatap Bella dingin.

"Ap-"

"Maaf, tuan saya sedang berbincang-bincang dengan mbak Bella. Buk-"

"Saya suami dia! Mau apa kamu?" Potong lucky cepat, rahangnya mengeras, nadanya meninggi.

Bella melotot. Sementara laki-laki itu dan para karyawan yang mendengarnya langsung menoleh dengan raut wajah tercengang.

"Tap-"

"Lain kali jangan berbicara dengan laki-laki lain, mas nggak suka sayang!" Kata lucky segera menarik lengan Bella.

Namun, Bella segera menghempas. Bibirnya terbuka, ingin memarahinya. Sebelum kata-kata keluar. Tubuhnya diangkat lucky bak karung beras. Bella memekik kencang, memukul-mukul punggungnya. Lucky tak menghiraukan, ia membawa Bella pergi dari sini, meninggalkan mereka yang masih melongo.

*

*

Didalam mobil.

"Kamu apa-apaan sih! Ngaku-ngaku suami saya didepan mereka, nyentuh-nyentuh dan gendong saya lagi! Biar apa kamu gitu? Hah?" Cerocos Bella kesal, suaranya meninggi. "Saya gak suka sama sikap kamu, barusan!" Lanjutnya, bersandar dikaca mobil, memalingkan wajah, menatap ke luar.

Lucky berdecak pelan, meliriknya sekilas. "Suka-suka saya, mau nyentuh kamu atau tidak! Itu hak saya. Lagian sah-sah saja dong! Kamu kan ist—calon istri saya!"

Bella menoleh. Raut wajahnya merah padam, dadanya naik turun. "Tidak usah bersikap seenak jidatnya. Kamu pikir saya ini wanita pada umumnya? Yang rela disentuh-sentuh tanpa adanya ikatan pernikahan?"

Reflek, lucky menginjak rem mobilnya. Tubuh Bella terhuyung, dahinya nyaris terbentur dashboard mobil.

"Ka-"

"Ya sudah! Bagaimana kalau saya siapkan mahar, terus menikahi kamu sekarang?" Tanya lucky enteng, tapi serius.

"Saya tidak mau!"

"Kenapa? Bukannya kamu ingin disentuh, asal ada ikatan pernikahan?" Tanya lucky mengangkat sebelah alisnya, menatap Bella sembari mengulas senyum bahagia.

Bella melotot. "Saya tidak suka disentuh sama kamu!"

"Kamu!!" Lucky melepaskan seat beltnya, mencodongkan tubuhnya, mengikis sedikit jarak dengan Bella.

reflek Bella memundurkan tubuhnya, punggungnya menempel dipintu mobil.  pandangannya dialihkan kedepan, enggan menatap lucky. Jantungnya berdebar-debar, tak karuan. Entah karena takut, tak nyaman atau.....

"Bisa kah kamu berbicara baik-baik dengan saya? HM? Tidak mempermalukan saya didepan adik kamu, adik saya dan Leon. Sumpah! Saya malu sekali ditolak kamu dengan cara seperti itu. Rasanya harga diri saya hancur.... Mau ditaruh dimana muka saya?" Tanya lucky mengoceh, mengeluarkan kekesalannya.

"Saya tidak peduli. Saya memang nggak suka sama kamu, saya melakukan itu, agar kamu per-"

"Kamu!" Lucky mencengkram pipi Bella lembut. Mata mereka bertemu. "Hargai saya! Seperti kamu menghargai orang lain. Tidak seperti itu menolak perasaan orang lain. "Nafas lucky memburu, menerpa wajah wanita cantik itu. Mata Bella terpejam, tampak ketakutan.

"Ma-"

"Kamu harus bertanggung jawab!" Potong lucky cepat.

Bella memukul pergelangan tangan lucky, cengkramannya terlepas.

Ia menatap sinis lucky, tatapannya dingin menusuk. "Bertanggung jawab untuk apa? Untuk perasaan yang kamu buat sendiri? Kamu menikahi saya atas dasar nafsu brengsek kamu kan? lancang sekali kamu menyentuh-nyentuh saya. Saya saja yang pakai cadar berani kamu sentuh, apalagi wanita diluar sana?!" Sentak Bella, matanya berkaca-kaca, dadanya kembang kempis, emosi.

"Tidak usah menuduh saya!" Lucky mengeraskan Rahangnya, tidak terima dituduh.

"Jangan sentuh saya! Saya tidak suka!" Suara Bella bergetar, bukan karena takut, melainkan karena jijik dan tak nyaman bersentuhan dengan laki-laki bukan mahram.

"Bukankah wanita memang harus disentuh? wanita mana sekarang yang belum pernah disentuh?"

"Agama kamu apa? Apa kamu tidak mengerti adab? Nggak semua wanita bisa kamu sentuh sesukamu. Agama kami melarang laki-laki dan perempuan bersentuhan. Kecuali suami istri dan mahram." Jelas Bella nadanya yang meninggi, perlahan menurun, rendah namun tetap terdengar ketus.

Lucky menjalankan mobilnya kembali. "Saya non muslim."

"Oh, kamu non muslim ya?" Tanya Bella mengganguk paham.

Lucky bergumam. "Boleh saya tanya?"

"Silahkan!"

"Mahram itu apa mbak?"

"Mahram itu laki-laki yang haram dinikahi dan boleh melihat auratku. Dan kamu bukan mahram saya. Bukan salah satunya."

"Oh, jad— siapa saja yang mahram kamu?" Tanya lucky penasaran tentang Islam.

Banyak sekali larangan-larangannya. Pikir lucky.

"Ayah, kakek, saudara laki-laki kandung, paman dari pihak ayah dan ibu, keponakan laki-laki, dan suami." Jawab Bella menjelaskan.

Lucky mencerna setiap kalimatnya, sebelum akhirnya mengajukan pertanyaan. "Berarti saya boleh menikahi kamu ya?"

"Tapi saya tidak mau dinikahi kamu!"

Lucky dan Bella diam-diaman. Lucky menyetel musik, mengusir keheningan dan membuat menjadi lebih hangat dan santai.

"Jangan menyetel musik, itu larangan!"

"Ya ampun. Banyak sekali peraturannya! Musik gak boleh! Sentuhan gak boleh! Ribet!" Gerutu lucky, mematikan musiknya dengan kesal. Lagu pun hilang, tergantikan oleh keheningan dan tarikan nafas mereka yang mulai memanas dalam tensi berbeda.

Bella melipat kedua tangannya diatas dada. Raut wajahnya merah padam, segera membuangnya kesamping. Sungguh, hari ini ia sangat kesal dengan pria bernama lucky, lucky itu.

"Buka cadarmu! Aku mau melihat seberapa cantiknya wajah kamu!" Pinta lucky tegas.

"Apa kamu bilang??" Tanya Bella suaranya meninggi.

"Aku mau melihat wajah cantik kamu, seperti pas itu. Aku senang melihat paras indahmu, Bella." Ucap lucky yang pernah melihat wajah cantik Bella, tanpa mengenakan cadar. Demi tuhan, wajah Bella sangat mirip Sabrina, cantik, bersih dan glowing.

"Jangan kurang ajar!" Bella mencoba bersabar, nadanya pelan namun tegas.

"Kenapa kamu tidak mau? Padahal, kamu cantik loh. Kamu bisa jadi wanita karir, dengan cara memamerkan aurat? Maaf saya lancang, kenapa kamu begitu tertutup?" Tanya lucky meminta maaf, agak lancang.

"Dosa! Tuhan saya melarang wanita memperlihatkan auratnya. Bukan karena saya nggak mampu, bukan karena saya nggak percaya diri, tapi karena saya tunduk pada aturan-Nya."

Lucky menelan ludah, merasa tertampar oleh ketegasan itu. Bella melanjutkan, masih dengan nada tegas tapi kini sedikit lebih tenang.

"saya tidak butuh dunia mengakuiku karena cantikan yang saya miliki. Kalau saya ingin dikenal, biarlah karena akhlak saya. Bukan karena tubuh saya."

Biarkan tubuh saya hanya dilihat oleh laki-laki yang akan menjadi suami saya kelak," ucapnya mantap, tanpa gentar.

Lucky terdiam. Ucapan itu menampar egonya, sekaligus membuatnya bungkam dalam kekaguman. Tak ada lagi yang bisa ia bantah.

Bella menambahkan, lebih pelan tapi tetap tegas, "Karena kehormatan saya bukan untuk dipamerkan. Tapi untuk dijaga… oleh saya, dan oleh dia yang kelak berani datang dengan niat paling suci."

"Saya kagum dengan kamu, Bella. Kamu beda dari yang lain, bolehkah saya menikahi kamu sekarang juga?" Tanya lucky tak putus asa, gercep juga nih duda.

"Saya belum ada niatan menikah sekarang. Saya ingin fokus terhadap diri saya sendiri dulu." Ucap Bella.

Lucky menyimak setiap kata.

"Pernikahan bukan hal yang mudah, Bukan cuma soal rasa suka atau sekadar cocok. Tapi tanggung jawab, komitmen, dan perjuangan. Kalau hanya karena rasa penasaran atau kagum sesaat… maaf, saya nggak bisa." Ujar Bella. Sebenarnya bukan itu alasannya tidak mau menikah. Namun, hatinya masih terpaut pada laki-laki lain.

"Kamu luar biasa..... Gue gak boleh nyerah dapetin dia..... Oke, mulai sekarang gue jangan terlalu agresif.... Dia bukan wanita yang suka rela dirayu-rayu laki-laki lain." Ucap lucky serius dan melanjutkan kalimat miring dalam hati, paham.

"Mau diantar kemana kamu?" Tanya lucky.

"Ke rumah Sabrina."

"Kamu nginep disitu?" Tanya lucky.

"Kepo sekali kamu ini!" Ketus Bella tak suka.

"Ngegas Mulu!" Ujar lucky. " By the way, malam ini malam ketujuh atas meninggalnya arhan kan?" Tanya lucky berusaha mencari topik, menggaruk kepalanya.

"HM!" Bella bergumam, capek meladeni dan marah-marah terus dengan lucky.

*

*

Yang mau liat visual cek : cengzez_7

2

"Kita mampir ke restoran sebentar!" Ucap lucky tiba-tiba.

"Mau ngapain?" tanya Bella heran. Pasalnya, sejak tadi mobil lucky terus berputar-putar. Perjalanan yang seharusnya menghabiskan waktu 30 menit ke mansion Sabrina, nambah 30 menit lagi. Jadi 1 jam perkaranya.

"Mau makan." Kata lucky singkat.

"Tapi, saya nggak laper!"

"Emang saya ngajak kamu makan?" Tanya lucky dengan santai, melirik Bella tegas.

Wajah Bella memerah, menahan malu. "Ya kirain nawarin saya." Gumamnya pelan, terlalu pede nggak baik juga. Pikir Bella malu setengah mati.

Lucky terkekeh pelan, memarkirkan mobil tepat direstoran mewah miliknya. "Temani saya makan!"

"Saya tunggu dimobil, sana makan sendiri!" Ketus Bella, enak aja menemani lucky makan. Sedangkan, ia sendiri tidak makan, nonton doang gitu?

"Saya nggak ngajak kamu jadi penonton mukbang, Bella. Duduk, temani saya. Dan pesen apa kek, bebas pilih saja. Sekalian saya nyuruh kamu riview makanan direstoran milik saya ini." Jawab lucky menggulum senyum.

Bella mengernyit, lucky bisa menebak pikirannya?

"Boleh? Saya ditraktir nih?"

"Iya! Bella, kamu ini bawel banget sih jadi cewek! Cepetan atau mau saya turunin ditengah jalan?" Gemas lucky.

"Gak usah sok akrab panggil-panggil saya Bella." Ketus Bella. Turun dari mobilnya.

"Nama kamu kan emang Bella" Lucky ikut turun dari mobil. "Masa saya harus panggil 'nona galak + rewel, biar cocok sama sikap kamu?" Tambah lucky.

Bella mendelik ke arahnya. "Terserah. Asal jangan sok akrab sama saya!" Jawabnya, berjalan sambil menghentakan kakinya, geram.

"Siapa juga yang mau akrab?" sahut Lucky, menyusul langkah Bella dengan santai. "Saya cuma ngajak kamu makan, bukan ngajak nikah."

Bella berhenti mendadak, menatap tajam. "Ngajak nikah kepala kamu!"

Lucky nyengir, puas melihat reaksi Bella. "Tuh kan, galak lagi. Cocok banget panggilannya."

Bella mendengus, lalu berjalan cepat ke arah restoran. "Awas aja kalo makanmu lama, saya tinggalin!"

Lucky tertawa pelan. "Santai aja, Nona galak. Saya juga nggak betah lama-lama liatin kamu manyun terus. Bawaannya pengen saya cium!"

Langkah Bella terhenti. Ia berbalik badan dan menghampiri lucky, memukulinya dengan tas bertubi-tubi. Orang-orang yang melintas hanya bisa senyum-senyum, geleng-geleng kepala melihat pengusaha nomor 2 didunia yang dipukulin wanita.

"Sekali lagi, kamu ngomong gitu! Saya tampar mulut kamu yang kurang ajar itu, pake ini!" Bella mengacungkan sepatunya, digenggam tepat diwajah lucky.

Lucky menelan ludahnya susah payah. "Maaf, saya keceplosan tadi. Maksud saya, tadi mau cium bibir.... Bibir Revan, adik saya. Bukan bibir kamu. Jangan kegeeran ya." Fitnah lucky membawa-bawa adiknya.

"Gak lucu!" Ketus Bella setelah memasangkan sepatunya.

"Dih, siapa juga yang ngelawak! Dasar nona rewel, bibir cerewet, omongannya nyakitin!" Gerutu lucky pelan, menyusul, mensejajarkan langkahnya dengan Bella.

"Gimana restoran saya? Bagus?" Tanya lucky meliriknya. Bella menyapu pandangannya, lalu menoleh ke arah lucky, terdiam sejenak.

"Lumayan lah."

"Lumayan? Sebagus ini lumayan?" Tanya lucky tak terima, menatap Bella dengan ekspresi tak percaya. "Interiornya saya desain sendiri, loh. Lampunya impor, meja dari Italia, sampe bunga di pojokan itu saya pilih sendiri!"

Bella mengangkat alis, setengah malas. "Terus saya harus bilang 'wow' gitu?"

Lucky memutar bola matanya. "Nggak usah lebay, cukup bilang keren juga udah bikin saya senang."

Bella berdecak tipis. "Keren deh... buat orang yang overpede."

Lucky mendecak pelan. "Udah bagus saya ajak kamu ke sini. Besok-besok beneran saya tinggal makan sendiri."

"Silakan." Sahut Bella cepat.

Lucky tersenyum miring. "Tapi kamu tetep

ikut, kan?"

"Nggak lagi-lagi, saya malas sama kamu! Orangnya suka maksa-maksa, terlalu over"

Lucky tak tersinggung. "Kamu punya pacar?"

"Islam gak membolehkan pacaran. Dan saya belum pernah pacaran"

"Seumur hidup kamu belum pernah pacaran?" Tanya lucky melongo. Langka sekali makhluk seperti Bella didunia ini.

Tunggu, berarti Bella masih perawan dong karena belum pernah pacaran. Pikir lucky teori liar.

"Kamu nggak normal, masa belum pernah pacaran sih? Kamu suka sama cowok, nggak?" Tanya lucky menggaruk kepalanya.

"Suka!"

"Siapa?"

"Kepo!" Ketus Bella mempercepat langkahnya, seolah ingin menghindari pertanyaan itu. Obrolan terhenti.

Begitu masuk restoran, suasana langsung berubah. Tempat itu mewah—langit-langit tinggi dengan lampu gantung kristal, lantai marmer mengilap, dan dinding berpanel kayu elegan. Semua mata tertuju pada Lucky dan Bella. Beberapa senyum, lainnya heran.

Lucky segera mengajaknya ke ruang privat—ruangan eksklusif dengan pemandangan taman kecil dan air mancur. Hanya ada satu meja, dua kursi empuk, dan bunga mawar putih di tengahnya.

Ia tahu, Bella bukan tipe yang nyaman jadi pusat perhatian. Maka, siang itu, Lucky menghargainya dengan diam, menjaga wanita bercadar itu yang susah payah makan, harus tertutup di ruang tenang, dan aman ini.

"Enak makanannya?" Tanya lucky penasaran.

Bella mengganguk pelan.

"1-10 Rate-nya berapa?" Tanya lucky antusias.

"8,5"

Lucky tersenyum. Keduanya kembali terdiam, sunyi tidak ada obrolan. Lucky menatap Bella sembari mencari-cari topik.

"Kenapa kamu memakai cadar? Bukankah cadar itu sunah saja?" Tanya lucky nada suaranya pelan. setelah duduk menghadap Bella yang sedang menyantap makanan, menyingkap cadarnya sedikit namun tidak terlihat sedikitpun bibirnya.

Gitu-gitu, lucky pernah mempelajari sedikit saja, dengar dari hp lebih jelasnya.

Bella menelan makannya, sebelum akhirnya menjawab tanpa menatapnya. "Karena saya ingin menjaga apa yang bukan hak semua orang untuk lihat."

Lucky mengangguk kecil, terdiam sejenak. Jawaban itu lebih dalam dari yang ia kira.

"Berarti kamu serius banget soal keyakinan kamu, ya?"

Bella tersenyum tipis di balik cadarnya. "Saya cuma berusaha konsisten. Bukan berarti paling benar, tapi ingin lebih baik."

Lucky menatapnya lama. Kali ini, bukan karena penasaran... tapi karena kagum. Bella tampak acuh, ia tidak menyadari lucky yang diam-diam menatapnya.

Lucky menyandarkan punggung ke kursi, pandangannya masih tertuju pada Bella. "Kamu beda ya… dari perempuan kebanyakan yang pernah saya temui." Katanya, lalu menyantap steak.

Bella menatap dingin. "Saya nggak niat jadi beda. Saya cuma jalani apa yang menurut saya benar."

"Termasuk nggak pacaran?"

Bella mengangguk. "Iya. Karena kalau serius, ngapain main-main?"

"Saya seriusin kamu nggak mau!" Decak lucky membahas yang tadi.

"Karena kamu bukan type saya....."

"Terus type kamu seperti apa?"

"Rahasia! Sudah jangan terlalu kepo! Saya lagi malas ngomong!" Ketus Bella. Setiap kali ada pertanyaan itu, sebisa mungkin ia menghindar. Jika tidak! Dia selalu keinget-inget pria yang ia kagumi sejak 7 tahun lamanya. Menyukai dalam diam, mencintainya dengan sepenuh hati. namun sayangnya pria itu sudah menikah, hal itu tentu saja melukai perasaannya.

Ada rasa ketidak relaan, namun ia bisa apa? Mau cemburu? Mau marah? Mau posesif? Buat apa? Bella nggak berhak melarang-larangnya karena dia Bukan siapa-siapanya.

Setiap hari ia berdoa, meminta kepada tuhan untuk menghapuskan perasaannya agar tidak menaruh perasaaannya pada seseorang yang telah memiliki istri. Namun, semakin ia berdoa. Perasaan ini justru membuncah diam-diam, mengakar tanpa izin. Setiap kali ia memohon kepada tuhan, berharap hatinya tenang tanpa adanya dia.... Yang hadir justru dia, bayangannya, rupanya, senyumnya, suaranya, dan segala hal yang membuatnya cinta dengan pria itu....

*

*

Perjalanan pulang.

Menempuh waktu 30 menit lebih sebelum akhirnya tiba di mansion milik sabrina

Mansion lima lantai milik Sabrina berdiri megah di atas lahan luas. Halamannya dipenuhi taman hijau, air mancur, dan pohon-pohon eksotis. Lucky memarkirkan mobilnya dulu. Turun dan membukakan pintu untuk Bella bak bodyguard.

"Makasih!" Cuek Bella turun begitu saja, melangkah pergi.

"Makasih doang? What?" Lucky menatap punggung gadis kecil itu dengan raut wajah tak percaya. Baru kali ini ada wanita secuek itu saat didekati dirinya. Biasanya para wanita diluar sana, berbondong-bondong mencari perhatian darinya—baik dengan senyuman, lirikan genit, bahkan tak jarang mereka mengejarnya hanya demi sapaan, meskipun singkat.

Lucky mengayunkan langkah kakinya secepat mungkin, kemudian langkahnya disejajarkan dengan Bella yang tampak cuek bebek, seolah tidak peduli dengan kehadirannya.

"Kau tidak menyuruhku masuk?" Tanya lucky tersenyum sumringah.

"Emangnya anda siapa ya?" Jutek Bella melunturkan senyuman lucky.

'nih cewek jutek banget dah! Bikin emosi melulu, Lama-lama gue cekik juga arghhhhh, habis itu gue banting ke ranjang!' batin lucky kesal. Ia mengelus dadanya, mencoba menebalkan kesabarannya yang setipis tisu.

"Kamu tidak mau menyambut tamu dengan baik?" Tanya lucky lembut. Meskipun dalam hati geram.

"Pergilah!" Usir Bella, mengibas-ngibaskan tangannya.

"Kamu nggak bisa bersikap lembut sekali saja dengan saya? HM? Saya sudah nganterin kamu loh! Minimal suruh mampir dulu kek atau buatin kopi gitu!" Oceh lucky tak mau menyerah membujuk Bella, berharap disuruh masuk dan disuguhkan kopi.

"Maaf ini bukan rumah saya, dan kalau kamu mau kopi! Silahkan ke warung," ketus Bella melonggos pergi dan berhenti didepan pintu. Sementara lucky mengikutinya sambil terus menggerutu sengit.

"Kamu kenapa ngikutin saya terus sih!" Kesal Bella protes.

"Suka-suka saya! Ini kan rumahnya arhan, bukan rumah kamu!" Ketus lucky, memprotes balik.

"Kamu!!"

Ceklek!

Tanpa meladeni Bella yang mengamuk, segera Lucky membuka pintu dan masuk kedalamnya. Meninggalkannya, Bella mengerjab-ngerjabkan matanya. Ia tersentak, lalu masuk kedalam rumah. Matanya menangkap sosok lucky yang tengah duduk, bersandar disofa dengan santai, sembari mengunyah cemilan, menatap kearahnya juga dengan dahi berkerut.

"Ka-"

"Siapa yang menyuruhmu masuk kesini?" Tanya lucky.

Tangan Bella terkepal kuat. "Saya adiknya Sabrina! Wajar dong disini! Lah kamu siapa? Tamu gelandangan yang nyasar?" Tanya Bella ketus, berkacak pinggang.

"Saya temannya almarhum Arhan! Masalah sama kamu? Lebih berhak mana? Arhan atau kamu? Arhan saja tidak pernah mengusir saya! Lah kamu, kok ngusir-ngusir saya" Ucap lucky yang baru 2 kali masuk kerumah arhan dan baru berteman 1 hari sebelum akhirnya arhan meninggal......

Mata Bella memerah seketika. "Iyalah! Dia nggak pernah ngusir! Orangnya sudah meninggal dunia! Kalo dia masih hidup juga pasti bakalan ngusir kamu, jika sikap kamu seperti ini. Saya aja kesel! Apalagi dia!" Ketus Bella menyerocos tanpa henti, mendelik tajam.

"Arhan orang baik! Dia ramah, gak Setega itu..... Jangan menjelek-jelekkan keluarga saya!"

"Semenjak kapan arhan keluarga kamu?" Pekik Bella memegang kepalanya, kesal sendiri menghadapi sikap lucky yang seenak jidatnya ini.

"Sudah saya anggap keluarga sendiri! Nanti juga saya bakalan menjadi bagian keluarganya,"

"Caranya?"

"Menikahi kamu!"

"Tidak Sudi! Lebih baik saya melajang seumur hidup daripada hidup dengan laki-laki tengil seperti kamu!" Ketus Bella, melempar lucky dengan bantalnya, lalu melenggang pergi. Membiarkan lucky seorang diri diruang tamu. Bodo amat, Bella kagak peduli, yang terpenting ia bisa ke kamar, menenangkan emosi yang menggebu-gebu sejak tadi.

"Allahuakbar! Capek banget! Dari sekian banyak laki-laki didunia ini. Kenapa harus dia yang paling menyebalkan," keluh Bella, mengelus-elus dadanya beristighfar. Ia menjatuhkan tubuhnya diatas ranjang milik arhan dan Sabrina, membiarkan dirinya tenggelam dalam empuknya kasur. Mengistirahatkan diri sejenak, matanya menatap langit-langit kamar, mencoba menenangkan Pikirannya.

Namun, bukannya tenang, bayang-bayang seseorang yang diam-diam ia cintai justru muncul, menggangu, memenuhi benaknya.

Ia mengubah posisinya, bersandar dipunggung ranjang. "Hiks....." Bella terisak kecil, menggigit bibir bawahnya, menahan air mata yang mulai mengenang. Perasaannya langsung sedih, kecewa, lelah dan rindu dengan laki-laki itu.

"Ya Allah.....datangkanlah dia kembali..... Aku ingin melihatnya secara langsung..... Aku rindu....." Lirih Bella menatap kesembarang arah dengan mata berkaca-kaca. Pandangannya tiba-tiba terhenti pada sebuah bingkai foto diatas nakas. Dahinya mengernyit, matanya memicing menatap bingkai foto tersebut. Ia membekap mulutnya, air matanya seketika tumpah tanpa bisa ditahan. Perlahan, tangannya yang gemetar meraih bingkai foto diatas nakas itu.

"Dia...." Lirih Bella menatap laki-laki yang tampak tersenyum difoto itu. Senyumnya meneduhkan, wajahnya begitu tampan, lembut, hangat dan berseri-seri.

"A-aku rindu kamu....." Bella tersenyum, jemarinya mengelus-elus foto laki-laki itu, lalu tatapannya menajam kala melihat sosok wanita cantik, tersenyum sangat manis disamping laki-laki itu, tampak mesra dirangkul oleh laki-laki tersebut.

*

*

Yang mau liat visual cek : cengzez_7

3

"Dia kemana sih! Ada tamu bukannya nyambut! Malah ditinggal sendirian, gak diajak ngobrol! Jangankan ngobrol! Dibuatin kopi aja kagak! Apa-apa ngambil sendiri! CK!" Oceh lucky komat-kamit, menengak air minuman di botol kemasan yang disediakan dimeja kaca. Sejak 30 menit tadi, lucky seorang diri disini, menunggu Bella. Namun, wanita itu tak kunjung-kunjung datang membuatnya gundah.

Siang mulai bergeser menuju sore. Jam hampir menunjukkan pukul empat. Suasana masih sepi. Lucky  sibuk menyantap cemilan ringan diruang tamu, tetap setia menunggu kedatangan Bella. Meski berjam-jam lamanya. Raut wajahnya bukan lagi sekedar kesal, namun jengkel bercampur heran dan bingung.

"Apa dia lupa ya? Ketiduran? Atau memang sengaja ninggalin gue disini?" Gumam lucky mulai menerka-nerka, pikirannya penuh pertanyaan.

Tatapannya tajam menembus dinding kosong didepannya, kakinya berulang kali menghentak di lantai, menciptakan suara ritmis menujukkan kejengkelannya. Sesekali ia melirik arlojinya, lalu menarik napas panjang.

Semakin lama menunggu, semakin resah. Perasaannya mulai campur aduk, kesal, jengkel, gelisah, penasaran dan entah apa.

Disela-sela menunggu. Bunyi dering dari hpnya memecah keheningan. Sekilas nama tak asing terpampang diponselnya.

Tanpa pikir panjang, ia mengangkatnya.

"Ya kenapa?" Tanya lucky dengan nada malas.

"Maaf tuan ganggu. tuan..... Anda dimana?" Tanya Nero—asisten lucky.

"Saya lagi dirumah orang, emang kenapa?"

"Tuan, mohon maaf lancang. Bukankah anda bilang mau mempelajari banyak hal tentang perusahaan ini lebih dalam lagi? Ada beberapa hal penting yang harus saya ajari dan tuan lihat secara langsung." Jelas nero. Pasalnya lucky memang baru mengurus perusahaan, maklum warisan.

Lucky memijat pelipisnya. "Saya tahu, nero. Tapi sekarang bukan waktunya. Saya lagi menunggu seseorang."

"Kalau begitu, Kapan bisanya tuan? Sudah beberapa hari ini, anda bolos bekerja dan saya lah yang menghandle semuanya sendirian." Cerocos nero diseberang sana, nadanya semakin tak sabaran.

"Sebenarnya kau yang bos atau saya sih?" Geram lucky emosi.

Nero terbungkam, hanya suara napasnya yang terdengar lewat sambungan telpon.

"Kau kirim videonya saja. Biar Saya bisa mempelajarinya lewat online, saya lagi malas ke perusahaan."

"Mana bisa gitu tuan! Kalau dipelajari lewat online dan langsung, hasilnya akan berbeda." Jawab Nero terdengar frustasi.

Lucky mengusap wajahnya, berusaha menahan gejolak emosi. "Aku tahu. Tapi sekarang bukan waktunya. Otakku lagi nggak bisa dipakai buat mikir angka dan laporan."

"Tuan… ini perusahaan warisan keluarga anda. Semua orang menunggu kepemimpinan Anda. Kalau Tuan terus begini, saya khawatir—"

"Nero!" potong Lucky tajam. "Kau pikir aku nggak ngerti tanggung jawabku? Aku cuma butuh waktu. Jangan paksa aku sekarang. Bekerja lah, aku bosnya disini! Aku yang membayar mu. Tugasmu itu menjalankan perintah, bukan menguliahiku!" Kesal lucky dengan suara meninggi.

"Maaf tua-"

Lucky langsung memutuskan panggilannya.

Ia mengusap wajahnya berulang kali secara kasar. memang benar perusahaan itu warisan dari keluarganya yang sempat dirampas keluarga Robert—pengusaha nomor 1 didunia sebelumnya, kini Robert dan keluarganya telah mati, dib*n*h olehnya secara diam-diam lewat bantuan yang diberikan arhan.

Tak ada satupun yang tahu dalang kematian mereka, bahkan publik. Selain lucky, arhan, Leon, Revan dan para pasukan milik Arhan. Dunia mengira kematian keluarga Robert karena sebuah tragedi tragis. Padahal, kematian itu adalah langkah strategis untuk merebut kembali apa yang telah dicuri. Hitung-hitung juga bentuk balas dendam lucky terhadap keluarga Robert yang tega menghabisi keluarganya sendiri, hingga menyisakan Revan dan dirinya saja.

Lucky menghembuskan napas berat. Bukan hanya tanggung jawab perusahaan yang membebaninya, tapi juga rahasia besar yang ia kubur dalam-dalam. Disembunyikan serapat mungkin dari pihak-pihak tertentu yang terus mengintai, gencar mengusut masalah kematian mereka. Dalam beberapa hari kebelakang, isi berita dimedia sosial, siaran dan platform lain, hanya membahas tentang kematian Robert dan juga kematian Arhan, tanpa ada topik lain.

Arhan putra Pratama lah yang membantunya merebut warisan keluarganya, sosok asing yang begitu berharga dalam hidup lucky. Namun, sayang, pria yang membantunya itu meninggal ditembak satu orang pengkhianat yang menyusup ke pasukannya. Hal itu membuat lucky sedih dan menangis tersedu-sedu, kematian arhanlah yang paling mengena dibandingkan keluarganya sendiri. Belum pernah ia sedih dan menangisi seseorang yang sudah meninggal separah itu, kecuali arhan. Jarak kematian Arhan kisaran 5 jam setelah kematian Robert dan keluarganya.

Disela-sela ia tenggelam dalam lamunannya sendiri. Suara langkah kaki disusul salam, menyentak kesadarannya. Lucky mengumpat dalam hati. Pasalnya ia tadi hampir nangis, namun terganggu dengan kehadiran mereka. Ia menoleh kesal ke arah para teman-teman yang berjumlah 13 orang (15 total semuanya jika ada Bella dan lucky).

"Lah! Lho ngapain disini bang?" Revan duduk dan mengajukan pertanyaan kepadanya.

"Lagi duduklah! Punya mata gak? Kalo punya, pake dong!" Ucap lucky ngegas.

"Santai aja kali bang, ngegas Mulu dari tadi. Lagi sensi tah? Abis ditolak mbak Bella! Hahaha!" Tawa Revan pecah.

Bugh!

Lucky menimpuknya dengan bantal sofa, tepat menghantam wajah Revan. Seketika tawanya lenyap. Revan mengerjab-ngerjabkan matanya bak orang linglung.

"Serius lu ditolak sama Bella, Luk?" Tanya Raka duduk disebelahnya.

Lucky menggeram kesal, menatap tajam Revan didepannya. "Ini semua gara-gara Lo setan! Ember banget mulutnya. Mereka jadi nanya-nanya kan!" Ucap lucky tanpa suara.

"Mampus!" Balas Revan tanpa suara dengan raut wajah mengejek, lalu menyeringai lebar.

"Sendirian aja disini bang?" Tanya eva—istrinya Revan.

"Iya, dari tadi sendirian Mulu."

"Mbak Bellanya kemana?" Tanya Sabrina mengedarkan pandangannya mencari-cari Bella.

"Nggak tahu! Kakak kamu tuh, menyebalkan sekali! Saya ditinggalin berjam-jam disini! Ada tamu bukannya disambut, malah dibiarin gitu aja. Mana orangnya gak balik-balik lagi!" Oceh lucky mengeluarkan unek-uneknya, mengadu pada Sabrina.

"Takut kali bang! Muka Lo soalnya muka-muka orang caboel! Makanya Bella was-was, milih ngindar!" Balas Revan bercanda dengan nada mengejek.

Lucky mendengus kesal. "Gak usah nuduh-nuduh Lo, muka baik-baik gini, bisa-bisanya dikatain muka orang caboel!"

"Memang muka orang-orang caboel! Suka maksa, suka menyentuh! Suka mengintimidasi lagi!" Suara Bella terdengar. Membuat semua kepala serempak menoleh.

"Suka ngintimidasi apa ya?" Tanya lucky mengerutkan keningnya, menatap gadis bercadar itu.

Bella menghempaskan bokongnya, duduk disamping Sabrina."Waktu maksa saya nemenin makan, terus ngomongin soal pacaran, habis itu... waktu ngeliatin saya, kayak mau telan hidup-hidup!"

Revan cekikikan. "Wah, bener-bener muka caboel, Bang!"

"Bohong! Gue gak pernah ngintimidasi kayak gitu ya..... Bella kamu jangan nuduh-nuduh ya. Saya kan cuman bertanya saja, alasan kamu gak mau pacaran. Oh, iya, kapan saya ngeliatin kamu ya? Perasaan saya ngeliatin makanan saya sendiri terus." Jelas lucky, menumpu sikunya diatas paha.

"Cieeee! Mbak Bella, udah makan duaan aja nih! Ehem!" Goda Sabrina mencolek-colek lengannya.

"Dinner date gak tuh!" Celetuk Revan ngakak, mereka ikutan tertular tawanya.

"Bukan dinner date. Saya cuman nemenin kakak kamu makan doang. Kalo nggak ditemenin ngamuk-ngamuk, marah-marah sama saya." Adu Bella melirik lucky sinis.

Tawa mereka terhenti. Semua mata tertuju pada lucky, sinis, kesal, bingung dan nanar.

Lucky menelan ludahnya susah payah. Ia mendelik tajam Bella, lalu mengalihkan perhatian. "Malam ini malam terakhir kan? Kalian pada ikut apa sih namanya tuh! Hajatan ya?"

"Tahlilan woi! Tahlilan!" Sahut mereka semua meralat.

"Nah itu maksud gue! Bukannya sama aja ya? Doa-doa terus bagiin makan?" Tanya lucky tak terlalu paham.

"Beda lah bang! tahlilan itu buat orang meninggal! Bukan pesta nikahan!" Sahut Kevin.

"Lo kira hajatan pas nikahan doang! Orang lahiran aja biasanya ngadain hajatan" Ketus Raka.

"Itu syukuran g*bl0k, syukuran! Bukan hajatan!" Sewot Revan yang mendapat teguran dari cewek-cewek.

"Mau syukuran! Mau hajatan! Mau tahlilan! Tetap sama aja! Sama-sama ngundang orang, terus makan!" Dengus lucky, menurutnya semua sama saja.

"Bedalah! Tahlilan itu bentuk doa buat orang yang udah meninggal, bukan sekedar kumpul terus makan!" sahut Raka, memutar bola matanya kesal.

"Iya! Kalau hajatan atau syukuran mah buat merayakan sesuatu. Lah ini buat kirim doa, bukan buat senang-senang," timpal Kevin.

Lucky mendengus kecil, "Ya intinya tetep makan bareng, kan?"

"Bang please lah.... Jangan disamain semua hal ke makanan!" Tekan Revan, menepuk dahinya.

"Sama aja lah! Ada doa, terus ngasih sesajen ke orang-orang!" Kata lucky membuat beberapa orang terbahak.

"Lo kira tahlilan itu upacara persembahan apaan?!" sahut Kevin sambil ngakak.

"Sesajen katanya! Woy itu namanya sedekah makanan, buat yang datang, bukan buat manggil makhluk halus!" Raka menimpali sambil menahan tawa.

Sean (adik Sabrina dan Bella) hanya menggeleng-gelengkan kepala, menatap Lucky dengan ekspresi nyaris putus asa. "Bang Lucky, tolong... belajar dulu bedain adat sama ibadah."

"Oke, gue salah. Tapi jujur, makanannya enak banget. Apalagi risolnya!" Jawab lucky mengganguk-nganggukan kepalanya.

Revan terbahak. "Lu punya banyak uang bang! Sisa beli doang!"

"Beda rasanya!"

"Beda kenapa? Risol tahlilan ada panjatan doa orang-orang gitu?" Tanya Revan cekikan.

"Bro berpikir risol bisa nganter doa ke alam kubur, konyol banget," sahut Raka sambil tertawa geli.

"Jadi maksud lo, arwah yang meninggal makan risol juga?" timpal Kevin menahan tawa.

Lucky ikut ngakak, "Kalau iya, gue jadi pengen pesenin catering sekalian, biar lengkap menu kuburnya."

Bella mendelik tajam. "Hei! Ini hal serius, tahu! Jangan dibecandain terus!"

Sabrina menepuk lengan Bella lembut. "Tenang, mbak. Mereka emang gitu semua, otaknya suka nyangkut di gorengan."

"Udahlah capek gue! Btw, Lo tahlil doang Luk?! Doa kagak apa kagak! Ngikut doang elah! Mending Lo ikut gue aja!" Ucap Raka sungguh.

"Ikut kemana?" Tanya lucky serius.

"Masuk Islam! Bismillah, asyhadu!" Kevin menyeletuk.

Lucky memutar bola matanya. "Nggaklah! Gue masih betah sama agama gue! Enak, nggak banyak larangan ini itu, mau mabok kek! Mau main cewek kek! Mau sesat juga gak masalah. Ibadah sesuka hati, mau nggak juga gak masalah sama sekali. Beda sama kalian! Ibadah setiap hari! Ribet! Capek!"

Mereka geleng-geleng kepala nyaris tak percaya.

"Astaghfirullah bang! Tobat bang! Tobat! Kenikmatan dunia cuman sesaat! Akhirat selamanya!" Sean elus-elus dada.

"Nggak lah! Malesin!" Jawab lucky bodoamatan.

"Gue juga dulu sama bro, suka mabok! Suka main cewek! Suka maksiat! Tapi lama kelamaan... gue ngerasa kosong. Hati gue kayak bolong. Duit ada, cewek banyak, tapi bahagia kagak." Ucap Aldo jujur lembut.

"Sama gue geh bang! Tapi cuman mabok doang! Sering minum kawa-kawa. Sekarang mah udah enggak! Bahaya buat kesehatan!" Jawab Revan menimpali.

"Kawa-kawa? Sorry..... Gue mah minumnya kayak whiskey premium atau wine." Jawab lucky menyeringai.

"Yang 10 juta tuh?" Tanya Aldo kaget.

"Apa 10 juta?" Para cewek-cewek langsung memekik kaget. Harga alkohol semahal itu? Yang bener aja.

"Heboh! Itu masih kecil! Ada yang lebih mahal lagi.... Bahkan harganya bisa sampe miliaran! Kalo buat pecinta alkohol! Itu mah hoby kesenangan, mabuk itu nikmat!" Kata lucky bangga, sengaja mengutarakan itu.

Mereka hanya bisa beristighfar sambil geleng-geleng kepala.

"Kurang-kurangi bang! Minuman yang memabukkan bisa menghilangkan akal sehat. Banyak bahayanya, ngerusak kesehatan!" Ujar Aldo menasehati abang-abangan.

Beberapa orang pun ikut menasehatinya. Lucky hanya mengganguk tanpa menjawab, menyimak sembari menyeringai tipis, sangat tipis menatap mereka semua, kecuali Leon, Bella dan Sabrina yang tidak menasehatinya sama sekali.

'beda banget cara menyampaikan nasehat antara arhan dan mereka. Jika arhan, menasehati seseorang tidak ditempat keramaian, tidak dengan suara tinggi, dan tidak pula mempermalukan. Tutur kata dia sangat lembut, mengajak orang yang ingin dinasehati ketempat sepi, diberi makanan, diajak obrol ringan dulu, setelah masuk. Baru eksekusi..... Han! Gue rindu Lo, cuman Lo doang yang bisa gue jadiin tempat cerita..... Kapan kembali lagi brother? Apa Lo gak bisa balik lagi ke dunia ini?' batin lucky tiba-tiba sendu.

"Weh, cateringnya dah Dateng semua.... Sisa persiapan aja malem ini! Yok!" Tanya Raka

"Kemana?" Tanya Kevin.

"Ikut ajalah!" Lucky beranjak.

*

*

Malam hari, usai salat Isya. Suasana kediaman itu ramai dipenuhi tamu dari berbagai kalangan—para tokoh elite, pengusaha, hingga warga sekitar, semua berkumpul untuk menghadiri tahlilan. Di antara kesibukan mengoper makanan dan menata hidangan, suasana terasa hangat dan penuh kekeluargaan.

Lucky tampak berjalan di antara kerumunan, membagikan botol-botol air mineral kepada para tamu. Beberapa bodyguard turut membantunya, menjaga ketertiban sekaligus membantu distribusi. Meski tampil sederhana malam itu, langkah Lucky menarik perhatian. Beberapa pasang mata, terutama dari para wanita muda, tak bisa menahan diri untuk sekilas melirik. Tatapan mereka mengikuti Lucky—ada yang terkagum, ada pula yang berbisik pelan dengan senyum malu-malu. Entah karena wajahnya, karismanya, atau karena namanya yang kini mulai dikenal luas. Yang jelas, mereka terpesona dengan pria matang sekaligus duda tersebut.

Fyi : belum ada yang tau bahwa lucky itu seorang duda, kecuali arhan, Leon dan Revan.

Para tamu mulai berpamitan pada Sabrina dan yang lainnya. Suasana yang semula riuh, mulai mereda, di gantikan dengan ucapan terimakasih dan doa. Lucky terdiam, sepasang matanya terus tertuju pada Bella yang sedang berdiri disamping Sabrina. Matanya menyipit, memerhatikan wajah Bella yang sangat sembab.

'dia seperti orang habis nangis? Ada apa? Kenapa dia sedih? Aneh!' batin lucky heran bercampur penasaran.

"Bang!" Revan tiba-tiba datang dan menepuk pundaknya.

"Apa?"

"Mbak Bella tuh!"

"HM!" Lucky bergumam. "Van! Ikut gue bentar sini! Ada yang mau gue omongin sama Lo!"

"Oke!" Revan memang malas berbicara, sejak meninggalnya arhan. Tidak seperti dulu, yang selalu mengoceh panjang lebar, bahkan seringkali melawak.

*

Yang mau liat visual cek : cengzez_7

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!