"Lea …!" teriakan seorang wanita paruh baya yang bernama Mira.Teriakan itu terasa bergema di seluruh ruangan. Seorang gadis muda yang sedang meringkuk di bawah selimut terlonjak kaget, mendengar suara cempreng Mira.
Ini bukan pertama kalinya Mira berteriak setiap apa yang ia harapkan tidak sesuai dengan keinginannya. Wanita itu pasti akan melampiaskan pada anak angkatnya itu.
Di dalam kamar seorang gadis sedang berusaha bangkit dari tempat tidurnya, ia merasa sangat pusing, tubuhnya bahkan gemetar, wajahnya terlihat pucat pasi.
Ya ia Alea Permata Samudra. Anak yang di angkat oleh keluarga Hendrawan, saat Lea berumur lima tahun. Setelah kedua orang tua Lea mengalami kecelakaan tragis yang berujung kehilangan nyawanya.
Namun, sebelum menghembuskan nafas terakhirnya papanya Lea terpaksa menitipkan Lea kecil, pada pengacara keluarganya yaitu Rizal Hermawan. Karena kedua orang tua Lea sama-sama anak tunggal.
Setelah merasa sedikit nyaman, Lea mencoba melangkah perlahan dan hati-hati menuju ruang makan.
Begitu Lea sampai tatapan tajam Mira langsung tertuju pada Lea.
"Ada apa, Tan?" tanya Lea dengan suara pelan nyaris berbisik, ia begitu tak bertenaga saat ini.
"Kamu masih nanya? Ini udah jam berapa? Kenapa sarapan belum ada, dasar pemalas." Bentak Mira.
"Maaf Tante, Lea lagi kurang sehat, kepala Lea pusing, badan Lea panas dan lemas bangat, Tan," jelas Lea jujur dengan kondisi tubuhnya saat ini.
"Halah ... alasan kamu aja, kan? Dasar tak tahu diri." Tuduh Mira tak berperasaan, padahal ia jelas melihat wajah pucat Lea. Namun ia tak peduli seolah menutup telinga dan matanya.
"Le ... Lea benar-benar lagi kurang enak badan, Tan." Jawab Lea mencoba membela dirinya dengan suara bergetar karena menahan rasa pusing di kepalanya di tambah lagi demam yang menyerangnya bersamaan.
"Ingat Lea, kamu cuman numpang di rumah ini, jadi kamu harus tahu diri jadi anak." Tekan Mira sembari mendorong tubuh Lea hingga tersungkur ke lantai.
"Aaw ...!" rintih Lea sambil memegang sikunya yang lecet karena benturan kuat dengan lantai.
"Maaf Nyonya, biar Bibi saja yang menyiapkan sarapan, kasian Non Lea, lagi sakit." Ucap sang Bibi, yang merupakan asisten rumah tangga.
"Bibi, jangan coba-coba membantu anak tak guna ini! Apa bibi mau saya pecat!" ancam Mira.
"Tapi, Nya ... Non Lea lagi sakit, suhunya sangat panas Nya." Lanjut sang Bibi yang tidak tega melihat kondisi Lea.
"Saya tak peduli, dan itu juga bukan urusan saya, kalau dia tidak membuat sarapan jangan harap dia bisa makan hari ini." Tegas Mira sembari menatap tajam Lea yang masih terduduk di lantai.
Lea yang mendengar kata-kata pedas dari Mira hanya diam, ia sudah terbiasa mendengarnya, bahkan hatinya seolah sudah mati rasa, ia tidak lagi memperdulikan kata-kata pedas itu. Bagi Lea tidak di usir saja sudah syukur.
Jujur saja ia belum siap jika harus tinggal di luar sana sendirian, ia sudah tak punya siapa-siapa di dunia ini. Meskipun tinggal di rumah ini, ia harus memikul beban berat setiap harinya, setidaknya ia aman dari kerasnya dunia luar.
"Sudah Bi, Bibi kerjakan saja tugas Bibi Lea masih kuat kok." Ujar Lea lirih.
"Tapi, Non ...."
Lea menggeleng pelan. "Lea bisa, Bi!" sambil memasang senyum paksa nya.
Mira masih berdiri tegak dengan menumpang ke-dua tangannya di pinggang.
"Sudah dramanya." Ucap Mira jengah melihat keduanya. Lea bangkit berusaha bisa berdiri tegak di hadapan Mira. Lalu tersenyum ke arah bibi, yang menatapnya iba. Lea mengangguk pelan seolah memberi kode kepada sang Bibi untuk segera pergi. Mengerti kode dari Lea sang Bibi pergi dengan enggan.
"Cepat! Sana masak! Jangan banyak drama." Desis Mira tajam.
"Awas ... kalau saya kembali belum ada sarapan di atas meja!" lanjut Mira dengan nada ancaman lalu melangkah pergi begitu saja meninggalkan Lea dengan segala bebannya.
"Hm ... kamu bisa Lea." Sugesti Lea pada dirinya sendiri.
Lalu melangkah gontai ke arah dapur, Lea mulai berkutat di dapur untuk membuat sarapan, meskipun dengan tangan sedikit gemetar dan hampir menjatuhkan peralatan tempurnya. Ia tak menyerah, tetap melanjutkan tugasnya.
Tiga puluh menit Kemudian, Lea telah selesai memasak lalu menyusunnya di atas meja, sesudah merasa semua beres, Lea langsung meninggalkan dapur menuju ke kamarnya lagi. Ia betul-betul sudah sangat membutuhkan kasurnya saat ini.
Di dalam kamar Lea langsung mencari obat penurun panas dan juga obat sakit kepala, yang memang ia stok untuk jaga-jaga.
Lea mengambil dua butir obat itu dengan tangan gemetar keringat dingin membasahi tubuhnya.
Setelah meminum obat, Lea merebahkan tubuhnya di atas kasur dengan selimut tebal membungkus tubuh gemetarnya. Lea berharap bisa terlelap dan bangun dengan badan lebih baik.
Namun, harapan Lea tak jadi kenyataan, baru saja Lea memejamkan mata.
Brak!
Terdengar suara pintu terbanting dengan kasar, membuat Lea kembali tersentak kaget di tengah sisa-sisa kesadarannya.
Di depan pintu berdiri seorang wanita muda kira-kira 3 tahun lebih tua dari Lea. Ya, ia adalah Mia, anak kandung dari Rizal dan Mira.
Dengan wajah merah padam di tangannya memegang sebuah gaun berwarna biru langit.
Lea yang melihat ekspresi wajah wanita itu sudah bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Kau apakan baju gue, hah!?" teriak Mia lantang sembari melempar baju di tangannya ke atas muka Lea yang sedang duduk di atas kasur masih membungkus badannya yang gemetar.
"Maaf, Kak Mia, Lea tak sengaja membuat baju kakak rusak." Akui Lea, yang memang ia tak sengaja membuat baju itu rusak saat ia mencucinya.
"Hah ... kau pikir dengan permintaan maafmu itu bisa buat baju gue kembali seperti semula!" lanjut Mia sambil menoyor kepala Lea.
Lea hanya menunduk, ia tak punya alasan untuk membela diri, bahkan jika adapun akan percuma saja.
"Gue enggak mau tahu, lo harus ganti baju gue!" tegas Mia masih dengan nada tinggi.
"Tapi ... Kak, Lea ...."
"Gak punya uang," sambar Mia menyela ucapan Lea. Lea Hannya mengangguk pelan.
"Makanya dah tahu miskin, jangan ceroboh."
"Ia Kak, maafkan Lea." Mohon Lea lirih.
"Enak aja, pokoknya lo harus ganti baju gue, secepat- nya." Lalu bergegas pergi.
Tapi sebelum ia mencapai pintu Mia berbalik dengan senyum liciknya.
"Oh, gue hampir lupa, cepat Lo beresin kamar gue sekarang juga!" perintah Mia lalu langsung pergi tanpa persetujuan Lea.
"Hm ...!! dasar nenek lampir, awas aja kalian." Batin Lea.
karena sebenarnya Lea bukanlah gadis lemah dan penurut yang selama ini ia tunjukkan, ia hanya menghormati dan juga menyadari posisinya yang hanya anak pungut di keluarga Hermawan.
Dengan enggan ia bangkit, dan bergegas ke kamar Mia yang berada di lantai dua. Dengan susah payah Lea sampai di kamar Mia, langsung mengerjakan tugasnya.
Lima belas menit kemudian, Lea sudah selesai merapikan kamar Mia. Namun, saat hendak menuruni tangga kepada Lea terasa berputar, matanya kabur, badannya lemas tak bertulang lalu ....
Hupp!!
Seorang pemuda dengan sigap menangkap tubuh lunglai Lea, sebelum sempat menyentuh lantai.
Dan seorang gadis lainya, yang melihat adegan itu langsung menghampiri mereka dengan langkah terburu-buru.
Bersambung....
Di tempat terpisah tempatnya di sebuah mansion mewah milik keluarga Alendra.
Seorang pemuda dengan ketampanan yang memikat wanita karena wajah blesterannya. Maminya orang Korea sedangkan Papinya asli Indonesia. Ia tengah terlibat perdebatan sengit dengan sang maminya.
"Ken, jangan lupa, nanti malam kamu harus ngajak Siska dinner, Mami sudah atur semuanya," tutur Mami Monica, suaranya penuh ketegasan.
Ya, pemuda tersebut adalah KEENAN ADITYA ALENDRA. Seorang pebisnis yang memiliki bisnis ilegal dan legal. Bisnis legalnya ia seorang CEO di perusahaan Alendra Group, perusahaan turun temurun milik keluarga Alendra.
Sedangkan bisnis ilegalnya bisnis bawah tanah yang ia guluti sebagai ketua mafia. Ia menjadi mafia mengikuti jejak sang kakeknya. Sikapnya yang dingin dan tak tersentuh, membuat ia menyandang julukan ice prince.
Ken menarik napas dalam. "Mam, stop ya mengatur kencan buta buat Ken. Ken sibuk," protes Ken, nada suaranya datar tapi tegas.
"Oh, tidak bisa," balas Mami Monica tak kalah tegas. Dengan senyum tajam tersungging di bibirnya.
"Ken masih 25 tahun, masih banyak waktu mencari jodoh, Mam." Ujar Ken menjelaskan.
"Tapi waktu itu tidak akan terus ada, Ken." Sambung Mami Monica tak mau kalah.
"Masih banyak waktu, Mam. Aku masih ingin fokus pada pekerjaan," lanjut Ken, frustasi dengan sikap keras kepala Maminya.
"Maka dari itu Ken, kamu itu harus segera menikah. Mami sudah tidak sabar ingin mengendong cucu darimu." Tutur Mami Monica dengan antusias, suaranya penuh semangat.
"Iya Ken, Mami benar, sudah waktunya kamu cari pendamping, jangan sibuk kerja terus." Tambah Papi Arga yang baru datang langsung merangkul pinggang Mami Monica dengan posesif.
Ken langsung merotasi kan matanya.
"Ih ...! Dasar bucin," desisnya, menatap kedua orang tuanya dengan ekspresi jengkel.
"Alah ... bilang aja kamu iri sama Papi," balas Papi Arga dengan nada menggoda, suaranya penuh kemenangan.
"Sudahlah, Ken berangkat dulu, Mam, Pi," pamit Ken yang sudah malas berdebat. Ia mencium pipi Mami Monica singkat, lalu bergegas pergi, sengaja membuat Papi Arga tampak kesal.
Ia tahu Papi Arga akan kesal melihatnya mencium pipi Mami Monica.
"Dasar anak nakal, awas kamu ya!" geram papi Arga sambil menatap tajam punggung Ken.
Ken melambaikan tangan ke udara tanpa menoleh ke belakang.
"Jangan lupa ya Ken, kamu harus temui Siska," teriak Mami Monica.
Ken menghentikan langkahnya. "Ken, tidak bisa janji, Mam," jawabnya, nada suaranya tetap dingin. Ia menatap kedua orang tuanya sejenak, kemudian melanjutkan langkahnya.
"Kalau kamu tidak mau menemui Siska. Mami kasih waktu satu minggu untuk mencari pendamping sendiri," tantang Mami Monica, sebuah senyum jahil tersungging di bibirnya.
Ken menghentikan langkahnya lagi, tubuhnya membeku sejenak.
"Apa ...? Satu minggu?"
"Ya, tidak ada penawaran," tegas Mami Monica. Tanpa ada ruang untuk bernegosiasi.
"Ok, tapi batalkan kencan malam ini," balas Ken, kemudian ia langsung pergi tanpa menoleh lagi.
Setelah menempuh perjalanan selama 20 menit. Ken tiba di Alendra Group. Ia melangkah masuk dengan aura kepemimpinan yang kuat, wajahnya datar dan ekspresinya dingin.
"Pagi pak." Sapa para karyawan yang berpapasan dengan Ken, Ken hanya mengangkat tangan kanannya, tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya.
"Pak tunggu." Panggil seorang pemuda yang sama datarnya dengan Ken.
Ken langsung menghentikan langkahnya, saat tahu siapa yang memanggilnya. " Pagi." Sapa Satria saat sudah dekat dengan Ken.
"Pagi." Balas Ken. Lalu mereka berdua jalan beriringan menuju lift khusus para petinggi perusahaan.
Di dalam lift Satria langsung menekan lantai 20 dimana ruangan CEO berada.
Ting!
Pintu lift terbuka. "Pagi, Pak Keenan, Pak Satria." Sapa sang sekretaris dengan tersenyum ramah.
"Hm ... " Balas keduanya datar.
Keduanya langsung masuk keruangan.
Ken langsung duduk di kursi kebesarannya, sedangkan Satria duduk di kursi di hadapan Ken. Mereka saling berhadapan.
"Bagaimana pengiriman kita malam ini?" Tanya ken serius.
"Semua aman, apa kau, akan ikut nanti malam?" Tanya Satria balik sambil mengecek ponselnya.
"Hm ...."
"Nanti malam langsung ketemu di markas." Ujar Satria.
"Ok." Jawab Ken singkat.
Suasana hening langsung menyelimuti ruangan beberapa saat, keduanya sibuk dengan pemikiran masing-masing.
"Sat, Mami nyuruh gue mencari kekasih," ucap Ken memecah kesunyian yang sempat tercipta.
Satria mengangkat alisnya. "Mami Monica nggak akan menyerah sampai dapat menantu?" Tebak Satria tepat sasaran.
"Yupz ... dan gue gak mau asal milih," tegas Ken, menatap keluar jendela.
"Di mana gue bisa dapat wanita dalam waktu satu minggu?"
Ken mengusap wajahnya dengan frustasi.
"Satu minggu untuk menemukan seseorang yang bisa gue perkenalkan pada Mami. lni gila!" Lanjut Ken sambil mengusap wajahnya.
Satria tertawa kecil, nada suaranya lebih ringan dari biasanya.
"Gila memang, tapi bukan mustahil. Kau kan Keenan Aditya Alendra, sang Ice Prince Alendra Group. Banyak cewek yang ngantri, cuma kau aja yang buta."
Ken menatap Satria dengan tajam.
"Lo tahu gue gak pernah dekat sama cewek. Ini bukan masalah kekurangan wanita, tapi masalahnya gue gak mau asal milih." Tegas Ken lagi.
"Tapi lo harus milih, Ken. Satu minggu itu waktu yang sangat singkat." Satria menjadi serius lagi. Ia memahami betapa sulitnya tugas yang dibebankan pada Ken.
"Gue butuh ide, Sat. Ide yang brilian. Ide yang bisa membuat Mami puas tanpa harus membuat gue terikat dengan seseorang yang tidak gue suka, " kata Ken.Tekanan dari maminya telah mencapai batas.
Satria menyangga dagunya, berpikir keras. "Hm ... kencan buta sudah pasti tidak berhasil.Gimana kalau ..." ia berhenti sejenak, seolah menimbang-nimbang ide yang akan diutarakannya.
"Gimana kalau kita ciptakan skenario? Kita cari seseorang yang cocok dengan kriteria Mami Monica, tapi hanya untuk sementara?"
Ken menatap Satria, memperhatikan ungkapan wajah sahabatnya itu dengan seksama.
"Maksud lo?"
Satria tersenyum licik. "Kita cari aktris atau model profesional. Seseorang yang bisa bermain peran sebagai pacar lo untuk sementara waktu. Setelah Mami puas, kita bisa akhiri skenario itu."
Ken terdiam sejenak, mempertimbangkan usul itu. Ide itu berisiko, tapi itu bisa jadi cara yang paling efektif untuk menghindari kencan buta dengan Siska. Lagipula, ia tidak ingin melukai perasaan maminya lebih jauh.
"Sepertinya ... itu ide yang cukup menarik," ungkap Ken, sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya.
"Oke, tapi siapa yang akan kita cari?" lanjut Ken.
"Kita perlu seseorang yang bisa mempertahankan peran ini dengan sempurna. Seseorang yang tidak akan membocorkan rahasia kita."
Satria mengeluarkan ponselnya. "Gue sudah punya beberapa nama. Kita perlu seseorang yang memiliki pengalaman akting yang kuat, dan juga bisa menyesuaikan diri dengan citra 'kekasih ideal' untuk Mami."
"Dan yang paling penting," Ken menambahkan, "Seseorang yang bisa dipercaya."
Tok ... tok ... tok ....
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan mereka.
"Masuk." Jawab Ken dingin.
"Maaf pak, saya hanya mengingatkan lima belas menit lagi kata ada meeting sama klien dari Singapura" jelas sang sekretaris.
"Ok, siapkan segala sesuatunya, pastikan semua sempurna." Tegas Ken.
"Baik pak. kalau begitu saya permisi dulu." Pamit sang sekretaris sopan.
"Hm .... " Balas Ken sambil sedikit mengangguk kepalanya pelan.
Setelah kepergian sang sekretaris Ken dan Satria akhirnya melupakan masalah cari pendamping. Ia mulai memeriksa beberapa berkas dengan teliti dan serius.
Sedang Satria juga sedang melakukan tugasnya, ia terlihat fokus pada laptop di hadapannya. Keduanya kembali kedunia kerjanya.
Lima belas menit berlalu. Kini Ken, Satria dan sekretarisnya, sudah berhadapan dengan beberapa klien di ruang meeting. Ken terlihat sangat terampil dan tegas dalam memaparkan materinya dan akhirnya kesepakatan kerjasamanya pun terjalin.
"Selamat Pak Ilham, atas kesepakatan kerja ini." Ucap Ken sambil menjabat tangan lawan bicaranya.
"Selamat juga, buat Pak Kenan." Balas pria paruh baya bernama Ilham.
"Saya sangat, bangga melihat generasi muda seperti Pak Keenan ini, masih muda tapi sudah sangat sukses di dunia bisnis." Puji pak Ilham jujur.
"Hm ... terima kasih Pak, atas pujiannya kalau begitu kami, permisi dulu" pamit Ken.
"Maya, kamu langsung balik ya." Perintah Ken tegas.
"Baik pak."
.....
Di sisi Lea.
Lea masih gemetar di anak tangga, tangannya masih sedikit kesemutan.Wajahnya pucat pasi. Mia muncul, dengan wajah merah padam, napas tersengal-sengal.
"Lepasin!" desis Mia, suaranya tajam, langsung mengarah ke Reno yang masih memegang lengan Lea.
Reno mengernyit, sedikit terkejut dengan nada bicara Mia. "Dia hampir jatuh, Mia. Aku cuma nolongin, Lea lagi pusing."
"Pusing? Pura-pura pusing kali! Liat aja mukanya, pura-pura pucat!" Mia menyindir, matanya melotot ke Lea.
"Jangan sok lemah!" Lanjutnya.
Lea hanya bisa menunduk, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
"Aku beneran pusing, Kak Mia ... aku juga demam ...." bisiknya lirih, suaranya hampir tak terdengar.
"Bohong! Lo sengaja cari perhatian!" Mia memotong, suaranya meninggi. Ia menatap Lea dengan penuh kebencian.
"Lo pikir gue bego? Dasar anak pungut tidak tahu diri."
Reno melepaskan tangan Lea, lalu menatap Mia dengan tatapan tidak suka.
"Mia, udah! Kamu sudah keterlaluan!"
"Keterlaluan? Dia yang keterlaluan! Selalu aja nyari kesempatan deket-deket sama kamu! Gue yakin, kau juga suka sama dia, kan?!" Mia menuduh, suaranya bergetar karena emosi. Lalu menatap Reno dengan penuh kecurigaan.
Reno terdiam sejenak, kemudian menjawab dengan suara berat.
"Kau benar gue suka sama Lea." Jawab Reno sambil menatap Mia dengan tatapan menantang.
Bersambung....
"Kau benar, gue suka sama Lea." Kalimat itu mendarat di telinga Lea seperti sebongkah es.
Udara di antara mereka tiba-tiba terasa dingin, menusuk sampai tulang. Mia menatap Reno tak percaya, lalu tertawa sinis, tawanya seperti pisau yang mengiris-iris hati Lea.
"Jadi, kamu milih dia? Anak pungut ini?!" Ucap Mia bergetar, penuh amarah. Sembari menunjuk ke arah Lea.
"Dia nggak layak buat kamu, Reno! Dia cuma cari keuntungan!"
Lea yang awalnya menunduk langsung mengangkat wajah, matanya berkaca-kaca, tapi tatapannya tegas.
"Aku nggak cari Keuntungan Kak!" bantah lea, suaranya bergetar, tapi tetap lantang.
"Aku bahkan tidak pernah mengobrol sama Reno! Aku cuma kenal Reno karena dia sering ke sini! Tidak lebih." Jelas Lea lugas, ia mencoba menepis tuduhan yang dilayangkan padanya.
Reno terpaku di tempat. Dia tidak nyangka Lea bakal membantah sekeras ini.Tatapannya sulit diartikan, campuran kebingungan dan sedikit kekecewaan dengan ucapan Lea.
"Bohong! Jangan pura-pura polos deh!" Balas Mia sambil tersenyum mengejek.
"Aku nggak bohong!" Lea menegaskan lagi, suaranya bergetar karena emosi dan kecewa.
"Aku nggak tahu apa-apa tentang perasaan Reno. Dan aku juga nggak pernah nyari kesempatan buat deketin dia! Aku cuma .... " Lea menunduk, air matanya mengalir deras di pipi pucatnya. Ia merasa sangat terpojok, dengan situasi ini.
Reno maju selangkah, untuk mendekati Lea, tapi Lea langsung mundur.
"Jangan mendekat!" Lanjut Lea tegas.
Reno menoleh ke Mia yang masih berdiri tegak menatap kearah Lea, dengan penuh kebencian.
"Alah jangan drama ...."
"Mia, cukup!" Reno memotong cepat, suaranya keras, menunjukkan ketidaksukaannya pada perilaku Mia. Ia menatap Lea, tatapannya penuh kebingungan dan sedikit kecewa.
"Gue ... gue yang salah." Ucap Reno akhirnya ia merasa jadi serba salah sekarang.
Di satu sisi ia hanya ingin menolong Lea, walaupun ia memang menyimpan rasa lebih terhadap Lea. Tapi ia juga bukan pria brengsek yang suka mempermainkan perasaan wanita. Ia tahu Mia sedang cemburu, tapi ia tidak suka dengan sifat Mia, ia hanya terpancing emosi terhadap Mia.
Lea cuma menatap Reno dingin, rasa sakit dan kecewa terpancar dari matanya. Ia tidak menginginkan perhatian Reno, apalagi perasaannya. Ia hanya ingin hidup tenang.
Karena merasa frustasi akhirnya Reno berbalik dan pergi, begitu saja meninggalkan Lea dan Mia.
Setelah Reno menghilang di balik pintu. Mia langsung berlari menaiki tangga menuju kamarnya dengan wajah penuh amarah dan kebencian.
Begitu sampai kamar ia membanting pintu depan keras.
"Ini belum selesai, malam ini juga gue akan usir anak pungut itu!" Gumam Mia dengan penuh amarah.
Setelah semua orang pergi. Lea dengan perasaan masih campur aduk melangkah menuju kamarnya. Dia langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur.
"Kenapa jadi seperti ini? Ya Allah apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku yakin Mia pasti tak tinggal diam dengan apa yang barusan terjadi." Gumam Lea pada diri sendiri.
Lea tidak bisa tenang perasaannya tidak enak, tapi ia juga tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Yang pasti suatu hal yang buruk akan menghampirinya.
Setelah bergelut dengan pikirannya yang tak kunjung usai, ditambah Karena kelelahan dan kondisi tubuh yang masih kurang fit, Lea akhirnya memilih untuk mengistirahatkan tubuh dan pikirannya, mumpung ada kesempatan.
Sedangkan Mia telah menyusun rencana liciknya dengan begitu sempurna.
"Gue yakin, kali ini anak pungut itu langsung di usir papa dari rumah ini!" Gumam Mia sambil tersenyum licik. Lalu ia kembali fokus memainkan ponselnya mescrol akun media sosialnya.
Tok ... Tok ... Tok ....
"Ini mama Mia, buka pintunya." Ucap Mira di balik pintu. Dengan enggan Mia melempar pelan ponselnya lalu membuka pintunya.
Mira langsung masuk. Di ikuti Mia di belakangnya.
"Mia mama dengar dari bibi, tadi Reno kesini dan kalian bertengkar ya?" Tanya Mira tak sabar.
"Ya ma, ini semua gara-gara anak pungut itu, mama tahu? Reno bahkan membentak aku hanya demi membela anak sialan itu!" Jelas Mia dengan amarah yang meluap-luap.
"Terus ...." Lanjut Mira masih penasaran.
"Terus apa?" Tanya Mia bingung dengan ucapan mamanya itu.
"Terus kamu, diam aja gitu setelah apa yang terjadi." Jelas Mira lebih lanjut.
"Ya enggak lah, enak saja." Ungkap Mia tersenyum licik.
"Mia sudah mengatur semuanya, Mia yakin malam ini anak pungut itu akan pergi dari rumah ini untuk selamanya." Jelas Mia.
"Bagus, apa rencananya, kasih tahu mama dong?" Pinta Mira penasaran.
Lalu Mia menceritakan semua rencananya pada sang mama dengan jelas.
Mira tersenyum puas. Ia sama bencinya pada Lea. Ia sudah lama menginginkan Lea pergi dari rumah ini, tetapi suaminya selalu menghalangi.
“Dengan ide berlian ini, Rizal pasti akan berubah pikiran, terhadap Lea ” bisik Mira yakin.
.....
Sementara itu, Ken sedang menuju markas The Silent. Ia mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang, pikirannya melayang pada masalah yang harus ia selesaikan.
Beberapa menit kemudian, ia sampai di depan markas tersembunyi.
Begitu masuk Ken langsung di sapa oleh anggotanya, dengan nama lain yaitu King.
"Malam, King." Sapa para anggotanya sambil menunduk sedikit sebagai tanda hormat.
"Malam." Jawab Ken singkat.
“Apa semua siap?” tanya Ken, suaranya tenang, namun sorot matanya tajam.
“Siap, King,” jawab mereka serentak.
Bayu, dengan serius, menjawab, “Jalur alternatif aman, King, tapi... Kita harus ekstra hati-hati.”
“Aku punya firasat buruk. Mereka mungkin sudah tahu,” tambah Satria, kecemasannya terlihat jelas.
Ken mengangguk. “Kita jalan cepat dan rapi."
"Bayu, pantau terus situasi, kalian semua harus tetap waspada!” tegas Ken pada anggotanya.
"Kita berangkat sekarang." Perintah Ken.
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi di jalanan yang mulai sepi. Cuma ada lampu jalan yang menerangi.
"Ken, ada mobil mencurigakan," ujar Satria, matanya fokus ke spion. "Dua sedan hitam, ngikutin kita terus. Kayaknya bukan orang biasa."
Ken cuma "Hm," sambil tetap fokus membalas pesan maminya.
"Itu pasti ulah Naga Hitam, alihkan kejalan sepi." Titah Ken."
Satria langsung belok, masuk gang sempit, gelap, dan berkelok-kelok. Mobil hitam itu masih mengikuti. Kecepatan mobil mereka meningkat drastis.
"Mereka udah deket King," lapor Bara lewat handy talky, suaranya tenang.
"Sepertinya mereka banyak." Tambah Bayu. Suara mesin mobil-mobil itu makin dekat dan terdengar agresif.
Tiba-tiba, dua sedan hitam itu melaju kencang langsung memblokir jalan. Satria dengan instingnya yang kuat langsung menginjak pedal rem dengan kuat. Suara decitan ban terdengar ngilu di jalan yang sepi itu.
Pintu mobil-mobil itu langsung terbuka, muncul beberapa anggota Naga Hitam, berbadan tegap, bawa senjata tajam dan pentungan. Salah satunya teriak, "Ken! Hari ini kau akan membayar semuanya!"
Ken cuma ngelirik sekilas, wajahnya tetap datar. "Sat, Beresin ini cepet," ucap ken, dingin dan tegas. Tanpa membuang waktu Ken dan Satria langsung keluar dari mobil.
Ken langsung menghajar anggota Naga Hitam pertama dengan tendangan keras ke rahang, menjatuhkannya seketika.
BUGH!
Tanpa ampun, Ken menginjak leher lawannya hingga tak berdaya. Gerakannya cepat dan brutal, tanpa sedikitpun ragu.
CRUNCH! Suara tulang leher yang patah terdengar samar.
Dua anggota Naga Hitam lainnya mencoba menyerangnya bersamaan, tapi Ken dengan cekatan menghindari serangan mereka dan membalas dengan pukulan dan tendangan yang akurat dan mematikan.
Gerakannya begitu cepat dan terlatih, layaknya seorang predator yang memburu mangsanya. Satu demi satu anggota Naga Hitam roboh, Ken tak memberikan kesempatan mereka untuk melawan balik.
Sementara itu, Satria bergerak cepat dan efisien. Ia menggunakan pistolnya bukan sebagai senjata api, melainkan sebagai alat pemukul yang mematikan.
BUGH!
BAGH!
BUGH!
Kepalanya dan tulang rusuk para anggota Naga Hitam menjadi sasaran pukulannya yang akurat dan keras.
Bayu dan Bara juga tak mau kalah mereka bergerak dengan lincah mencoba menghalau setiap serangan dari anggota Naga Hitam.
Salah satu anggota Naga Hitam mencoba menyerang Satria dari samping, namun Satria dengan sigap menghindar dan membalas dengan tendangan keras ke perut hingga terjatuh. Satria kemudian menghantam kepala musuh itu dengan bokong pistolnya hingga pingsan.
Salah satu anggota Naga Hitam yang lebih besar dan kuat mencoba menyerbu Ken dari belakang. Dengan refleks yang luar biasa, Ken berbalik cepat, menangkap lengan anggota Naga Hitam itu dan membantingnya ke tanah dengan kekuatan dahsyat. Ken langsung mencengkeram leher anggota Naga Hitam itu dan mencekiknya hingga tewas.
"Kalian terlalu lemah," bisik Ken, suaranya dingin menusuk, diiringi tetesan darah yang berceceran di tanah.
Di tengah kekacauan, Satria menembakkan pistolnya ke udara sebagai peringatan.
DOR!
Suara tembakan menggema di gang sempit itu.
Dalam hitungan menit, semua anggota Naga Hitam telah tumbang. Ken, Satria, Bayu dan Bara memeriksa sebentar, memastikan nggak ada yang masih mengancam.
Ken menoleh ke Satria, "Suruh anggota kita untuk bersihkan ini."
Mereka kembali ke mobil, menuju dermaga untuk melanjutkan tujuannya.
.....
Di sisi Lea. Lea terbangun dari tidurnya yang gelisah. Lea merasa jantungnya berdebar kencang. Filingnya mengatakan sesuatu yang buruk akan terjadi.
Bersambung….
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!