NovelToon NovelToon

Tetanggaku Malaikatku

Malaikatku Tetanggaku

Awal mula semuanya, pertemuan Tak Terduga di Tengah Hujan yang deras.

Hujan deras mengguyur kota tanpa ampun. Butiran air yang jatuh dari langit menciptakan irama harmoni yang memenuhi udara. Di taman kosong antara sekolah dan kompleks apartemen, seorang gadis duduk sendirian di ayunan. Rambut pirangnya yang biasanya terurai indah kini basah kuyup, menempel di pipinya yang pucat.

Kevin, yang sedang berjalan pulang dengan payung di tangan, terhenti ketika melihat sosok familiar itu. Matanya menyipit mencoba memastikan penglihatannya.

"Tidak mungkin... Cindy?" gumam Kevin dalam hati sambil mendekat perlahan.

Dia mengenali seragam sekolah yang basah dan rambut pirang khas tetangga apartemennya itu. Tapi apa yang dilakukan Cindy sendirian di tengah hujan begini?

"Apa yang sedang kamu lakukan di sini?" tanya Kevin dengan suara yang sengaja dibuat datar, mencoba menyembunyikan rasa khawatirnya.

Cindy terkejut mendengar suara itu. Kepalanya menoleh perlahan, memperlihatkan wajahnya yang basah oleh air mata dan hujan. Matanya yang biasanya cerah kini merah dan bengkak.

"Kevin..." jawab Cindy dengan suara serak, jelas baru saja menangis. "Aku... tidak apa-apa."

Kevin mengerutkan kening. Dia bisa melihat jelas bahwa Cindy sedang tidak baik-baik saja. Tapi sebagai orang yang hampir tidak mengenalnya, dia bingung harus bersikap bagaimana.

"Kamu akan masuk angin kalau terus kehujanan begini," ujar Kevin sambil melangkah lebih dekat, mencoba menaungi Cindy dengan payungnya.

Cindy menggelengkan kepala, rambut basahnya yang pirang berayun. "Aku butuh... sendirian sebentar," katanya sambil menunduk.

Suaranya yang biasanya lembut sekarang terdengar parau dan kecil. Kevin bisa merasakan ada sesuatu yang sangat salah terjadi pada gadis yang biasanya selalu ceria ini.

"Tapi lihat keadaanmu," protes Kevin dengan nada yang lebih tegas. "Kamu basah kuyup, dan hujan semakin deras."

Cindy menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, "Aku tahu. Tapi tolong... biarkan aku di sini saja."

Ada permohonan dalam suaranya yang membuat Kevin ragu. Di satu sisi, dia ingin membantu. Di sisi lain, dia tidak ingin memaksakan diri.

"Setidaknya ambil payung ini," ucap Kevin akhirnya, mengulurkan payungnya ke arah Cindy. "Kamu tidak perlu mengembalikannya."

Cindy menatap payung itu dengan ekspresi campur aduk. "Tapi kamu sendiri bagaimana?" tanyanya dengan suara kecil.

Kevin mengangkat bahu. "Aku tinggal dekat sini. Lagipula, aku tidak mau nanti merasa bersalah kalau sampai kamu sakit."

Beberapa detik berlalu dalam keheningan yang canggung. Akhirnya, tangan Cindy yang gemetar meraih payung itu.

"Terima kasih," bisik Cindy sambil menunduk, menyembunyikan wajahnya yang mungkin sedang berusaha menahan tangis lagi.

Kevin mengangguk, meski Cindy mungkin tidak melihatnya. "Aku... aku akan pergi dulu," ujarnya sambil berbalik.

"Kevin!" panggil Cindy tiba-tiba, membuatnya berhenti.

"Ya?"

"Besok... aku akan mengembalikan payungmu," janji Cindy dengan suara yang sedikit lebih kuat.

Kevin tidak menoleh, hanya melambai kecil sebelum melanjutkan langkahnya meninggalkan taman. Air hujan yang dingin sekarang langsung membasahi pundak dan kepalanya, tapi pikirannya lebih sibuk memikirkan apa yang terjadi pada Cindy.

Dia tidak tahu alasan di balik kesedihan Cindy. Dia bahkan tidak yakin apakah sudah melakukan hal yang tepat. Atau malah hubungan ini hanya sampai disini aja pikirnya. Tapi satu hal yang dia tahu pertemuan tak terduga di tengah hujan ini mungkin akan mengubah hubungan mereka selamanya.

Tawaran Malaikat

"Kevin, hidungmu benar-benar berisik hari ini," ucap Revan dengan nada menggoda sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi sebelah, matanya berbinar-binar penuh dengan ekspresi mengejek. "Suara bersinmu tadi sampai menggema di seluruh ruangan kelas."

"Awas saja kamu nanti bakal kena karma," balas Kevin dengan suara sengau yang terdengar parau, namun ancamannya sama sekali tidak memiliki kekuatan mengintimidasi dalam kondisi hidung tersumbat seperti ini. Tangannya yang gemetar meraih tisu dari atas meja untuk membersihkan hidungnya yang merah merona.

Keesokan harinya setelah kejadian hujan deras itu, flu menghantam Kevin dengan keras tanpa memberikan belas kasihan sedikit pun. Seluruh tubuhnya terasa berat seperti ditimpa batu, dan kepalanya berdenyut-denyut tak karuan.

Revan, teman sekelas sekaligus rival abadinya yang selalu duduk di sampingnya, memperhatikan kondisi Kevin dengan tatapan yang lebih mirip hiburan daripada menunjukkan kepedulian. "Duh, kemarin masih bisa bertingkah seperti jagoan, sekarang sudah berubah menjadi mayat hidup yang menyedihkan," godanya sambil menyeringai, menunjukkan gigi-giginya yang putih bersih. Tangannya yang ramping mengetuk-ngetuk meja dengan ritme cepat, menambah kesan bahwa dia sedang menikmati penderitaan temannya ini.

Kevin hanya bisa terus mengendus-endus sambil berusaha keras menarik napas melalui hidungnya yang sudah merah seperti tomat matang. Kepalanya terasa berdenyut-denyut dengan intens, entah karena pilek yang menyiksa atau demam yang mulai menggerogoti tubuhnya. Matanya yang biasanya tajam sekarang terlihat sayu dan berair, dengan lingkaran hitam yang jelas terlihat di bawahnya.

Obat flu yang dibelinya dari warung dekat sekolah ternyata sama sekali tidak memberikan efek seperti yang diharapkan. Padahal dia sudah minum sesuai dosis yang tertera di kemasan. "Ini pasti obat kadaluwarsa," gumamnya dalam hati sambil menatap kosong ke depan.

"Waduh, mukamu benar-benar seperti orang kesurupan," komentar Revan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, rambut pendeknya yang berwarna cokelat muda bergerak mengikuti gerakan tersebut. "Kemarin kan masih terlihat sehat-sehat saja? Apa yang terjadi padamu?"

"Kehujanan..." jawab Kevin singkat sambil meraih tisu lagi dari kotak yang sudah hampir habis. Tangannya yang gemetar kesulitan mengambil tisu terakhir dari dalam kotak.

"Gila, kamu tidak membawa payung kemarin?" tanya Revan dengan ekspresi wajah yang menunjukkan rasa tidak percaya. Matanya yang tajam menatap Kevin dengan penuh pertanyaan.

"Payungnya... dipinjamkan..." jawab Kevin dengan suara parau, mencoba menghemat tenaga untuk berbicara karena tenggorokannya yang terasa seperti terbakar.

"Ke siapa?" tanya Revan dengan penasaran, sekarang tubuhnya condong ke depan dengan minat yang tiba-tiba meningkat. Tangannya yang biasanya malas sekarang menopang dagunya dengan siku yang diletakkan di atas meja.

Pikiran Kevin langsung melayang ke sosok Cindy yang dia temui pagi tadi di koridor sekolah. Gadis itu terlihat begitu segar dan bugar, bahkan lebih bersemangat dari biasanya. Padahal dialah yang kemarin menyerahkan payungnya tanpa pikir panjang. Ironis sekali keadaannya sekarang.

"Ke... anak tersesat," jawab Kevin samar-samar, memilih untuk tidak menyebutkan nama aslinya. Matanya memandang ke jendela, menghindari tatapan Revan yang penuh pertanyaan.

Revan mengangkat kedua alisnya yang tebal, menunjukkan ekspresi terkejut. "Anak tersesat? Jadi kamu tiba-tiba menjadi pahlawan dadakan begitu?" suaranya terdengar tidak percaya sambil tertawa kecil. "Ceritanya semakin menarik nih."

Sebenarnya Cindy adalah siswi sekelas mereka, tapi ekspresinya kemarin ketika kehujanan benar-benar mirip dengan anak kecil yang kebingungan mencari orang tuanya. Kevin baru menyadari hal ini sekarang ketika mengingat kembali kejadian kemarin.

"Terserah deh bagaimana kamu memandangnya," goda Revan lagi dengan senyum lebar. "Yang jelas sekarang kamu yang menjadi korban. Klasik sekali, memberi payung saat hujan deras tapi diri sendiri malah basah kuyup. Sok pahlawan banget kamu." Suaranya terdengar semakin menghina namun tetap dalam nada bercanda.

"Bukan sok pahlawan," bantah Kevin sambil meraih tisu terakhir dari kotak yang sudah kosong. "Aku memang tidak punya pilihan lain saat itu." Wajahnya terlihat kesal namun tidak memiliki energi untuk berdebat lebih lanjut.

Revan tiba-tiba tertawa terbahak-bahak, suaranya yang keras membuat beberapa siswa lain menoleh ke arah mereka. "Dasar idiot sejati!" katanya sambil menepuk-nepuk paha sendiri. "Sudah tahu kamarmu berantakan seperti kapal pecah, gaya hidupmu semrawut tidak karuan, sekarang sok-sokan mau jadi penyelamat. Makanya kena hukumannya begini!" Tangannya sekarang menunjuk-nunjuk ke arah Kevin yang malang.

Kevin hanya bisa mengerutkan keningnya yang sudah berkeringat dingin. Memang benar kamarnya berantakan seperti kapal pecah, makanannya hanya mengandalkan warung sekitar atau kadang malah melewatkan makan, dan gaya hidupnya jauh dari kata sehat atau teratur. Tapi dia tidak pernah berpikir itu akan berakibat seperti ini.

"Pulang dan istirahatlah yang cukup," kata Revan tiba-tiba dengan nada serius, ekspresi wajahnya berubah menjadi lebih dewasa. "Kita akan menghadapi akhir pekan ini. Cepat sembuh agar bisa menikmati waktu liburan." Tangannya sekarang menepuk-nepuk bahu Kevin dengan lembut.

"Yah..." jawab Kevin lemah, tidak memiliki energi untuk merespon lebih dari itu.

"Eh, kan enak kalau punya pacar," usik Revan tiba-tiba dengan senyum nakal kembali menghias wajahnya. "Pasti ada yang merawat dan menjaga saat sakit begini." Matanya berbinar-binar penuh dengan arti tersembunyi.

"Bodo amat," gerutu Kevin sambil mencoba meraih kotak tisu kosong di depannya dengan sia-sia. "Lagi pula kamu saja yang punya pacar, tidak usah sok-sokan merendah." Wajahnya menunjukkan ekspresi kesal namun tetap lemah.

Revan hanya tersenyum puas dengan kemenangannya, lalu kembali ke bukunya sambil sesekali melirik Kevin yang sedang menderita. Suasana kelas kembali tenang, hanya diisi oleh suara guru yang sedang menjelaskan materi dan suara bersin Kevin yang sesekali terdengar.

Sepulang sekolah, kondisi Kevin semakin memburuk dengan drastis.

Sakit kepala dan pilek yang dia rasakan sejak pagi sekarang bertambah parah dengan tenggorokan yang terasa seperti diiris-iris pisau dan seluruh badan yang lemas tak berdaya. Langkahnya tertatih-tatih seperti orang mabuk saat berusaha pulang menuju apartemennya, napasnya tersengal-sengal tidak teratur.

Dia nyaris tidak menyadari bahwa dirinya sudah sampai di depan lift apartemen. Badannya yang panas dan berkeringat dingin bersandar dengan lemah pada dinding lift yang dingin, memberinya sedikit kenyamanan sesaat.

"Haah... haah..." nafasnya yang berat menggema di dalam lift yang sempit.

Di sekolah tadi dia masih bisa berpura-pura kuat di depan teman-temannya, tapi sekarang di tempat sepi ini, rasanya seperti seluruh energi dalam tubuhnya mengalir keluar. Bahkan gravitasi biasa di dalam lift yang biasanya tidak dia rasakan, sekarang terasa seperti kekuatan yang menindih seluruh tubuhnya.

Suara lift yang sampai di lantainya membuat Kevin tersentak kecil. Dengan susah payah, dia melangkah keluar dari lift, lalu tiba-tiba seluruh tubuhnya membeku.

Di depan pintu apartemennya, berdiri tegak seorang gadis dengan rambut pirang terang yang dikepang rapi. Cindy.

Gadis itu terlihat begitu segar dan bersih seperti model iklan sampo di televisi, kulitnya yang putih mulus bersinar di bawah lampu koridor, matanya yang jernih berbinar-binar. Sangat kontras dengan penampilan Kevin yang seperti mayat hidup dengan baju seragam kusut dan wajah pucat tak berdaya.

Di tangannya yang mungil, tergenggam erat payung lipat berwarna biru yang dia pinjamkan kemarin. Payung itu terlihat sudah dibersihkan dan dirapikan dengan sempurna.

"Kan... tidak perlu dikembalikan," ucap Kevin dengan suara serak yang hampir tidak terdengar, mencoba untuk tampak normal meski seluruh tubuhnya berteriak minta istirahat.

Cindy mengangkat payung itu dengan kedua tangannya seperti mempersembahkan sesuatu yang berharga. "Pinjaman itu harus dikembalikan," katanya dengan suara lembut namun tegas. Tiba-tiba suaranya terhenti di tengah jalan ketika matanya yang tajam berhasil menangkap wajah pucat dan berkeringat dingin milik Kevin.

"Kamu... demam?" tanyanya dengan nada khawatir yang tulus, alisnya yang tipis berkerut menunjukkan keprihatinan.

"Bukan urusan kamu," sergah Kevin dengan suara kasar yang tidak dia maksudkan. Dia sama sekali tidak ingin bertemu Cindy dalam kondisi mengenaskan seperti ini. Apalagi gadis itu pasti bisa menebak bahwa flu ini adalah akibat langsung dari aksinya kemarin menyerahkan payung.

"Tapi ini karena aku meminjam payungmu..." suara Cindy terdengar ragu dan bersalah.

"Tidak ada hubungannya," potong Kevin dengan cepat, terlalu cepat mungkin. Dia tidak ingin mendengar penyesalan atau rasa bersalah dari gadis ini.

Cindy mengerutkan keningnya yang halus, membentuk kerutan kecil di antara alisnya yang tipis. "Aku ada di sana saat itu, dan sekarang kamu sakit karena kehujanan." Tangannya yang memegang payung sekarang menggenggam lebih erat, menunjukkan ketegangan yang dia rasakan.

"Tidak apa-apa. Tidak usah dipikirkan," kata Kevin mencoba meyakinkan, meski suaranya yang parau dan wajahnya yang pucat sama sekali tidak meyakinkan.

Dia tidak ingin orang lain, apalagi Cindy, merasa berkewajiban atau bersalah hanya karena dia memilih untuk melakukan sesuatu atas kemauannya sendiri. Tapi tampaknya Cindy bukan tipe orang yang bisa dengan mudah diyakinkan hanya dengan beberapa kata. Wajah cantiknya sekarang dipenuhi oleh kerutan kekhawatiran yang dalam, matanya yang biasanya dingin sekarang penuh dengan emosi yang sulit dibaca.

Kevin berusaha melewati Cindy dengan langkah gontai, tapi tiba-tiba seluruh dunia di sekelilingnya berputar dengan cepat. Tangannya yang mencoba meraih kunci apartemen dari saku celana gemetar tak terkendali.

Suara pintu yang terbuka terdengar samar-samar di telinganya, tapi bersamaan dengan itu lututnya terasa seperti kehilangan semua kekuatan. Badannya yang tinggi semampai oleng ke belakang, hampir menabrak pagar pembatas di koridor apartemen.

Tanpa diduga, lengannya yang terkulai lemah tiba-tiba tertarik dengan kuat oleh sepasang tangan yang kecil tapi kokoh. Kevin tersentak kembali ke kesadarannya yang mulai kabur.

"Aku tidak bisa meninggalkan kamu dalam keadaan seperti ini," bisik Cindy dengan suara lembut namun penuh tekad yang masuk ke dalam kesadarannya yang setengah sadar.

"Aku harus membalas budi," tambahnya dengan suara yang lebih tegas sekarang.

Kevin yang kepalanya berkunang-kunang dan penglihatannya mulai kabur hanya bisa terdiam pasrah ketika Cindy mendorongnya dengan lembut namun pasti masuk ke dalam apartemen yang gelap.

"Maaf atas kelancanganku, tapi aku harus masuk," ucap Cindy dengan suara yang tidak meninggalkan ruang untuk bantahan.

Tanpa perlawanan, Kevin membiarkan dirinya dituntun seperti boneka kain lapuk. Untuk pertama kalinya sejak dia tinggal di apartemen ini, dia pulang ke rumah ditemani oleh seorang gadis.

Ironisnya, malaikat penyelamatnya ternyata bukanlah pacar atau kekasih seperti yang mungkin diimpikan banyak pria seusianya, melainkan tetangga misterius yang selama ini selalu dia hindari interaksinya.

Perawatan Malaikat

Karena demamnya, Kevin terlambat menyadari situasi di rumahnya sendiri. Dia menyesal telah mengizinkan Cindy masuk saat melihat kenyataan berantakan di hadapannya.

Apartemen yang ditinggali Kevin adalah tipe kos-kosan mewah

Rumah itu memiliki ruang tamu luas, kamar tidur, dan gudang. Ruang yang sangat mewah untuk seseorang yang tinggal sendiri. Karena orang tuanya cukup kaya, setelah mempertimbangkan keamanan dan lokasi, dia memutuskan tinggal di sana.

Orang tuanya yang memintanya tinggal di sini, dan dia tidak keberatan. Meski begitu, dia merasa mereka tidak perlu mengeluarkan biaya besar. Dia benar-benar tidak sanggup tinggal sendirian di apartemen sebesar itu.

Selain itu, saat Kevin tinggal sendiri, dia tidak pandai membersihkan.

Tak perlu dikatakan, ruang tamu bahkan kamar tidurnya berantakan.

Ini sungguh tidak sedap dipandang.

Si malaikat, atau lebih tepatnya penyelamat, tidak berbasa-basi meski penampilannya begitu mengagumkan.

Benar-benar mengerikan, dan Kevin tidak bisa membantah. Dia akan memindahkan beberapa barang jika tahu ada orang lain yang datang, tetapi sudah terlambat.

Bibir Cindy yang berkilau mendesah, tapi dia tidak pergi. Sebaliknya, dia membawa Kevin ke kamar tidur.

Dalam perjalanan ke sana, mereka berdua hampir tersandung. Kevin sendiri sangat sadar bahwa sebagai orang yang membuat apartemen begitu berantakan, akan buruk jika dia tidak membersihkannya.

"Aku pergi dulu. Ganti pakaian sebelum aku kembali. Seharusnya tidak apa-apa, kan?" ucap Cindy sambil melirik ke arah tumpukan baju di lantai.

Kevin dalam pikirannya bergumam, Waduh, malu banget diliatin begini.

"Kamu akan kembali?" Kevin mengerutkan kening.

"Aku tidak bisa tidur nyenyak kalau meninggalkan orang sakit sendirian," jawabnya singkat.

Tampaknya Cindy memiliki pemikiran yang sama persis dengan Kevin tentang insiden sebelumnya, dan dia tidak bisa berkomentar.

Begitu Cindy meninggalkan ruangan, Kevin patuh melakukan apa yang diperintahkan, berganti ke pakaian rumah.

"Ini berantakan, dan tidak ada tempat untuk melangkah. Gimana sih bisa hidup kayak gini?" gumam Cindy dari balik pintu, suaranya terdengar jelas.

Kevin merasa benar-benar minta maaf mendengarnya. Dalam hatinya dia bergumam, Aduh, memang sih berantakan banget.

Begitu berganti pakaian, dia berbaring dan tampak tertidur. Saat membuka kelopak matanya yang berat dengan susah payah, hal pertama yang dilihatnya adalah rambut berwarna rami.

Dia menatap ke atas, mendapati Cindy berdiri di sana, menatapnya dalam diam. Tampaknya apa yang terjadi sebelumnya bukanlah mimpi.

"Jam berapa sekarang?" suaranya serak.

"Jam 7 malam. Kamu tidur selama beberapa jam," jawab Cindy sambil menyodorkan secangkir minuman isotonik.

Kevin menerimanya dengan senang, mendekatkan cangkir ke mulutnya, dan akhirnya bisa melihat sekeliling.

Dia merasa sedikit lebih baik, mungkin karena tidur siang.

Lalu dia menyadari kepalanya agak dingin. Saat menyentuhnya, terasa sesuatu seperti kain di ujung jarinya, meski agak keras.

Ada selembar kain pendingin yang ditempelkan padanya, yang tidak dimiliki rumahnya. Setelah menyadari hal itu, dia mengangkat kepala ke arah Cindy.

"Aku bawa dari rumahku," jawabnya singkat sebelum Kevin sempat bertanya.

Rumahnya tidak punya kain pendingin atau minuman isotonik. Tampaknya Cindy juga membawa minuman isotonik ke sini.

"Makasih udah bawa ini."

"Jangan khawatir."

Jawaban acuh tak acuh itu membuat Kevin meringis.

Dalam pikirannya, Jadi ini cuma karena rasa bersalah doang ya.

Kemungkinan besar Cindy merawatnya karena rasa bersalah, bukan karena ingin berbicara dengannya. Bagaimanapun, mustahil untuk ngobrol santai saat dia berada di rumah cowok yang baru saja ditemuinya.

"Ngomong-ngomong, aku sudah taruh obat di meja. Jangan diminum kalau perut kosong. Kamu masih selera makan?" tanya Cindy sambil menata bantal di belakangnya.

"Hmm, lumayanlah."

"Oke. Aku udah buat bubur, jadi makan itu dulu." ucap Cindy.

"Eh, itu buatanmu, Cindy?" Kevin mengangkat alis.

"Siapa lagi yang ada di sini? Aku makan sendiri kalau kamu nggak mau," ancamnya sambil memegang mangkuk.

"Nggak, nggak, aku mau kok. Kasih sini."

Dia tidak pernah menyangka Cindy akan peduli padanya, apalagi sampai membuat bubur. Karena itu, dia sedikit bingung.

Dalam hatinya, Kok bisa sih dia segitu baiknya?

Sejujurnya, dia tidak tahu keahlian masak Cindy, tapi belum pernah dengar desas-desus tentang kegagalannya di pelajaran rumah tangga, jadi mungkin tidak terlalu buruk.

Kevin segera menunduk, meminta untuk memakannya, dan Cindy menatapnya dengan ekspresi datar. Dia mengangguk sambil menyerahkan termometer di meja samping.

"Aku ambilkan buburnya. Ukur suhu tubuhmu dulu." ucap Cindy.

"Oke."

Dia melakukan apa yang diperintahkan, membuka kancing kemejanya, dan mengambil termometer. Saat itu, Cindy mengalihkan pandangan.

"Lakukan itu saat aku nggak di ruangan."

Suaranya terdengar agak panik, dan Kevin menoleh mendapati wajahnya agak merah.

Kevin merasa reaksi Cindy sedikit menarik. Dalam pikirannya, Lah, biasa aja kali cowok buka baju.

Tidak seperti cewek, cowok nggak perlu nutupin dada mereka. Mungkin Cindy nggak terbiasa liat kulit terbuka, karena dia buru-buru menoleh sambil Kevin membuka kancing bajunya.

Wajah putihnya diwarnai semburat merah muda, masih menunduk sambil gemetar. Telinganya juga memerah, menunjukkan betapa malunya dia.

Dalam hati Kevin bergumam, Aduh, ternyata dia bisa imut juga ya kaya gini.

Kevin juga menganggap Cindy cantik, tapi tidak lebih dari itu. Tidak diragukan lagi dia cantik dan imut, tapi itu saja baginya.

Dia cantik bagaikan karya seni. Kesan yang diberikannya mirip patung porselen.

Tapi di saat seperti ini, Cindy yang biasanya sempurna tiba-tiba terlihat malu-malu, membuatnya terlihat lebih manusiawi dan, anehnya, menggemaskan.

"Kalau gitu cepetan ambilin buburnya dong?" goda Kevin.

"Aku ngambilnya tanpa disuruh juga!" balas Cindy kesal.

Hubungan mereka tidak cukup dekat sampai Kevin bisa bilang betapa manisnya dia. Bakal dianggap aneh kalau dia ngomong begitu, jadi dia menahan komentar.

Begitu dia diam, Cindy berjalan terhuyung-huyung keluar ruangan.

Dia agak lambat, mungkin karena terhuyung atau karena ruangan terlalu berantakan. Kemungkinan besar yang terakhir.

Saat melihatnya pergi dengan bingung, Kevin mendesah kecil, bertanya-tanya bagaimana bisa berakhir seperti ini.

Dalam pikirannya, Ya, mungkin ini karena rasa tanggung jawab dan bersalah.

Cewek biasanya nggak akan masuk ke rumah cowok yang baru kenal cuma untuk merawatnya. Bahaya kalau tiba-tiba diserang.

Tapi Cindy tetap melakukannya meski berisiko, jadi sepertinya dia merasa sangat bersalah. Kevin jelas tidak menunjukkan minat padanya, dan ini mungkin membuatnya lega.

Bagaimanapun, tidak ada keraguan bahwa Cindy mulai merawatnya karena tidak ada pilihan lain.

"Aku bawa nih."

Saat Kevin tengah memikirkan itu, Cindy mengetuk pintu dengan ragu-ragu.

Tampaknya dia tidak langsung masuk, khawatir Kevin belum berpakaian lengkap. Kevin baru ingat dia melonggarkan bajunya untuk mengukur suhu.

"Belum selesai nih."

"Sudah kubilang ukur suhunya saat aku nggak di sini." ujar Cindy.

"Maaf, tadi melamun."

Dia meminta maaf, menyelipkan termometer di ketiak, dan segera mendengar bunyi elektronik.

Dia mengeluarkannya, dan suhunya 38,3°C. Tidak cukup parah untuk dirawat di rumah sakit, tapi cukup tinggi.

Kevin memakai bajunya dengan benar. "Udah, masuk," panggilnya pada Cindy yang masih menunggu di luar. Cindy masuk hati-hati sambil membawa nampan berisi bubur.

Dia terlihat lebih santai sekarang karena Kevin sudah berpakaian rapi.

"Suhu tubuhmu?"

"38,3°C. Aku bakal baikan kalau minum obat dan tidur." ucap Kevin.

"Obat warung cuma mengatasi gejala, bukan virusnya. Istirahat yang cukup dan tingkatkan daya tahan tubuh."

Saat ditegur begitu, Kevin tahu Cindy hanya khawatir, dan hatinya terasa hangat.

"Ya ampun," desah Cindy sambil meletakkan panci dan nampan di meja, lalu membuka tutupnya.

Isinya bubur dengan buah plum. Teksturnya encer, mungkin dengan perbandingan 7:1 air dan nasi, cocok untuk perut yang tidak enak.

Buah plum ditambahkan bukan cuma untuk rasa, tapi karena dikenal baik untuk masuk angin.

Tidak ada uap yang keluar, tapi masih hangat, artinya sengaja didinginkan sebentar sebelum disajikan.

Sementara Kevin memperhatikan buburnya, Cindy mengabaikannya sambil menuangkan bubur ke mangkuk. Potongan plum ditaburkan dengan lembut, bijinya sudah dibuang, daging merahnya menyatu dengan nasi putih.

"Ini. Mungkin udah nggak panas." ujar Cindy.

"Hmm, makasih."

Dia menerimanya, mengambil sendok, dan menatapnya. Cindy terkejut melihat tingkahnya.

"Apa, mau disuapin? Aku nggak nyediain layanan kayak gitu."

"Nggak ada yang minta, nggak. Cuma mikir aja, kamu bisa masak ya."

"Siapa pun yang tinggal sendiri harusnya bisa."

Bagi Kevin yang tidak pernah bisa hidup mandiri, kata-kata itu menyakitkan.

"Kevin, sebelum mikirin masak, bersihin dulu kamarmu."

"Oke oke."

Tampaknya Cindy tahu apa yang dipikirkannya saat melanjutkan dengan sindiran. Kevin bergumam, mencoba mengalihkan topik sambil menyendok bubur ke mulutnya.

Bubur lengket menyebar di mulutnya, dengan rasa nasi asli dan sedikit garam.

Tapi rasa asam dan asin dari plum kering yang diparut benar-benar membangkitkan selera, menciptakan keseimbangan sempurna.

Kevin biasanya tidak suka plum asin, tapi dia menyukai sedikit rasa manis dalam asam yang lembut ini. Kalau sehat, dia mungkin akan menaruh plum di nasi putih dan membuat chazuke.

"Enak banget."

"Makasih. Tapi siapa pun bisa bikin bubur kayak gini."

Cindy menjawab dengan wajah datar, tapi ada sedikit senyum di bibirnya.

Senyum itu berbeda dari senyum sempurna yang biasa dilihatnya di sekolah. Ini tulus, dan tanpa sadar Kevin menatapnya.

"Kevin?"

"Nggak, nggak apa-apa."

Senyum ramahnya lenyap seketika, dan Kevin merasa agak menyesal.

Tapi dia tidak mengatakan apa-apa sambil terus makan bubur itu pelan-pelan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!