NovelToon NovelToon

KAMU : Setitik Rasa

Part 1 (Kehidupan Milana)

"Milana!"

Suara cempreng itu kembali menyerukan satu nama. Nama gadis yang tidak cukup sekali dipanggil untuk dibangunkan, sambil menggedor pintu kos gadis yang dipanggil Milana itu.

"Milan! Bangun! Kau ada interview kerja, hari ini! Jangan bilang kau masih tidur!" Wanita berambut sebahu itu menggedor kembali pintu kos. Dia adalah Firsha, tetangga kos Milana.

"Astaga! Anak ini benar-benar." Firsha menggeram tertahan karena pintu yang sejak 10 menit lalu digedornya tak kunjung dibuka oleh sang penghuni.

"Kalau kamu nggak bangun, aku dob ... astaga!" seru Firsha. Sesaat setelah pintu yang sedari tadi digedor akhirnya dibuka oleh sang empunya. Menampilkan seorang gadis dengan wajah khas bangun tidur, lengkap dengan setelan piyama berwarna navy dengan celana panjang motif kotak-kotak perpaduan warna putih navy. Gadis itu menguap sambil mengucak matanya dengan santai.

"Astaga, Milan! Kok, kamu baru bangun, sih!" protes Firsha dengan gerakan tertahan.

Sang gadis yang dipanggil Milana itu tak merespon. Sibuk menggeliat khas orang baru bangun tidur.

"Milan ...." Lagi, Firsha menggeram tertahan.

"Apa sih, Kak? Pagi-pagi udah gedor-gedor kost-an orang! Mau pinjam duit? Maaf, gak ada. Aku 'kan baru dipecat lima hari yang lalu," ujar  Milana dengan santai. Lalu kemudian menyandarkan kepala pada bibir pintu dengan tangan terlipat di dada.

Firsha berkerut. "Heh!" Tangannya memukul lengan Milana. "Siapa yang mau pinjam duit sama kamu, eh? Kamu, tuh, yang sering pinjam duit sama aku!" katanya. Sewot. Disertasi cibiran halus di bibirnya. "Lagian ya ... Pantas aja kamu dipecat, jam segini baru bangun. Pasti kerja telat mulu, 'kan?" Firsha geleng-geleng. Tak habis pikir dengan gadis yang dua tahun lebih muda darinya itu.

Milana dan Firsha saling mengenal sejak 22 bulan yang lalu, ketika Milana baru pertama kali menjadi penghuni kamar indekos tersebut.

Milana hanya mendengkus. Wajah baru bangun tidurnya masih di sana, lalu dia berbalik tak acuh sembari menjauhkan kepala dari bibir pintu, hendak masuk kembali. Namun, dengan gerakan cepat dan tanpa rasa belas kasihan, Firsha menarik kerah piyama bagian belakang Milana hingga gadis itu ikut tertarik ke belakang.

"Eh! Mau kemana?" sergah Firsha seraya membawa tubuh Milana mendekat padanya.

Milana berdecak. "Tidur, lah ... ngantuk," jawabnya santai.

Hidung Firsha berkerut sebal. "Tidur? Enak aja! Kamu lupa, eh? Hari ini kamu ada interview di tempatku kerja! Lupa?" tanyanya dengan nada sarkas. Disertasi tatapan tajam.

Milana membeliakkan mata, "Interview? Hari ini?" tanyanya.

Firsha berdecak. "Iya, lah, hari ini ... Jam delapan! Sudah ingat?" tanyanya. Masih dengan nada sarkas.

Milana tampak berpikir, kemudian mengangguk sekali. "Ingat," jawabnya dengan sangat santai.

Firsha berdecak kesal. Memutar bola mata. Malas. 'Pasti dia masih setengah sadar,' gerutunya dalam batin.

"Kalau ingat, cepat mandi! Kau harus siap dalam sepuluh menit!" Firsha memukul kecil lengan Milana.

Milana berdecak malas. "Sepuluh menit itu hanya cukup untuk membersihkan kuku saja, tau!" gerutunya.

Membuat Firsha mencibir. Tahu betul dengan perangai gadis itu yang selalu santai menanggapi apa pun.

"Memangnya sekarang jam berapa?" tanya Milana dengan nada santai.

"Ini sudah hampir jam delapan tepat! Ing ...."

"Apaa? Astaga! Kenapa Kak Firsha baru bangunin aku, sih! Aduh ... Gawat nih, telat pasti!" Milana kalang kabut. Gadis itu bergegas masuk tanpa membiarkan Firsha menyelesaikan kalimatnya.

Firsha memutar bola mata, lagi.

"Aku membangunkanmu dari tadi, ya! Kamu pikir yang berteriak sejak tadi itu siapa? Sirine? Hah!" Firsha berseru kesal. "Dasar Milan!"

Firsha selalu menjadi tempat mengeluh saat Milana atau yang terkadang dipanggil Milan itu, menangis drama. Pastinya ketika gadis itu gagal mendapat pekerjaan baru atau baru saja dipecat. Terkadang Firsha merasa kasihan, terkadang juga merasa jengkel dengan perangai gadis itu. Menurutnya, Milana selalu menganggap remeh semua hal, plin-plan, dan juga ceroboh.

'Awas saja kalau sampai menangis bombay di kamarku saat gagal interview,' batinnya. Mengancam.

****************

Milana pernah bekerja di sebuah percetakan selama dua bulan terakhir. Namun, gadis itu berakhir dipecat seperti di tempat kerja sebelum-sebelumnya. Milana dipecat karena salah menjilid sebuah tugas skripsi seseorang. Tentunya bukan hanya satu kali atau dua kali hingga akhirnya dipecat oleh pemilik percetakan.

Milana pernah bekerja sebagai capster sebuah salon rambut. Dia juga dipecat. Sebab mendapat komplain dari customer yang rambutnya rusak akibat Milana terlalu lama mendiamkan krim bleaching rambut.

Setelah dipecat dari salon, Milana mencoba peruntungan bekerja sebagai SPG sebuah merk parfum. Namun, berakhir dipecat juga. Bahkan saat baru tiga hari menjalani pekerjaan itu. Persoalannya sepeleh, hanya karena Milana mengatai calon pembeli parfumnya dengan kalimat, "Masnya pasti jarang mandi, ya. Makanya beli parfum banyak banget." Begitu kata Milana saat itu pada calon customer yang hendak membeli beberapa parfum. Dia berkata begitu bukan tanpa sebab. Pasalnya, pemuda itu sudah empat hari berturut-turut selalu datang dan membeli parfum lumayan banyak. Jadilah Milana berpikiran seperti itu.

Gadis cantik itu juga pernah bekerja di toko sepatu wanita. Namun, lagi-lagi ia dipecat karena dianggap bersikap kurang sopan pada customer dengan segala gaya bicaranya yang memang sedikit blak-blakan. Meskipun terkadang apa yang dia bicarakan itu sesuai fakta, tetapi bagi pemberi kerja itu dianggap kurang sopan.

Saat itu, Milana sedang melayani dua orang customer remaja yang hendak membeli sepatu. Sudah beberapa sepatu yang si customer minta dicoba pakaikan padanya, tapi selalu mengatakan, "Coba yang itu saja! Harganya berapa kalau yang itu?" Begitu terus berulang kali, sampai hampir dua jam. Milana yang memang memiliki kesabaran setipis tissue itu akhirnya mengatai si customer, "Mbaknya ngerjai saya, ya. Beli sepatu udah coba ini-itu, tanya harga ini-itu, gak cocok-cocok dari tadi! Sebenarnya niat beli apa ngerjai saya?"

Gadis itu cantik, dengan mata hitam bulat yang serupa bulan sabit ketika tersenyum dan bibir plum. Hidung bangir juga melengkapi wajahnya. Sebenarnya selama ini dia bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan baru. Namun, karena sifatnya yang agak lost control  itulah dari sekian banyak pengalaman kerja Milana tidak ada satu pun yang berkenan baik.

Dia terkesan innocent untuk orang yang pertama kali melihatnya. Namun, sebenarnya dia tidak se-innocent itu. Dia agak menyebalkan. Setidaknya itulah menurut Firsha.

Milana tinggal di unit indekos sederhana, seorang diri tanpa orang tua. Tidak ada yang orang tahu tentang gadis cantik itu. Selain, Milana si gadis serampangan yang plin-plan, tidak punya pendirian dan sangat blak-blakan. Hanya itu yang orang tahu tentang Milana.

Dia memang tampak seperti sebuah buku terbuka yang mudah dibaca. Namun, sebenarnya yang terbuka hanyalah lembaran kosong. Orang tidak tahu apa yang tertulis di baliknya. Itulah Milana.

.

.

.

Bersambung .....

Part 2 (Pertemuan Tak Terduga)

Firsha mengomel sepanjang jalan menuju tempat kerjanya, yang juga akan menjadi tempat interview Milana, hari ini. Pasalnya, Milana menghabiskan waktu hampir 40 menit untuk menyelesaikan mandi.

Ketika Firsha menerobos masuk ke kamar kos Milana, gadis itu masih belum benar-benar siap, walau sudah berpakaian rapi, tetapi rambutnya hanya dicepol ke atas dengan anak rambut yang agak mencuat di sana-sini, wajahnya belum dipoles bedak atau foundation sama sekali. Hanya pelembab dan lip balm saja. Berhubung hari semakin siang, Firsha menarik paksa Milana menuju motornya dan segera berangkat. Tidak peduli dengan protes dan gerutuan gadis yang diboncengnya itu, karena belum menyelesaikan dandannya.

"Hari ini uang makanku pasti dipotong, karena datang terlambat," sungut Firsha, "dan itu semua gara-gara kau, Milan!" Firsha menghentakkan kaki kesal. Mereka baru saja sampai dan memarkir motor di area parkir sebuah restoran. Itu tempat kerja Firsha.

Milana mendengkus, tangannya sedang sibuk merapikan dandanannya sambil setengah merunduk, demi bercermin pada kaca spion motor Firsha. "Aduuuh! Rambutku berantakan, muka berkilap banget, udah kayak gorengan." Milana menegakkan badan, menatap gadis yang sedari tadi mengomel dengan sebal di depannya. "Ini semua gara-gara Kak Firsha, ya! Aku belum cantik, udah main tarik-tarik orang aja!" dengkusnya. "Asal kakak tau, ya! Penampilan itu adalah kesan pertama yang dilihat saat interview. Lihat! Penampilanku bahkan jauh dari kata rapi, aku terkesan buruk, nanti." gadis itu mendengkus, lagi.

"Heh! Itu salahmu sendiri, kenapa bangun siang? Padahal aku sudah bilang 'kan, kemarin. Kalau hari ini tuh, kamu dipanggil interview sama atasanku!" ujar Firsha, tak kalah sebal. Dia memang sudah bilang pada Milana, bahwa hari ini gadis itu harus datang interview, kemarin saat baru pulang kerja.

"Udah sih! Kita udah sampai ini, 'kan?" begitu jawaban santai yang keluar dari mulut Milana. "Emangnya, Kakak gak capek, apa? Ngomel mulu dari tadi. Mirip suara bebek kelaparan, berisik, deh," kata Milana disertai cengiran menyebalkan.

Firsha kesal, tangannya bergerak dengan gestur seolah ingin meremas habis gadis di depannya itu dengan geraman tertahan. Firsha menyeret Milana, agar berjalan cepat memasuki area restoran. Gadis di belakangnya itu sampai sedikit terseok karena tarikannya.

Sesampainya di dalam, Firsha langsung mengetuk pelan sebuah pintu yang terletak di sudut belakang restoran. Restoran itu memiliki dua bangunan berbeda. Satu bangunan di depan, adalah ruang restoran, di mana terdapat kursi dan meja kayu yang tertata rapih, lengkap dengan meja kasir di samping pintu masuk. Sedangkan bangunan lainnya, terdapat tepat di depan pintu belakang dapur restoran. Bangunan kedua itu memiliki tiga ruangan. Satu di sebelah kanan yang terdapat dua pintu adalah tempat menyimpan bahan-bahan dan ruang pendingin, terdapat tulisan 'Staf only' di sebuah papan akrilik yang tertempel pada daun pintu. Tepat di sebelahnya, adalah ruang penyimpanan motor delivery dan furniture. Terakhir, adalah ruangan yang berada di sebelah kiri, pintu ruangan itulah yang diketuk Firsha.

Firsha mendorong pelan pintu kayu bercat putih itu setelah suara interupsi untuk masuk, terdengar dari dalam.

Di dalam ruangan terdapat seorang pemuda yang sedang sibuk dengan laptop di depannya.

"Maaf, Mas Rayn, saya terlambat," ujar Firsha, sopan.

Pemuda tersebut memiringkan bahu, mengintip di balik laptop, wajah tampannya muncul dibalik laptop. "Uang ma-" kalimatnya terhenti, saat matanya menangkap sesosok gadis berpenampilan tidak terlalu rapi yang datang bersama Firsha. Milana.

'Dia ... kenapa di sini?' Begitulah yang terpikir di benaknya.

Mata hitam Milana bertemu tatap dengan mata milik Rayn. Mereka saling tatap untuk beberapa detik, sampai suara Firsha terdengar. "Maaf, Mas, tadi saya menunggu teman saya ini." sembari menunjuk Milana, "Mas Rayn kemarin bilang, untuk membawa teman saya yang akan melamar pekerjaan di sini, 'kan? Jadi saya masih menunggunya, tadi," jelas Firsha, sambil harap-harap cemas.

Rayn, adalah pengelola restoran tersebut. Restoran itu adalah milik Ayah pemuda itu. Orangnya sangat disiplin dan tidak mentoleransi keterlambatan karyawan. Tidak segan-segan memotong uang makan karyawan yang datang terlambat.

Rayn bergumam pelan sebagai jawaban, sambil meluruskan posisi duduk, ia menutup laptop di depannya. "Ini ...." Rayn menunjuk Milana dengan gerakan mata, "teman kamu yang mau melamar kerja di sini?"

"Ya, Mas," jawab Firsha disertai anggukan.

Rayn mengangguk kecil. "Kamu boleh keluar, saya akan mulai sesi interview-nya," katanya pada Firsha.

Firsha mengangguk, lalu beranjak dari sana, setelah sebelumnya memberi tatapan seolah berkata, "lakukan dengan baik." pada Milana.

Milana mencibir kecil menanggapi tatapan Firsha. Gadis itu memang begitu, menanggapi segala hal dengan sangat santai.

Rayn berdehem pelan. Membuat Milana menatap padanya.

"Duduklah." Rayn menunjuk kursi di seberangnya menggunakan gerakan mata.

Milana menurut. Duduk di kursi yang di tunjuk Rayn.

Rayn membawa punggungnya menyandar pada sandaran kursi. "Kau Milana, 'kan?" tanya Rayn.

Milana mengernyit. "Anda mengenal saya?" tanyanya dengan kedua alis terangkat.

Rayn tidak langsung menjawab.

'Apa dia tidak mengingatku?' tanya Rayn dalam hati. Rayn menatap lekat gadis itu.

Milana adalah juniornya saat di kampus, dulu. Pria itu pertama kali melihat Milana, 3,5 tahun yang lalu. Saat gadis itu menjadi mahasiswi baru, dia sangat populer di kalangan teman seangkatan, pun adik tingkatnya di kampus, karena cantik dan sangat ramah.

Ketika Milana masuk sebagai mahasiswi baru di jurusan yang sama dengan Rayn: jurusan bisnis, 3,5 tahun yang lalu, Rayn baru memasuki semester 5.

Mungkin Milana memang tidak mengenal Rayn, tetapi Rayn mengenal gadis itu, karena Milana adalah kekasih dari Erik, teman satu jurusan dan satu angkatan dengan Rayn, yang juga merangkap sebagai teman baiknya.

Mereka——Rayn dan Milana——pernah terlibat obrolan sekali, sebelum gadis itu menjadi kekasih Erik. Meskipun begitu, Rayn dan Milana tidak pernah benar-benar berkenalan satu sama lain. Rayn terakhir kali melihat gadis cantik itu, satu minggu sebelum hari wisuda angkatan Rayn dan Erik.

Hari ini, gadis berpipi agak chubby itu, ada di depan mata Rayn, melamar pekerjaan di restoran Ayah Rayn.

'Kenapa dia melamar pekerjaan, di sini? Bukankah, seharusnya dia kuliah? Atau dia sedang mengambil cuti kuliah?' Heran Rayn dalam hati.

Rayn menatap Milana, lama. Dengan pikiran yang masih mencoba menerka-nerka, tentang alasan gadis di depannya itu, melamar pekerjaan.

"Jangan berpikiran kotor, ya, sama saya!"

Suara interupsi si gadis, membuat Rayn kembali fokus. Ia mengernyit.

"Saya? Berpikiran kotor sama kamu?" Rayn memasang wajah bergidik. "Sama gadis berpenampilan ...." Rayn memindai penampilan Milana. Lalu berekspresi seolah dia bergidik ngeri. "Ada cermin besar di depan ruangan saya, kamu bisa bercermin di sana. Maaf saja, ya, saya masih punya selera jika harus berpikiran kotor pada seorang gadis. Kalau kamu sekelas Miranda kerr, sih ... mungkin bisa jadi."

Milana berdecak. "Habisnya, menatap saya begitu banget. Lagian..., Saya tidak kalah cantik dan sexy dari Miranda kerr," ucapnya lagi, dengan penuh percaya diri. Ya, itulah Milana yang memang selalu blak-blakan.

Membuat Rayn menganga. "Kamu? Dengan Miranda kerr? Seujung kukunya saja belum ada." Rayn menggeleng kecil sambil mencibir. Meremehkan.

Milana mendengkus. "Saya jadi di interview atau tidak, ini?!" tanyanya ketus. Dia kesal, sebab merasa diremehkan oleh pria di hadapannya itu.

'Dia juga tidak terlalu tampan, tapi meremehkanku begitu,' sungut Milana dalam batin.

Rayn menatap Milana. "Mana CV kamu?"

"Jadi, CV saya belum ada? Saya pikir anda tahu nama saya dari CV." Milana mengeluarkan map lamaran pekerjaan berwarna coklat, dan menyerahkan pada pemuda yang menurutnya bersikap kaku itu.

"Saya tahu nama kamu dari Firsha." Bohong. Nyatanya, Firsha hanya mengatakan bahwa temannya ada yang mau melamar pekerjaan, tanpa menyebutkan nama Milana. "Memangnya kau merasa sudah mengirim CV, ke sini?"

Milana menggeleng, lalu menyengir kecil.

"Kamu, langsung saya panggil interview tanpa menunggu CV kamu dikirim, karena Firsha yang merekrut kamu." Tangan Rayn sibuk membuka map yang diberikan gadis berkemeja putih di depannya itu, lalu mulai membaca.

Rayn mengernyit, dan sesekali menatap Milana setelah membaca yang tertulis pada kertas yang ia baca.

"Kau memiliki pengalaman bekerja di berbagai tempat, sejak 18 bulan yang lalu?" tanya Rayn dengan kening yang berkerut dalam.

Milana mengangguk. "Jadi, jangan khawatir. Saya ini sudah berpengalaman bekerja," ucap Milana dengan percaya diri.

Jawaban itu membuat kening Rayn semakin berkerut. "Memangnya..., kamu tidak kuliah?"

Milana menatap lekat Rayn dengan dahi berkerut.

'Bagaimana dia tahu, kalau aku kuliah? Apa aku menulis nama Universitas di CV ku?' batinnya.

"Anda tahu saya kuliah?" tanyanya kemudian.

"Maksud saya.., saya hanya menebak saja. Karena kau masih muda. Apa ... Kau memang pernah kuliah? Sudah lulus kah? Kalau sudah, kenapa tidak menyertakan ijazah kuliahnya?" pertanyaan itu yang sejak tadi ingin ia lontarkan, karena menurut perhitungan Rayn, seharusnya Milana masih memasuki semester tujuh, tahun ini.

Milana menggeleng. Rayn mengernyit, lalu menggeleng juga, mengikuti gelengan Milana dengan tatapan bertanya.

"Saya belum lulus. Saya memang pernah kuliah, tapi saya tidak melanjutkan."

Rayn terkejut, matanya menatap Milana penuh tanya. "Tidak melanjutkan? kamu drop out atau hanya sedang cuti?" tanyanya.

"Saya drop out," jawab Milana.

Rasa terkejut Rayn makin menjadi. ' Apa yang membuatmu berhenti kuliah, Milan?' Rayn sangat ingin melontarkan pertanyaan itu pada Milana, tetapi Rayn merasa tidak punya hak untuk bertanya lebih jauh. Dia bukan siapa-siapa gadis itu.

"Baiklah. Besok kamu bisa kembali ke sini," katanya kemudian, sambil memasukkan kertas di tangannya ke dalam map kembali.

"Jadi saya diterima?" tanya Milana dengan penuh harap dan semangat. Dia bahkan sedikit menegakkan badan ke depan.

"Belum ... Saya akan memberikan test padamu, besok," jawab Rayn.

"Test? Apa psiko tes?"

Rayn menggeleng. "Memasak."

"Memasak?" tanya Milana memastikan.

"Ya, memasak. Karena kalau diterima, kamu akan jadi asisten koki atau Cook Helper "

"Asisten koki?!" kedua mata Milana membulat.

'Kenapa, Kak Firsha nggak bilang kalau lowongannya jadi asisten koki.'

Rayn mengangguk. "Kenapa? Kamu tidak mau? Kalau tidak mau, silahkan cari kerja di tempat lain!" Rayn melempar pelan, map berisi CV Milana ke atas meja, ketika melihat raut wajah gadis itu tampak tidak yakin.

Milana mengulum bibirnya sendiri. "Apa..., itu artinya, saya akan bekerja di dapur?" gadis itu tidak menanggapi ucapan Rayn, malah bertanya hal lain.

Membuat Rayn tertawa sumbang, bermaksud meledek Milana, lalu menatapnya. "Tentu saja, di dapur. Memangnya, ada ya? Asisten koki, kerjanya di kolam renang?" Pemuda itu geleng-geleng kepala. "Jadi, mau atau tidak?"

Milana tidak langsung menjawab. Ia menimbang-nimbang, sebelum akhirnya berkata, "Baiklah. Saya akan datang besok. Jam berapa saya harus datang?"

"Jam delapan pagi. Jangan telat!" Rayn menginterupsi, "Kamu boleh keluar sekarang dan tolong sampaikan pada Firsha untuk menemui saya."

Milana mengangguk sebelum berlalu dari ruangan Rayn.

Rayn menatap pintu yang baru saja tertutup itu.

'Ada apa denganmu, Milan? Kenapa bisa melamar pekerjaan di sini? Kenapa bisa berhenti kuliah?'

.

.

.

.

Bersambung....

Part 3 (Kenangan yang Tak Pernah Lupa)

Rayn mengingat Milana, tetapi gadis itu agaknya tidak mengingat Rayn sama sekali.

Bertemu kembali dengan Milana, membuat Rayn ingat ketika dulu ia pertama kali melihat gadis itu 3,5 tahun yang lalu.

Hari ini mata kuliah Rayn diundur dua jam, jadi Rayn memutuskan untuk tidur di gudang kampus sambil menunggu mata kuliahnya dimulai daripada harus pulang terlebih dulu. Rayn memang sering begitu, ia akan bangun saat alarm yang diatur di ponsel berdering, tetapi kali ini dia terjaga lebih awal, bukan karena suara alarm. Namun, suara umpatan kesal dari seseorang, disertai suara bising sepatu yang berbenturan dengan lantai keramik gudang itu.

"Nyebelin banget, sih!" Begitulah suara itu, sayup-sayup menyapa gendang telinga Rayn.

Kedua alis Rayn saling bertaut, matanya yang masih terpejam bergerak kecil. Dia belum terjaga sepenuhnya.

'Seingatku, hanya aku sendiri di gudang ini' ujarnya dalam hati. Rayn Membuka mata perlahan, kemudian beringsut duduk. Matanya mengerjap beberapa kali, khas orang bangun tidur. Kemudian membuka mata sepenuhnya dan mendapati punggung seorang gadis yang mengenakan dress selutut lengan panjang warna merah maroon, tepat di depannya dalam jarak tiga meter.

Rayn mengernyit, menurunkan kaki dari kursi kayu panjang yang ia jadikan sebagai tempat tidur, beberapa saat yang lalu tanpa menimbulkan suara. Matanya masih memandang gadis itu, kemudian menumpu siku ke atas meja yang berada tepat di depannya.

"Mereka itu sungguh bermulut jahat sekali! Mereka seenaknya mengataiku! Huh!" gerutu si gadis berambut sepunggung itu.

"Susah memang, sih. Kalau jadi orang cantik sepertiku ...," imbuhnya, gadis itu masih dalam posisi memunggungi Rayn.

Rayn tertawa tanpa suara, mendengar kepercayaan diri gadis yang berdiri menghadap jendela besar gudang yang berada di lantai tiga gedung kampus tersebut.

"Merespon orang yang mendekatiku, karena merasa mereka baik. Aku malah dikatai murahan! Saat aku tidak merespon mereka, aku dibilang sombong. Lalu aku harus bagaimana, sih!" Gadis itu bermaksud menendang kardus tak terpakai di sana, tetapi meleset dan kakinya malah terantuk sebuah engsel yang melekat pada lemari kayu yang pintunya sudah rusak, akibatnya betis kanan gadis itu tergores dan terluka.

"Ouch!" Gadis itu mengaduh dan reflek memegangi kakinya.

Kedua mata Rayn sedikit melebar melihat hal itu, tetapi ia juga terkekeh tanpa suara, masih mencoba menahan tawanya.

Gadis itu menoleh ke arah lemari yang baru saja ia tendang dengan kerasnya.

"Siapa, sih yang naruh lemari rusak di sini?!" rutuknya.

Rayn tidak bisa menahan tawa lagi dan akhirnya tertawa keras di posisinya.

Membuat si gadis menoleh dengan cepat. Mata hitam sang gadis bertemu tatap dengan mata Rayn. Saling tatap untuk beberapa detik. Tawa Rayn berhenti, tatapan matanya berbinar ketika menatap lekat gadis itu untuk beberapa saat.

Gadis itu masih memegangi kakinya sambil menatap Rayn dengan alis berkerut dalam. "Dih ... Masnya, siapa?" tanya sang gadis.

Gadis itu adalah mahasiswi semester satu dari jurusan bisnis; jurusan yang sama dengan Rayn. Namun, beda tingkat. Milana namanya. Rayn tahu nama gadis itu, karena teman-temannya sering membicarakan Milana sebab wajah cantik dan manisnya, ketika gadis itu sedang lewat di depan kelas Rayn. Baru kali ini mereka benar-benar bertatap muka, membuat Rayn terpaku untuk beberapa saat.

Rayn berdehem seraya mengedipkan kedua kelopak matanya yang sejak tadi tidak berkedip sama sekali, memalingkan pandangan ke sisi lain untuk sejenak, lalu kembali menatap Milana dengan tatapan datar. "Kau berisik sekali, sih!" serunya kemudian.

Gadis berparas cantik di depannya itu berkerut tak suka. "Dih ... biarin!" ujarnya disertai lirikan tak suka ke arah Rayn. "Masnya, siapa sih?! Kok tiba-tiba ada di sini? Tadi perasaan ... pas masuk, aku gak liat ada orang lain di sini, kok!" Gadis itu menatap lekat Rayn untuk beberapa detik, kemudian matanya membeliak. "Jangan-jangan ... Masnya genderuwo, ya?! Hiii ... serem!" ujar Milana, mengedarkan pandangan ke sekeliling sambil bergidik ngeri.

Rayn mengernyit kesal. "Astaga! Licin sekali mulutmu, wahai wanita!" serunya dengan dengusan sebal, "abis minum oli ya?! Licin banget tuh mulut, " Rayn melirik sebal ke arah Milana, "Situ yang ngapain? Teriak-teriak gak jelas. Berisik tau!"

Milana memberengut menatap Rayn. "Biarin sih, Mas! Gak tau, apa! Aku tuh lagi kesal sama senior perempuan yang seenaknya ngatain aku! Lagian, mulut-mulutku sendiri ini kok! Gak pinjam sama Masnya, 'kan?!" sungut Milana.

"Tapi telingaku sakit, dengar kamu teriak-teriak begitu!"

"Ya, maaf! Namanya juga lagi kesal. Suka gak sadar kalau teriak-teriak." Wajah gadis itu cemberut, tetapi di mata Rayn, itu tampak sangat manis. Rayn menatap lekat wajah itu.

"Lagian, ngapain kamu masuk ke sini?"

Milana mengernyit. "Ya ...." Milana melirik Rayn. "Ya ... Masnya sendiri ngapain masuk ke sini?"

Rayn mencibir kecil. "Ditanya malah balik nanya!"

Milana berdecak. "Ya, lagian ... Masnya kepo, sih! 'Kan, terserah aku dong, mau masuk ke sini apa ke mana. Orang lagi kesel, malah ditanya-tanya! Mana kaki jadi sakit, lagi! Tuh! Luka 'kan, jadinya," sungut Milana. Gadis itu menunjukkan kakinya yang tergores dan sedikit berdarah.

Rayn tertawa kecil melihat wajah kesal Milana. Berdiri dan mendekat pada gadis berbibir plum itu, kemudian berjongkok, berniat memeriksa kaki gadis itu.

"Eh! Mas! mau ngapain?!" seru Milana seraya menjauhkan kakinya dari tangan Rayn.

"Sini kulihat kakimu," kata Rayn.

"Gak usah! Entar ngambil kesempatan, lagi!" ketus Milana.

"Heh! Dijaga mulutnya kalau ngomong! Tuh mulut kok renyah banget sih ngatain orang! Ngatain genderuwo, lah! Ngambil kesempatan, lah! Aneh!" sahut Rayn, tak kalah ketus. "Ngatain mulut orang seenaknya, kau pun sama." Timpalnya. Rayn ingat tadi Milana bilang kalau mulut senior wanita di kampus itu seenaknya.

Milana mengerucutkan bibir. "Biarin!" Lalu melihat ke arah kakinya yang terasa ngilu, "argh, gara-gara mereka, nih ... kakiku jadi sakit." Gadis itu kembali menggerutu pelan. Bibirnya yang mengerucut itu tampak lucu.

"Kamu sendiri yang nendang-nendang gak jelas malah nyalahin orang." Rayn geleng-geleng kepala.

"Ya, tapi 'kan kalau mereka gak buat aku kesel, aku gak akan menendang-nendang begini!"

"Sstt!" Rayn menempelkan jari telunjuknya di atas mulut Milana, "berisik! Ayo kuantar ke UKS." Rayn hendak meraih lengan gadis itu. Namun, urung karena Milana menepisnya.

"Mau ngapain?!" ketus Milana, dia agak mundur, memberi jarak lebih jauh dari tubuh Rayn.

Rayn berdecak. "Ayo aku bantu kamu ke UKS,"

"Gak usah," Milana menggeleng, "aku masih bisa jalan, kok. Cuma luka kecil doang gak perlu ke UKS," katanya.

Rayn melangkah ke arah kursi panjang yang ia tempati tidur tadi. Meraih ransel hitam, membuka resletingnya dan mengambil sesuatu dari sana. Kemudian kembali ke arah Milana.

Ternyata mengambil plester, ia mendorong agak keras tubuh Milana, hingga gadis itu terduduk di kursi kayu yang berada tepat di belakang gadis itu.

"Aduh!" Milana mengaduh saat bokongnya terasa sakit, karena berbenturan agak keras dengan kursi kayu itu. "Pelan-pelan dong, Mas!" Protesnya.

Rayn tak menghiraukan protesan Milana. Dia berjongkok, menempelkan plester luka yang dibawanya ke atas luka gores di kaki Milana, setelah membuka kertas plesternya, tanpa menunggu persetujuan dari sang empunya kaki.

Rayn mendongak, menatap wajah Milana dari posisinya, tanpa berkata apapun.

Lagu Broken Angel yang di nyanyikan Arash ft. Helena, berdering keras dari ponsel milik Milana. Membuat Rayn mengubah tatapannya berganti ke arah lain. Milana beringsut ke sebelah, kemudian berdiri. Dia menarik tas ransel biru muda yang tergantung di bahu sebelah kanan, ke arah depan. Tangannya tenggelam di dalam tas itu, merogoh-rogoh. Lalu menarik tangannya yang memegang ponsel. Menempelkan benda pipih itu ke telinga kanannya, sembari melangkah menjauh dari Rayn yang belum berdiri dari posisi berjongkok. Gadis itu tampak berbicara dengan seseorang di telepon.

Rayn berdiri dari acara berjongkoknya. 'Pegal juga, kakiku,' katanya dalam hati.

"Mas! Makasih plesternya!" seru Milana. Membuat Rayn menoleh. Milana tersenyum di sana, matanya tampak menyerupai bulan sabit, saat ia tersenyum. Gadis itu sudah berada di ambang pintu gudang.

"Bye!" Lalu gadis itu melenggang pergi, keluar dari sana.

Menyisakan Rayn yang seakan terpana dengan senyuman Milana. Dia merasakan hatinya berdesir, ada perasaan senang yang membuncah di sana. Kaki dan tangan terasa dingin, juga jantungnya yang berdetak lebih cepat. Jatuh cinta. Dia merasakannya.

Setelah hari itu, Rayn mulai sering memperhatikan gadis itu diam-diam. Tak cukup berani untuk mendekati karena sebuah alasan. Dia bahkan memukul seseorang yang tak sengaja ia dapati tengah berpikiran kotor terhadap Milana. Sampai suatu ketika, dia mendengar bahwa gadis yang telah mencuri hatinya itu, menjadi kekasih Erik. Sejak mengetahui hubungan Erik dan Milana, Rayn tidak lagi memperhatikan gadis itu, dia berusaha menghilangkan perasaan sepihaknya. Rayn selalu menghindar dan memilih pergi ketika Erik membawa serta Milana saat berkumpul dengan teman yang lain. Pemuda itu berusaha keras menghapus perasaannya.

Rayn tersenyum mengingat itu. Hari ini, hatinya kembali berdesir melihat Milana.

'Aku pikir ... sudah melupakan gadis itu.'

.

.

.

Bersambung....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!