Untuk tahu alur cerita ini, sebaiknya baca novel aku yang sebelumnya yaitu MENAKLUKAN SANG PEWARIS. Tapi dibaca tanpa membaca novel sebelumnya juga tak masalah karena alur ceritanya tak sama
*************
Amezza Eliquen Gomez. Gadis cantik berusia 22 tahun. Seorang sarjana ilmu seni rupa dari salah satu universitas ternama di Madrid, yang sejak usianya masih 10 tahun sudah mengikuti banyak lomba melukis yang membuat namanya terkenal sebagai pelukis muda yang sangat berbakat.
Ia termasuk pelukis aliran realisme. Amezza sangat menyukai alam. Lukisan sering selalu menggambarkan keindahan alam yang terlihat nyata walaupun sebenarnya apa yang dilukisnya terkadang bukan sebuah objek yang benar-benar ada melainkan hanya imajinasinya yang tertuang melalui kuas di atas kanvas.
Orang tuanya dikenal sebagai salah satu pengusaha anggur yang sukses di Spanyol dan dikenal sebagai salah satu keluarga bangsawan di negara itu.
Saat ini, Amezza sedang menggelar pameran bersama dengan beberapa pelukis lain dari berbagai penjuru dunia di kota Paris, Perancis. Ini adalah salah satu pameran terbesar yang diadakan oleh salah satu organisasi ternama di kota ini yang berhubungan dengan lukisan. Tidak semua pelukis bisa memamerkan hasil karyanya di sini karena setiap tahun hanya beberapa pelukis saja yang diundang.
Memiliki kecantikan perpaduan Spanyol -Indonesia, membuat Amezza tumbuh menawan seperti seorang bidadari. Ia dijuluki sebagai gadis bermata paling indah dari sebuah majalah kecantikan ternama di Inggris, bahkan bentuk tubuhnya yang sempurna membuat banyak lelaki yang langsung jatuh cinta saat pertama kali melihatnya.
Namun Amezza selalu hanya membalas kekaguman kaum Adam itu dengan senyuman tipis. Gadis itu dikenal introvert. Ia tak banyak bicara. Bahkan untuk menjelaskan tentang lukisannya.
"Sayang, selamat ya? Mama dan papa sangat bangga padamu. Kami mungkin akan pergi sebelum hari terakhir pameran. Soalnya papamu harus kontrol dulu ke dokter." ujar Elora, mama Amezza melalui panggilan Videocall.
"Tidak apa-apa, ma. Tapi kaki papa baik-baik saja kan?" tanya Amezza sedikit khawatir saat dua hari yang lalu ia mendengarkan kabar kalau papanya mengalami kecelakaan saat menunggangi kuda mereka.
"Hanya terkilir sedikit saja. Hanya saja, mama ingin memastikan kaki papamu dinyatakan sembuh sebelum kami akan terbang ke Paris."
"Baiklah, ma. Salam untuk papa dan Oma Tizza. Te amo."
"Mama juga sangat sayang sama kamu, nak. Bye ..."
Amezza menyimpan ponselnya ke tas tangan yang akan di bawahnya di pembukaan pameran ini. Sebuah gaun berwarna hitam membungkus tubuhnya.
Keluarga Amezza memang masih berduka atas kepergian opa Hernandes beberapa bulan yang lalu.
Pintu kamar hotelnya diketuk. Amezza mengintip dulu untuk melihat siapa yang datang barulah membukanya.
"Sudah siap?" tanya Fifi, asistennya. Fifi adalah cucu dari Nuna (kepala pelayan di rumah keluarga Gomez) Nuna berusia 25 tahun. Ia sangat menyukai lukisan juga.
"Sudah."
Fifi menatap baju Yang Amezza kenakan. "Sangat cantik. Ayo...!" katanya lalu menggandeng tangan Amezza menuju ke lobby hotel.
Pameran ini letaknya hanya bersebelahan dengan hotel tempat mereka menginap sehingga mereka tak perlu menggunakan kendaraan.
Begitu mereka tiba di sana, beberapa wartawan langsung mengerumuni Amezza dan Fifi.
"Bagaimana perasaan anda berada di pameran termegah dan terbesar di dunia lukisan?"
"Aku bahagia. Terima kasih atas penghargaan ini." ujar Amezza singkat saja lalu segera melangkah masuk sambil menggandeng Fifi.
Acara pameran pun dibuka oleh menteri kebudayaan Perancis. Kemudian para pengunjung langsung menuju ke ruangan besar tempat para pelukis memamerkan lukisan mereka.
"Ada 7 lukisan yang aku pamerkan di sini. Aku harap kalian menyukainya." hanya itu yang Amezza katakan sebelum Fifi melanjutkan dengan menjelaskan lukisan itu satu persatu.
Amezza duduk di sudut ruangan sambil mengamati Fifi yang memberikan penjelasan kepada para pengunjung. Gadis itu mengambil segelas sampanye dan menikmatinya secara diam-diam.
Fifi tiba-tiba mendekatinya dengan wajah sumringah.
"Semua lukisan mu terjual."
Amezza kaget sekaligus senang. "Di hari pertama semua lukisannya sudah terjual?"
"Ya. Di beli oleh satu orang."
"Siapa?"
"Saya tidak tahu karena yang menghubungi saya adalah asistennya. Dia sudah bayar lunas tanpa menawar sedikitpun dari harga yang sudah saya berikan." kata Fifi sambil mengangkat ponselnya dan menunjukan bukti transferan di rekening bank milik Amezza.
Gadis itu menggeleng tak percaya. "Ini uang yang sangat banyak."
Fifi menepuk bahu Amezza. "Nikmatilah. Kamu memang luar biasa. Aku akan ke menempelkan stamp tanda lukisan itu sudah terjual. Nanti setelah pameran ini selesai, baru mereka akan membawanya."
Fifi melangkah pergi namun kemudian ia berbalik dan mendekati Amezza. "Asistennya bertanya, apakah kamu mau melukis di luar studio mu? Tuannya yang membeli lukisan ini, sangat menyukai alam juga. Dia hanya ingin kamu melukis taman di belakang rumahnya sebelum dirombak menjadi sebuah bangunan yang lain. Aku sudah menolaknya karena aku tahu kamu tak suka berhubungan langsung dengan para pembeli lukisan mu."
"Aku mau ...!"
Fifi terkejut. "Kamu serius?"
"Orang ini sudah membeli lukisan ku. Anggaplah sebagai sebuah bonus saat aku mau melukis halaman rumahnya."
Fifi tersenyum senang. "Baiklah. Ia juga menjanjikan bayaran yang mahal." Fifi segera pergi. Gadis itu memang selalu bersemangat jika berbicara mengenai uang.
**********
Keesokan paginya, Amezza dan Fifi dijemput oleh sebuah mobil mewah berjenis sedan, berwarna hitam.
Mereka menuju ke luar kota dan akhirnya memasuki halaman sebuah rumah yang nampak megah. Halamannya begitu luas dengan desain taman yang sangat indah.
Seorang lelaki berusia sekitar 40an mengenakan jas hitam menyambut mereka. Ternyata ia bernama Antonio, yang merupakan asisten dari tuan yang membelikan lukisan Amezza kemarin.
"Selamat datang di rumah ini." katanya dengan bahasa Spanyol yang sangat fasih.
Sebuah rumah megah dengan perabotan yang sangat mewah. Tentu saja Amezza tahu dengan semua merk furniture termahal di dunia ini karena beberapa juga ada di mansion milik mereka.
"Tuan saya ada di belakang. Mari!" ajak Antoni sambil menunjukan sebuah pintu yang menuju ke bagian belakang rumah.
Nampak seorang lelaki sedang berdiri membelakangi mereka. Ia menggunakan kemeja berwarna putih dengan celana kain berwarna hitam yang nampak sangat pas membungkus tubuh atletis nya.
"Tuan, nona Amezza sudah tiba."
Lelaki itu membalikan badannya dan mata Amezza langsung membulat sempurna. Hampir 3 tahun lelaki ini selalu ada di pikiran Amezza. Lelaki yang sudah menyelamatkannya dari serangan preman jahat saat Amezza sedang melukis di tepi hutan Amazon.
Waktu itu, Amezza memang memilih tempat yang sepi untuk bisa melukis sebagian hutan yang terkenal itu. Ia sedang liburan ke sana dengan orang tuanya dan Amezza ingin sendirian. Tak disangka, beberapa orang lelaki mendekatinya dan mulai menggodanya. Amezza merasa sangat ketakutan karena tak ada orang lain di sana. Saat ia merasa tak berdaya, ketika sebagian pakaiannya sudah disobek, lelaki itu datang dan langsung menghajar para preman tersebut. Ia bahkan tanpa bersuara membuka jaketnya dan langsung menutupi tubuh Amezza dengan jaketnya lalu membawa Amezza ke rumah sakit.
Lelaki itu kemudian menghilang dan Amezza begitu penasaran untuk bertemu dengannya. Ia bahkan belum mengucapkan terima kasih karena sangat ketakutan saat itu.
"Nona Amezza Gomez, terima kasih sudah mau datang ke tempat ini." katanya ramah sambil menjabat tangan Amezza. "Perkenalkan saya Evradt Floquet."
Amezza tersenyum walaupun hatinya begitu penasaran. Apakah lelaki ini tak mengingatnya?
"Terima kasih sudah mengundang saya ke sini dan terima kasih sudah membeli lukisan saya."
Evradt tersenyum. Sangat tampan, terlihat begitu berwibawa dengan tatapan mata teduh membuat Amezza yang biasanya begitu waspada dengan orang yang baru dikenal, ternyata mampu merasa nyaman. Apakah karena lelaki ini selalu ada dalam pikirannya? Ataukah dia memang bukan pria yang menolongnya di tepi hutan Amazon?
"Bagian belakang taman ini akan di ubah menjadi beberapa bangunan. Aku tak ingin kehilangan kenangan taman belakang ini karena itu aku ingin kamu melukisnya." ujar Evradt
"Boleh." kata Amezza sambil menatap taman belakang itu dengan penuh kekaguman. Sebenarnya sangat disayangkan kalau taman ini akan dihilangkan. Namun itu bukan urusan Amezza untuk berkomentar.
"Kapan kamu akan mulai melukisnya?"
"Aku akan menyiapkan semua bahan-bahan untuk melukis. Begitu juga dengan ukuran kanvasnya."
"Aku sudah menyiapkannya." kata Evradt sambil menunjukan sebuah meja yang berisi penuh dengan semua kebutuhan untuk melukis. Amezza mendekatinya. Ia melihat bahwa semua yang dibutuhkannya memang sudah ada di sana.
"Kalau begitu, apakah kita bisa mulai sekarang?" tanya Evradt melihat Amezza diam.
Amezza melirik ke arah Fifi. "Tapi, aku harus berada di acara pameran sebelum pukul 4 sore."
"Za, kamu bisa melukis. Dan biar aku yang ada di sana. Lagi pula semua lukisanmu kan sudah terjual. Tapi, apakah kamu mau aku tinggalkan di sini?" tanya Fifi. Ia sudah tahu betul dengan karakter Amezza. "Aku sudah mencari tahu tentang keluarga ini. Ternyata mereka keluarga bangsawan. Kamu aman di sini." bisik Fifi.
Amezza diam sejenak. Ia menatap Evradt yang nampak sedang menunggu dengan wajah penuh harap.
"Baiklah. Kamu yang menghadiri pameran dan aku akan di sini.' kata Amezza. Entah mengapa ia begitu penasaran dengan lelaki ini.
Akhirnya setelah mereka minum kopi bersama, Fifi pun pamit pulang dan Amezza tinggal di rumah itu.
Ia mengenakan celemek berbahan plastik yang memang sudah tersedia di sana, mengikat rambut panjangnya dan mulai mencampur beberapa warna yang dibutuhkan.
Evradt diam-diam memperhatikan Amezza yang sedang mencampur warna itu.
"Amezza, aku ingin menjadi objek dari lukisan ini juga." kata Evradt saat dilihatnya Amezza sudah menyiapkan semua yang dibutuhkan.
"Tuan Evradt, aku tak biasa melukis orang. Takutnya tidak akan sama persis dengan wajah tuan."
Evradt menunjukan sebuah bangku taman. "Aku akan duduk di sana. Terserah kamu akan melukis aku dengan wajah yang sama atau tidak, namun aku ingin ada di lukisan itu. Boleh?"
"Akan ku usahakan."
"Aku yakin kamu bisa." kata Evradt sambil mengangkat kedua jempolnya. "Panggil saja aku dengan sebutan Ev. Aku pikir usia kita tak jauh berbeda."
"Aku 22 tahun." ujar Amezza
"Aku 27 tahun."
Ada sesuatu yang membuat hati Amezza bergetar saat menatap senyuman Ev. Sesuatu yang tak pernah ia rasakan pada lelaki manapun juga.
Amezza tak tahu bahwa hidupnya yang tenang akan berubah semenjak hari itu.
Amezza
Evradt
12 tahun lalu.......
Seorang anak muda berusia 17 tahun sedang berdiri di bagian paling belakang gedung pertemuan sebuah sekolah swasta ternama. Sekolah Menengah Tingkat Pertama .
Ada seorang anak perempuan. Sangat cantik dengan kulit putih mulus karena perpaduan darah Asia di tubuhnya, melangkah ke podium untuk menerima penghargaan sebagai siswa berprestasi setalah ia memenangkan lomba olimpiade matematika dan juga lomba melukis tingkat nasional.
"Kamu sudah melihat wajahnya kan? Aku berharap kalau kamu tak akan melupakannya. Dia memang cantik. Seiring dengan berjalannya waktu, ia akan bertambah cantik. Namun kecantikannya adalah racun bagimu. Tugasmu adalah memilikinya, buat ia bergantung padamu dan lebih mendengarkan mu dari pada orang tuanya. Tapi jangan sampai kamu mencintainya. Karena kamu diciptakan bukan untuknya. Mengerti?"
"Aku mengerti." jawab anak muda itu.
"Pelajari apa yang menjadi kebiasaan dan hobinya. Amati setiap gerakannya sehingga kamu akan tahu bagaimana cara mendapatkan hatinya."
"Baik."
*************
Wajah Amezza terlihat sangat serius dalam mengerjakan lukisannya. Tak terasa sudah 3 jam ia duduk di depan kanvasnya dan menatap pemandangan di hadapannya. Namun yang lebih membuat ia bersemangat adalah mahluk tampan di depannya.
Evradt nampak tenang. Duduk sambil bersandar di bangku taman. Selama itu pula, lelaki tampan itu menatap Amezza.
"Tuan...eh Ev, jika kamu lelah, istirahatlah."
Evradt menggeleng. "Aku bisa duduk dengan tenang dan santai di sini karena melihat keseriusan mu saat melukis."
"Lukisannya hampir selesai. Hanya saja masih ada satu yang harus aku selesaikan."
"Apa itu?" tanya Evradt.
"Wajahmu." jawab Amezza, pelan, namun bisa di dengar dengan jelas oleh lelaki itu. Evradt berdiri dan mendekati Amezza. Ia melihat kalau tubuhnya sudah dilukis. Namun kepalanya belum.
"Mungkin kita makan siang dulu. Karena sekarang sudah jam setengah 3 sore."
"Tapi....."
Evradt memegang tangan Amezza membuat gadis itu terkejut karena sengatan aneh di kulitnya.
"Perut yang kosong kadang membuat konsentrasi kita hilang." ujar Evradt. Ia melepaskan tangannya yang memegang tangan Amezza lalu dengan sopan mempersilahkan gadis itu untuk masuk kembali ke dalam rumah.
Antonia sudah menunggu mereka di meja makan. Amezza mencuci tangannya yang ada di wastafel dekat meja makann sebelum ia duduk di kursi yang sudah disiapkan untuknya. Evradt duduk di kepala meja sedangkan Amezza di samping kanan.
Seorang pelayan perempuan datang menyajikan makanan pembuka. Amezza berusaha menikmatinya walaupun sebenarnya ia agak gugup makan bersama dengan seorang pria asing.
Selesai dengan makanan pembuka, mereka pun melanjutkan dengan makanan utama.
"Bagaimana? Apakah makanannya enak?" tanya Evradt saat dilihatnya Amezza diam saja sejak duduk di meja makan.
"Iya."
Evradt tersenyum. "Kamu irit sekali bicara ya? Pada hal suaramu sangat indah untuk didengar."
Wajah Amezza jadi merah. Pujian itu terdengar sederhana namun membuat hatinya bergetar. "Maaf, Ev. Aku bukan tipe orang yang mudah menemukan pokok cerita yang pas."
"Aku mengerti." Evradt mengangguk. "Kita memang baru kenal namun aku ingin mengenalmu lebih jauh, terutama mengenai dunia lukisan. Karena baru setahun ini aku suka dengan lukisan. Pengetahuan ku tentang lukisan masih sangat kurang."
"Kalau tentang lukisan, aku rasa kita bisa saling bertukar cerita." kata Amezza sedikit percaya diri membuat Evradt tersenyum senang. Ia kini bisa semakin mengenal gadis yang ia yakin belum pernah pacaran.
Selesai makan siang, Amezza langsung melanjutkan lukisannya. Ia mencoba menyelesaikannya karena besok ia akan menghabiskan waktu dengan orang tuanya.
Pukul 17 lewat 40 menit, Amezza menyelesaikan lukisannya.
"Maaf ya jika wajahmu tak sesuai dengan yang asli." kata Amezza dengan sedikit rasa tak percaya diri.
Evradt memperhatikan lukisan itu dengan seksama. "Aku merasa kalau di lukisan ini, aku terlihat lebih tampan."
"Masa sih?"
"Benar. Dan aku suka." ujar Evradt sambil terus menatap lukisan itu.
Amezza membuka celemeknya. Entah mengapa di bagian kepalanya, celemek itu justru tersangkut di kepalanya. Amezza jadi bingung bagaimana akan mengeluarkannya.
"Aku bantu. Permisi ya." ujar Evradt lalu berdiri di depan Amezza. Kedua tangannya melewati tubuh Amezza dan gadis itu dapat mencium harum parfum khas pria yang begitu lembut. Wangi yang menggoda untuk terus menciumnya.
"Tersangkut di jepit rambutmu." kata Evradt lalu menjauh. Ia meletakan celemek itu di atas meja dan Amezza dapat merasakan kalau wajahnya menjadi panas. Mungkin pipinya kini berwarna merah.
"Terima kasih."
Evradt hanya mengangguk.
"Bolehkah aku menuliskan tanggal di bawah lukisan ini?" tanya Amezza.
"Aku baru saja akan memintanya. Tulislah tanggal dan nama serta tanda tanganmu. Agar semua orang tahu kalau ini dilukis oleh pelukis yang terkenal dari Spanyol." kata Evradt membuat Amezza menjadi sedikit bangga. Ia pun menuliskan tanggal, namanya dan juga tanda tangan di sudut kanan bawa lukisan itu.
"Sudah selesai. Aku mau pulang." ujar Amezza.
"Aku akan mengantarmu. Lagi pula kita belum membicarakan tentang pembayaran lukisan ini."
Amezza menggeleng. "Tidak usah dibayar."
"Kenapa?"
Karena kamu pernah menolong aku 3 tahun yang lalu. Namun Amezza tak berani mengatakannya. "Karena kamu sudah membayar semua lukisanku yang ada di pameran dengan harga yang mahal. Anggaplah ini bonus sebagai tanda terima kasihku."
"Aku merasa tak enak. Masa sih lukisan seperti ini gratis. Aku kan yang meminta kamu untuk datang ke sini."
"Tidak apa-apa." Amezza hanya bisa tersenyum manis.
"Kalau begitu ijinkan aku berterima kasih dengan cara mentraktir mu untuk makan malam. Kamu punya waktu besok?"
"Besok orang tuaku akan datang."
"Tidak apa-apa ajak mereka sekalian."
Amezza jadi bingung. "Nanti aku tanyakan pada mereka ya?"
"Ok." Evradt memanggil Antonia. "Siapkan mobil. Aku sendiri yang akan mengantar nona Amezza."
"Baik, tuan."
Amezza mendekati Evradt. "Aku jadi merepotkan. Biar saja aku baik taxi."
"Mengapa harus baik taxi? Aku ingin sekali mengantar mu karena kamu sudah sangat baik padaku." Ujar Evradt dengan nada suara tak ingin ditolak.
"Baiklah."
Evradt pun mengantarkan Amezza dengan mobil mercy nya. Sepanjang perjalanan, Evradt banyak bertanya tentang dunia lukisan dan tentu saja itu obrolan yang menyenangkan untuk Amezza.
Mereka tiba di hotel saat hari sudah malam. Evradt dengan cepat turun dari mobil dan membukakan pintu bagi Amezza.
"Selamat beristirahat. Dan sekali lagi terima kasih untuk semuanya. Oh ya, bolehkah aku meminta nomor teleponmu?"
Amezza awalnya agak ragu untuk mengatakannya. Namun hatinya mengatakan kalau lelaki ini orang baik. Ia pun mengambil ponsel Evradt yang disodorkan kepadanya dan ia mengetuk nomor ponselnya di sana. Evradt menerima ponselnya lagi dan menyimpan nomor Amezza.
"Semoga besok kita bisa makan malam ya?" ujar cowok itu sebelum masuk kembali ke dalam mobilnya. Amezza melambaikan tangannya sebelum masuk ke dalam hotel. Hatinya berbunga-bunga. Amezza bahkan merasakan ada kupu-kupu yang beterbangan di perutnya. Namun gadis itu berusaha menolak kata hatinya yang mengatakan kalau ia sudah jatuh hati pada cowok tampan itu.
************
Amezza senang saat menjemput kedua orang tuanya di bandara pagi ini. Ia memeluk mereka dengan penuh kerinduan laku bertanya tentang keadaan kaki papanya.
"Sudah membaik, nak. Kamu jangan khawatir." kata Enrique ketika mereka dalam perjalanan ke hotel.
Mereka mampir sebentar di sebuah restoran untuk sarapan sambil Amezza menceritakan tentang lukisannya yang laku terjual di hari pertama. Tak lupa juga Amezza menceritakan tentang dirinya yang melukis di rumah pembeli lukisannya itu.
"Namanya Evradt Floquet." ujar Amezza membuat Enrique mengerutkan dahinya.
"Keluarga Floquet adalah keluarga terkenal di Perancis ini. Kalau tidak salah mereka adalah keluarga bangsawan. Mereka bahkan memiliki perkebunan anggur dan pernah beberapa kali mengikuti kontes minuman anggur sedunia." kata Enrique.
Elora yang sangat protektif pada putrinya ini segera mencari profil Evradt di dunia maya. "Apakah ini orangnya?" tanya Elora sambil menunjukan foto di ponselnya.
"Iya, ma. Dan aku merasa kalau orang ini yang menolong aku 3 tahun yang lalu. Oh ya, tuan Evradt mengundang aku untuk makan malam. Kalau papa dan mama mau, boleh juga ikut dengan kami." kata Amezza. Nampak matanya berbinar saat menceritakan tentang lelaki itu. Tentu saja Elora dan suaminya salah melihat ada sesuatu di hati putri mereka ini.
"Kamu saja yang pergi, nak. Lagian besok malam, papa dan mama ingin jalan-jalan keliling kota Paris. Soalnya terakhir kali kami datang ke tempat ini saat usiamu baru 10 tahun." Kata Elora sambil menatap suaminya. Enrique mengangguk.
Selama ini mereka beranggapan kalau Amezza tak akan pernah tertarik pada pria manapun. Sikap Amezza yang tertutup pada orang luar membuatnya sulit mendapatkan kekasih diantara sekian banyak pria yang mengejar nya.
Malam harinya, Amezza sudah siap dengan kencannya. Ia mengenakan gaun berwarna merah maroon. Sangat cocok dengan warna kulitnya.
"Menurut mu, aku bagaimana?" tanya Amezza pada Fifi.
"Sangat cantik."
Elora dan Enrique yang juga ada di kamar Amezza tersenyum.elihaz bagaimana gugupnya putri mereka di kencan pertama.
Evradt datang menjemputnya tepat waktu. Pukul 7.30 malam. Elora dan Enrique, serta Fifi mengantarkan Amezza ke lobby.
"Senang berjumpa dengan anda tuan Gomez. Juga dengan anda nyonya Gomez." Evradt dengan gaya sopan dan sangat elegan memberi salam kepada orang tua Amezza. Setelah itu keduanya pergi dengan mobil Evradt.
"Kamu cantik sekali malam ini. Aku jadi tak percaya diri berjalan bersamamu." kata Evradt saat mobilnya sudah berhenti di depan sebuah restoran mewah.
"Jangan seperti itu." Amezza jadi tersipu.
Evradt membukakan pintu baginya, lalu menyerahkan kunci mobilnya pada petugas parkir lalu melangkah di samping Amezza saat memasuki restoran.
"Aku tahu kalau kamu tak terlalu suka berada di tengah banyak orang. Karena itu aku memesan ruangan privat untuk kita." kata Evradt saat keduanya diarahkan untuk naik tangga menuju ke ruangan khusus yang ada di restoran ini.
Sebuah ruangan yang memang tak begitu luas. Ada meja yang tak begitu besar dan 2 buah kursi. Mereka memesan makanan lalu ngobrol santai sambil menikmati segelas anggur.
Sementara mereka makan, ada Seorang gadis pemain biola yang mengiringi acara makan malam mereka.
"Aku suka biola." ujar Amezza.
"Aku senang karena kamu menyukainya."
"Kalau begitu, ayo kita dansa." ajak Evradt. Mereka sudah selesai makan malam.
"Tapi aku tak pernah berdansa dengan orang lain selain papaku." Amezza menolak.
"Kalau begitu aku akan menjadi lelaki istimewa karena bisa menjadi lelaki yang pertama kali berdansa denganmu selain papamu."
Amezza agak ragu namun ia menerima uluran tangan Evradt juga.
Keduanya pun berdansa diiringi alunan lagu romantis dari sang pemain biola.
"Papamu seorang guru dansa yang baik. Buktinya kamu seorang pedansa yang baik." puji Evradt membuat Amezza hanya bisa tersipu.
Jantung gadis itu berdetak sangat cepat karena pandangan mata Evradt begitu lembut menatapnya.
"Amezza, aku pikir kalau aku sudah jatuh cinta padamu." bisik Evradt sangat lembut sebelum ia mengecup punggung tangan gadis itu.
Amezza merasakan perutnya kembali dipenuhi kupu-kupu. Jantungnya berdetak sangat cepat. Ingin rasanya ia memeluk lelaki yang baru saja menyatakan cinta padanya itu.
Apa yang harus aku katakan, Tuhan? tanya Amezza dalam hati
*************.
Menurut kalian, Amezza harus bilang apa ?
Tangan Amezza yang masih digenggam oleh Evradt tiba-tiba saja menjadi dingin. Langkahnya terhenti dan ia mencoba menatap Evradt.
Melihat 2 orang yang saling berpandangan itu, pemain biola nya langsung meninggalkan ruangan itu. Ia membungkuk sebentar lalu segera membuka pintu dan menutupnya kembali setelah ada di luar ruangan.
"Apakah perkataan ku kesannya tidak sopan?" tanya Evradt khawatir. Ia mundur selangkah agar bisa menatap wajah Amezza secara jelas namun dia tak melepaskan tangganya yang menggenggam tangan Amezza.
"Aku ......!" Amezza bingung harus bicara apa. Evradt bukanlah lelaki pertama yang menyatakan cinta padanya. Amezza bahkan tak bisa menghitung berapa jumlah lelaki yang sudah datang dan ingin mendapatkan hatinya. Namun lelaki ini berbeda. Hanya lelaki ini yang bisa menggetarkan hatinya.
"Aku......!" Kata itu untuk kedua kalinya Amezza ucapkan. Ia membuang pandangannya ke lain arah.
"Apakah menurutmu ini terlalu cepat? Tapi inilah yang aku rasakan untukmu. Aku adalah tipe orang yang tak bisa menyimpan apa yang kurasakan pada seseorang. Maaf kalau perasaan ku ini membuatmu tak nyaman denganku."
"Bukan seperti itu." Amezza buru-buru meralatnya. "Aku hanya bingung saja."
Evradt tersenyum. Ia mencium punggung tangan Amezza dengan sangat lembut. "Aku tak akan memaksamu untuk memiliki perasaan yang sama denganku. Hanya saja aku ingin kamu tahu apa yang aku rasakan untukmu." Setelah mengatakan demikian, Evradt pun melepaskan tangannya yang menggenggam tangan Amezza.
Gadis itu berusaha terlihat tenang namun debar jantungnya masih sangat cepat.
"Apakah kita akan pulang sekarang?" tanya Evradt.
Amezza hanya mengangguk. Keduanya pun melangkah bersama keluarga dari privat room itu. Evradt mampir sebentar di kasir untuk membayar makanan mereka setelah itu keduanya keluar restoran. Seorang penjaga parkir segera mengambil mobil Evradt. Setelah itu keduanya pun pergi.
"Amezza, apakah kamu punya jam malam?" tanya Evradt.
"Tidak. Orang tuaku tidak pernah menentukan jam berapa aku harus pulang."
"Mau pergi ke suatu tempat yang indah?"
"Boleh."
Evradt mengarahkan mobilnya ke arah sungai Seine. Mobil itu berhenti di tepi sungai dan Amezza langsung kagum dengan pemandangan indah di atas air sungai. Sekarang sedang bulan purnama.
"Suka dengan pemandangannya?" tanya Evradt.
"Ya. Aku belum pernah melukis di tepi sungai saat malam hari."
"Mau mencoba?" tanya Evradt?"
"Aku tak membawa peralatan apapun."
Evradt membuka bagasi mobilnya. Ia menunjukan semua peralatan melukis yang di bawahnya. Termasuk juga kursi lipat untuk sang pelukis.
"Astaga Evradt." Amezza sampai terkejut dibuatnya.
"Mulai sekarang, di mobil ku selalu akan ada peralatan melukis jika kita jalan bersama."
Amezza jadi kagum. Evradt langsung mengeluarkan kaki kanvas dan meletakan kanvas di atasnya. Ia juga mengeluarkan meja lipat dan kursi lipatnya. "Buatlah lukisan yang indah. Aku akan menemanimu agar tak diganggu oleh preman jahat."
Amezza yang sudah duduk menatap Evradt. "Kamu pernah ke Amazon?" tanya Amezza. Ia begitu penasaran.
"Ya."
"Kita pernah bertemu sebelumnya kan?" Amezza menjadi bersemangat. Berarti memang inilah pria yang pernah menolongnya.
"Ya. Kita pernah bertemu 3 tahun yang lalu. Sejak awal bertemu, aku sebenarnya ingin menanyakan hal ini. Namun aku malu menanyakannya. Jangan-jangan kamu sudah lupa padaku."
"Astaga, bagaimana aku bisa melupakan mu. Kamu sudah menyelamatkan kehormatan ku."
Evradt tersenyum bahagia. "Kamu sudah ada di hatiku semenjak 3 tahun yang lalu, Amezza. Hanya saja waktu itu aku harus cepat-cepat pulang karena papaku jatuh sakit. Makanya aku tak pernah menemui kamu lagi."
"Aku sungguh berhutang Budi padamu."
Evradt mengambil jaketnya dari dalam mobil. Ia memberikannya pada Amezza. "Pakailah. Udara di dekat sungai ini sangat dingin."
Amezza mengenakan jaket itu. Ia kemudian mulai melukis. Evradt mengambil sebuah lampu gantung dan meletakannya di dekat Amezza.
Gadis itu tak pernah begitu bahagia saat melukis seperti ini. Hanya dalam waktu satu jam, lukisan itu selesai.
"Cantik sekali." puji Evradt.
"Tunggulah sebentar sampai ia mengering." kata Amezza saat Evradt akan menyentuhnya.
"Maaf. Aku terlalu bersemangat."
Amezza berdiri. "Aku mau mencuci tangan." Ia membuka sepatu hak tingginya lalu berjalan ke arah sungai.
"Airnya dingin." Evradt mencegahnya. "Di mobilku ada sebotol air mineral. Kamu dapat menggunakannya untuk mencuci tanganmu."
"Aku mau merasakan dinginnya air sungai ini." Amezza terus melangkah. Ia berjongkok di tepi sungai lalu mencuci tangannya.
"Dinginkan?" tanya Evradt terlihat khawatir.
Amezza berdiri. Namun karena batu di dekat sungai itu licin, ia kehilangan keseimbangan nya namun Evradt dengan cepat memeluk gadis itu.
"Kamu bisa terluka, Ame!" ujar Evradt membuat Amezza tertegun. Ia jadi ingat dengan opanya yang selalu memanggilnya dengan sebutan Ame.
"Aku suka caramu memanggilku." kata Amezza. Tangan Evradt yang masih melingkar di pinggang Amezza perlahan bergerak. Evradt menarik tubuh itu sehingga menempel pada tubuhnya. Amezza nampak terkejut namun ia juga tak menghindar.
"Rasanya aku sudah tergila-gila padamu." kata Evradt lalu menunduk. Mengecup dahi Amezza, turun ke pipinya. Di sudut bibir gadis itu ia berhenti.
"Boleh aku menciummu?" tanya Evradt dengan suara serak namun terdengar lembut dan menggoda penuh harap.
Amezza tak bicara. Sungguh ia merasa kalau jantungnya akan keluar dari tempatnya.
"Apakah diammu menandakan kalau kamu setuju?" tanya Evradt. Bibirnya menunggu di sudut bibir Amezza. Tangan Amezza terkepal. Ia kemudian memejamkan matanya. Evradt tak mau bertanya lagi. Ia mencium bibir mungil itu dengan sangat lembut. Awalnya hanya kecupan kecil namun perlahan namun pasti menggoda sehingga Amezza menyambut ciuman itu dengan membuka mulutnya.
Di bawah sinar rembulan, di tepi sungai yang dingin, keduanya berciuman. Tangan Amezza perlahan memegang sudut kemeja yang Evradt kenakan.
Ciuman itu sangat istimewa bagi Amezza karena ini ciuman pertamanya. Tubuhnya terasa panas. Jantungnya tak berhenti berdetak secara cepat.
Kemudian Evradt mengakhiri ciumannya. Ibu jarinya menyapu lembut bibir Amezza. "Aku mencintaimu, Amezza."
Amezza tersipu. Ia tertunduk dengan wajah yang terasa panas. Evradt langsung memeluknya dengan wajah yang bahagia. "Aku senang sekali malam ini, Ame. Aku bahkan tak pernah sebahagia ini seumur hidupku."
"Memangnya kamu tak pernah dekat dengan cewek?" tanya Amezza sambil mendongak dan menatap Evradt.
Lelaki itu menyentuh pipi Amezza dengan punggung tangannya. "Aku memang sudah banyak mengenal wanita dalam hidupku. Namun tak ada yang seistimewa dirimu. Karena aku harus menunggu 3 tahun untuk bisa mendekatimu."
"Aku juga sudah lama mencarimu, Ev."
Evradt mengecup puncak kepala Amezza lalu memeluk gadis itu sekali lagi. "Rasanya aku tak ingin melepaskan mu malam ini." bisiknya lalu kembali mencium bibir Amezza.
************
Evradt mengantarkan Amezza kembali ke hotel.
"Aku akan memimpikan mu dengan bahagia malam ini." kata Evradt saat mengantarkan Amezza di depan lift yang ada di lobby hotel.
"Ini jaketmu." Amezza akan membuka jaket yang dipakainya namun Evradt menahan tangannya.
"Jangan. Pakailah saja. Ini sebagai tanda bahwa aku selalu bersamamu."
"Buena noches." ujar Evradt. Ia mengecup pipi Amezza sebelum akhirnya membalikan badannya dan pergi. Amezza masuk ke dalam lift dengan hati yang bahagia. Ia tak tahu kalau kedua orang tuanya ada di lobby. Sedang duduk di sudut ruangan sambil mengamati anak gadis mereka yang baru kali ini pulang menjelang pukul 1 dini hari.
"Kamu sudah memastikan kalau lelaki itu orang baik kan? Dia sudah mencium putriku." ujar Elora.
"Sayang. Sudah ku katakan kalau keluarga mereka bukan keluarga sembarangan. Evradt itu sudah yatim piatu karena kedua orangtuanya sudah meninggal. Ia punya seorang adik namun sekarang sedang ada di Amerika untuk melanjutkan studinya. Bisnis keluarga Meraka sangat banyak. Aku tak pernah melihat berita tentang Evradt dengan para gadis di internet. Mungkin dia lelaki yang tak suka kehidupan pribadinya diketahui orang banyak."
Elora menatap suaminya. "Menurut mu, apakah tidak terlalu cepat putri kita jatuh cinta. Bukankah mereka baru bertemu kemarin?"
"Sayang, selama ini kamu selalu khawatir karena Amezza tak pernah dekat dengan cowok manapun selain kedua adiknya. Sekarang dia sedang dekat dengan seseorang, biarkanlah ia mengikuti kata hatinya. Kita hanya perlu mengingatkannya agar Amezza tak terlalu cepat memberikan hatinya secara utuh."
Elora melingkarkan tangannya di lengan sang suami. "Ayo kita ke kamar."
Enrique mengecup puncak kepala sang istri. Tak pernah berkurang cintanya bagi Elora. Walaupun kini istrinya itu sudah berusia 45 tahun.
***********
"Bagaimana kencan semalam?" tanya Fifi saat mereka makan pagi di restoran hotel.
"Biasa saja. Hanya makan malam kan?"
Enrique dan istrinya saking berpandangan sambil menahan senyum.
"Masa sih hanya makan malam? Tak ada percakapan khusus? Soalnya bagi ini kamu terlihat senyum terus." Fifi terlihat tak percaya.
"Kamu ini. Ayo sarapan. Kita kan jam 9 akan dijemput oleh mobil yang kita sewa." kata Amezza pura-pura tak menghiraukan perkataan Fifi karena ia malu dengan kedua orang tuanya yang sejak tadi sudah menatapnya.
Selesai sarapan, mereka pun segera menuju ke lobby. Fifi memeriksa apakah mobil yang sudah mereka hubungi sudah ada.
"Nona, ini ada mobil yang sudah sejak tadi menunggu. Katanya di kirimkan oleh tuan Evradt Floquet yang mengirimnya." kata satpam penjaga pintu sambil menunjukan sebuah mobil mewah jenis Rolls-Royce Phantom VIII Extended Wheelbase. Mobil yang pernah Amezza inginkan namun harganya yang mahal membuat gadis itu memilih mengurungkan dulu niatnya.
"Amezza, lihatlah lelaki pujaan mu mengirimkan mobil mewah ini untukmu." ujar Fifi membuat Amezza hampir pingsan melihatnya. Ia baru saja akan menelpon Evradt namun pesan lelaki itu lebih dulu masuk.
Mi amor, gunakan saja mobilnya untuk jalan-jalan bersama orang tuamu. Semoga hari ini kamu bahagia ya? Aku tak bisa mengantarkan langsung padamu karena pagi ini aku harus terbang ke Amerika. Adikku sakit dan aku harus menjaganya. Semoga kita bisa bertemu sebelum kamu kembali ke Spanyol.
Amezza membaca pesan itu dengan hati bahagia. Walaupun sebenarnya ada sedikit rasa sedih karena ia tak bisa bertemu dengan Evradt.
"Cie....cie...yang lagi jatuh cinta." goda Fifi membuat pipi Amezza menjadi merah merona.
Akankah kisah ini berakhir manis?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!