"Ijin Danton, jenis kelaminnya di tulis?" Tanya Prada Ruanda. 'ajudan' Letnan galak itu meminta arahan.
"Nggak, di foto." Jawab Letnan Harshano santai. Sambil mengepulkan asap rokok, ia melihat keadaan sekitar.
"Siap." Prada Ruanda paham akan perintah tersebut. Ia menulis data diri Letnan Shano pada selembar kertas meskipun tidak seluruhnya benar.
Ada seorang gadis yang mengusik perhatiannya, gadis yang di jodohkan dengannya. Putri kecil Om Johan, dulu beliau adalah ajudan orang tuanya.
"Ijin Danton, kenapa harus kesini?? Kenapa tidak langsung mendatangi rumahnya? Atau tanya dengan Abang-abangnya??" Tanya Prada Ruanda.
"Karena inilah kartu AS saya, Om Johan tidak tau pekerjaan anak perempuannya ini, apalagi Abangnya. Jadi kalau saya tau kelakuan ini bocah, saya bisa menolak perjodohan ini." Jawab Bang Shano.
"Siap, Danton. Ijin, apa sudah ada fotonya?" Tanya Prada Ruanda lagi.
"Foto apa???? Punya saya???? Pancen bocah ganjil. Pikiranmu buthek, itu pelecehan." Omel Bang Shano.
"Siaap..!!!"
Prada Ruanda segera melengkapi data diri 'junjungannya' yang mendaftar sebagai pegawai lepas, penjaga sebuah arena ring gulat tersembunyi di pinggiran kota.
Lokasi tersebut bukan hanya ajang adu otot saja namun juga sarat akan kriminalitas terselubung.
Setelah selesai melengkapi data diri, ia menyerahkan pada Bang Shano.
"Lho, kamu nggak daftar juga????" Tegur Bang Shano.
"Siap, kami lengkapi."
Dua kertas sudah tertulis data diri mereka sebagai penjaga keamanan, hanya penjaga keamanan dan tidak lebih dari itu.
Segera Prada Ruanda menyerahkan dua kertas berisi data diri mereka pada pihak yang menangani.
:
Beberapa saat kemudian nampak seorang gadis menuju ke atas ring. Dia memakai nama Queen Lady.
"Subhanallah." Bang Shano hanya bisa mengelus dada melihat setiap lekuk tubuh si cantik Queen Lady.
Sejenak Bang Shano terkesima. Tubuh indah sang pegulat wanita sungguh luar biasa. Desir jantungnya panas naik turun, sekujur tubuhnya mendadak menegang, rasanya sungguh gemas sampai menggigit kecil bibirnya.
Ia memastikan kembali data diri sang pegulat tersebut dari sebuah data di atas kertas yang ia peroleh dari rekan kerjanya sebagai penjaga keamanan.
"Kirana Jena Nayara. Lhooo.. Je_na???? Jena, kan?? Astaghfirullah..!!" Bang Shano terkejut sekaligus panik menyadari bahwa gadis yang di jodohkan dengannya adalah seorang pegulat bebas di kala malam.
Terdengar sebuah percakapan singkat dari para boss bahwa jika kali ini Queen Lady menang maka dia membutuhkan pengawalan khusus demi keselamatannya juga menghindari keributan pada bisnis tersebut namun sayang tidak ada yang berani mengawal Queen Lady karena resikonya memang teramat berat. Apalagi syarat menjadi seorang bodyguard seorang pegulat juga tidak mudah. Minimal bodyguard harus bisa mengalahkan beberapa orang termasuk pegulat itu sendiri.
Bang Shano tersenyum penuh kelicikan. Ia menghampiri para boss besar tersebut.
"Bolehkah saya menawarkan diri untuk menjadi bodyguard nya??" Tanya Bang Shano.
Para boss saling melirik, mereka tidak yakin tapi postur tubuh pria yang menawarkan diri itu juga tidak bisa di remehkan.
"Ada syaratnya." Kata seorang boss.
"Sama, jika saya menang..................."
...
Seperti biasa tidak ada masalah berarti. Queen menang sempurna. Bang Shano keluar dari arena lain sembari menghapus noda darah dari bibirnya. Entah dirinya sedang berbicara dengan siapa dalam sambungan telepon tapi agaknya pembicaraan tersebut cukup serius.
Kini arena sudah tertutup dan Bang Shano naik ke atas ring dan menyerahkan ponselnya pada Prada Ruanda. Pertarungan memang tidak sempurna, namun inilah hidup yang terkadang jauh dari yang namanya ketidak adilan.
Si cantik Queen menyulut rokoknya lalu dengan gaya centilnya berusaha menggoda untuk melemahkan lawan tandingnya yang jelas tidak seimbang.
Beberapa saat menggoda, si cantik Queen mulai jengah karena Bang Shano seakan tidak tergoda. Ia melihat seorang pria di sisi ring selalu memberi semangat padanya.
'Dia nggak suka perempuan ya??'
Queen yang penasaran mulai nakal dan semakin berani menggoda. Ia menyusuri lekuk tubuh pria gagah itu hingga ke bagian terlarang sambil menguarkan asap ke segala arah di hadapan Bang Shano.
Queen mengurungkan niatnya dan semakin memperlihatkan lekuk tubuh indahnya pada Bang Shano, dua bongkah sama besar sudah menantang adrenalin.
Bang Shano mengambil rokok dari jemari Queen tapi mengarahkan asapnya jauh dari wajah Queen, nampak gahar dan menakutkan.
"Mau?? Ambil dah..!!" Bang Shano menantang balik dengan senyum nakal dan wajah penuh kemesuman.
Queen yang kesal segera berusaha melepaskan diri tapi Bang Shano menjegalnya. Queen yang tidak waspada cukup kaget di buatnya.
Jelas saja Queen berontak. Terjadilah pertarungan sengit namun terlihat Bang Shano banyak menghindar tanpa menyakiti.
Di saat Queen lengah, secepatnya Bang Shano melumpuhkan Queen dengan menghantam sisi lehernya hingga tidak sadarkan diri dalam dekapannya. Semudah itu, ya.. Semudah itu tapi tidak mengakibatkan gadis itu cedera.
Tak banyak basa-basi, Bang Shano meminta jaketnya pada Prada Ruanda lalu menutupi tubuh Queen. Bang Shano menunduk dan sejenak memejamkan matanya, entah apa yang di rasakannya saat ini tapi ia semakin merapatkan jaketnya untuk menutupi tubuh Queen.
"Cukup ini yang terakhir, tidak boleh ada laki-laki lain yang menatapmu dengan pandangan kurang ajar dan tidak sopan selain saya." Gumamnya di telinga Queen.
***
"Berantem lagi??? Jangan buat Mama khawatir terus bisa nggak sih, Shan??" Bang Rey menegur Bang Shano usai sholat subuh.
"Ora wani gelut, ora lanang." Jawab Bang Shano santai.
Tak lama Rea bangun dari tidurnya dan membawa perut besarnya. Perkara tidak suka melihat wajah Bang Bima, saudara kembar Bang Rey itu sampai harus mengungsi di rumah Mama.
"Shan, Rey.. petikin mangga, donk..!!" Pinta bumil.
"Astaga, minta Bang Bima laah. Dia yang bikin anak, aku yang repot. Kita kagak urunan buat tuh bocah." Gerutu Bang Shano yang masih mengantuk.
"Tau nih, baikan sono..!! Lu ngidam, kita yang mumet. Belum lahir sudah begitu aja ruwetnya, mirip amat sama emaknya." Oceh Bang Rey.
"Apa kalian bilang???? Jawaban macam apa itu?? Sombong sekali kalian..!! Panjat mangganya sekarang juga..!!" Teriak Rea.
Mendengar teriakan itu, Bang Rey dan Bang Shano kocar kacir. Bang Rey mengambil karung dan Bang Shano mengambil galah.
:
"Aseeeemm.. Subuh begini sudah kerja romusha. Mana ada orang ngidam galak bener. Bang Bima juga sama saja, tinggal lawan saja apa susahnya." Gerutu Bang Shano tetap tidak terima.
"Lha iyaa, mana tegasnya????" Imbuh Bang Rey.
.
.
.
.
"Darimana saja kamu semalam??? Cuti hanya di buat kelayapan." Tegur Papa Rinto karena putra keduanya sejak dulu memang terbilang sulit 'berdamai' dengannya.
"Nongkrong." Jawab Bang Shano singkat saja.
"Jangan nongkrong yang tidak ada gunanya, pikir acara pertunanganmu dengan anaknya Om Johan." Kata Papa Rinto.
Agaknya Papa Rinto ingin putranya itu segera melepas masa lajangnya mengingat putra keduanya itu terlalu liar.
"Terlalu rugi keindahan dunia jika tidak di nikmati, wanita di luar sana banyak yang menawarkan diri. Sayang kalau saya tidak mencobanya." Gumam Bang Shano.
"Jaga kelakukan mu, Shano. Kamu punya Mama, ada Rea dan Shada. Jangan kurang ajar sama perempuan." Urat leher Papa Rinto sampai menegang berbicara dengan putranya.
Seperti biasa Bang Shano malas menanggapi ucapan Papanya. Komunikasi di antara mereka terlalu buruk sejak kejadian beberapa tahun yang lalu.
"Shano, sudah..!! Jangan bicara seperti itu lagi sama Papa." Kata Mama Dinar.
"Saya tidak pernah menganggap Shada itu ada, dia membuat Syafa tiada dan Papa membelanya mati-matian bahkan saat Mama ragu dia ada dirumah ini hanya karena keluarga kita mengenalnya. Ingat.. Tidak semua wanita bisa keluar masuk rumah ini meskipun dia masih muda." Teriak Bang Shano.
plaaaaaakk..
"Ngelamak, lancang kamu dengan orang tuamu. Kamu tidak paham kenapa Papa memberinya ampunan." Bentak Papa Rinto. "Papa paham kamu kehilangan Syafa, tapi Shada sudah bertobat. Kita hutang nyawa Si Mbok meninggal karena menyelamatkan mu."
"Tapi karena Shada, Syafa pergi di hari pertunanganku."
Regina, istri Bang Rey sampai gemetar karena ketakutan melihat pertengkaran tersebut.
"Oke, aku kembali ke Batalyon, nggak ada perjodohan..!! Aku nggak mau menikah dengan perempuan lain, hanya Syafa yang aku cintai..!!!" Tolak Bang Shano.
Seketika Mama Dinar memeluk putranya dan mengusap punggungnya dengan lembut. "Jena adalah gadis yang baik, Le."
"Biarkan saja kalau dia pengen blangsak, mencintai sesuatu yang tidak ada."
"Apakah Mama bisa tergantikan?" Bang Shano masih tidak bisa melupakan kepergian kekasihnya, Syafa.
"Kamu belum merasakan ikatan batin apapun dengan Syafa....."
Rasanya tenggorokan Bang Shano tercekat, kalah ucap dengan Papa Rinto yang seolah tidak bisa mengerti perasaan nya.
Mama Dinar terus mengusap punggung putra keduanya. "Percaya Mama, Le. Pilihan orang tua semua demi kebaikkan mu."
Bang Shano menengadah menahan genangan air mata yang hendak tumpah. Hatinya masih penuh dengan nama Syafa, tidak tergantikan dengan wanita lain. Secepatnya Bang Rey dan Rea memeluknya.
'Aku harus bilang apa?? Haruskah kuceritakan wanita kualitas rendahan seperti Jena. Dia pegulat, kekanakan, sulit di atur dan usil sedangkan Syafa begitu keibuan dan sangat lembut, berbanding terbalik dengan Jena.'
"Mau ya, Le..!!"
Setiap melihat wajah Mama Dinar, hati Bang Shano bagai terpukul dan tidak tega. Ia pun mengangguk demi menyenangkan hati Mamanya, toh rencana pernikahan dari wacana pertunangan ini masih bisa di batalkan.
-_-_-_-_-
"Bagaimana, dek??"
Jena gelagapan salah tingkah melihat pria yang akan menjadi calon suaminya adalah orang yang menjadi manager sekaligus bodyguard nya.
Tidak ada tanda pria tersebut akan menekannya, semua terlihat tenang dan begitu aman.
Ekor mata Jena terus melihat ke arah ayahnya, ia seakan memohon agar pertunangan tersebut di batalkan saja. Jujur ada rasa takut tersendiri di hati Jena tapi entah kenapa Papanya begitu percaya pada laki-laki tersebut.
"Saya terima pinangan Om. Eehh.. A_bang." Jawab Jena meskipun dengan perasaan takut.
"Tapi ada satu syarat yang saya minta. Selepas ?" Kata Bang Shano.
Papa Rinto merasa cemas dengan perkataan putranya. Rencana apa yang sudah di pikirkan putranya saat ini.
"Apa?" Tanya Serma Johan, Ayah Jena.
"Jena ikut dengan saya..!!"
"Ngawur..!!" Papa Rinto seketika panik dengan permintaan putranya.
Sejenak Ayah Johan terdiam sembari menimbang segalanya. Mempunyai anak perempuan bagai menggenggam sebutir telur, terlalu erat menggenggam pasti akan pecah namun kurang erat menggenggam juga bisa terjatuh.
Mengingat putranya juga berada disana, Ayah Johan pun mengijinkannya.
"Iya, tidak apa-apa." Batinnya karena darah seorang Rinto tidak akan mungkin menyakiti putrinya.
"Tapi, yah."
Ayah Johan menenangkan putrinya. Semua pasti akan baik-baik saja.
:
"Kalau Jena nggak mau ikut, apa rencana Om?? Apa mau menyebarkan pekerjaan Jena??" Tanya Jena ketus.
"Mulut saya bukan seperti perempuan yang suka mengadu, tapi.. Kalau kamu tidak menurut dengan saya, saya akan menumbangkan kamu sama seperti semalam. Kamu ingat, ada kejadian apa di antara kita semalam?" Ancam Bang Shano. Senyumnya licik, jemarinya menyentuh bagian perut Jena dengan tatapan nakal.
Jena semakin gelagapan pasalnya saat terbangun dari pingsannya semalam, pakaian Jena sudah berganti dengan pakaian yang lain.
.
.
.
.
Suara gemuruh musik di cafe menghalangi pendengaran Letnan Hananto, ia pun menjauh setelah menyeruput kopi hitamnya. Patah hati karena seorang Syafa bisa membuatnya setengah gila seperti ini.
"Opo, ting?" Jawabnya setengah berteriak.
"Aku bawa Jena ke Batalyon, kau tangani dia..!!" Pinta Bang Shano.
"Tangani piye?? Hamilin dia??" Tanya Bang Han.
"Ngawur, ojo. Ya maksudnya buat dia jatuh cinta sama kamu."
"Oohh.. Yowes, bawa sini..!!" Sambut Bang Hananto malas.
Panggilan telepon terputus, pandang mata Bang Hananto melihat beberapa orang pemuda sedang mengganggu seorang penyanyi cafe, bahkan seorang pemuda disana melakukan pelecehan hingga pakaian gadis itu sobek.
Kesal melihatnya, Bang Hananto pun turun tangan. Dirinya menghajar seluruh pemuda itu tanpa ampun hingga lari tunggang langgang.
Setelah pemuda itu pergi, Bang Hananto melepas jaketnya. Gadis itu masih menangis histeris karena ketakutan.
"Tenang, saya nggak akan menyentuhmu..!!" Perlahan Bang Hananto menyampirkan jaketnya untuk menutupi tubuh gadis itu.
Gadis itu begitu lemah. Tidak ada pilihan lain, Bang Hananto membawanya ke dalam mobilnya.
...
"Risha, nama saya Risha."
Bang Hanan mengalihkan pandangan. Jika selama ini bayang dan angannya teralihkan oleh sosok Syafa, kini di matanya ada sebentuk keindahan lain yang memudarkan alur pikirnya hingga detak jantung nya bertalu kencang. Darahnya berdesir panas dan sekujur tubuhnya menegang.
Teringat kemarahan sang Ayah waktu itu membuat jalan pikirnya pudar.
"Saya bisa menyelamatkan kamu dari mereka. Tapi ada syaratnya..!!"
"Apapun syaratnya, saya tidak mau mereka mengirim saya keluar pulau. Saya tetap ingin disini meskipun saya tidak punya siapapun lagi, menjadi pembantu Pak Kunto pun saya tidak masalah." Jawab Risha.
"Oke. Kamu harus menanda tangani kontrak dan menikah dengan saya. Katakan pada orang tua saya bahwa saya ini laki-laki normal. Saya akan memberimu bayaran yang pantas, bonus dan akan membiayai hidupmu meskipun kita tidak bersama lagi sebagai tanda terima kasih saya." Kata Bang Hananto.
"Baiklah. Jika ini hanya sebuah kontrak, maka tidak ada kontak fisik di antara kita karena semua hanya profesional kerja." Ujar Risha.
"Nggak masalah. Ikut dengan saya, sekarang..!!" Ajak Bang Hananto.
...
Usai membereskan masalah di antara mereka, Bang Hananto langsung membawa Risha ke rumah kontrakannya. Ia tidak ingin lagi Risha kembali pada masa lalunya yang kelam.
"Besok Ayah dan Ibu saya datang. Beraktinglah senatural mungkin. Jadilah istri yang mencintai saya dalam penglihatan kedua orang tua saya..!!" Perintah Bang Hananto.
"Tenang saja Pak. Saya akan bekerja sebaik mungkin." Kata Risha.
"Panggil saya Abang, tidak ada istri yang memanggil suaminya 'bapak'." Tegur Bang Hananto mengarahkan.
Bang Hananto menyerahkan berkantong-katong barang untuk Risha juga satu set perhiasan. Tentu dirinya paham bagaimana caranya menghargai seorang 'istri'.
"Masuklah dan segera tidur, besok Ayah dan Ibu akan datang bersama letting saya."
"Letting itu apa?" Tanya Risha.
"Teman seperjuangan." Jawab Bang Hananto singkat tanpa menjabarkan latar belakang dan pekerjaan nya.
***
Bang Shano menengadah. Om Rakit satu penerbangan dengannya, tentu dirinya tidak bisa mengabaikan Jena begitu saja.
"Masih lama ya, Bang?" Tanya Jena mulai gelisah. Dirinya sangat takut gelap dan ketinggian hingga keringat dingin karena gugup.
"Turun saja kalau bosan." Jawab ketus Bang Shano.
Jena mencibir ngeri lalu menunjukan lengan kecilnya sebagai tantangan kalau pria itu macam-macam dengannya.
"Disana ada arena gulat?" Bisik Jena.
"Ada, nanti sama saya di tempat tidur." Bang Shano menjawab sekenanya karena malas.
"Oya, kenapa harus menunggu di tempat tidur. Disini juga bisa." Jena yang geram membuka kancing pakaiannya dan memperlihatkan dadanya yang mungkin nampak oversize untuk gadis seusianya.
Sontak saja Bang Shano panik meskipun wajahnya nampak tenang. Untung saja seat mereka adalah seat private hingga tidak ada satupun orang yang melihat kelakuan Jena.
"Apa-apaan kau ini. Kalau dadamu sebesar kelapa ijo, terserah saja kau pamerkan. Lah ini seperti tombol kipas angin saja masih banyak gaya." Omel Bang Shano sambil memejamkan matanya.
Namun siapa sangka aliran darahnya bak pipa yang tersendat. Sekujur tubuhnya panas menegang hingga pakaiannya terasa sesak.
'B*****t. Kalau gini caranya, kolaps juga nih gue. Gimana caranya biar si rusuh ini nggak bertingkah. Iman tebal sekalipun kalau terus di uji ya ambruk juga.'
.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!