***
Hidup Serena bisa dibilang seperti langit yang selalu mendung, tak pernah benar-benar cerah. Sejak kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan mobil ketika usianya baru lima tahun, Serena seperti kehilangan warna dunia.
Ia kemudian tinggal bersama keluarga dari pihak ibunya: Paman Reza, Bibi Nani, dan sepupunya, Vina. Kedengarannya seperti cerita gadis yatim piatu yang kemudian mendapat cinta dan kasih dari keluarga barunya—tapi kenyataan jauh dari itu.
Bibi Nani selalu bersikap dingin dan kasar, seolah kehadiran Serena adalah beban. Kata-kata tajam keluar dari bibirnya setiap hari, dan tak jarang disertai bentakan karena hal sepele seperti piring yang tidak tertata rapi atau lantai yang kurang bersih.
Paman Reza lebih sering diam, seperti tidak punya kuasa atas istrinya. Sementara Vina, sepupu sebaya yang tampaknya memiliki segalanya—penampilan menarik, teman-teman banyak, dan perhatian dari orang tuanya—justru menjadikan Serena sebagai pelampiasan rasa iri yang tak berdasar.
Entah mengapa, Vina selalu merasa Serena lebih dari dirinya. Mungkin karena tatapan orang-orang yang kadang lebih simpatik pada Serena, atau karena nilai-nilai sekolah Serena yang selalu lebih tinggi. Tapi bukannya mengagumi, Vina memilih menyakiti dengan ejekan, sindiran, dan sikap menjatuhkan.
Serena bertahan. Setiap hari dijalaninya dengan senyum tipis yang dipaksakan, menyembunyikan luka yang sudah mengakar. Ia tumbuh menjadi gadis pendiam, tapi pekerja keras.
Di usia 24 tahun, Serena kini bekerja sebagai staf administrasi di sebuah perusahaan swasta kecil. Pekerjaannya biasa saja, gajinya pun tidak seberapa, tapi bagi Serena, itu adalah kebebasan kecil. Setidaknya, di kantor, ia bisa bernapas tanpa merasa dibenci.
Namun, hidup belum juga berbaik hati kepadanya. Di kantor pun, Serena bukan sosok yang menonjol.
Ia sering dilewatkan saat pembagian proyek penting, dan jarang sekali mendapat pujian meskipun kerjanya rapi. Meski begitu, Serena tak pernah mengeluh. Ia hanya ingin hidup tenang, tanpa drama, tanpa bentakan, tanpa rasa sakit.
Hingga suatu hari, seorang pria bernama Hafiz, karyawan yang dulunya kerja di bagian departemen lain dan sekarang pindah ke departemen yang sama dengan Serena menjadi Pria yang tenang, penuh perhatian, dan tidak seperti kebanyakan orang yang hanya melihat Serena sekilas lalu lupa.
Hafiz mulai menyapa, mulai mendengarkan, dan sedikit demi sedikit—membuka celah dalam tembok pertahanan Serena yang selama ini ia bangun rapat-rapat.
.
Pagi itu, seperti biasa, Serena datang ke kantor lima belas menit lebih awal. Ia lebih suka datang lebih pagi, saat suasana masih sepi dan mesin fotokopi belum berisik oleh permintaan dokumen dari berbagai divisi.
Dengan secangkir teh hangat dari pantry, ia duduk di meja kerjanya, membuka laptop, dan mulai mengecek laporan kemarin.
Suara pintu terbuka membuatnya menoleh pelan. Hafiz masuk dengan kemeja biru muda dan senyum kecil yang hampir selalu hadir di wajahnya.
Sejak dua minggu lalu Hafiz memang berbeda. Ia tidak sekadar ramah, tapi juga memperhatikan. Bukan dengan cara berlebihan, tapi cukup untuk membuat Serena merasa... terlihat.
"Pagi, Serena," sapa Hafiz dengan suara tenang.
Serena mengangguk pelan. "Pagi, Mas Hafiz."
"Laporan meeting kemarin sudah kamu rangkum?" tanyanya sambil meletakkan tas di mejanya.
"Sudah. Aku kirim ke email tim tadi pagi," jawab Serena singkat.
Hafiz tersenyum kecil. "Kamu memang selalu gercep, ya."
Serena tak tahu harus menjawab apa. Pujian adalah hal langka dalam hidupnya, bahkan dari hal sekecil ini pun hatinya seperti mendapat cahaya kecil. Ia kembali menunduk, menyembunyikan senyum samar yang tak bisa dicegah.
Hari itu, mereka banyak berinteraksi. Hafiz meminta bantuan Serena untuk merapikan data presentasi, dan selama itu, mereka mulai berbicara lebih dari sekadar urusan kerja.
Serena merasa nyaman, meski ia tetap menjaga jarak. Luka lama mengajarkannya untuk tidak mudah percaya.
Sore hari, saat hendak pulang, Hafiz menyusul Serena di lobi.
"Kamu naik apa pulangnya?" tanyanya.
"Naik bus. Memang kenapa, Mas?"
"Kebetulan aku lewat arah yang sama. Mau bareng? Aku bisa anterin."
Serena ragu sejenak. Dalam hatinya, suara Bibi Nani menggaung: jangan gampang percaya sama orang. Tapi tatapan mata Hafiz jujur. Tidak ada paksaan, hanya tawaran tulus.
"Boleh," jawabnya pelan.
Dan saat itulah, Serena merasakan sesuatu yang asing namun hangat: harapan.
.
Langit senja masih menyisakan semburat jingga ketika Serena melangkah turun dari motor yang dikendarai Hafiz.
Nafasnya belum sepenuhnya teratur, sebagian karena jalanan yang padat, sebagian lagi karena rasa letih yang menggerogoti tubuhnya setelah seharian bekerja.
Rambutnya sedikit kusut, tas kerja disampirkan di bahu kiri, dan senyum tipis ia sempatkan untuk Hafiz.
"Terima kasih ya,Mas Hafiz. Hati-hati di jalan," ucapnya singkat namun tulus.
Hafiz hanya mengangguk, matanya menatap lembut wajah Serena yang tampak lelah. “Iya, Serena. Kamu juga… istirahat yang cukup ya.”
Serena membalas dengan anggukan, lalu membuka pintu pagar besi rumah sederhana itu. Belum sempat ia benar-benar menutup pagar, suara teriakan keras menghantam udara.
“SERENA!!”
Tubuhnya sontak menegang. Suara itu—tidak salah lagi—Bibi Nani.
“DASAR ANAK TAK TAHU DIRI! PAGI-PAGI PERGI, TAPI BAJU KOTOR NUMPUK DI KAMAR MANDI! LANTAI KOTOR KAYAK KANDANG AYAM, NGGAK ADA SEDIKITPUN NIAT MEMBANTU!”
Suara langkah kaki tergesa terdengar dari dalam rumah. Pintu dibuka kasar, dan muncullah sosok Bibi Nani, mengenakan daster motif bunga yang sudah kusut, rambut disanggul asal-asalan, dan wajah merah padam karena emosi.
“Kalau kamu pikir bisa enak-enakan kerja lalu pulang tidur doang, KAMU SALAH! Ini rumah siapa, hah? Rumah kamu?! Bukan! Jadi jangan bertingkah seolah-olah kamu cuma numpang ngaso!”
Serena mematung di depan pintu, bahkan belum sempat menaruh tas. Bibirnya bergetar, ingin menjelaskan bahwa pagi tadi ia terlambat bangun karena begadang menyelesaikan laporan lembur semalam, tapi suara Bibi Nani terlalu keras, terlalu menusuk.
Dari balik pagar, Hafiz yang belum beranjak pergi ikut terpaku. Ia mendengar segalanya. Tubuhnya menegang, ingin maju dan membela Serena, namun kaki seperti tertahan. Ia tahu posisinya bukan siapa-siapa bagi Serena, dan mendengar amukan itu saja sudah membuat dadanya sesak.
Dari tempatnya berdiri, Hafiz bisa melihat mata Serena mulai memerah. Tapi tidak ada air mata. Hanya diam. Seperti biasa, Serena memilih menahan semuanya dalam diam.
Hafiz menggenggam erat stang motornya. Ia ingin berteriak, atau setidaknya memanggil nama Serena—tapi suara Bibi Nani kembali memecah udara.
“Mulai sekarang, jangan harap kamu bisa hidup enak di sini kalau masih males-malesan begitu! Besok, sebelum subuh, semua harus sudah beres. Paham, Serena?!”
Serena mengangguk pelan, suaranya tercekat di tenggorokan.
“Iya, Bi…”
Tak ada yang bisa ia lakukan. Tak ada tempat untuk lari. Ini rumah di mana ia tumbuh, tapi tak pernah benar-benar merasa menjadi bagian darinya.
Hafiz akhirnya menyalakan motornya perlahan, tanpa suara. Ia tahu Serena menyadari kehadirannya, tapi sengaja tidak menoleh. Hafiz pergi, dengan satu janji dalam hati—ia harus lebih dari sekadar penonton. Serena tak pantas terus hidup dalam diam yang menyakitkan seperti ini.
.
Malam turun perlahan, membawa hawa dingin dan bayang-bayang kesepian ke dalam rumah yang tampak hangat dari luar, tapi membekukan hati di dalamnya.
Lampu ruang makan menyala terang. Aroma tumisan buncis, ayam goreng, dan sambal terasi menyebar dari dapur, menggoda perut siapa pun yang lapar setelah seharian bekerja.
Serena berjalan pelan dari kamarnya, hendak ke meja makan dengan harapan bisa mengisi perut yang sejak pagi hanya diberi kopi instan dan sepotong roti kering. Namun langkahnya terhenti begitu suara sinis memecah udara.
"Eh, jangan ikut-ikutan makan ya. Makanan ini bukan buat orang yang kerjaannya cuma bisa bawa malu dan nyusahin!"
Serena menoleh. Di ujung meja duduklah Vina, sepupunya, dengan wajah manis yang diselimuti senyum penuh racun.
Masih mengenakan seragam guru, Vina bersandar santai di kursi sambil menyendok nasi ke piring. Di sebelahnya duduk Bibi Nani yang langsung menimpali:
"Betul kata Vina! Dasar anak tak tahu diri. Ngelunjak! Numpang tinggal tapi nggak tahu aturan. Masih untung dikasih atap, jangan berharap dapet jatah makan juga!"
Serena menunduk, jari-jarinya mengepal tanpa sadar. Suara perutnya sendiri seolah menjadi pengkhianat, merengek minta diisi. Tapi hatinya sudah kenyang—kenyang dengan hinaan, kenyang dengan rasa tak dianggap.
Ia menoleh ke arah Paman Reza yang duduk di kursi ujung, memandangi piringnya sendiri tanpa sepatah kata pun.
Mata mereka sempat bertemu, tapi pria paruh baya itu buru-buru mengalihkan pandangannya, pura-pura sibuk mengaduk sambal.
Tak ada pembelaan. Seperti biasa.
Vina menyeringai, lalu menambahkan, “Malu nggak sih, udah kerja tapi nggak bisa bantu-bantu di rumah? Katanya orang kantoran. Tapi kelakuan... ampun deh. Untung Mama sabar ya, masih mau nerima dia di sini.”
Bibi Nani menimpali cepat, “Kalau bukan karena kasihan sama almarhum kakakku, udah dari dulu dia aku usir! Tapi ya dasar, makin dikasih hati makin ngelunjak!”
Serena menahan napas. Dadanya sesak. Lidahnya kelu. Tak ada satu pun kata yang bisa menembus dinding kebencian yang sudah terlalu tebal di rumah ini.
Dengan langkah pelan, ia berbalik, kembali ke kamarnya. Perutnya kosong, tapi hatinya lebih kosong lagi. Di balik pintu yang ia tutup perlahan, suara tertawa di meja makan terdengar begitu bising. Seakan mengejek sunyi yang ia peluk sendirian.
Di dalam kamar, Serena duduk di lantai, bersandar pada kasur tipis yang mulai usang. Ia membuka tas kerjanya, mengambil sepotong roti sisa bekal pagi tadi—satu-satunya yang bisa ia makan malam ini.
Sambil mengunyah perlahan, matanya menatap langit-langit. Ia berbisik pelan, hampir tak terdengar, “Tuhan... kalau memang harus begini terus, ajarkan aku kuat. Tapi kalau aku pantas bahagia... tolong, jangan terlalu lama.”
Di luar kamar, kehidupan tetap berjalan. Tapi untuk Serena, malam terasa seperti waktu yang membeku. Tak ada tempat baginya di meja makan itu. Tak ada kursi untuknya—bahkan sebagai keluarga.
Uang Gaji Serena selama ini pasti akan diminta oleh Bibi nya, tapi serena hanya memberi nya setengah. Sisanya ia gunakan untuk ongkos dan ditabungkan untuk keperluan mendesak.
“Sepertinya aku harus keluar dari rumah ini, sudah cukup aku hidup menderita selama ini.” Lirih Serena.
***
Jam tiga dini hari, udara masih menggigit kulit ketika Serena menarik koper kecilnya keluar dari kamar. Rumah itu sepi, hanya suara jam dinding yang berdetak. Ia berdiri sejenak di ruang tengah, memandangi sudut-sudut yang selama ini menjadi saksi luka dan tangis diam-diamnya.
Di atas meja makan, ia meletakkan selembar surat. Tulisan tangannya rapi dan tegas:
"Terima kasih atas tempat tinggal selama ini. Maaf jika kehadiranku hanya jadi beban. Aku pergi bukan karena benci, tapi karena ingin belajar bahagia. – Serena"
Ia menarik napas panjang. Matanya sempat memerah, bukan karena sedih meninggalkan, tapi karena takut akan apa yang akan datang. Tapi tekadnya sudah bulat. Semalam, ia sudah berbicara lewat telepon dengan Delina—teman SMA yang sudah seperti kakaknya sendiri. Delina membantunya mencarikan kontrakan kecil, dan ternyata ada yang kosong tepat di samping tempat tinggal Delina.
Tanpa banyak suara, Serena keluar dari rumah. Ia naik taksi online yang sudah dipesan sejak tengah malam. Hati-hati ia menoleh ke belakang sebelum masuk ke mobil, memastikan tidak ada yang terbangun. Dalam gelap, ia membisikkan doa kecil—semoga ini adalah awal yang lebih baik.
Sekitar tiga puluh menit kemudian, ia sampai di kompleks kontrakan sederhana di pinggiran kota. Delina sudah menunggu di depan rumahnya dengan jaket tebal dan senyum hangat.
"Kamu beneran datang," ujar Delina pelan, lalu memeluk Serena.
Serena membalas pelukan itu. "Terima kasih, Lin... Aku nggak tahu harus ke mana kalau nggak ada kamu."
"Kontrakan sebelah kosong. Bukan besar, tapi cukup buat kamu sendiri. Nanti siang kita beresin sama-sama, ya."
Serena mengangguk. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, ia merasa seperti punya rumah.
Dan hari itu, matahari terasa lebih ramah dari biasanya.
.
Pagi itu, suasana rumah Paman Reza berbeda. Bibi Nani bangun seperti biasa, dengan suara langkah yang berat dan wajah kesal karena teh di dapur belum siap. Ia berjalan ke ruang tengah dan matanya langsung menangkap secarik kertas di atas meja makan.
"Apa ini?" gumamnya, membuka lipatan surat dengan gerakan tergesa.
Wajahnya berubah saat membaca tulisan tangan Serena. Tangannya gemetar, bukan karena sedih, tapi karena campuran marah dan tak percaya.
"Mas! Bangun! Anak itu pergi!" teriaknya dari ruang tengah.
Paman Reza keluar dari kamar dengan langkah malas. "Apa maksudmu?"
Bibi Nani melemparkan surat itu ke hadapan suaminya. "Dia ninggalin rumah! Ini suratnya. Coba kau baca sendiri!"
Reza membaca pelan-pelan. Tak ada reaksi meledak darinya, hanya desahan berat dan tatapan kosong ke arah ruang kosong yang dulu ditempati Serena.
Vina, yang baru keluar dari kamar dengan piyama dan rambut acak-acakan, melirik ke arah kedua orang tuanya. "Serena ngapain sih drama segala? Pindah rumah aja pake nulis surat kayak sinetron."
"Diam, Vin! Kamu juga nggak sedikit bikin dia nggak betah di rumah ini," bentak Paman Reza, untuk pertama kalinya suaranya terdengar tegas.
Vina membelalak. "Lho, kok aku yang disalahin? Memangnya dia tuh nggak pernah salah? Dari dulu cuma bisa cari simpati. Aku ini anak kandung kalian, tapi kalian..."
"Cukup!" seru Bibi Nani, yang kini wajahnya merah padam. Tapi bukan karena sedih Serena pergi—lebih kepada ego yang tersentak karena merasa ditinggalkan.
Satu rumah sunyi. Tidak ada suara langkah kecil Serena di pagi hari, tidak ada aroma teh yang biasa ia siapkan untuk pamannya. Dan tak ada lagi sosok yang diam-diam selalu membersihkan kekacauan rumah setelah semua tidur.
Paman Reza duduk di sofa, memijat pelipisnya. Ia merasa gagal. Bukan sebagai paman, tapi sebagai manusia yang membiarkan seorang anak tumbuh dalam ketidakbahagiaan di bawah atapnya.
Bibi Nani masuk ke dapur dengan langkah kasar. "Biarin aja dia pergi. Dia pikir bisa hidup enak di luar sana? Nanti juga balik sendiri."
Namun, diam-diam, hatinya tak setenang itu. Serena memang tak pernah membalas kata-kata kasarnya. Tapi kepergiannya yang tenang itu terasa seperti tamparan—bahwa Serena sudah cukup menderita, dan akhirnya memilih pergi, bukan melawan.
Dan pagi itu, untuk pertama kalinya, rumah itu benar-benar sepi. Sepi dari suara, sepi dari kehidupan, dan sepi dari hati.
.
Serena berdiri di tengah ruangan kontrakan barunya. Ukurannya memang kecil—hanya satu kamar, dapur mungil, dan kamar mandi di belakang—tapi bagi Serena, tempat ini seperti pase setelah bertahun-tahun hidup di padang gersang. Ia duduk di atas lantai beralaskan tikar pinjaman dari Delina, memandangi koper dan kardus kecil yang membawa seluruh hidupnya.
Delina masuk membawa dua cangkir kopi hangat. "Maaf ya, belum bisa suguhin teh susu kesukaan kamu. Di rumahku juga lagi habis stok."
Serena tersenyum. "Kopi ini sudah lebih dari cukup. Terima kasih banyak, Lin. Aku masih nggak percaya aku beneran di sini."
"Kamu pantas dapat tempat yang tenang, Ren. Udah terlalu lama kamu sabar di rumah itu. Sekarang waktunya kamu hidup untuk dirimu sendiri."
Hari itu dihabiskan dengan membersihkan dan menata ruangan. Delina membantunya menyapu, mengepel, bahkan menempelkan beberapa stiker lucu di dinding untuk membuat suasana sedikit lebih hangat.
Saat sore menjelang, mereka duduk di ambang pintu kontrakan, menikmati semilir angin yang membawa aroma hujan dari kejauhan.
Hari ini Serena sengaja izin tidak masuk kerja, agar bisa beres-beres tempat tinggal baru nya.
"Kamu masih kerja di tempat lama, kan?" tanya Delina sambil menyeruput kopinya yang kedua.
"Iya. Aku nggak mau tiba-tiba resign. Tapi entah kenapa, sekarang aku punya semangat baru. Mungkin karena aku udah nggak harus pulang ke tempat yang selalu bikin sesak."
Delina menepuk pelan punggung Serena. "Kamu kuat banget, Ren. Tapi kamu nggak perlu terus-terusan jadi kuat sendirian. Kalau capek, bilang. Kalau butuh teman, panggil. Aku di sebelah kamar aja."
Serena menahan air mata haru yang tiba-tiba menggenang. Untuk pertama kalinya, ia merasa tidak sendiri. Bukan sekadar bertahan hidup—ia mulai belajar hidup
*
Malam tiba. Serena tidur di atas kasur tipis yang baru saja dibentangkan. Tanpa suara bising, tanpa ketakutan akan bentakan atau cibiran. Di luar, langit mendung menggantung, tapi bagi Serena, hatinya baru saja menemukan seberkas terang.
Dan esok hari, ia akan kembali ke kantor. Kali ini dengan langkah yang berbeda. Karena kini, Serena punya tempat untuk pulang—dan alasan untuk terus melangkah.
Serena mendapatkan beberapa pesan masuk dari Hafiz, karena takut Hafiz datang ke rumah Bibi nya, Serena memberitahu Hafiz kalau ia sekarang sudah pindah ke kontrakan jarak nya tidak begitu jauh dengan tempat kerjanya.
***
Serena melangkah ke kantor dengan napas yang lebih ringan. Matanya masih sedikit sembab karena belum sepenuhnya lepas dari rasa cemas akan kehidupan barunya, tapi ada semangat baru yang menyelinap dalam langkah-langkahnya. Ia kini punya tempat pulang yang benar-benar miliknya.
Saat memasuki gedung kantor, aroma kopi pagi dan suara pintu lift yang terbuka menyambut seperti biasa. Tapi ada yang berbeda dalam dirinya. Serena tak lagi terbebani oleh bayang-bayang bentakan pagi dari Bibi Nani atau ejekan dari Vina. Pagi ini, dia merasa utuh.
"Pagi, Serena!" sapaan ceria itu datang dari Hafiz yang sedang berjalan menuju pantry.
Serena tersenyum lebih lebar dari biasanya. "Pagi, Mas Hafiz.”
Hafiz melirik wajah Serena, sedikit terkejut dengan pancaran ketenangan yang baru ia lihat. "Kamu kelihatan beda. Lebih... santai."
Serena mengangkat alis, geli. "Beda ya? Mungkin karena kemarin aku pindahan."
Hafiz tersenyum, “Maaf ya waktu itu aku dengar teriakannya Bibi kamu, mau bantu tapi aku takut memperunyam. Tapi sekarang aku merasa lega pas kamu bilang sudah pindah dari rumah itu.”
Serena hanya tersenyum, Malu sebenarnya karena di dengar oleh orang baru. Mungkin kalau waktu itu Hafiz tidak mengantarkan nya pulang, pasti sampai sekarang Hafiz tidak akan tahu soal kejadian itu.
.
Hari itu berjalan dengan ritme yang lebih nyaman. Serena kembali duduk di mejanya, menyusun laporan, membalas email, dan menyiapkan data presentasi seperti biasa. Tapi kali ini, ia tidak merasa seperti sedang menanggung beban dunia. Ia bekerja dengan ringan, dan bahkan sempat tertawa kecil saat makan siang bersama dua rekan kerjanya yang biasanya hanya ia sapa singkat.
Saat jam istirahat tiba, Serena sedang duduk sendiri di sudut kantin kantor, menikmati nasi goreng dan es teh manis. Tempat itu cukup ramai, tapi Serena memilih kursi dekat jendela yang menghadap ke taman kecil.
Tak lama, Hariz muncul sambil membawa nampan berisi soto ayam dan air mineral. Ia melirik kursi kosong di hadapan Serena. "Boleh temenin?"
"Tentu," jawab Serena sambil tersenyum.
Mereka makan dalam keheningan sejenak, tapi suasana tidak canggung. Justru ada rasa tenang yang menyelimuti. Setelah beberapa suapan, Hafiz berkata, "Kamu tahu? Waktu kamu nggak masuk dua kemarin, kantor rasanya... beda."
Serena terdiam, tak menyangka akan mendengar itu.
"Aku cuma... terbiasa lihat kamu tiap hari di sini. Nggak tahu kenapa, tapi keberadaanmu bikin suasana lebih... seimbang," lanjut Hafiz sambil tersenyum ringan.
Serena menunduk sedikit, menahan senyum. "Terima kasih. Aku juga senang bisa kembali ke sini."
"Kalau butuh bantuan atau sekadar teman ngobrol, kamu tahu ke mana nyarinya, kan?"
Serena mengangguk. "Aku ingat."
Jam istirahat itu berlalu lebih hangat dari biasanya. Ada percakapan ringan, gurauan kecil, dan tawa yang pelan. Dan saat mereka kembali ke meja kerja masing-masing, Serena tahu: hari-hari ke depan mungkin masih penuh tantangan, tapi kini ia tidak lagi benar-benar sendiri.
.
Saat jam pulang tiba, kantor mulai sepi. Serena merapikan mejanya dan menyampirkan tas di bahu. Saat itulah Hafiz menghampiri.
"Serena, kamu pulang naik apa? Kalau kamu belum pesan apa-apa, aku bisa anterin. Sekalian lewat juga," tawar Hafiz, suaranya hangat seperti biasa.
Serena tersenyum, lalu mengangkat layar ponselnya. "Makasih banyak, Mas. Tapi aku udah pesan ojol barusan. Tinggal beberapa menit lagi sampai."
Hafiz mengangguk, walau ada sedikit kekecewaan yang ia sembunyikan di balik senyum tipisnya. "Oke, hati-hati di jalan, ya."
"Iya, Mas. Terima kasih. Sampai besok."
Serena melangkah keluar gedung dengan perasaan damai. Ia menatap jalanan yang mulai dipenuhi lampu kendaraan, lalu menoleh sebentar ke belakang. Hafiz masih berdiri di lobi, melambaikan tangan sebelum akhirnya berbalik.
Hari ini... benar-benar hari yang baik, pikir Serena. Dan ia tahu, ini baru permulaan.
Dalam perjalanan pulang, Serena meminta ojol berhenti di sebuah minimarket yang berada di persimpangan sebelum kontrakannya. Ia ingin membeli sabun mandi, lampu kecil, dan beberapa kebutuhan harian.
Namun, saat baru melangkah menuju pintu masuk, matanya secara tidak sengaja menangkap sosok yang sangat ia kenal. Vina.
Sepupunya itu sedang berdiri di bagian rak makanan ringan bersama seorang pria yang terlihat lebih dewasa—berpenampilan rapi, memakai kemeja biru dan celana panjang gelap. Mereka tampak berbicara akrab, bahkan tertawa kecil.
Serena sontak mundur setengah langkah dan bersembunyi di balik papan promosi minuman. Jantungnya berdegup kencang. Ia tak menyangka akan melihat Vina di sana, apalagi bersama seorang pria.
Tanpa pikir panjang, Serena memutar arah. Belanja bisa ditunda. Ia tak ingin berurusan dengan drama atau tatapan sinis Vina malam ini. Ia memilih berjalan kaki pelan ke arah kontrakan, menatap lampu jalanan sambil mengatur napas.
"Sudah cukup kejutan untuk satu hari," gumamnya lirih.
*
Sementara itu, di tempat lain, Hafiz baru saja sampai di apartemennya. Ia membuka pintu dan menemukan dua sosok yang sudah akrab menunggunya di ruang tamu.
"Akhirnya pulang juga kamu, Nak," suara lembut tapi tegas itu milik Farhana, ibunya.
Di sampingnya duduk sang ayah, Fadlan, yang sejak tadi hanya memperhatikan Arga dengan pandangan penuh makna.
Hafiz menggantung jasnya di dekat pintu dan berjalan mendekat. "Iya, Ma, Pa. Maaf baru bisa pulang malam. Ada kerjaan lembur sedikit."
Fadlan menyilangkan tangan di dada. "Kerjaan di kantor Om kamu itu, ya? Sudah berapa lama kamu di sana, Fiz? Dua tahun?"
hafiz mengangguk, duduk di hadapan mereka. "Kurang lebih, Pa."
Farhana menyahut, "Mama dan Papa bukan nggak suka kamu kerja di sana. Tapi sampai kapan kamu mau terus di posisi itu? Kamu tahu, perusahaan kita juga butuh penerus."
Fadlan menatap anaknya dalam-dalam. "Kamu satu-satunya pewaris, Hafiz. Perusahaan keluarga ini dibangun dari nol oleh kakekmu, dan kami berharap kamu yang melanjutkannya."
Hafiz menghela napas panjang. "Aku tahu, Pa, Ma. Tapi aku belum siap. Aku ingin belajar lebih dulu, dan kerja di tempat Om buat aku belajar banyak hal... termasuk gimana rasanya jadi orang biasa."
Farhana tersenyum tipis. "Mama ngerti. Tapi jangan terlalu lama. Kamu punya tanggung jawab lebih besar dari yang kamu sadari."
Hafiz mengangguk pelan. Malam itu, pikirannya tidak hanya dipenuhi soal pekerjaan—tapi juga tentang seseorang di kantor yang perlahan-lahan mengisi ruang kosong di hatinya.
Serena.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!