Suatu pagi yang tenang, langit begitu biru, dan angin membelai dedaunan dengan lembut.
Tapi di dalam dadaku, badai belum reda.
Mentari memang bersinar, tapi tak bisa menembus mendung yang menetap di hatiku.
Hari itu seharusnya biasa saja. Tapi entah mengapa, aku terbangun dengan mata yang berat, dan dada yang sesak oleh sesuatu yang tak kasat mata oleh sebuah kehilangan, yang bahkan belum sempat diberi nama.
Aku menangis pagi itu.
Tanpa suara, hanya air mata yang perlahan jatuh membasahi bantal. Padahal kejadiannya sudah tiga bulan yang lalu.
Bukan karena pertengkaran, bukan karena perpisahan yang dramatis. Tapi karena kenyataan mulai menguap dari harapan.
Pria yang pernah berjanji menikahiku, pria yang pernah kuberikan seluruh doaku, akhirnya menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya!
"Kelly! Aku ingin menikah denganmu. Aku ingin kau menjadi istriku. Aku ingin mempunyai anak anak yang lucu darimu. Aku ingin tua bersamamu dan membina masa depan bersamamu. Aku hanya menginginkanmu. Hanya kamulah satu satunya wanita yang aku cintai didunia ini".
Begitulah katanya, dengan mata yang kuyakin penuh cinta!
Dan aku...?
Aku percaya.
Seolah setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah ayat suci yang turun langsung ke hatiku.
Aku percaya dia akan datang.
Dia berjanji akan memberikan boneka kesukaanku.
Dia bilang, ingin berjalan jalan bersamaku di pantai saat senja, tertawa tanpa khawatir akan hari esok.
Tapi janji hanya tinggal janji.
Dan kata-kata manis tak pernah berubah menjadi kenyataan.
Ia menghilang perlahan, seperti debu yang tersapu angin.
Bukan tanpa sebab, hanya tanpa penjelasan.
Lebih menyakitkan lagi, kami sudah mengenal keluarga masing-masing.
Sudah berbicara soal rumah, nama anak, hari akad.
Tapi semuanya runtuh dalam diam.
Aku ditinggalkan...
Tanpa alasan.
Tanpa maaf.
Tanpa pamit.
Aku yang dulu berdiri di depan cermin dengan senyum penuh harapan, kini hanya bisa menatap pantulan seorang perempuan yang tak lagi mengenal dirinya sendiri.
"Kenapa aku tidak cukup untuk dicintai?"
Itu pertanyaan yang tak pernah selesai dijawab oleh takdir.
Sejak saat itu,
aku tak lagi mempercayai pagi yang cerah.
Karena langit biru pun bisa menyembunyikan badai,
dan senyum seseorang bisa menyimpan luka yang tak terlihat.
Hari-hariku berubah sunyi.
Bukan karena tak ada suara,
tapi karena tak ada lagi yang ingin kudengar.
Apa gunanya kata-kata,
jika semua janji hanya lahir dari bibir yang tak berniat menepati?
Aku mulai takut mencintai.
Takut berharap.
Takut menggantungkan hidupku pada seseorang,
yang mungkin esok akan memutus tali itu tanpa peringatan lagi.
Malam menjadi sahabatku yang setia.
Di situlah aku bisa menangis tanpa berpura-pura.
Di situlah aku bisa bicara dengan Tuhan,
menyebut satu nama yang kini kupaksa untuk kulupakan.
Dan yang paling menyakitkan bukan kepergiannya,
tetapi sisa-sisa dirinya yang tertinggal di mana-mana.
Nada dering di ponselku,
kemeja yang pernah ia tinggalkan,
rencana-rencana yang tak sempat diwujudkan.
Aku hidup dalam reruntuhan,
memunguti serpihan harapan yang pernah kubangun bersamanya.
Berharap suatu saat bisa utuh kembali, meski bukan dengannya.
Aku mulai bertanya,
Apa salahku?
Apa aku terlalu mencintai?
Terlalu memohon dalam doa?
Atau terlalu percaya pada seseorang yang ternyata hanya singgah?
“Kelly, aku mencintaimu dan kita akan segera menikah.”
Katanya, dengan penuh semangat.
“Ah, aku juga tidak sabar… Tahun depan kita akan menikah. Aku juga sangat mencintaimu.”
Kata-kata itu…
Masih bertengkar hebat di kepalaku, seolah belum reda gema dari bibirnya saat pertama kali ia mengucapkannya.
Seolah masih baru kemarin, dia menggenggam tanganku dengan yakin, dan berkata seolah dunia ini hanya milik berdua.
Tapi kini, yang kurasa hanya sepi.
Ruang yang dulu penuh harapan itu, kini kosong.
Dan kata-kata manis itu berubah menjadi jerat, yang menyesakkan setiap kali aku mengingatnya.
Setiap hari aku bangun, seperti bangun dalam perang.
Perang melawan kenangan.
Perang melawan suara-suara yang berkata :
"Bukankah dia mencintaimu? Bukankah dia berjanji akan menikahimu?"
Aku mencoba tertawa.
Berpura-pura bahwa aku baik-baik saja.
Tapi air mataku lebih jujur dari bibirku.
Ia jatuh saat aku tak sanggup lagi menyangkal bahwa aku terluka.
Bukan karena cinta yang gagal, tapi karena dikhianati oleh cinta yang pernah membuatku percaya segalanya.
Aku masih ingat semua rencana yang pernah kami buat.
Nama anak pertama, rumah kecil di pinggir kota, dan liburan ke Eropa setelah tahun ketiga pernikahan.
Lucu, bukan?
Bagaimana seseorang bisa membuatku membangun istana, lalu pergi sebelum fondasinya kokoh?
Aku bahkan pernah membayangkan hari itu. Hari pernikahan kami.
Aku mengenakan gaun putih yang sederhana tapi anggun.
Dia menatapku dari altar dengan mata yang berkaca.
Semua orang tersenyum, dan Tuhan memberkati.
Tapi kini, yang tersisa hanya gaun putih dalam mimpiku. Yang tak pernah sempat kugunakan.
Dan mata yang berkaca itu, bukan karena bahagia!
Melainkan karena kecewa. Kecewa yang sangat dalam!!!
Aku mencintainya dengan tulus.
Aku menyebut namanya dalam doa. Bahkan, lebih sering daripada aku menyebut namaku sendiri.
Tapi Tuhan sepertinya sedang mengajariku satu hal.
Bahwa cinta tak selalu harus memiliki.
Dan orang yang paling kita doakan, terkadang bukan orang yang ditakdirkan untuk tinggal.
Aku mencoba bertanya:
“Kenapa?”
Tapi tak pernah ada jawaban.
Ia pergi dengan diam, meninggalkan hatiku dalam keadaan bising.
Malam-malam setelah kepergiannya, aku tak langsung tertidur seperti biasanya.
Aku duduk diam dalam gelap, menatap langit-langit yang tak pernah memberi jawaban.
Hanya air mata yang menjadi temanku, dan doa yang tak putus-putus kulantunkan dalam hati yang remuk.
"Ya Allah"
bisikku lirih, hampir tak terdengar.
"Aku tak meminta dia kembali, jika memang dia bukan untukku. Tapi jika ini ujian, beri aku kekuatan.
Jika ini takdir, tolong bantu aku menerimanya.
Semoga engkau menggantinya dengan seseorang yang lebih baik. Aamiiin."
Tangisku malam itu bukan tangis kelemahan.
Itu adalah jeritan dari jiwa yang dikhianati, yang ingin dimengerti, yang ingin dihargai.
Yang ingin dipeluk oleh keadilan Ilahi.
Aku tahu.
Aku bisa saja membenci. Tapi hatiku terlalu penuh dengan cinta yang dulu aku titipkan padanya.
Aku bisa saja tenggelam dalam dendam, tapi aku memilih menyelam dalam do'a,
karena hanya kepada Tuhan aku mencurahkan semua luka yang manusia tak bisa sembuhkan.
Aku tak ingin terpuruk.
Aku tak ingin jadi perempuan yang kalah karena cinta.
Aku ingin bangkit, bukan karena sudah lupa.
Tapi karena sudah belajar melepaskan.
Aku ingin suatu hari nanti,
ketika namanya disebut, aku tak lagi merintih.
Aku ingin tersenyum.....
Karena aku tahu, aku sudah melewati badai yang nyaris menghancurkan hidupku.
Aku tau, di balik semua air mata yang kusembunyikan dari dunia, tuhan sedang mempersiapkan jawaban,
yang lebih indah dari semua rencana yang pernah aku bangun bersamanya.
Dan mungkin, memang begitulah cinta pertama yang gagal.
Ia tak selesai, tapi juga tak bisa diulang.
Ia menyisakan ruang kosong, yang tidak bisa diisi oleh siapa pun.
Kecuali waktu dan penerimaan....!!
Malam itu, temanku menelfonku dan mengatakan ada lowongan pekerjaan di Bali. Aku sangat senang, dan mungkin hidupku akan menjadi lebih baik setelah bekerja disana. Tapi ibuku tidak mengizinkanku untuk pergi. Dia khawatir denganku.
Bahkan aku masih ingat, 4 bulan yang lalu, mantan pacarku berjanji akan membawaku ke Bali untuk bersenang senang. Menikmati laut dan bercerita tentang senja. Tapi itu tidak pernah terwujud, karena dia lebih dulu meninggalkanku. Banyak janji yang harus dia bayar, tapi aku tidak akan pernah menagihnya. Biarkan semuanya lenyap bersama waktu.
Dan karena hatiku terlalu berat untuk ditampung di kamar yang sama, aku memutuskan untuk pergi.
Meninggalkan kota yang penuh kenangan, menuju Jakarta. Ke rumah nenek yang sejak kecil jadi tempatku bercerita.
Aku tidak membawa apa-apa selain sepotong hati yang retak, dan beberapa pakaian yang tak pernah cukup untuk menutupi luka.
Kereta melaju dan angin membawaku. Seperti alam semesta sedang ikut menarikku pelan-pelan keluar dari lubang hitam itu.
Sepanjang perjalanan, aku memandang jendela, mencari wajahku di balik pantulan kaca.
Siapa aku sebenarnya?
Apa yang kucari?
Apakah cinta?
Atau hanya jawaban?
Atau sekadar pengakuan bahwa aku pantas dicintai, tanpa dilukai?
Suara roda kereta menyanyikan lagu hampa, sementara pikiranku sibuk merajut tanya.
Di mana keadilannya, Tuhan?
Mengapa aku yang mencintai sepenuh hati, justru ditinggalkan begitu saja. Tanpa penjelasan, tanpa akhir?
Tapi aku tidak ingin terpuruk. Aku tidak ingin kisahku berhenti di sana. Aku hanya ingin sembuh, meski aku belum tahu, apakah perjalanan ini akan menyembuhkanku?
Atau justru membawaku pada luka yang baru?
Entahlah....!!!
Aku sudah menghapus nomornya, belajar melupakan namanya. Aku tidak ingin namanya terus mengikutiku kemanapun aku pergi. Bukan aku yang tak pantas bersamanya. Tapi, dialah yang tidak pernah bersyukur memilikiku. Dan aku tidak ingin bertanya lagi apa kesalahanku........!
Aku tiba di rumah nenekku menjelang senja. Matahari mulai turun perlahan di antara pohon mangga tua yang masih berdiri kokoh di halaman.
Udara Jakarta sore itu lembab, tapi kehangatan menyelimuti langkahku saat kaki ini menginjak lantai rumah yang tak pernah berubah. Lantai yang dulu sering kupijak saat aku masih kecil. Yang menjadi saksi jatuh bangunnya aku belajar tentang hidup.
Aku masih bisa mendengar teriakan masa kecilku. Aku masih mendengar suara anak kecil yang berlari kesana kemari. Tertawa bahagia tanpa beban.
Aku mendengar tangisan kecilku dipojok pintu. Rumah ini banyak sekali menyimpan kenangan.
Aku Kelly.......
Seorang gadis pemalu yang tumbuh di tengah bayang-bayang perpisahan. Sejak kecil, aku terbiasa menahan air mata, menyembunyikan luka di balik senyum yang dipaksakan. Orang tuaku berpisah saat aku belum mengerti apa arti kehilangan, dan sejak saat itu, rumah tak lagi terasa seperti tempat untuk pulang.
Aku tumbuh tanpa banyak pelukan, tanpa banyak pujian. Aku belajar untuk kuat karena tak ada pilihan lain. Tapi jauh di dalam diriku, aku sering merasa gagal. Aku tak percaya diri, selalu merasa kurang, dan berpikir bahwa mungkin cinta bukan untukku.
Tapi meski hidup tak pernah mudah, aku masih di sini. Menapaki hari demi hari dengan harapan yang pelan-pelan kutumbuhkan sendiri. Karena aku tahu, aku mungkin pernah jatuh, tapi aku tidak hancur. Aku mungkin rapuh, tapi aku tidak menyerah. Dan suatu hari nanti, aku akan belajar mencintai diriku sendiri, lebih dari apapun!
Aku menarik nafasku pelan. Lalu menyimpan tasku diatas kursi.
Nenek menyambutku dengan pelukan diam. Tanpa banyak kata. Seolah tubuh rentanya tahu, bahwa cucu perempuannya ini sedang patah. Dan pelukannya cukup untuk menampung serpihan-serpihan kecil dari jiwaku yang berserakan.
"Cucu nenek yang cantik, apa kabar? Nenek kangen kamu"
"Alhamdulillah kabarku baik nek. Nenek apa kabar? Nenek terlihat sangat cantik hari ini".
Kataku, dengan mengusap pipi nenek dengan tekstur kulitnya yang begitu lembut.
“Nenek baik baik aja sayang. Oh ya, nenek buatin teh ya,” katanya pelan.
Dan untuk pertama kalinya, aku merasa tidak sendiri lagi.
Malam datang seperti selimut yang ditarik pelan ke atas tubuhku.
Aku berbaring di kamar kecil dengan jendela menghadap langit. Langit yang sama, tapi kini terasa lebih asing.
Di sana aku menangis, bukan lagi karena lelaki itu, tapi karena aku sedang kehilangan diriku sendiri. Namun di tengah isak yang lirih, aku berkata dalam hati,
"Aku akan baik-baik saja! Entah kapan, entah bagaimana… tapi aku harus sembuh!"
Dan dari balik tirai malam, aku tidak pernah tahu. Mungkin semesta sedang menyiapkan sesuatu.
Sesuatu yang tak pernah kutulis dalam doa, tapi ternyata lebih dari apa yang pernah kuharapkan.
Dan, matahari pagi mulai mengetuk jendela kamarku.
Untuk pertama kalinya, aku merasa punya waktu untuk berdamai lagi.
Bukan dengan masa lalu, tapi dengan diriku sendiri.
Di sudut kamar mungil itu, aku duduk bersandar di dekat jendela. Ponselku menyala, bukan karena ingin,
tapi mungkin karena hati ini pelan-pelan mulai rindu sesuatu yang baru.
Aku mengunduh aplikasi kencan.
Entah apa yang kupikirkan, entah kenapa jemariku bergerak begitu saja.
Mungkin, aku hanya ingin didengar.
Atau mungkin, aku ingin membuktikan bahwa hatiku belum mati.
Aku mulai menaruh tiga fotoku disana, dan satu foto gambar kucing gembul yang sedang duduk diatas salju. Aku mulai mengisi bioku dengan kalimat yang tidak begitu penting. Hanya sebagai simbol saja.
Beberapa profil seorang pria, kulihat lewat layar.
Wajah-wajah asing dengan bio yang klise.
Beberapa menyapaku dengan basa-basi yang terasa hampa.
Namun hatiku belum sepenuhnya percaya.
Setelah sekian lama aktif, aku merasa tidak ada yang special bagiku. Aku mulai menonaktifkan aplikasi itu dan aku keluar kamar. Menemani nenek yang sedang asyik menonton TV.
"Nenek udah sarapan?"
"Udah, tadi pagi bibi siska datang kerumah ngasih nenek sarapan. Dia nanyain kamu, tapi kamu masih tidur. Kalau kamu mau makan, ada roti didapur."
"Oalah, nanti deh nek aku belum lapar. Dan mungkin agak siangan aku main ke rumah bibi siska."
Bibi siska adalah adik dari ayahku.
Kami terhanyut dalam obrolan ringan bersama nenek. Nenekku berusia 70 tahun. Tapi dia masih sangat sehat. Nenek selalu bangun lebih pagi. Sembahyang dan setelah itu dia suka berjalan jalan dihalaman rumah untuk sedikit menggerakkan tubuhnya. Dan syukurnya, nenekku belum pikun. Dia bahkan masih mengenali siapapun yang bertemu dengannya. Ah aku ingin sekali seperti nenek, walaupun aku tau, mungkin saja usiaku tidak akan mencapai 70 tahun. Haha!
Dan sore itu, aku kembali kekamarku. Rencananya aku ingin tidur. Lalu aku membuka aplikasi kencan itu lagi. Wow, banyak sekali pria mengirimku pesan. Bahkan banyak juga pria dari negara lain yang ingin berkenalan denganku dan mengatakan sedang berada diindonesia untuk berlibur. Tapi jujur saja tidak ada satupun yang membuatku tertarik.
Karena apa? Mereka terlalu dingin. Atau mungkin, hatiku masih beku menerima sapaan dari mereka.
Dan akhirnya aku tidur. Berharap mimpi indah akan menghampiriku malam ini......!
Malam itu, Jakarta terasa lebih pelan dari biasanya.
Semilir angin menyelinap lewat celah jendela, membawa aroma lembab yang baru saja tersentuh gerimis.
Kota ini tak pernah benar-benar tidur, tapi malam itu, entah mengapa aku merasa menjadi satu-satunya yang terjaga.
Aku duduk di balkon kecil rumah nenekku.
Menggenggam secangkir teh hangat yang mulai kehilangan uapnya.
Lampu jalan berkedip-kedip, dan suara motor sesekali memecah keheningan.
Tapi di dalam dadaku, sunyi lebih keras dari apapun.
Aku menatap langit. Bintang di Jakarta tak sejelas di desa. Tapi aku tetap mencarinya.
Karena langit yang sama, mungkin sedang menaungi seseorang yang juga sedang bertanya-tanya tentang hidupnya.
Seperti aku.....
Ada luka yang belum sembuh, tapi malam membuatnya terasa sepi, bukan menyakitkan.
Malam membuat segalanya terasa seperti kenangan, bukan ancaman.
Dan mungkin itu yang membuatku mulai berani membuka sedikit ruang.
Ruang untuk menerima, dan ruang untuk menata ulang serpihan yang pernah hancur.
Aku tidak ingin terburu-buru bahagia.
Tapi aku juga tidak mau selamanya tinggal dalam duka.
Malam itu aku berjanji. Bukan kepada siapa-siapa, tapi pada diriku sendiri, bahwa aku akan berjalan perlahan.
Meski pelan, asal tetap maju. Seperti kura kura...
Dan aku merasa, untuk pertama kalinya, luka ini tidak ingin disembunyikan lagi.
Ia ingin dipeluk, dan dipahami. Karena dari luka itu, aku sedang belajar tumbuh.
Sinar bulan dikota Jakarta menembus tirai kamar nenekku.
Hangat, tapi tak sepenuhnya menenangkan.
Di antara keheningan malam dan suara radio dapur yang memutar lagu lawas.
Aku kembali menatap ponselku.
Bukan untuk menghubungi masa lalu.
Tapi untuk mencari tahu, apakah semesta masih menyisakan sesuatu untukku?
Aku membuka sebuah aplikasi kencan itu lagi.
Bukan karena aku percaya penuh, tapi, aku ingin mengenal dunia dari sisi lain.
Sisi di mana aku bukan gadis yang patah,
melainkan gadis yang sedang belajar berdiri kembali.
Terselip rasa malu saat melihat foto-foto asing terpampang. Beberapa dengan bio yang terdengar manis, beberapa yang terasa hanya basa-basi.
Aku hampir saja menutup aplikasi itu,
hingga sebuah nama muncul.
MAARTEN!
Aku tidak tahu kenapa, namanya terasa berbeda.
Dan saat pesannya masuk, ada kehangatan yang tidak bisa kupahami, namun bisa aku rasakan.
“Hey… Aku lihat foto kucingmu terlihat manis. Siapa namanya?"
Aku memasang foto kucing gembul di slide ke 4 setelah fotoku. Ini pertama kalinya ada seseorang yang menyapaku dan bertanya soal kucing.
Kalimat yang sederhana. Tapi bukan sekadar sapaan.
Itu adalah perhatian yang tidak menggampangkan.
Aku terdiam sejenak. Jantungku berdetak lebih cepat.
Bukan karena cinta pada pandangan pertama, tidak sesederhana itu.
Tapi lebih karena, aku merasa dilihat!
"Haha, ini hanya gambar kucing biasa. Dan sepertinya ini bukan kucing asli deh, soalnya kucing ini sedang duduk diatas salju"
"Tapi gambar kucing itu sangat lucu. Terlihat cantik dan lembut mungkin, saat aku menyentuhnya."
Kami berbicara bahasa inggris selama percakapan. Karena Maarten bukan berasal dari indonesia. Kemungkinan dia berasal dari eropa. Terlihat dari warna kulitnya. Dan yah kami masih berbincang kecil masalah kucing.
"Wow, ternyata kamu punya kucing juga ya, pasti kucingnya lebih imut darimu hahaha! Maaf aku hanya bercanda. Namaku maarten. Senang bisa bertemu denganmu kelly"
Aku membalas dengan hati-hati.
Dan Martin membalas dengan lembut yang dicampur dengan sedikit candaannya yang ringan.
Bicaranya hangat, tidak tergesa, dan terasa tulus.
Kami tidak membahas hal-hal besar.
Kami hanya bertukar cerita kecil.
"Kelly dan kimmy. Ah perpaduan nama yang sangat bagus. Mungkin bisa diselipkan namaku ditengahnya. Hahaha"
"Tentu bisa, Kelly maarten kimmy? ah agak aneh. Tapi boleh juga"
Dan kamipun tertawa ringan.
"Apa kucingmu suka susu?"
"Ya tentu saja"
"Apa dia suka coklat juga?"
"Haha tidak! Aku tidak memberikan cokelat untuk kucingku"
"Baiklah! Ohya, aku baru saja 2 hari berada diindonesia, aku tidak mempunyai teman disini. Aku melihat jarak kita sangat dekat. Hanya 32km"
DAMN! Aku sampai lupa. Saking tertariknya aku berbicara dengan maarten, aku tidak melihat profil bionya sama sekali. Lalu aku melihat semua profil tentangnya. Di bionya tertulis, dia adalah seorang pria yang suka berpetualang. Sangat menyukai alam dan juga binatang. Usianya 32 tahun. Dan memang benar saja. Jarak kami hanya 32km.
"Oh ya benar maarten! Jarak kita lumayan dekat. Hanya 32km"
"Jika kamu mau, kita bisa bertemu malam ini"
Tawaran maarten merupakan ide bagus menurutku! Karena selama aku dirumah nenekku, aku merasa bosan juga. Aku tidak pernah keluar rumah. Dan kebetulan juga maarten sedang membutuhkan teman.
"Baiklah. Jika kamu mau, kita bisa bertemu di stasiun yang dekat dengan hotelmu. Aku akan pergi kesana. Dan mungkin aku tiba disana sekitar jam 8 malam"
"Ahh itu ide yang sangat bagus! Stasiun yang dekat dengan hotelku adalah stasiun sawah besar. Mungkin aku bisa menunggumu disana."
"Baiklah, tunggu aku disana. Dan aku akan segera siap siap dan berangkat menuju stasiun"
Terlihat, ada rasa semangat dalam diri kami dipertemuan pertama. Kami berdua merasa nyaman berbicara satu sama lain. Dan setelah 30 menit, akupun berangkat menuju stasiun. Jujur saja ini pertama kalinya lagi aku menggunakan kereta jakarta setelah 3 tahun lalu. Jadi aku belum hapal setiap rute. Dan untungnya aku selalu bertanya ke security kereta.
"Maarten. Aku sudah di stasiun sekarang. Tunggu aku distasiun sawah besar oke"
"Kamu sudah di stasiun? haha cepat sekali. Aku masih dihotel"
"Gapapa. Lagian masih jauh untuk tiba distasiun sawah besar"
"Tapi baiklah! Aku akan berangkat sekarang"
Aku sudah berada di dalam kereta. Sesekali aku melihat rute yang terpampang diatas pintu kereta. Hufft, ternyata masih lumayan jauh. 12 stasiun lagi.
Aku duduk dan menikmati setiap pemandangan dibalik kaca kereta, walaupun aku tau pemandangannya tidak cukup indah karena gelap. Tapi sesekali aku bisa melihat lampu dan gedung gedung besar yang sangat memanjakan mata. Lampu Monas terlihat dari kejauhan.
Lalu maarten mengirim pesan kepadaku lagi.
"Aku sedang berjalan kaki menuju stasiun sekarang. Ohya, aku memakai topi hitam, kaos cokelat dan celana pendek. Jika kamu melihatnya, berarti itu aku"
Dengan nada bicaranya yang terdengar lucu.
Kami terhanyut dalam percakan ringan di sebuah pesan. Kami tertawa saat dia bilang menemukan kucing jalanan yang sangat cantik. Sampai aku tak mendengar pengumuman kalau keretanya sudah tiba disawah besar. Dan ya, sial banget. Stasiun sawah besar sudah terlewat.
"Maarten sorry, aku kelebihan 1 statiun. Dan sawah besar terlewat"
"Hahaha, kenapa bisa? Baiklah apa aku harus menemuimu disana?"
"Tidak perlu. Aku akan turun di statiun berikutnya, lalu aku akan kembali lagi ke stasiun sawah besar. Tunggu saja, hanya satu stasiun"
"Ini sangat lucu, maafkan aku. Mungkin karena kita sibuk ngebahas kucing"
"Haha mungkin. Dan sekarang aku akan kembali ke sawah besar"
Kereta tujuan jakarta-bogor tidak memakan waktu lama untuk menunggu. Mungkin hanya menunggu sekitar 5 menit. Dan setelah itu aku sudah berada di kereta lagi dan turun di stasiun sawah besar. Aku keluar dari stasiun itu, dan yah memang benar saja! Aku melihat seorang pria sedang berdiri dengan memakai topi hitam, kaos coklat dan celana pendek. Aku tak segan menyapanya.
"Maarten?"
"Hay kelly! Yah aku maarten!"
Kami seperti 2 orang yang sudah lama saling mengenal. Kami terasa sangat akrab.
"Apa kabar?" Dia bertanya dengan nada yang sangat hangat
"Aku baik. Dan kamu?"
"Sangat luar biasa malam ini. Kemana kita akan pergi?"
"Aku tidak tau kemana kita akan pergi. Tapi mungkin berjalan kaki menikmati sudut jakarta juga cukup menyenangkan" kataku. Dan diapun menyetujuinya dengan penuh antusias.
Hari itu, aku tidak merasa sendiri lagi.
Aku tidak tahu akan ke mana arah perkenalan ini.
Tapi untuk pertama kalinya setelah sekian lama,
aku merasa senyumku bukan lagi topeng.
Dan luka di hatiku mulai bernapas pelan-pelan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!