Pagi hari yang terang, sinar matahari perlahan menerangi jendela kamar milik Akagami Rio...pria berusia 28 tahun, tinggi 164 cm, berambut hitam, dan... belum pernah pacaran seumur hidup. Alias, jomblo abadi.
“Ahh… udah pagi ya,” gumam Rio sambil menguap panjang.
“Pergi mandi dulu ah.”
Saat berdiri di depan cermin, ia menatap wajahnya sendiri yang terlihat lesu dan tak terawat.
“Ahh… muka udah kayak datuk-datuk,” kata Rio sambil mencubit pipinya sendiri.
“Pantesan aku masih jomblo sampe sekarang… hadeh.”
Dengan cepat, ia mengenakan pakaian kerjanya dan sepatu hitam kesayangannya. Rumah terasa sunyi. Tak ada suara, tak ada orang lain.
“Aku berangkat!” teriaknya.
Lalu ia tersenyum pahit.
“Haha… padahal aku tinggal sendiri juga...”
Sesampainya di kantor, Rio melangkah masuk dengan langkah lesu. Mata panda di wajahnya jelas terlihat oleh semua orang, apalagi oleh teman terdekatnya yang langsung menyambut.
"OI... RIO!" panggil Mika sambil menepuk bahunya.
"Apa kau baik-baik aja? Dari tadi kau kelihatan kayak mau mati aja, bro."
Rio berhenti, menoleh dengan wajah kusut.
"Bijir... kau kira aku bakal mati dalam keadaan jomblo!?" balas Rio dengan nada kesal, tapi jelas itu sarkas yang dibumbui rasa capek.
Mika langsung ngakak, menepuk-nepuk punggung Rio.
"Hahaha! Benar juga! Tapi... kenapa kau nggak cari cewek dulu, hah?" kata Mika, masih tertawa.
Rio hanya menarik napas panjang, menatap meja kerja yang penuh tumpukan dokumen.
"Cewek ya... kalau kerjaan aja belum selesai, gimana mau selesain hati orang lain..."
Malam pun mulai menjelang. Lampu-lampu di kantor mulai padam satu per satu, menyisakan cahaya lembut dari monitor yang masih menyala.
"Rio... kami pulang duluan ya!" seru salah satu rekan kerja yang sudah siap dengan tasnya.
"Oh... ya," jawab Rio singkat, matanya masih menatap layar komputer.
Tak lama, Mika pun ikut berdiri, meregangkan tubuhnya yang pegal.
"Bro, kau belum selesai juga?" tanya Mika sambil menghampiri.
Rio terus mengetik cepat, jari-jarinya menari di atas keyboard.
"Belum... masih ada kerja yang harus aku selesaikan malam ini. Kau pulang dulu aja."
Mika mengangguk sambil tersenyum lebar.
"Oke lah bro, gua cabut dulu. Soalnya mau maraton animasi favorit gua malam ini!"
Rio menoleh sebentar dan tersenyum kecil.
"Dasar wibu..." ejeknya pelan.
Mika langsung berhenti di tempat, menatap Rio dengan wajah serius.
"Bukan wibu, bro. Tapi... pecinta animasi," balasnya dengan penuh gaya sebelum melangkah pergi.
Rio hanya tertawa kecil, lalu kembali tenggelam dalam pekerjaannya, tak menyadari bahwa malam itu... bisa jadi malam terakhirnya.
Rio masih mengetik di depan komputer, jari-jarinya terus menari di atas keyboard.
"Sepi sekali rasanya... dan aku udah capek banget," gumamnya pelan.
"Padahal... dikit lagi selesai nih..."
Tubuhnya terasa berat, matanya layu, dan hatinya mulai bertanya-tanya.
"Kalau aku... mati di sini... aku ingin sekali hidup lagi... di dunia tanpa kerjaan gila kayak gini..."
Tiba-tiba, kepala Rio terjatuh ke atas keyboard.
Gelap. Sunyi. Hangat.
Dan Saat Rio pertama kali direinkarnasi ke dunia baru, jiwanya melewati dimensi cahaya transenden yang dikenal sebagai “Altherion Realm”, tempat di mana roh manusia disucikan sebelum dilahirkan kembali.
Namun, karena jiwanya rusak oleh penderitaan dan kematian tragis di dunia sebelumnya, sistem reinkarnasi tidak mampu memurnikannya sepenuhnya.
Di ambang kehancuran jiwa, muncul entitas cahaya tak dikenal diyakini sebagai “Fragment of the Primordial Light”, yang berkata:
"Kau yang mati bukan karena kelemahan, tapi karena dunia yang busuk. Terimalah mataku dan lihat dunia ini dengan cahaya sejati."
Entitas itu menyatu dengan jiwa Rio, lalu meletakkan sepasang mata bercahaya perak di dalam jiwanya The Eyes of Light.
Rio pun terlahir kembali ke dunia lain, membawa kutukan masa lalu… dan kekuatan untuk melihat kebenaran dunia baru......
Seketika, semuanya menghilang. Tak ada lagi bunyi ketikan. Tak ada lagi lampu neon kantor. Hanya kehampaan... lalu suara.
Saat Rio membuka matanya lagi, ia tak menyadari bahwa dirinya telah bereinkarnasi. Bukan sebagai pria dewasa... tapi sebagai seorang bayi!
"Ughh... d-dimana ini?" gumam Rio dalam batin, karena mulutnya hanya bisa mengeluarkan suara bayi.
Seorang wanita dengan wajah lembut tersenyum hangat menatapnya.
"Ahh... anak kita sangat comel, sayang!" seru wanita itu penuh cinta. Namanya adalah Akagami Tasya.
Di sampingnya, seorang pria berdiri sambil memandang ke arah jendela. Wajahnya tenang... tapi aura misterius terpancar kuat dari dirinya.
"Aku harap anak kita bisa meneruskan pekerjaanku... sebagai Assassin," katanya dalam nada dingin.
Rio yang mendengarnya langsung terkejut dalam batin.
"A-Assassin?! Dunia macam apa ini!?"
Pria itu menatap Rio dalam gendongan Tasya, lalu berkata dengan suara tegas.
"Rio... tidak. Mulai hari ini, kau adalah Akagami Rio. Aku ayahmu... dan ayah ingin kamu tumbuh menjadi sepertiku."
Namanya... Akagami Zero.
Rio yang masih belum bisa berbicara hanya bisa tertawa getir dalam hati.
"Padahal aku udah reinkarnasi... tapi nama lamaku tetap dipake lagi, ya... Haha..."
Dunia baru, tubuh baru, dan takdir baru... telah dimulai.
Lima tahun telah berlalu...
Pagi yang cerah menyinari kamar Akagami Rio di dunia barunya. Cahaya matahari menembus tirai jendela, menerangi wajahnya yang kini sudah tumbuh menjadi anak kecil berusia lima tahun.
Rio duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke luar jendela. Angin pagi berhembus pelan, membawa ketenangan... tapi juga perasaan aneh yang belum bisa ia jelaskan.
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki mendekat. Seorang pelayan keluarga Akagami berdiri di depan pintu kamar.
Tok tok.
“Tuan, apa Anda sudah bangun?” tanya sang pelayan sopan dari balik pintu.
Rio menoleh, suaranya terdengar malas namun tetap ramah.
“Iya… aku udah bangun kok!” jawabnya.
“Kalau begitu, Tuan harus segera pergi sarapan sekarang,” kata pelayan itu lagi dengan sopan.
Rio mengangguk pelan, lalu menghela napas.
"Baiklah..." gumamnya pelan.
Pelayan itu menunduk hormat sebelum pergi, langkahnya menjauh perlahan meninggalkan jejak samar di depan pintu kamar Rio.
Rio menatap pintu yang tertutup, lalu berbalik menatap seisi kamarnya. Ia menggenggam tangannya, mencoba sesuatu yang selama ini diam-diam ia latih sendiri.
“Eyes of Light!” serunya pelan namun tegas.
Seketika, dunia seakan melambat. Gerakan di luar jendela, seekor burung kecil yang biasanya terbang cepat, tampak seperti terhenti, mengepak perlahan seolah berada dalam air kental.
Rio tersenyum tipis, matanya memancarkan cahaya halus.
“Jadi… begini cara kerja skill ini,” gumamnya, kagum dengan kemampuan barunya.
“Gampang dong kalo latihan sama Ayah nanti,” tambahnya dengan nada percaya diri.
Setelah efek skillnya menghilang, Rio melangkah keluar kamar dan berjalan menuju ruang makan. Di sana, telah duduk dua sosok yang kini menjadi orang tuanya di dunia baru, Akagami Zero sang ayah, dan Tasya sang ibu.
Meja makan tampak rapi dan penuh hidangan. Sang ibu tersenyum hangat saat melihat Rio datang, sementara ayahnya hanya melirik singkat namun penuh makna.
Rio perlahan menarik kursi dan duduk di sebelah ibunya.
“Rio sayang, apa kau tidur nyenyak semalam?” tanya sang ibu dengan senyum hangat, menyuapkan sesendok kecil makanan ke mulutnya.
Rio menatap wajah lembut itu dan tersenyum kecil.
“Iya, Bu… Aku tidur nyenyak semalam,” jawabnya sambil mengangguk pelan.
Di sisi lain meja, ayahnya, Akagami Zero, sedang makan dengan tenang, mata tertutup seolah menikmati setiap suapan.
Setelah beberapa saat, ayahnya berbicara tanpa membuka mata, suaranya terdengar tenang namun dalam.
“Kalau begitu... apa kau masih punya tenaga untuk latihan nanti?”
Rio langsung menoleh ke arah ayahnya. Wajahnya penuh keyakinan, sorot matanya tajam.
“Iya, Ayah!” jawabnya penuh semangat.
Zero membuka sedikit salah satu matanya, menatap putranya dengan lirikan kecil, lalu kembali menutupnya sambil mengunyah.
“Hmph... dasar anak ini. Bisa-bisanya memasang wajah percaya diri begitu,” gumamnya dalam hati, namun tak bisa menyembunyikan sedikit senyum tipis di sudut bibirnya.
Setelah selesai sarapan, Akagami Rio berjalan menuju halaman rumahnya yang luas. Tempat itu memang disiapkan khusus sebagai arena latihan keluarga Akagami, tempat di mana tradisi kekuatan diwariskan dari generasi ke generasi.
Langkah kakinya pelan, tapi sorot matanya penuh dengan tekad.
Ia berdiri di tengah lapangan, lalu menarik napas panjang dan mulai berbicara seorang diri, seolah menyampaikan sebuah janji kepada takdir.
“Aku... Akagami Rio. Nama yang sama di dunia lamaku. Dan sekarang... aku akan memainkan peran sebagai Assassin. Semuanya akan dimulai lima tahun dari sekarang ini,” ucapnya dengan suara rendah, namun penuh makna.
Tiba-tiba, dari sisi lain halaman, Akagami Zero, ayahnya, muncul sambil membawa dua buah pedang kayu. Wajahnya serius seperti biasanya.
“Rio, aku ingin menguji seranganmu lebih dulu,” ucapnya datar, sebelum melempar salah satu pedang kayu ke arah putranya.
Rio menangkap pedang itu dengan satu tangan. Pegangannya mantap. Matanya menatap lurus ke arah ayahnya.
“Hmm... baiklah!” jawab Rio singkat namun penuh semangat.
Ayahnya mengangkat dagu dan berseru lantang, “CEPAT MAJU!!”
Tanpa menunggu aba-aba lagi, Rio langsung melesat maju, menyerang ayahnya dari depan tanpa mengaktifkan skill Eyes of Light miliknya. Ia ingin mencoba kekuatan fisiknya lebih dulu.
Clak!
Serangan pertama Rio ditepis dengan mudah. Pedang kayu mereka saling berbenturan, menciptakan suara keras yang menggema di halaman.
"MASIH KURANG ITU!" teriak ayahnya dengan suara lantang yang menggema di halaman.
Serangan Rio yang barusan kembali gagal menyentuh tubuh ayahnya. Wajah Rio mulai memerah, bukan hanya karena kelelahan, tetapi juga karena rasa frustrasi. Ia menggertakkan giginya, lalu mundur beberapa langkah ke belakang, mencoba mengatur napas yang mulai tersengal.
"Haaah... haaah..." napasnya berat, keringat menetes di dahinya, membasahi pelipisnya.
Sementara itu, ayahnya hanya berdiri di tempat dengan ekspresi datar, lalu berkata dengan nada santai:
"Waduh... kok udah penat aja?" gumamnya sambil menyilangkan tangan.
Lalu ia membuka mata dengan serius dan berkata tegas,
"Sekarang... giliran Ayah untuk menyerang!"
Mata Rio langsung membelalak. Ia mencoba menegakkan badan, meski kakinya terasa berat.
"Apa... Ayah juga akan menggunakan fisik sepertiku?" pikirnya dalam hati.
Namun, sebelum Rio bisa bersiap, sosok ayahnya menghilang dalam sekejap dari tempatnya berdiri. Hanya bayangan tipis yang terlihat melesat ke samping Rio, dan dalam sekejap, sebuah tendangan cepat mengarah ke sisi tubuhnya.
“Ughh!!”
Rio reflek menahan dengan lengan dan pundaknya, terdorong beberapa langkah ke samping. Tapi tubuhnya tetap berdiri meski lututnya bergetar.
"APA TADI ITU?!" serunya terkejut.
Ayahnya muncul tepat di sebelahnya, memegang bahu Rio dengan tangan kuat, lalu menatapnya dalam-dalam.
"Itu... adalah salah satu skill dasar Assassin. Ayah pelajari ini sejak seumurmu," katanya dengan suara tenang namun penuh tekanan.
Rio terdiam. Keringatnya semakin deras mengalir. Nafasnya terengah-engah.
Dan akhirnya, Rio pun berlutut di tanah, kedua lutut menyentuh tanah keras di halaman itu. Bahunya turun naik karena napas yang tak teratur. Di hadapannya, ayahnya masih berdiri tegak, tak terlihat lelah sedikit pun, seolah tubuhnya terbuat dari baja.
Sinar matahari pagi menyinari keduanya. Satu berlutut dengan keringat, satu berdiri seperti bayangan yang tak tergoyahkan.
Setelah latihan tanding tadi, Rio masih terengah-engah, berlutut di lantai halaman rumah. Nafasnya berat, peluh membasahi dahinya.
Ayahnya perlahan mendekat, berdiri tegak di hadapan anaknya yang kelelahan.
“Kau memang sangat lemah dalam hal stamina, ya...” ucap ayahnya dengan nada datar, namun dalam.
Rio mendongak, menatap sosok ayahnya yang berdiri kokoh di bawah cahaya matahari pagi. Dalam matanya, terlihat kekaguman... dan keinginan.
“Aku... ingin sekali punya kekuatan seperti Ayah… dan fisik yang kuat seperti Ayah juga...” gumamnya, hampir berbisik, seolah mengucapkan harapan dari dasar hatinya.
Ayahnya terkejut sejenak mendengar kata-kata tulus dari putranya. Namun, tak lama kemudian, wajahnya berubah menjadi lembut dan tersenyum tipis.
“Kalau begitu… istirahatlah dulu sebentar,” ucap sang ayah sambil menepuk ringan bahu Rio.
“Setelah kau pulih dan punya tenaga lagi, datanglah ke sini. Ayah akan menunggumu di tempat ini.”
Setelah diberi waktu istirahat oleh ayahnya, Rio merasa dorongan kuat dalam dirinya untuk bisa menggunakan skill seperti milik ayahnya.
"Aku harap... ayah nanti akan mengajarkanku skill yang selalu dia pakai..." gumam Rio lirih.
Ia berjalan pelan menuju pintu kamarnya, membuka dengan lesu, lalu masuk dan duduk di lantai kamarnya sendiri.
"SIALL... PAYAH SEKALI TUBUH INI... PADAHAL AKU BELUM MENGGUNAKAN EYES OF LIGHT SEPENUHNYA!" teriaknya dalam hati, penuh rasa frustrasi.
Ia menggenggam erat celananya, menunduk, dan matanya memerah karena emosi yang ia pendam.
"KENAPA TUBUH INI TIDAK ADA SKILL CHEAT... PADAHAL AKU DIREINKARNASI..."
Beberapa saat kemudian, ibunya, Akagami Tasya, datang menghampiri pintu kamar Rio. Ia berdiri di sana sejenak, memperhatikan anaknya yang duduk lesu di lantai, merasa kasihan.
"Rio sayang, kamu kenapa?" tanya ibunya dengan lembut.
Rio pun terpaku. Ia menoleh ke belakang dan melihat sosok ibunya berdiri di ambang pintu.
"Tidak apa-apa, Ibu..." balas Rio pelan.
Tasya melangkah mendekat, lalu duduk di samping anaknya.
"Apa kau merasa frustrasi karena latih tanding tadi dengan ayahmu?" tanyanya dengan suara lembut namun penuh perhatian.
Rio menggeleng pelan, lalu menjawab dengan nada sedikit lesu.
"Bukan itu... tapi aku tidak bisa menggunakan skill-ku sepenuhnya. Tubuh ini terasa lemah... terutama dalam hal stamina..."
"Dan ayah masih terlihat santai apabila aku menyerangnya..." katanya lagi.
Dan ibunya pun membalas perkataan Rio dengan senyum lembut.
"Tidak apa-apa, Rio. Ayahmu juga dulu lemah dalam hal stamina saat mulai menjadi seorang Assassin… sejak usianya 18 tahun," kata ibunya pelan.
"Tapi sejak saat itu, dia terus berlatih keras bersama gurunya. Sejak berlatih dengannya... ayahmu tidak pernah lagi terlihat kelelahan."
Rio pun terdiam, terpaku mendengar kisah masa lalu ayahnya. Ia menoleh ke arah ibunya dan bertanya dengan nada penasaran.
"Kalau begitu… gimana ibu bisa menyukai ayah? Atau… apa ibu yang menyukai ayah waktu itu!?"
Dan ibunya tersenyum manis, lalu berkata pelan...
"Rahasia..." katanya sambil menahan tawa.
Rio langsung mendekat dengan ekspresi kesal bercampur penasaran.
"Ahh... ibu pelit... malah dirahasiain dari anaknya sendiri..." gumam Rio sambil cemberut.
Ibunya hanya tertawa pelan dan mengelus lembut kepala Rio.
"Dahh... sekarang kamu pergi ke halaman dulu. Ayahmu sudah menunggu di sana," ucap ibunya.
Rio pun mengangguk dan tersenyum semangat.
"Baik, bu!" balasnya sambil berlari kecil meninggalkan kamar.
Setelah berbicara dengan ibunya, Rio pun berjalan menuju halaman rumah, tempat di mana ayahnya sudah menunggu.
"Apa kau sudah punya tenaga untuk latihan kali ini?" tanya ayahnya sambil menatap Rio dengan serius.
Rio mengangguk mantap dan membalas dengan semangat.
"Iya... Ayah!"
Ayahnya tersenyum tipis, lalu berkata,
"Baiklah... kalau begitu."
Dalam sekejap, ayahnya langsung mengaktifkan skill menghilangnya. Rio terkejut saat tiba-tiba ayahnya sudah berdiri tepat di hadapannya sambil melepaskan aura Assassin yang dingin dan tajam.
"H-Hah!? Secepat itu...!?" Rio membatin, matanya membelalak.
Ayahnya menatap langsung ke mata anaknya dan berkata pelan namun penuh tekanan.
"Kau ingin menggunakan skill ini juga?"
Lalu dia menambahkan dengan nada tegas,
"Tapi, ada syaratnya."
Rio terpaku, menelan ludah.
"Syaratnya... apa?" tanya Rio penasaran.
Ayahnya menyilangkan tangan di dada dan berpikir sejenak sebelum menjawab,
"Karena kau masih lemah dalam hal stamina, ayah ingin kau melatih ketahanan fisikmu dulu, menghadapi latihan yang akan ayah berikan secara langsung."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!