Di sebuah rumah sakit elit tepatnya di depan ruang bersalin, tampak sebuah keluarga yang tampak cemas menunggu kabar dari ruang bersalin. Seorang lelaki dengan wajah tampan tampak mondar-mandir gelisah dan sesekali mengusap wajahnya dan menyugar rambutnya. Juga sepasang suami-isteri paruh baya yang duduk di bangku didepan ruang bersalin. Walaupun terlihat seperti santai dan tenang namun raut wajah dan sorot mata mereka memancarkan kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan.
Pintu ruang bersalin terbuka dan seorang dokter keluar mengedarkan pandangannya mencari keberadaan keluarga pasien yang ditanganinya. "Keluarga Nyonya Rosalinda Amstrong?" panggil nya. Dengan segera lelaki tampan yang mondar mandir tadi menghampiri dokter yang memangilnya. " Saya Richard Amstrong, suami dari Rosalinda Amstrong. Bagaimana keadaan istri saya Dok ? " tanya Richard dengan cemas dan khawatir.
" Maaf... Kami telah berusaha melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan istri anda, tetapi istri anda mengalami pendarahan hebat sesaat setelah menggendong dedek,juga sempat memberikan amanat untuk memberikan nama anaknya Alea Lily Amstrong dan setelah itu terjadi pendarahan hebat yang tak dapat dihentikan, anak perempuan anda selamat dan sehat." ucap dokter dengan hati-hati menyampaikan berita kematian istri Richard sekaligus memberitahu keadaan sang anak yang baru saja lahir ke dunia.
"Tidak.. Tidak... Rosa.. Istriku tidak mungkin meninggal, dia telah berjanji untuk tidak meninggalkan aku sendirian. Rosa.. Sayang.. Rosaaaaa... " teriak Richard memanggil-manggil nama istrinya.
"Tuan, tenang lah.. Ini sudah suratan takdir Allah, Allah lebih menyayangi istri Anda, sekarang Tuan tenang dan kami akan membawa dedek untuk diperlihatkan kepada ayahnya. Sangat cantik dedeknya, mirip dengan Mama nya." ucap dokter dengan lembut mencoba menenangkan Richard.
"Aku tak ingin melihat anak sialan itu. Dia yang menyebabkan istriku pergi. Singkirkan anak itu dari hadapanku, dan jangan pernah tunjukkan dia padaku, Ijah bawalah anak keparrat ini dan urus lah dia. Gara-gara dia istri ku pergi meninggalkan aku untuk selamanya." ucap Richard dingin dengan muka bengis tak sudi melihat ataupun menyentuh bayi perempuan yang baru saja dilahirkan oleh istrinya, ketika perawat yang menggendong bayi merah itu berusaha menyerahkan bayi itu pada ayahnya.
14 tahun kemudian...
Alea mengejapkan matanya, perlahan-lahan dia menengok melihat ke sekeliling ruangan putih dengan bau khas obat-obatan dan cairan antiseptik. Kepalanya berdenyut sakit, bukan hanya kepalanya saja hampir seluruh tubuhnya sakit. Namun dia mengabaikan rasa sakit itu.
Kriet...
Pintu kamar yang ditempati Alea bersama tiga orang pasien lainnya terbuka. Menatap seorang wanita paruh baya yang sejak dia lahir telah mengurus dan merawatnya dengan penuh kasih sayang. "mbok, papa tidak datang menjenguk Lea?" tanya Alea pada pengasuhnya. " Papa Lea sedang sibuk, jadi tidak sempat datang untuk menjenguk dan menjemput Lea.." ucap Ijah seraya mengusap rambut Lea dengan sayang.
Hati Ijah pedih melihat sinar kecewa di mata Alea yang sudah di pastikan mengharap kedatangan keluarganya untuk menjenguk dan menjemputnya keluar dari rumah sakit ini. Namun apa daya, Ijah hanya dapat menyembunyikan fakta yang sebenarnya. Jika majikannya itu tengah bersiap untuk berlibur bersama anak-anak nya yang lain juga bersama seluruh keluarga besarnya. Melupakan bahkan tak perduli dengan anak perempuannya yang kini terbaring sakit dengan seluruh tubuhnya yang terluka akibat terserempet motor ketika pulang sekolah dan juga terluka akibat pembullyan yang dialaminya di sekolah.
Alea yang kini terbaring hanya bisa menahan kesedihannya. Dia menatap langit-langit kamar rawat inap nya dengan pandangan sendu. Dia teringat akan masa lalu. Sejak kecil dia tak pernah merasakan pelukan dari orang yang dipanggilnya papa. Yang dia terima hanyalah caci maki dan sumpah serapah dari Papanya. Bahkan sepertinya papanya enggan menatap dirinya. Panggilan anak sialan, anak keparrat ataupun anak pembawa celaka telah biasa di dengarnya.
Bahkan kakak-kakak kandungnya pun tak segan-segan ikut memanggilnya dengan sebutan seperti itu. Mereka mengacuhkan keberadaan Alea , tak pernah menganggap Alea ada. Alea yang haus akan kasih sayang dan pengakuan dari keluarga nya selalu mencari perhatian mereka, mulai dari bertingkah lucu, mengganggu mereka dengan segala tingkahnya, berprestasi dalam segala bidang dan mata pelajaran. Namun semua itu tak pernah bisa membuat semua keluarganya memberikan kasih sayang dan cinta yang Alea dambakan.
Bahkan keluarga besar dari kedua orangtuanya pun ikut menancapkan dan menggoreskan luka di hati Alea. Jika ada pertemuan keluarga di rumah Richard, mereka dengan sengaja tak pernah mengajak ataupun mengikutsertakan Alea. Bahkan Richard dengan acuh tak pernah mengajak berbicara ataupun berinteraksi dengan putri bungsunya itu.
Hanya Ijah, pengasuh Alea sedari bayi merah yang menyayangi Alea. Para pembantu yang lain pun menyayangi Alea juga. Mereka iba melihat perlakuan berbeda yang didapat oleh Alea dari keluarga nya. Namun mereka tak berani untuk memprotes, hanya bisa secara sembunyi-sembunyi menyayangi Alea.
Air mata tak terasa mengalir dan jatuh ke pipinya. Alea tau jika Inah berbohong, hanya untuk menutupi kebenaran dan menjaga perasaannya. Alea pun mengerti bahwa dia adalah anak yang tak diharapkan dan tak diinginkan oleh Papa dan kakak-kakaknya.
Perlakuan mereka selama ini sudah membuktikan jika dia memang tak pernah di harapkan kehadirannya. Keberadaannya di keluarga Amstrong hanya menjadi beban dan duri dalam daging bagi mereka.
Menghela nafas berat, Alea bangkit dan duduk di tepi ranjang. Menatap sesosok tubuh yang telah mengasuhnya dan memberinya cinta dan kasih sayang sejak dia dilahirkan, tengah membereskan barang-barangnya untuk di bawa pulang. Setelah dua hari ini dia di rawat akibat terserempet motor akhirnya dia diperbolehkan pulang.
Menatap sekeliling ruangan tempat dia di rawat, Alea hanya meringis pedih. Sangat berbeda perlakuan Papa kandungnya terhadap nya, ketika kakak-kakaknya ataupun saudara sepupunya sakit, mereka akan ditempatkan di rumah sakit elit dengan menempati kamar VVIP dan mendapatkan perawatan medis yang baik dan spesial. Sedangkan dirinya, jangankan untuk berobat ke rumah sakit elit, berobat ke puskesmas saja sudah cukup membuat papanya mengamuk dan mencaci maki dirinya.
"Ayo Non, kita pulang sekarang, mbok sudah memesan taksi online." ucap Ijah seraya mengusap punggung Alea dan berpamitan pada teman sekamar Alea yang masih di rawat. Alea pun mengangguk dan ikut berpamitan. Kemudian Alea mengambil tas yang berisi pakaiannya dan juga beberapa lembar surat administrasi yang telah di urus oleh Ijah.
Keluar dari gedung rumah sakit umum dan memasuki taksi online yang dipesan Ijah, menuju ke rumah yang selama ini ditinggalinya. Alea menghela nafas berat, entah apa yang akan terjadi nanti ketika dia pulang. Entah apa yang akan dikatakan oleh Papa dan kakak-kakak nya ketika melihat kepulangannya dengan tubuh yang penuh luka. Juga akan sesakit apa hatinya menerima caci maki dan perkataan menyakitkan dari mulut papa dan kakak-kakaknya.
Suara deru taksi online merobek keheningan siang yang terasa membeku. Di dalam mobil, Alea mencengkeram tas kainnya erat, jemarinya memutih di antara buku-buku jarinya yang ramping. Pandangannya terpaku pada rumah mewah yang semakin mendekat, menjulang angkuh di balik pagar tinggi berukiran artistik. "Bukan rumah," bisik Alea dalam hati. Lebih mirip penjara berlapis emas. Sebuah tempat di mana ia tak pernah merasakan kehangatan, hanya dinginnya pengabaian yang menusuk sampai ke tulang.
Di sampingnya, Bi Ijah, pengasuh yang telah merawatnya sejak lahir, memeganginya dengan sigap. Tangannya yang keriput dan hangat mengusap lembut punggung Alea, isyarat kepedihan yang tak terucap. Tatapan wanita paruh baya itu penuh kekhawatiran, sesekali melirik bekas luka lebam keunguan di lengan Alea, dan memar kebiruan yang masih jelas terlihat di pipi kanannya—sebuah souvenir mengerikan dari neraka yang baru saja ia lalui di sekolah. Bekas pukulan, tendangan, dan ejekan yang masih terngiang. Namun, luka-luka fisik itu, betapa pun perihnya, tak seberapa dibandingkan dengan nyeri batin yang telah menemaninya sejak ia terlahir.
Sejak hari pertama ia menghirup napas dunia, Papa telah mengukir cap kebencian di dahinya. "Kau penyebabnya, Alea," suara Papa akan selalu terngiang dalam benaknya, mengulang-ulang kalimat kejam yang telah menjadi kutukan seumur hidupnya. Kalimat itu bagaikan mantra kegelapan yang diucapkan dengan penuh amarah setiap kali matanya tak sengaja bertemu dengan Alea, bahkan di balik pandangan acuh tak acuhnya. "Kalau saja kau tidak pernah lahir, Mamamu tidak akan mati." Kalimat itu bukan bisikan penuh penyesalan seorang suami yang berduka, melainkan pernyataan gamblang, diucapkan tanpa nuansa iba, di hadapan siapa pun yang ingin mendengarkan, seolah ia ingin seluruh dunia tahu betapa ia membenci kelahiran anak bungsunya ini.
Alea masih ingat samar-samar bagaimana Ayah selalu memalingkan wajah setiap kali Bi Ijah mencoba mendekatkannya, bahkan saat ia masih bayi merah. Tidak pernah sekalipun sentuhan lembut, tidak pernah satu pun pelukan, tidak pernah satu pun tatapan kasih sayang. Papa hanya memandang Alea sebagai hantu, pembunuh tak berdosa yang merenggut nyawa wanita yang dicintainya. Empat belas tahun telah berlalu sejak hari kelahirannya, sejak hari Mamanya meninggal. Dan selama empat belas tahun itu pula, kebencian Papa tak pernah pudar, justru mengakar semakin dalam di setiap sudut rumah ini, meracuni setiap relasi, setiap harapan.
Taksi berhenti mulus di depan gerbang utama. Otak Alea sejenak memproses, ia baru saja keluar dari rumah sakit, sendirian, dijemput oleh Bi Ijah. Tidak ada Papa, tidak ada Abang Kevin. Tidak ada yang peduli untuk menjemputnya. Lagi. Setelah berhari-hari terbaring di ranjang putih rumah sakit, tubuhnya masih terasa lemas, namun ia berharap setidaknya ada sedikit keheningan, atau mungkin, kelegaan semu saat tiba di rumah.
Suara riuh dan gelak tawa langsung menyergap indra pendengarannya. Ruang keluarga tampak ramai, namun bukan dengan sambutan untuk Alea. Itu adalah suara mereka, suara yang selalu ia dengar tanpa pernah menjadi bagian darinya.
Alea dan Bi Ijah melangkah masuk, namun langkah Alea terhenti di ambang pintu ruang keluarga. Pemandangan di depannya sukses membuat hatinya kembali mencelos, seperti dicengkeram tangan es. Di ruang keluarga, Papa dan Abang Kevin tengah asyik bercanda ria, tawa mereka mengisi ruangan, terdengar begitu asing dan kejam di telinga Alea. Di antara mereka Tiara duduk dengan nyaman, menjadi pusat perhatian. Gadis itu, dengan rambut panjang terurai dan senyum ceria, selalu berhasil merebut panggung. Tak ada sapaan untuk Alea, tidak ada kursi kosong yang disiapkan, tidak ada panggilan yang hangat, seolah keberadaannya tak pernah terpikirkan. Alea hanya bisa menyaksikan, berdiri mematung di sisi ruangan, bagai patung yang tak terlihat.
Ia mengamati Papa, yang mengenakan kemeja golf bermerek, tampak sibuk memeriksa daftar barang bawaan di tangannya, sesekali melirik Tiara yang cemberut. "Jangan merajuk dong, Sayang," Papa membujuk, nada suaranya lembut, penuh kasih sayang, begitu kontras dengan kekejaman yang selalu ia tunjukkan pada Alea. "Papa kan sudah bilang, setelah ini kita langsung berangkat ke vila. Semua sudah siap kok, bahkan dress yang kamu mau sudah Papa belikan dua. Yang limited edition, khusus untuk kamu."
Sementara itu, Abang Kevin, dengan gaya santainya, berdiri kemudian melangkah sambil tertawa lepas dan membantu Tiara yang bangkit dan meraih kopernya, tapi Kevin melarang Tiara, Kevin mengambil dan memasukkan koper-koper bermerek ke dalam mobil SUV yang terparkir angkuh di halaman. Suara riuh dan gelak tawa mereka memenuhi udara, seolah Alea tidak pernah ada di sana, tidak pernah pulang dari rumah sakit dengan tubuh babak belur, tidak pernah membutuhkan perhatian sekecil apa pun.
Tidak ada satu pun tatapan yang mengarah padanya, tidak ada pertanyaan tentang kondisinya, bahkan tidak ada satu pun dari mereka yang menyadari keberadaan Alea di ambang pintu. Alea berdiri membeku, memegang tas kecilnya erat-erat, kuku-kukunya memutih. Hatinya mencelos, luka di fisiknya terasa tidak seberapa dibandingkan dengan nyeri yang menggerogoti jiwanya. Ini rumahnya, tempat ia seharusnya merasa aman dan dicintai, namun ia selalu merasa asing. Ia bukan bagian dari mereka. Ia hanyalah sebuah bayangan, hantu yang tak diinginkan.
Tepat pada saat itulah, Bi Ijah muncul dari balik tembok, tatapannya sendu, mengamati pemandangan di ruang makan. Ia melihat dengan jelas Alea yang berdiri mematung di ambang pintu, wajahnya memancarkan luka yang begitu dalam, matanya redup dan hampa. Tanpa berkata apa-apa, Bi Ijah melangkah mendekat dan mengusap lembut bahu Alea. Sentuhan kecil itu, satu-satunya kehangatan yang Alea terima di rumah itu, cukup untuk membuatnya sadar dari lamunan pahitnya.
Alea menoleh, menatap Bi Ijah dengan mata berkaca-kaca. Seolah mengerti rasa sakitnya, Bi Ijah mengangguk pelan, seolah mengatakan, "Sudah, jangan dilihat lagi." Alea menghela napas panjang, berbalik, dan pergi menuju dapur, diikuti oleh Bi Ijah. Di rumah megah nan sunyi ini, di antara kemewahan yang membutakan, hanya Bi Ijah dan Mang Udin, suaminya yang berprofesi sebagai sopir pribadi keluarga, yang peduli dan menyayanginya tanpa syarat. Di dapur, aroma masakan sederhana—sup ayam hangat dan nasi putih—yang telah disiapkan Bi Ijah menyambut Alea, sebuah oasis kecil di tengah gurun pengabaian.
Di dapur, aroma sup ayam hangat dan nasi putih mengepul, kontras dengan dinginnya sambutan yang diterima Alea di ruang keluarga. Bi Ijah dengan cekatan menyiapkan piring untuk Alea, tatapannya penuh perhatian. Alea duduk di salah satu kursi, kepalanya tertunduk lesu. Meskipun perutnya lapar, nafsu makannya terasa menguap melihat adegan kemewahan dan kasih sayang yang diterima Tiara. Bi Ijah meletakkan piring di depannya, lalu duduk di seberangnya, mengamati Alea dengan raut prihatin.
"Makan, Non. Biar cepat pulih," kata Bi Ijah lembut, suaranya seperti balutan perban untuk luka di hati Alea. Ia tahu, Alea bukan hanya lapar fisik, tapi juga lapar akan kasih sayang.
Alea mengaduk-aduk sup nya, pikirannya masih berkelana. "Bi, kenapa... kenapa Papa selalu begitu?" bisiknya, suaranya parau menahan tangis yang kembali mendesak. "Kenapa Papa membenciku? Aku kan tidak minta lahir." Pertanyaan itu adalah jeritan jiwanya yang tak pernah terjawab.
Bi Ijah menghela napas panjang, tatapannya menerawang jauh, seolah kembali ke masa lalu yang penuh rahasia. Ia memandang Alea dengan sorot iba, seolah ada beban berat di hatinya yang ingin ia bagi. "Non Alea, sebetulnya... ada banyak hal yang tidak Non tahu." Bi Ijah berhenti sejenak, melirik ke arah pintu ruang makan yang agak jauh, memastikan suara mereka tidak akan sampai ke telinga mereka. Di rumah ini, dinding punya telinga, dan rahasia adalah permata yang harus dijaga rapat.
"Sejak awal, Papa Non itu bukan dari keluarga baik-baik, Nak." Suara Bi Ijah mengecil, nyaris seperti bisikan. "Dia... dia cuma anak pungut tukang kebun di rumah keluarga Mama Non dulu." Bola mata Alea melebar. Anak pungut tukang kebun? Sepanjang hidupnya, Papa selalu tampil angkuh, sombong, seolah darah bangsawan mengalir dalam nadinya. Alea selalu berpikir keluarganya adalah kalangan atas sejak dulu. Fakta ini sungguh mengejutkan, menggores lapisan-lapisan kepalsuan yang selama ini ia yakini. "Dia berhasil memikat hati Mama Non, dan meski ditentang habis-habisan oleh keluarga besar Mama Non, mereka tetap menikah. Keluarga besar Mama Non malu sekali, Non. Apalagi Mama Non adalah anak perempuan satu-satunya dari keluarga terpandang itu."
Bi Ijah mendekat, merendahkan suaranya lagi, seolah mengucapkan sebuah sumpah rahasia. "Tapi itu belum seberapa, Non..." Ia menarik napas dalam. "Sebenarnya, Non punya paman. Adik kandung Mama Non. Namanya Alexander."
Nama itu asing di telinga Alea. Paman? Ia tidak pernah tahu ada kerabat dari pihak Mama. Keluarganya selalu bicara seolah Mama tidak punya saudara, tidak punya latar belakang. "Dia orang yang paling keras menentang pernikahan itu, Non," lanjut Bi Ijah. "Dia tahu betul kelakuan Papa Non itu bejat, busuk dari dalam. Dia berusaha menyelamatkan Mama Non, dia mencoba meyakinkan, tapi tidak ada yang mendengarkan. Mama Non sangat mencintai Papa Non, Non. Buta oleh cinta, mungkin." Rasa getir terdengar dalam suara Bi Ijah. "Karena penentangannya itu, Paman Alexander akhirnya diasingkan, dianggap bukan bagian dari keluarga. Sejak saat itu, tidak ada yang tahu kabarnya. Keluarga besar juga seolah melupakan dia, bahkan tidak ada satu pun nama Alexander yang disebut-sebut dalam acara keluarga."
Alea mendongak, matanya membulat sempurna. Sebuah gelombang kejut menjalar di sekujur tubuhnya. Paman Alexander... pria yang menentang Papanya. Pria yang mungkin tahu lebih banyak. Bisikan Bi Ijah bagai kunci yang membuka sebuah pintu gelap, menunjukkan bahwa ada lebih dari sekadar pengabaian dalam kisah keluarganya. Ada rahasia, pengasingan, kebohongan, dan mungkin pula kejahatan yang telah lama terkubur. Dan ia, Alea, sang anak yang tak diinginkan, kini memiliki secercah harapan untuk menggalinya.
Bi Ijah menyadari ekspresi terkejut dan marah Alea. Ia menyesal telah keceplosan, namun rahasia itu sudah terlalu lama ia simpan sendiri. Ia hanya ingin Alea tahu bahwa ia tidak sendirian, bahwa ada alasan di balik kebencian dan perlakuan tidak adil yang Alea terima. Setidaknya, Alea berhak tahu kebenaran.
Dengan informasi baru yang bergejolak di benaknya, Alea menghela napas panjang. Ada luka di hatinya, namun kini luka itu disertai api amarah dan rasa penasaran yang membakar. Ia memaksakan diri. Meski terasa hambar dan sulit ditelan, ia kembali meraih sendoknya. Ia harus kuat. Ia harus memulihkan kondisinya, bukan hanya untuk bertahan, tapi untuk mencari tahu kebenaran di balik semua ini. Ia tidak bisa lagi hanya menjadi korban yang meratap. Janji itu, yang ia bisikkan dalam kegelapan kamarnya, kini terasa semakin nyata dan mendesak.
Bi Ijah tersenyum tipis melihat Alea kembali makan. Ia duduk sabar, menemani Alea tanpa henti, memastikan Alea menghabiskan setiap suap. Ia bahkan mengambilkan potongan daging ayam kecil dari sup nya, menaruhnya di piring Alea. Bi Ijah mengawasinya dengan mata penuh kasih, memastikan ia kenyang. Hanya makanan sehat dan bergizi yang Bi Ijah siapkan secara khusus, berharap nutrisi itu tak hanya memulihkan fisik Alea yang babak belur, tapi juga menguatkan semangatnya yang rapuh. Ia tahu, di rumah ini, ia adalah satu-satunya benteng pertahanan Alea, satu-satunya yang akan berdiri di sisinya.
Tak lama kemudian, suara mesin mobil meraung pergi dari halaman depan. Suara tawa riang Tiara terdengar terakhir kali, disusul suara Papa dan Abang Kevin yang pamit, sebelum akhirnya sunyi menyelimuti rumah besar itu. Mereka telah pergi, memulai liburan mewah mereka, meninggalkan Alea sendirian seperti biasa. Hening yang tercipta setelah kepergian mereka terasa begitu kontras, namun juga membawa sedikit kelegaan aneh bagi Alea. Setidaknya, untuk sementara waktu, ia tidak perlu menghadapi tatapan dingin atau pengabaian terang-terangan mereka.
Dengan perasaan campur aduk—lega karena kesunyian, namun juga perih karena pengabaian yang tak pernah usai—Alea berjalan lunglai menuju kamarnya. Langkahnya terasa berat, menyeret luka yang belum sembuh. Namun, saat melewati sebuah pintu yang selalu tertutup rapat dan terkunci—kamar Mamanya—ia terhenti. Anehnya, hari ini pintu itu terlihat sedikit terbuka, membiarkan celah cahaya menerobos masuk ke koridor yang biasanya gelap. Seolah sebuah undangan misterius, atau sebuah takdir yang telah menunggu.
Rasa penasaran yang tak terbendung membimbing kakinya. Selama ini, kamar Mamanya adalah area terlarang, sebuah museum duka yang tak boleh disentuh. Alea ragu sejenak, namun dorongan untuk mencari tahu tentang wanita yang telah memberinya hidup, dan yang telah dirampas darinya, jauh lebih kuat. Ia mendorong pelan pintu itu, dan sebuah suara derit pelan memecah keheningan.
Alea melangkah masuk. Debu tipis melapisi perabot antik, namun aroma lembut khas Mamanya masih samar tercium di udara, membawa sensasi asing namun akrab. Aroma bunga melati bercampur dengan wangi bedak bayi yang samar, sebuah perpaduan yang tak pernah ia kenal langsung, namun kini terasa begitu menenangkan. Matanya menjelajahi setiap sudut ruangan. Sebuah lemari pakaian besar yang seolah menyimpan ribuan rahasia. Meja rias yang dipenuhi botol-botol parfum kosong.
Di dinding di atas ranjang, terpampang sebuah foto ukuran besar yang dibingkai apik. Mamanya terlihat tersenyum anggun, rambutnya terurai indah, perutnya membuncit pertanda tengah mengandung, diapit oleh Papa yang tersenyum bangga—senyum palsu yang kini terasa sangat menjijikkan bagi Alea—dan Abang Kevin kecil yang lucu, memeluk kaki Mamanya. Alea menatap foto itu, menelusuri wajah Mamanya yang hanya ia kenal dari gambar. Entah mengapa, senyum Mama di foto itu terasa mengandung kesedihan tersembunyi, sebuah firasat yang kini terasa begitu nyata setelah mendengar cerita Bi Ijah. Apakah Mama juga menderita di balik senyum itu? Apakah ia juga menyadari kebejatan Papa?
Alea berjalan mendekat, menyentuh tepi tempat tidur besar yang rapi dengan seprai berwarna gading. Ia duduk di sana, membiarkan keheningan kamar meresap ke dalam dirinya, merasakan aura Mamanya yang tak pernah ia sentuh. Saat itulah, matanya tak sengaja menangkap sesuatu di bawah tumpukan bantal sutra di sudut tempat tidur, seolah tersembunyi dengan sengaja namun kini terpapar cahaya. Sebuah benda persegi panjang. Tangannya terulur, jemarinya yang masih sedikit gemetar menyentuh permukaannya.
Itu adalah sebuah diary bersampul cokelat kayu, tampak tua namun terawat, dengan pengunci kecil dari kuningan yang sudah sedikit pudar. Jantung Alea berdebar kencang. Dengan perasaan ragu bercampur penasaran yang membuncah, diambilnya diary itu. Jemarinya menyusuri ukiran nama yang samar di sampul depan, tersembunyi di balik hiasan bunga kering. Mama. Ini adalah diary Mamanya. Sebuah harta karun, sebuah pintu menuju masa lalu, mungkin saja kunci untuk memahami seluruh kebohongan yang telah membungkus hidupnya.
Pagi itu, seragam sekolah Alea terasa lebih berat dari biasanya. Bukan karena bebannya yang semata-mata material, melainkan karena bayang-bayang ejekan dan dorongan yang hampir pasti menantinya. Sudah bertahun-tahun ia hidup dalam neraka kecil di sekolah, tempat ia bukan lagi sekadar Alea yang tak diinginkan di rumah, tetapi juga target empuk bagi Tiara dan kroninya yang penuh kebencian. Kebencian Papa dan Abang Kevin di rumah seolah berlanjut menjadi siksaan fisik dan verbal yang tiada akhir di sekolah, semua berkat Tiara, sepupu yang selalu dimanjakan itu, yang entah mengapa sangat membencinya.
Alea melangkah menyusuri koridor, kepalanya menunduk dalam, mencoba menjadi tak terlihat. Ia berharap dirinya bisa menjadi embusan angin, lenyap tanpa jejak. Namun, harapannya sia-sia. Keberadaannya tak pernah bisa luput dari radar Tiara dan dua pengikut setianya, Dita dan Sari. Mereka sudah menunggunya di dekat loker lama yang berkarat, di sudut sepi koridor, senyum tipis yang penuh ejekan terukir di bibir merah Tiara. Aura mereka yang mendominasi memenuhi udara, menciptakan ketegangan yang menyesakkan.
"Lihat siapa ini," suara Tiara melengking, memecah kesunyian koridor yang sepi. Nada suaranya sinis, mengiris tajam. "Si Anak Pembawa Sial. Sudah sembuh dari rumah sakit? Sayang sekali tidak langsung mati saja, ya. Mungkin akan lebih baik bagi semua orang."
Dita dan Sari terkikik geli, tawa mereka menusuk telinga Alea lebih dalam dari tusukan pisau terpanas. Alea mencoba melengos, mempercepat langkah, ingin segera menghilang. Tetapi tangan Dita dengan cepat mencengkeram lengannya. Cengkeraman itu begitu kuat, kuku-kukunya terasa menancap di kulit Alea yang masih sensitif dari memar sebelumnya.
"Mau ke mana? Tidak sopan sekali, ya, disapa tidak menjawab," hardik Dita, mencengkeram erat lengan Alea hingga rasa nyeri menjalar.
Tiara mendekat, sorot matanya penuh ejekan, seolah Alea adalah serangga menjijikkan. "Baru saja keluar dari rumah sakit, sudah berani melawan? Apa sih yang kamu harapkan dari kami? Kasihan? Kamu pikir kami peduli dengan drama murahanmu?" Jemari panjangnya tiba-tiba menarik kasar rambut Alea, memaksa kepalanya mendongak, memperlihatkan wajahnya yang masih sedikit bengkak dan memar. "Wajahmu itu, selalu membuatku mual. Kamu itu harusnya sadar diri, Alea. Tidak ada yang menginginkanmu. Bukan di rumah, bukan di sini, bukan di mana pun."
Kalimat terakhir itu bagai cambuk, mengulang ucapan Papa yang sering didengarnya. Air mata mendesak keluar, perih membakar di balik kelopak mata, namun Alea menahannya sekuat tenaga. Ia tak akan memberikan kepuasan itu pada mereka, tidak akan membiarkan mereka melihatnya hancur. Ia tidak akan menangis.
"Dasar lemah," ejek Sari, mendorong bahu Alea hingga tubuhnya terhuyung dan menabrak loker di belakangnya. "Cengeng! Bahkan hanya untuk berdiri tegak saja tidak becus."
Tiara mendengus, lalu tiba-tiba tangannya yang dihiasi kuku rapi menampar pipi Alea yang masih memar. Suara tamparan itu menggema di koridor yang kosong, disusul rasa perih membakar yang menjalar. "Itu untuk pelajaran, agar kamu tahu tempatmu," desis Tiara, wajahnya mendekat hingga Alea bisa mencium aroma parfumnya yang terlalu kuat. "Jangan pernah lupa siapa kamu. Kau itu hanya parasit di keluarga kami. Tidak ada yang peduli padamu."
Setelah beberapa tamparan lagi, dan dorongan bertubi-tubi hingga Alea tersungkur ke lantai yang dingin, tas punggungnya yang sudah usang direnggut paksa. Isinya diobrak-abrik tanpa ampun, buku-buku berhamburan, pensil-pensil patah dan bergulir jauh. Tasnya sendiri, yang sudah tua dan lusuh, kini sobek lebar di bagian jahitannya, tak mungkin diperbaiki lagi. Puas dengan aksi kejamnya, Tiara dan kedua temannya tertawa geli, melenggang pergi, meninggalkan Alea sendirian, tergeletak tak berdaya di lantai koridor yang dingin.
Dengan napas tersengal, tubuh yang terasa sakit di setiap sendi, dan hati yang remuk, Alea berusaha bangkit. Otot-ototnya menjerit protes. Ia mengumpulkan buku-bukunya yang berserakan, memasukkannya kembali ke dalam tasnya yang sobek, lalu berjalan tertatih menuju kelas. Pandangannya kosong, menahan perih fisik dan batin yang seolah tak berujung. Ia memasuki kelasnya yang sudah agak ramai, menuju bangkunya yang berada di paling belakang dan paling pojok ruangan. Sebuah tempat di mana ia bisa bersembunyi dari pandangan dunia, dari rasa kasihan atau ejekan. Mengeluarkan buku pelajaran yang kusut dari tasnya, ia memaksakan diri fokus. Pelajaran hari itu pun dimulai, namun pikiran Alea jauh melayang, hanya menyisakan rasa perih yang mendalam, dan benih amarah yang kini mulai berakar.
Bel pulang sekolah berbunyi, membebaskan Alea dari siksaan pelajaran dan tatapan acuh tak acuh teman sekelasnya. Biasanya, ia akan langsung berlari pulang, mencari perlindungan di balik dinding kamarnya, seolah tempat itu adalah satu-satunya benteng di dunia ini. Namun hari ini, kakinya terasa berat, setiap langkah terasa menyakitkan, dan ia merasa terlalu lelah untuk sekadar berlari. Ia memutuskan untuk berjalan kaki, membiarkan angin sore yang dingin menerpa wajahnya, berharap rasa sakit di hatinya sedikit mereda.
Jalanan yang ia lalui adalah jalur alternatif yang lebih sepi, melewati area perkebunan dan semak belukar di pinggiran kota. Alea sengaja memilihnya untuk menghindari keramaian, menghindari kemungkinan bertemu Tiara lagi atau kelompoknya. Ia berjalan dengan pandangan kosong, menendang kerikil di depannya, sibuk dengan pikirannya sendiri, merenungi nasibnya yang malang.
Tiba-tiba, suara erangan pelan dan berat menarik perhatiannya. Bukan suara hewan, melainkan suara manusia yang menahan rasa sakit. Alea menghentikan langkah. Jantungnya berdebar, rasa takut seketika menyergap, namun rasa penasaran dan entah mengapa, dorongan untuk membantu, jauh lebih kuat. Ia melangkah hati-hati mendekat, matanya menyipit mencari tahu sumber suara itu.
Dan di sana, di balik rimbunnya semak-semak lebat di sisi jalan, tergeletak di tanah yang sedikit berlumpur dan basah, adalah sesosok tubuh lelaki dewasa. Pemandangan itu membuat darah Alea seolah berhenti mengalir. Tubuhnya kaku dalam posisi aneh, terpelintir. Darah merembes dari sisi tubuhnya, membasahi kemejanya yang robek, membentuk noda merah gelap yang meluas di tanah.
Alea sontak berlutut, hatinya berdegup kencang seperti genderang perang. Ia belum pernah melihat seseorang terluka separah ini di depan matanya. Wajah lelaki itu pucat pasi, penuh memar keunguan dan goresan, dan napasnya terdengar memberat, terengah-engah. Matanya terpejam rapat menahan nyeri. Yang paling mengerikan, lengan kanannya mengeluarkan darah yang tidak sedikit, merembes deras dari sebuah sayatan panjang dan dalam yang menganga, seolah disayat benda tajam. Darah itu menetes ke tanah, membentuk genangan kecil.
"Bapak! Bapak tidak apa-apa?" tanyanya panik, suaranya tercekat di tenggorokan, tangannya gemetar hebat. Ia tidak tahu harus berbuat apa, pikirannya langsung tertuju pada rumah sakit, tempat ia baru saja keluar.
Lelaki itu mengerang lagi, matanya yang sayu perlahan terbuka, menatap Alea dengan susah payah. Ada secercah keputusasaan, namun juga keteguhan di sana. Bibirnya sedikit bergerak, seolah ingin mengatakan sesuatu. Suaranya serak dan nyaris tak terdengar, seperti bisikan angin. "J-jangan... jangan bawa aku ke rumah sakit..."
Alea terkejut. Kenapa tidak? Luka-lukanya sangat parah. Lelaki itu batuk, darah kental mengalir dari sudut bibirnya, membasahi dagunya. "Tolong... bawa aku ke tempat yang aman... jangan ke rumah sakit... bahaya..." Sebelum Alea bisa bertanya lebih lanjut, untuk mendapatkan penjelasan yang lebih rinci, mata lelaki itu terpejam rapat, dan ia kehilangan kesadaran, pingsan sepenuhnya. Tubuhnya terkulai lemas di lumpur.
Alea panik. Jantungnya berpacu semakin kencang, memukul-mukul rusuknya. Lelaki ini terluka parah, meminta untuk tidak dibawa ke rumah sakit, bahkan mengatakan 'bahaya'. Permintaan itu sangat aneh, mencurigakan, namun matanya yang memohon sebelum pingsan telah mencengkeram Alea. Ia tidak tahu siapa lelaki ini, dari mana ia berasal, atau mengapa ia terluka separah ini. Namun, ia merasa bertanggung jawab. Tangannya yang kecil terangkat, menyentuh lengan lelaki itu yang berlumuran darah. Rasanya dingin, dan darahnya terasa lengket di jemarinya. Di sinilah, di pinggir jalan yang sepi, takdir Alea dan lelaki itu, Paman Alexander yang tak ia kenali, mulai terjalin dengan cara yang tak terduga. Pertemuan tak sengaja ini akan menjadi titik awal perubahan Alea, bukan hanya secara mental—dari gadis yang hanya bisa meratap menjadi gadis yang berani mengambil tindakan—tetapi juga secara fisik, membuka jalan bagi kekuatan tersembunyi dalam dirinya. Ia harus menyelamatkannya, apa pun risikonya, apa pun alasannya. Ini adalah satu-satunya kesempatan baginya untuk melakukan sesuatu yang berarti, untuk seseorang yang mungkin lebih putus asa darinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!