Semua orang menginginkan pernikahan yang sempurna dan bahagia, namun pada kenyataannya tak semua bisa berjalan dengan semestinya. Hingga pada titik akhirnya menyerah untuk tak lagi bersama, mengingat hubungan yang tak lagi se arah dan terasa asing satu sama lainnya.
Komunikasi yang tak jalan, hidup bersama namun terasa sendirian, rumah yang tak lagi nyaman, hingga hadirnya masa lalu yang membuat semakin runyam.
Sudah hampir tiga tahun tinggal dan hidup bersama, namun ada fakta yang membuat seorang Rania Anggita menyadari satu hal bahwa hanya dirinyalah yang selama ini terlihat berjuang sendirian dalam pernikahannya, sedangkan sang suami terlihat tak begitu gembira pada pernikahannya sendiri dan terkesan acuh tak acuh.
Ia yang selalu menanyakan kabar, selalu semangat membuka obrolan, selalu mencoba mencairkan suasana, selalu menyiapkan sarapan, selalu mengantar sampai depan pintu, bahkan selalu mencoba untuk mencocokan diri agar suaminya merasa nyaman dengannya, walau ia sendiri kadang merasa lelah melihat respon dari sang suami yang terlihat biasa saja.
"Apa begini yang dinamakan hidup bersama?"
Rania tak mengerti dengan perubahan sikap sang suami, padahal dialah yang terlebih dahulu menawarkan pernikahan padanya, namun setelah menikah ia justru berubah semakin dingin dan seolah tak lagi perduli dengannya.
"Lalu untuk apa saat itu dia mengajakku menikah? Jika harus seperti ini perlakuannya?"
Semua terasa berubah begitu selesai pernikahan, seolah suaminya itu menjadi sosok yang baru ia kenal. Padahal sebelum pernikahan, ia sudah merasa cocok dan merasa diperhatikan sebagai seorang perempuan dan pasangan, walau sebenarnya ia sendiri cukup tahu bahwa sikap sang suami memang sedikit dingin dan cuek, namun entah mengapa lebih dingin setelah pernikahan. Ia menjadi orang yang susah untuk di ajak bicara atau sekedar untuk bertegur sapa.
"Apa sebenarnya aku yang salah menilainya saat itu?"
Hari demi hari, Rania mencoba beradaptasi dengan sifat dan karakter sang suami yang cukup dingin dan cuek, namun kali ini ia seolah menyerah pada semuanya, tentang hubungannya, nasibnya dan masa depan pernikahannya sendiri.
"Aku mempertahankan pernikahan karena tak ingin berakhir begitu saja, tapi... aku merasa sudah lelah dengan semuanya"
Ada alasan yang akhirnya membuatnya benar-benar menyerah pada pernikahannya dan melepaskan semuanya, yaitu ketika sikap suaminya yang tak kunjung berubah dan membuatnya terus merasa kesepian selama tiga tahun pernikahan mereka, ditambah hadirnya masa lalu sang suami yang tiba-tiba datang di tengah-tengah mereka, yang semakin membuatnya yakin untuk tak lagi bisa melanjutkan hubungan ini. Karena ia merasa seperti pihak ketiga dari hubungan keduanya.
"Aku benar-benar tidak tahu kalau itu karena masa lalunya"
Mentalnya terlihat benar-benar lelah, batinnya terlihat benar-benar capek pada semuanya. Ia tak lagi bisa mempertahankan hubungan yang tak lagi se arah.
"Maafkan Rania, bu"
Ucapan kesedihan dan rasa sesal menyelimuti Rania karena tak bisa memenuhi janjinya pada sang ibu untuk bahagia setelah menikah dan mempertahankan pernikahannya.
"Rania sudah berusaha sekuat yang Rania bisa"
Air mata tiba-tiba keluar membasahi kedua pipinya. Ada perasaan berkecamuk menyelimuti pikirannya. Ia termenung memikirkan nasibnya kedepan, namun disatu sisi ia harus membuat keputusan itu, walau keputusan itu akan mempengaruhi hidupnya kedepan. Pada statusnya, hidupnya, bahkan hubungannya.
"Setidaknya aku sudah mencoba dan berusaha sebisaku"
Ia mencoba tersenyum, namun batinya tidak baik-baik saja.
Ia pikir akan bahagia setelah menikah, namun kenyataanya ia malah kesepian. Rumah yang besar dan megah itu nyatanya tak mampu mengisi kekosongan hatinya. Selama tiga tahun pernikahan mereka, tak pernah ia rasakan kebahagiaan di dalamnya. Semua terasa hampa dan penuh kekosongan.
Tak ada sapa, tak ada tawa, tak ada basa-basi ataupun interaksi kecil yang mendekatkan hubungan. Semua terasa sunyi, dingin dan hampa. Seolah tak pernah ada pernikahan sejak awal.
"Hari ini ada acara yang harus aku datangi, jadi siap-siap lah"
Obrolan akan datang dari mulut suaminya itu hanya ketika sang suami memintanya untuk menemaninya ke sebuah acara yang mengharuskan membawa pasangan. Hanya saat-saat seperti itulah suaminya mencoba mengajaknya bicara duluan, selebihnya jarang melihatnya membuka obrolan untuk hal-hal diluar kepentingan.
"Peranku hanyalah sebagai pendampingnya, tak lebih.."
Ironi yang sangat menyakitkan bagi Rania. Walau semua rekan-rekan suaminya melihat keduanya sebagai pasangan yang serasi, namun pada faktanya hubungan keduanya tak terlalu hangat. Suaminya memperlakukannya dengan baik hanya di depan banyak orang, sepulang dirumah ia kembali dingin seperti biasanya.
Tak ada celah bagi Rania untuk memasuki dunia sang suami, seolah suaminya itu memang sengaja tak memperbolehkan ia untuk mendekat dan memilih untuk memberi batas.
Namun, Rania tak bisa diam begitu saja, ia terus mencoba mencairkan sikap dingin suaminya dan mencoba merubah suasana rumah. Walau, ia beberapa kali mendapat penolakan dingin dari sang suami.
"Jangan melewati batas, cukup sampai disini kamu berbicara dan mendekat"
Jawaban yang dingin keluar setiap kali ia mencoba untuk berdiskusi ataupun mencoba basa-basi dengan suaminya, dan setiap itu terucap dari mulut sang suami tentu perasaanya menjadi sakit, namun ia tahan sekuat tenaga demi pernikahannya dan tentu pada janji yang telah ia buat pada ibunya.
Sabar, dan terus bertahan demi sebuah janji yang sudah terlanjur ia ucapkan pada sang ibu sesaat sebelum ia akan menikah. Hari demi hari ia mencoba berjuang mempertahankan hubungannya, namun semakin lama semakin membuatnya lelah dan tak kuat.
"Kamu yakin mau menikah?"
"Apa ibu tidak suka Rania menikah?"
"Bukan tak suka, tapi ibu hanya khawatir kamu tidak akan bahagia"
"Lalu Rania harus bagaimana? Apa dibatalkan saja pernikahannya?"
Sang ibu terdiam mengingat persiapan sudah hampir selesai dan acara semakin dekat.
"Kalau kamu merasa tidak yakin, mungkin kita bisa bicarakan baik-baik dengan oma Larisa"
Kali ini Rania yang terdiam.
"Bukankah oma akan membenci kita karena kita membatalkan pernikahan disaat persiapan sudah hampir selesai?"
"Perasaan kamu jauh lebih penting sayang, karena ini pernikahan kamu"
Rania diam mendengar perkataan sang ibu. Melihat bagaimana ibunya menghawatirkan pernikahannya yang tiba-tiba ini. Terlebih tanpa ada ikatan cinta.
"Tidak apa, bu. Yang penting sekarang ibu di operasi dulu, jangan perdulikan hal lainnya."
"Maafkan ibu ya, karena kamu harus melewati ini semuanya"
Melihat anaknya yang harus berkorban demi dirinya yang sedang sakit, membuat air mata sang ibu tak terbendung.
"Bu, keluarga oma Larisa kan baik, Rania pasti diperlakukan dengan baik oleh mereka, jadi ibu tidak usah khawatir soal itu."
Rania mencoba menguatkan sang ibu yang merasa bersalah padanya. Karena ia terpaksa menyetujui perjodohan itu demi sang ibu bisa segera di operasi.
...
Sebuah keputusan yang berat bagi Rania, baik saat memutuskan untuk menyetujui perjodohan dan akhirnya menikah maupun saat ini yang harus memutuskan perpisahan dari seseorang yang disebutnya sebagai suami. Ia tak enak pada oma Larisa yang begitu baik pada keluarganya, yang sudah mau membiayai operasi sang ibu, namun disatu sisi ia tak lagi bisa melanjutkan hubungan yang memang sudah tak baik-baik saja sejak awal.
Pernikahannya adalah pernikahan balas budi. Ia menikah karena butuh uang untuk biaya operasi ibunya yang lagi sakit, sedangkan bagi Andreas Eka Anggara ini adalah kesempatan terakhir baginya untuk mengakhiri perjodohan dari omanya. Karena itu ia tak pernah menaruh harapan lebih pada hubunganya, namun disatu sisi ia mencoba untuk berusaha yang terbaik dalam pernikahannya, walau bagi Andreas itu tak perlu dilakukan.
"Hanya aku yang berusaha disini, dan itu sangat melelahkan"
Rania tersadar bahwa pengorbanannya hanyalah sia-sia selama ini karena suaminya tenryata tak menginginkan pernikahan ini sejak awal.
"Padahal aku juga terpaksa, tapi aku masih berusaha untuk mencoba agar pernikahan ini bertahan dan tidak canggung satu sama lainnya"
Walau tanpa ada rasa sejak awal, namun Rania mencoba agar pernikahannya baik-baik saja, namun ternyata hal itu ternyata cukup melelahkan mengingat tak mendapat sambutan dari Andreas yang sedari awal memang tak ingin menikah.
"Lalu untuk apa aku harus bertahan sekarang? Mungkin ini sudah waktunya aku membuat keputusan." Ucapnya penuh tekad.
Di samping itu, Andreas melihat ada yang berubah dari sikap istrinya, dan perbedaan itu terasa begitu kentara hingga ia bisa merasakan perubahannya. Mulai dari tak lagi melihat istrinya menyambutnya ketika ia pulang kerja dan langsung tertidur, tak lagi menyiapkan sarapan untuknya setiap pagi dan langsung pergi, ataupun tak lagi mengantarkannya ke depan pintu setiap kali ia akan berangkat kerja.
Andreas merasakan perasaan aneh dengan perubahan sikap dari istrinya. Ia tak tahu bagian mana yang aneh, namun ia seakan merasa kehilangan pada kebiasaan-kebiasaan yang biasa istrinya lakukan selama ini untuknya.
Istrinya mendadak menjadi pendiam dan tak banyak bicara, bahkan sekarang tak lagi mencoba untuk akrab dengannya. Jika biasanya, ia akan selalu melihat bagaimana sikap istrinya yang terus mencoba untuk berbicara dengannya, dan ia yang biasanya hanya akan mendengarkan apa yang dia katakan dan sesekali menjawabnya. Namun, sekarang hal itu benar-benar tidak lagi bisa ia dengar, hingga ia merasakan kekosongan itu.
Andreas melihat perubahan itu, namun ia hanya diam mengamati dan tak bertanya mengapa istrinya itu berubah.
"Apa istriku sudah tidur?"
Melihat bibi pengurus rumah yang menyambutnya, Andreas menanyakan keberadaan istrinya yang biasanya menyambutnya ketika ia pulang.
"Iya pak, ibu Rania sudah tidur" Jawab bibi pengurus rumah.
Andreas diam begitu ia pulang tak ada sambutan dari sang istri seperti biasanya, ia juga sedikit kaget melihat sudah hampir satu mingguan ini tak lagi bisa melihat istrinya berdiri di depan pintu untuk menyambutnya pulang.
Ia pun berjalan menuju kamar, dan benar ia melihat sang istri sudah tertidur dengan pulasnya diatas kasur. Termenung melihat perubahan itu, Andreas hanya bisa diam dan mulai melepas jas dan membuka satu persatu kancing kemejanya sembari sesekali melirik ke arah istrinya yang sedang tertidur.
Ia tak bisa berbuat apa-apa pada orang yang sedang tidur, yang membuatnya tak lagi mempermasalahkan dan bergegas untuk membasuh tubuhnya yang lengket dikamar mandi.
...
Pagi harinya, ada keheningan yang sedang menyelimuti keduanya yang sedang sarapan bersama. Andreas yang seperti biasanya cuek, terlihat bingung melihat istrinya yang terus diam, ia terus melirik ke arah istrinya yang mendadak tak banyak bicara seperti biasanya. Mengingat biasanya dialah yang pasti akan menawarkan makanan untuknya dan membuka obrolan di sela-sela sarapan. Namun, kali ini istrinya itu benar-benar diam tanpa ada kata maupun sapa untuknya. Membuat bibi pengurus rumah ikut merasakan perasaan tak nyaman pada situasi yang terasa sunyi antara majikannya itu.
"Aku mau berangkat kerja dulu" Ucap Andreas menyelesaikan sarapannya.
Ia pergi, namun langkahnya tiba-tiba berhenti ketika tak melihat keberadaan istrinya yang biasanya mengikutinya untuk mengantarnya kerja.
Andreas menoleh kebelakang dan benar-benar tak melihat keberadaan istrinya, membuatnya diam termenung melihat perubahan sikap istrinya.
"Mobilnya sudah siap, pak"
Perkataan dari supirnya itu membuatnya kembali melangkahkan kakinya untuk keluar walau ia sesekali menoleh ke arah belakang seolah sedang mencari sesuatu. Ia benar-benar telah kehilangan sesuatu yang biasanya ia lihat dan rasakan.
Sikap istrinya yang tak lagi menyambutnya ramah maupun hangat telah perlahan menganggu pikirannya dan pekerjaanya. Jika ia biasanya akan terus fokus pada pekerjaanya, namun karena masalah ini entah mengapa mempengaruhi pikirannya dan membuatnya terus melamun tanpa sadar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!