NovelToon NovelToon

Bukan Sekolah Biasa

BAB 1 : Sekolah Baru

Pernahkah kamu berpikir bahwa mempunyai kemampuan hebat itu menyenangkan Apalagi jika kekuatan tersebut adalah melihat masa depan, tertarikah kamu? Bisa melihat apa yang akan terjadi sebelum itu terjadi, lalu mengambil tindakan pencegahan jika yang datang adalah hal buruk, menarik bukan?

Jika jawabanmu iya, maka aku tidak. Kenapa? Karena melihat apa yang seharusnya belum terjadi dan melihat rekaman apa yang akan terjadi beberapa waktu ke depan begitu saja—ditambah apalagi kalo hal tersebut sangat mengerikan, pikiran pasti akan terus terganggu dan lebih buruk lagi.

Hal tersebut akan terus menghantui kita.

Sejak usiaku lima tahun—Entah kenapa kemampuan melihat masa depan bisa ada padaku. Semua berawal sejak Papah, Mamah, dulu mengajakku pergi bertamasya. Di saat kami hendak pergi—beberapa saat sebelumnya, aku menatap mata kedua orang tuaku, kami saling bertatapan dan saat itulah pertama kali aku menunjukkan kemampuanku.

“Jangan pergi, Mah, Pah—nanti di sana akan turun hujan besar.” Aku menarik pelan baju Papah dan Mamah. Umurku memang lima tahun, tapi aku sudah lancar berbicara.

Anak kecil tetaplah anak kecil, orang dewasa mana yang mudah sekali percaya dengan anak usia lima tahun yang masih polos dan tak berdaya? Mamah dan Papah hanya tersenyum serta tertawa mendengar penjelasan dariku—ditambah wajahku yang masih terlihat gemas, sekali lagi siapa yang akan percaya?

“Tidak mungkin sayang. Berita tadi di TV sudah menjelaskan, kalo nanti—hari ini tidak akan turun hujan.” Mamah berjongkok lalu mengelus kepalaku perlahan sembari menatapku dengan senyuman.

Apa yang aku lihat benar terjadi Sesampai di sana—saat kami menggelar tikar, awan mendung telah mengepung dari segala arah, kemudian hujan pun turun dengan derasnya di sertai petir. Aku beserta Mamah dan Papah cepat-cepat kembali ke dalam mobil untuk berteduh.

“Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Hujan deras? Sungguh di luar dugaan. Berita salah memprediksi cuaca sepertinya.” Papah mendengus kesal.

“Seharusnya kita dengarkan anak kita untuk tidak berangkat hari ini.” Papah menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Mamah mencoba menenangkan papah yang kesal. Aku hanya menatap bingung kedua orang tuaku dengan tatapan polos.

Kejadian ini terus berlanjut—dari yang awalnya seru—berubah tiga ratus enam puluh derajat menjadi mengerikan. Semakin aku tumbuh besar, semakin banyak keputusan dan risiko yang menghantuiku karena kemampuanku sendiri. Bahkan lingkunganku pun mulai menjauhiku saat menginjak remaja.

Aku menjadi dikucilkan oleh teman-temanku—baik di sekolah ataupun di lingkungan rumah—hanya ada satu alasannya—karena kemampuanku yang mengerikan.

“Semua ini tidak akan terjadi, jika kamu tidak ada!”

“Monster! Pergi sana!”

“Jika saja kamu tidak memenangkan kompetisi ini, kita tidak akan bernasib sial. Dasar Manusia terkutuk!” Begitulah kira-kira yang aku dengar hampir tiap hari dari setiap orang.

Cara kerja kekuatanku sangat mudah. Ketika mataku dan mata orang lain saling bertatapan selama tiga detik, maka kemampuanku tersebut akan aktif. Mataku akan menangkap gambar orang tersebut lalu di simpan dalam pikiranku.

Kemudian otakku akan mulai bekerja seperti rekaman foto yang menjelaskan tentang apa yang akan terjadi pada orang tersebut dalam bentuk potongan acak dan terus-menerus hingga menyusunnya menjadi sebuah rekaman video utuh.

Namaku Sandy—Aku salah satu manusia dengan kemampuan istimewa, dimana aku bisa melihat masa depan hanya dengan kontak mata dalam dua puluh detik.

***

Hujan mengguyur jalanan kota pagi ini. Rincikan air hujan bagai melodi yang indah bagi seorang monster yang dijauhi sepertku. Buku catatan baru, seragam baru, dan mungkin aku yang baru. Inilah awal segalanya—tempat aku bisa menulis ulang ceritaku yang lebih baik. Apakah itu mungkin?

Maksudku, lihatlah bangunan sekolahku yang baru ini. Hujan yang mengguyurnya terlihat tampak seram—lantai bertingkat lima, warna cat bagunan yang pudar, dan lapangan sekolah beserta tumbuh-tumbuhannya yang tak terurus. Aku bahkan sampai mengira sekolah ini seperti latar dalam film zombie—penuh sekali kekacauan.

Aku melangkah masuk melewati gerbang yang tak jauh dari situ ada pos satpam. Jas hujan biru yang kugunakan menarik perhatian Pak Satpam di dekat pos.

“Kamu anak pindahan ya?” Pak satpam tersenyum ramah padaku.

“I-iya pak” Aku ragu-ragu menjawabnya. Pandanganku langsung kualihkan kembali guna mencegah kemampuanku aktif.

“Segera kau masuk ke sekolah. Hujan ini bisa membuatmu sakit meskipun kau memakai jas hujan.” Pak Satpam menyuruhku agar cepat-cepat masuk ke bangunan sekolah.

Aku mengangguk membalas dengan

senyuman ramah, kakiku berjalan dengan cepat meninggalkan gerbang berserta pos satpam tersebut. Sungguh aku tidak percaya dengan apa yang kulihat ketika memasuki lobby sekolah.

‘SMA SAYAP HITAM’ Tulisan nama sekolah terukir indah di dinding lobby dengan ukuran besar. Selain itu, ternyata aku keliru dengan sekolah baruku ini.

Apanya yang buruk? Sekolah ini justru bersih sekali—kecoak pun tidak akan mungkin menginjakkan kakinya disini. Jangankan kecoak—debu saja tidak mau hinggap di setiap sudut tembok dan lantai.

“Kamu pasti anak pindahan yang baru, benar kan?” Suara wanita memecah kekagumanku seketika.

Aku berbalik badan, seorang guru wanita berdiri di belakangku dengan mengenakan kacamata dan rambut panjangnya sedikit berantakan.

“Anak baru, saya bertanya padamu. Apa benar kau anak pindahan bernama Sandy Sandoro itu?” Guru itu bertanya kembali.

“I-iya bu.....saya Sandy Sandoro.” Aku mengangguk pelan. Sama seperti sebelumnya, pandanganku langsung kualihkan tanpa menyinggung perasaan orang lain.

“Perkenalkan, saya Ibu Mariska—wali kelas kamu. Kamu masuk kelas sebelas MIPA 2. Mari, Ikuti saya.” Bu Mariska menuntun jalan di depanku.

Mataku kembali melihat sekeliling—lorong kelas yang panjang luas serta bersih, membuatku nyaman untuk saat ini. Aku gugup sekali, tak pernah berhenti berpikir seklipun tentang teman-teman seperti apa nanti yang akan aku temui nanti.

Tak terasa aku berjalan begitu jauh. Kelasku ternyata berada di lantai tiga, aku menatap tanda kelas yang tergantung di dekat pintu ‘XI MIPA 2’ belum sempat menarik napas lega—mataku menemukan tulisan aneh di jendela ‘Rajanya Absurd dan Keributan (Kandang Anomali)‘ begitulah yang terlihat.

Aku menelan ludah, Bu Mariska membuka pintu kelas—masuk terlebih dahulu ke dalam kelas. Suara nyaring bagaikan satwa liar terdengar saat pintu di buka.

“Woi, Bu Mariska datang! Yang punya drone bisa beresin alat bekas perbaikannya gak sih?!”

“Meja yang ditumpuk cepat di beresin, woi!”

“Tali rapia buat jemur-jemurannya di lepasin juga!”

“Jangan lanjutin eksperimen kimianya oi! Bu Mariska datang tar meledak, kelas kacau, kita mati kena amuk!”

Suara gaduh itu terus terdengar. Sekejap ketika Bu Mariska berdiri sempurna di depan tengah kelas, semuanya jadi hening.

“Beruntung sekali kalian hari ini. Kali ini ibu gak akan ngasih kalian semua hukuman. Seharusnya kekacauan yang telah kalian perbuat tadi patut di beri hukuman, tapi karena ada murid baru yang akan bergabung ke kelas ini, jadinya tidak jadi.” Kelas masih hening—hanya suara Bu Mariska yang terdengar.

“Murid baru! Silakan masuk!” Bu Mariska berseru memanggilku.

Aku menghela napas panjang—menenangkan diriku. Aku masih memakai seragam SMA asalku, SMA Berlian.

Sebisa mungkin aku bersikap normal saat memperkenalkan diri. “Nama saya Sandy Sandoro, mohon bantuannya.”

Aku menatap seisi kelas, kabel-kabel menggantung di langit-langir kelas, rak-rak dipenuhi barang-barang aneh bahkan muridnya pun aneh. Ada cowok ketutupan tudung hoodienya lagi tidur, Cewek lagi melukis dengan atmosfer seniman asli—bahkan sampai eksperimen kimia dan masak mie di kelas pakai kompor portable? Sungguh? Ini sekolah atau tempat nongkrong?

“Sandy, silakan duduk di samping Bora.” Ibu Mariska menunjukkan tempat untuk aku duduk.

“Baik, Ibu.” Aku menangguk pelan, kemudian perlahan melangkah menuju mejaku yang baru.

“Sebentar lagi, guru sejarah akan datang. Jadi, ibu mohon....JANGAN SAMPAI ADA KELUHAN DARI GURU LAIN LAGI......KALO TIDAK—.” Ibu Mariska tidak menyelesaikan ucapannya, tapi ia menatap dengan wajah seram kepada seisi kelas. Dia pergi begitu saja dengan potongan kata tersebut, tapi sepertinya itu memberi efek cukup serius pada kelas.

Di saat Ibu Mariska benar-benar sudah pergi, semua murid menatap ke arahku—seperti melihat makhluk asing yang datang.

“Pindahan dari mana bro?"

“Aku bisa nulis tentang kamu gak? Semua hal?”

“Lu malah kayak stalker kocak.”

“Apa indomie favoritmu, wahai kisanak?”

“Mau jadi kelinci percobaan penemuanku tidak?”

Aku terkejut. Plot twist sekali. Biasanya jika dalam novel atau film-film yang aku lihat—Murid pindahan selalu menjadi bahan celaan di hari pertamanya.

Tiba-tiba teman satu bangkuku berdiri, “Hentikan semua!” Suaranya kencang hingga bergema dalam kelas.

“Biarkan saya yang menjadi juru penghubung antara anak baru ini dengan kalian, penghuni asli kelas,’ ujarnya seperti pemburu setan.

“Namaku, Bora. Aku seorang atlet bela diri terbaik. Entah itu dengan pedangku, tongkat ataupun tangan kosong.” Bora mengulurkan tangannya.

Aku ragu-ragu menyambut jabat tangannya. "Aku, Sandy Sandoro."

"Yeah, kamu sudah bilang tadi."

“Kalo kamu yang jadi juru penghubungnya nanti akan seperti tahun lalu. Muridnya salah paham sampai pindah sekolah lagi.” Salah satu murid menyangkal.

“Bukan salahku, tapi salahkan lah Rio dan dronenya.”

"Lah, kok nyalahin gua?" Orang yang dibicarakan langsung mendengarnya.

"Waktu itu, droneku cuman lagi penyesuaian nada bicara cerdas." Rio mendengus kesal.

"Lihat, nih! Droneku sudah sangat bagus, kini alat ini siap beraksi."

Drone mendesing terbang ZINGG! Bentuknya menurutku sangat aneh. Bentuk drone seperti botol dengan sayapnya dari sendok?

ZINGG! BOOM! tanpa aba-aba drone itu meledak sendirinya. Rio terdiam, kemudian remaja lelaki tersebut tertunduk dramatis.

"Kita sudah melalui banyak hal, wahai sahabatku." Rio memegangi pesawat tanpa awak ciptaannya tersebut.

"Lebay, ciptaaan lu biasanya emang aneh sama gampang rusak semua," Salah satu murid berkomentar.

Aku mulai sedikit risih. Sejatinya, sekolahku yang sebelumnya tidak ada perlakuan seperti ini. Mungkin mereka belum tahu tentang kemampuanku. Pada akhirnya pasti mereka semua akan menjauhi. Tapi, aku keliru. Semua ini adalah awal dimana kegilaan dan keabsuran dimulai.

“Anak baru pasti kau senang olahraga. Tanpa basa-basi, ayo kita melakukan push up dengan beban.”

"Kamu beneran kuat?" Aku menatap ngeri murid atletis di kelasku. Bagaimana mungkin dia bisa mengangkat tubuhnya saat push up jika ada meja yang menambah bebannya?

"Tenang saja Sandy. Ini pasti pertama kali dalam hidupmu melihat anak-anak dengan tingkah paling absurd di dunia ini." Bora menepuk pundakku "Omong-omong nama dia, Fahri—Si atlet atletik yang ga pernah juara."

"Enak banget, tuh mulut bicara. Aku ini sudah menjadi juara sejati," ujar Fahri bangga. Dia masih melakukan push up yang bisa aku bilang masuk kategori latihan berat.

"Dalam mimpimu." Bora nyengir mengejek.

Fahri hanya mendengus kesal. Dia menjadi tidak mood untuk mengobrol dan melanjutkan apa yang sedang dikerjakannya.

"Nah, semuanya! Aku harap kalian mengantri satu per satu untuk bertanya tentang anak baru ini, yaitu : Sandy." Bora menunjuk ke arahku.

Perasaanku mulai tidak enak. Orang yang susah sekali berbaur dengan orang lain sepertiku ini, akan sangat terkuras energinya.

Aku mengalihkan pandanganku ke arah murid lain. Salah satunya adalah perempuan berambut pendek.

Mata kami saling memandangi satu sama lain. Dia seperti familiar bagiku, tapi saat aku berpikir keras—murid lelaki di sampingnya menatapku dengan tatapan sadis Tatapannya membuatku tidak nyaman—Aku pun jadi kembali fokus kepada gerombolan anak kelas yang sedang heboh bertanya tentangku.

Tapi, sekilas saat aku dan perempuan itu saling bertatapan. Aku sedikit melihat masa depannya. Itu tidak aku sengaja. Kesakitan, Hancurnya impian dan tidak ada semangat hidup.

Dalam kehancuran itu, dia menangis. "Se-seorang, siapa saja, aku tidak ingin sendiri. Aku hanya ingin mencari potongan yang hilang."

Aku langsung menyadarkan kepalaku dan mencoba melupakannya. Apa itu?

***

Waktu berlalu lebih cepat dari yang kuduga. Kelas baruku mendapat jam kosong lama. Guru sejarahnya tidak bisa hadir. Alasannya aneh sekali. Kata ketua kelasku yang bernama Alex, gurunya tidak bisa hadir karena ayamnya tersangkut di belakang lemari. Sangat di luar prediksi—bahkan BMKG belum tentu bisa memperkirakan kejadian tersebut.

Jam kosong tersebut aku pakai untuk keliling sekolah. Bukan ideku, tapi teman satu bangkuku, Bora. Dia sangat gigih membujukku. Padahal energiku baru saja habis menghadapi banyak pertanyaan dari satu kelas.

“Banyak sekali pertanyaan. Aku harus pulang." Aku menyerah.

"Kesenangan baru dimulai, kau harus lebih semangat, Sandy." Bora mencoba memotivasiku. Beberapa waktu yang singkat, tapi kami berdua berhasil akrab.

"Kebetulan yang sangat epik, guru sejarah tidak bisa hadir. Jadi aku bisa leluasa memberimu tur sekolah ini. Kita akan segera sampai pada tujuan akhir. Atap sekolah."

"Memangnya perlu?" Tanyaku.

"Tentu saja. Kau harus mengenal sekolah ini lebih baik sebelum kau mati. Ini sekali seumur hidup. Kapan lagi, kau bisa mengenal sekolah paling aneh dan buruk reputasinya?"

"M-Mati?" Aku susah payah menelan ludah. Perasaanku berkata 'sudah waktunya'

"Mati dalam artian kewarasanmu." Bora memberitahu makna sebenarnya. Aku pun bernafas lega.

Kami akhirnya sampai di atap sekolah. Sekolah baruku ini lumayan bagus dibanding sekolahku yang sebelumnya. SMA BERLIAN.

Pot-pot tanaman berjajar rapi menghiasi atap gedung. Berbagai jenis tumbuhan—tumbuh dengan baik dan indah. Ada bunga anggrek, pohon tomat, bayam dan masih banyak lagi. Tidak hanya itu, atap sekolahku yang baru ini lebih luas. Ada tempat berteduh untuk orang-orang duduk. Pokonya, menurutku ini tempat bagus. Belum puas aku menatap sekitar, seseorang membuyarkan kesenanganku.

"Kenapa kalian kesini, hah?!" Suara lelaki. Dia tinggi, rambutnya jatuh (kalo di tiup angin kayak MC di film-film romance) wajahnya tampan, tapi sifatnya tak ramah.

"Oh, Raga. Kami hanya sedang melihat—"

"Pergi! Kau tidak lihat kami sedang apa, hah?!" Wajah Raga merah padam. Dia menunjuk seseorang sambil marah-marah.

Aku menatap ke arah sosok yang di tunjuk oleh Raga, dia gadis yang aku lihat di kelas tadi. Gadis itu berambut pendek, wajahnya cantik sekali—auranya seperti putri-putri di negeri dongeng.

"Aku tahu. Kau sedang makan siang dengan Nayyara, bukan? Makan siang bersama, ini itu layaknya orang pacaran padahal ada hal lain yang sebenarnya." Bora menjawab santai dengan wajah riang.

Raga mencengkram kerah baju seragam sekolah Bora dengan kuat dan penuh emosi, matanya hingga melotot sadis—sedangkan orang yang terancam malah santai sekali seakan itu bukan ancaman.

"Baiklah, sepertinya kamu tidak ingin di ganggu. Lagipula......aku sedang mengajak anak baru ini yang sekarang sudah resmi menjadi keluarga XI MIPA 2." Bora melepas cengkraman kuat Raga dengan teknik yang tidak pernah aku lihat.

"Ayo, Sandy. Kita harus mengakhiri tur sekarang. Orang ini akan sangat merepotkan, jika kita membuatnya semakin marah." Bora melangkah pergi duluan. Tak lama aku menyusulnya.

Sebelum menutup pintu atap, aku dan gadis berambut pendek bernama Nayyara tersebut—saling menatap satu sama lain. Sadar akan hal tersebut, aku langsung memalingkan wajahku dengan cepat. Sekilas aku melihatnya tersenyum lembut dan ramah kepadaku. Entah tidak sadar, aku baru tahu kedua tangan Nayyara memakai sarung tangan berwarna putih.

Aku dan Bora berjalan kembali ke kelas kami berada. Aku masih. Bertanya-tanya tentang masa depan yang aku lihat dari mata Nayyara. Hanya aku saja yang mengetahuinya. Ini sangat mengerikan bagiku. Lenggang.

"Bor, apa maksudmu tadi 'hal lain yang sebenarnya' aat kau berbicara dengan Raga?" Aku membuka obrolan yang lenggang sangat lama.

"Aku, tidak bisa menjelaskan detailnya. Terlalu rumit."

"Namun, garis besarnya adalah masalah.....politik.....Ayah Raga adalah seorang pengusaha besar sekaligus aktif dalam dunia politik."

"Oh, iya..........Sandy.......ada yang ingin aku bicarakan denganmu."

"Kau telah melihatnya, kan? Kau menggunakan anugrah yang ada padamu, bukan? Masa depan Nayyara, kau telah melihatnya, kan? Terutama di kelas tadi?" Bora menatapku masih dengan wajah riang, namun sangat mengerikan.

Badanku terhenti mendadak. Seketika keringat mengucur deras dari tubuhku. Aku sangat gugup. Aku menjawab dengan nada gelagapan.

"A-Apa yang kau bicarakan, Bora?" Aku bertanya.

"Sudah kuduga. Seharusnya ini diungkap perlahan seiring berjalan waktu, tapi berhubung kau—" Bora menjeda ucapannya.

"Kau?" Desakku agar Bora meneruskan ucapannya.

"Tidak......bukan apa-apa." Bora menghembuskan nafas panjang

"Biarkan nanti dia saja yang menjelaskannya. Sekarang kita kembali ke kelas. Aku akan tunjukkan aktivitas absurd dari anak-anak yang lain."

Kami kembali berjalan. Aku menatap heran Bora dari arah belakang. Sangat tidak terduga. Siapa yang di maksud dia oleh Bora? Kenapa dia bisa tahu kemampuanku? Sekolah yang memiliki reputasi buruk, SMA SAYAP HITAM, nampaknya masih menyimpan banyak pertanyaan dan misteri yang belum aku ketahui. Dan masalah sulit yang tak lama akan datang menghampiriku.

BAB 2 : Sulit Ditebak

TING! TING!

Suara alarm dari ponselku berbunyi kencang. Hari kedua aku bersekolah di sekolah yang baru dan paling buruk. Langkah kakiku begitu berat rasanya, inginnya sih tidur dan bangun nanti siang, tapi itu sangat tidak mungkin. Tepat sesudah aku mematikan alarm yang berbunyi dari ponselku, lalu bersiap terjun kembali ke alam mimpi. Mamahku datang

membangunkanku.

"KAKAK!!!!"

"BANGUN, ANAK PEMALAS!!!"

"Lima menit lagi, mah." Aku menjawab malas.Kantuk tidurku berat—memaksaku untuk menutup mata terus-menerus.

"Kamu itu, bilang lima sekarang nantinya malah jadi Lima jam." Mamah menjewer kupingku hingga aku tak merasakan mengantuk lagi.

"Kamu sekarang kalah sama adikmu yang selalu bangun pagi. Mamah enggak tahu lagi cara biar bisa mendisiplinkan kamu." Mamah menepuk jidatnya.

"Adik itu mah, dengerin Sandy dulu. Adik itu bangun pagi karena belum ngerjain PR malamnya, jadi otomatis dia bakal berpikir untuk melihat PR punya temannya."

Perdebatan pagi hari terus berlangsung, menghabiskan tiga puluh menit—jamku yang berharga, aku sangat kesiangan. Sekarang pukul tujuh kurang lima belas menit, bel sekolah berbunyi jam enam lima puluh lima sedangkan jarakku ke sekolah menempuh waktu kurang lebih lima belas menit. Aku sedang sial.

Nafasku menderita, detak jantungku terus meningkat, aku berlari terus menuju sekolah tanpa henti.

Sial. Kenapa harus telat sih. Murid baru macam apa yang hari keduanya udah bikin pelanggaran?

"Murid, kek lu." Seseorang tiba-tiba berbicara.

Aku terkejut ketika ada yang menimpali percakapanku dengan diri sendiri. Siapa? Aku menoleh ke arah kiriku, tidak ada orang, tapi lain cerita ketika kepalaku menoleh ke arah kanan.

DOR!

Empat makhluk absurb kelas rupanya. Beben, Adit, Genta, dan Rino. Panggilan Absurd kepada keempatnya bukan sekadar julukan belakang, mereka benar-benar diluar logika berpikir manusia. (Susah di tebak)

Sehari saat aku dikerubungi pertanyaan yang banyak, semua orang tertuju padaku kecuali 8 orang : Raga, Nayyara, Orang dengan Hoodie yang tertidur lelap, Lelaki biasa yang tatapannya seperti ingin membunuhku entah kenapa dan terakhir empat sekawan absurd.

Alih-alih bertanya, mereka malah masak Indomie di kelas pakai kompor portable, berbagai varian rasa Indomie di masak oleh mereka, kemudian dijadikan satu, dan di sajikan pakai piring yang besar sekali dan aku sendiri tidak tahu, itu piring dapatnya dari mana.

Terus mereka bilang "Hidangan utama kelas XI MIPA 2. Pesta penyambutan murid baru. Makan sepuasnya sampai euneg." Genta dan Adit menghidangkan mie di meja guru.

"Kalo ada guru gimana?" Tanya salah satu murid.

"Gampang, bilang aja piring ini punya ibu kantin terus beliau ngasih Indomie ini sebagai bentuk penyambutan murid baru," kata Beben dengan pedenya.

"Bukannya, ide kamu ya?"

"Bentar, ini piring punya ibu kantin? Kalian berarti nyuri dong?"

"Eits, sshttt!" Rino mendesis.

"Kita bukan mencuri, tapi meminjamnya." Adit berlagak kayak aktor drama.

"Ibu kantin nya kasihan harus bawa piring besar, jadi kami memutuskan untuk membawanya kemari." Genta nyengir.

Begitulah kira-kira. Tapi, aku tidak tahu hal absurd lainnya yang telah mereka lakukan sebelumnya.

"Kalian telat juga?" Aku bertanya sambil mengatur nafasku saat berlari.

Sepertinya mereka juga telat. Berarti aku tidak perlu di cap sebagai murid yang membuat pelanggar sendiri. Telat .

"Kau tahu Sandy, kita sebenarnya tidak pernah telat sedikit pun. Datang pagi adalah budidaya kami berempat." Beben menjawab dengan gaya sok keren.

Aku menatap Beben dengan kaget, dua kali dia menimpali aku yang sedang berbicara dengan diriku sendiri di dalam hati. Aku anggap itu kebetulan.

"Budaya,.Ben. Kira Lo lagi rawat hewan langka atau tanaman apa. Beda kata, beda arti." Adit membenarkan ucapan temannya.

"Nah, itu. Terus kita juga biiasanya sudah melakukan hal luar biasa." Beben melanjutkan perkataannya.

al absurd pastinya

"Yap, betul. Kami ngeprank guru dengan pura-pura ngelap kaca atau pintu kaca terus kami lanjutkan dengan prank zombie." Beben menimpali aku yang berbicara dalam hati.

"Ben, bukannya Lo udah terlalu berlebihan?" Timpal Genta disusul Rino yang menjawab

"iya"

Langkahku terhenti. Sejenak aku berpikir, kok bisa Beben tahu? Mungkin itu kebetulan, tapi ini yang ketiga kalinya. Sungguh benar-benar di luar logika. Apakah Beben sama sepertiku? Memiliki kemampuan istimewa?

"Aku ada pertanyaan sepertinya untukmu Beben." Aku memberanikan diri untuk berbicara dengan intonasi nada sedikit tinggi karena jarakku dengan keempat sekawan absurd yang mulai tertinggal.

"Apakah kamu juga memilikinya? Kemampuan istimewa?"

Langkah keempat sekawan juga terhenti beberapa lima sampai enam meter di depan.

Aku pernah membaca berita dan cerita-cerita dalam novel serta beberapa artikel. Dahulu semasa kecil, selain suka bermain, aku cukup pintar juga. Sesungguhnya dunia ini katanya sudah berubah sejak abad ke 17.

Penyebabnya masih sangat diragukan, tapi semua berujung pada satu kemungkinan. Batu meteor yang jatuh tepat pada tahun tersebut dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi. Ada beberapa berita yang menyebutkan "MANUSIA ATAU ALIEN? MISTERI DAN PERTAMA KALINYA ORANG YANG BISA TERBANG TANPA ALAT TERBANG."

Beberapa video juga telah aku putar dan aku lihat. Buktinya tak kuat, hanya sekilas saja, tapi itu membuktikan gagasan tersebut, meskipun banyak orang yang tak percaya.

"SIAGA Z/A17!!!" Genta, Adit, Beben dan Rino berseru dan menunjuk ke arahku dengan muka panik.

Tiba-tiba mereka menutup mataku dengan kain hitam, lalu mulutku dengan lakban, badanku di ikat oleh tali yang entah darimana mereka berempat dapatkan.

Aku dibawa entah kemana selepas itu oleh mereka berempat."W~i, l~pas~n"

"Dah, gua bilang Ben, lu terlalu sok asik ke orang!"

"Mana gua tahu, dia langsung tau!!

Saat mataku tak melihat apapun dan badanku sudah bergerak, Bora yang tidak tahu apa-apa—sedang dalam perjalanan—dibawa lari sekali oleh keempat sekawan absurd tersebut.

"Sebentar, kenapa aku ikutan di bawa begini?" Bora bertanya lalu tertawa dengan wajahnya yang riang selalu.

Aku dan Bora terus di bawa hingga sampai tujuan, aku tidak bisa melihat apapun, gelap gulita. Kami berdua di lempar ke sebuah Ruangan. Saat Adit memastikan situasi di luar dan bersiap menutup pintu besi, Dua remaja—pemuda-pemudi kebetulan lewat dan melihat apa yang dilakukan keempat sekawan

absurd.

"SAKSI MATA!" Adit berseru kencang seperti sebuah kode.

Tanpa pikir lama, Genta dan Rino berlari kencang menuju tempat kedua pemuda-pemudi berdiri. Mereka berdua malah ikutan di sekap.

Ruangan pun di tutup.

KRAKK

Penutup mataku di lepas, lampu kecil ruangan di nyalakan. Akhirnya aku bisa melihat. Disampingku terduduk juga Bora dan kedua remaja pemuda-pemudi yang kalo tidak salah namanya adalah Dimas dan Isna. Aku sudah mengetahui sebagian wajah dan nama teman kelas hanya dalam waktu satu hari, tapi belum semuanya ada satu atau dua yang tidak hadir saat itu.

"BEGO! NGAPAIN GUA SAMA ISNA DI SEKAP GINI?!" Dimas berseru keras.

"Bahasanya di jaga, Dimas." Isna menyanggah perkataan Dimas.

"Ma-maaf." Dimas mendadak tenang. Wajahnya sedikit memerah.

Ketika kami berempat menatap ke depan, Beben, Adit, Rino, Genta, sudah berdiri mantap di depan kami dengan memakai seragam sekolah dan tambahan lainnya yang menurutku sangat aneh. Genta memakai topi koboi sambil bawa pistol-pistolan? Rino memakai jubah sambil pegang sapu? Adit memakai ember buat helm sambil pegang panci? Terakhir Beben lebih aneh, dia memakai topeng Ultraman Zero.

"KAMI ADALAH SANG PENYIKSA!" Kata mereka berempat serentak.

"Apa mau kalian, hah?! Dimas kesal.

Beben melirik satu sama lain dengan ketiga temannya lalu mengangguk bersamaan.

"Kita berempat hanya akan membuat Lo pada terbungkam. Rahasia yang dimiliki oleh gua ini terlalu bahaya jika menyebar."

"Selain itu, bukan cuman gua yang kena sial sama bahaya. Kemungkinan teman gua juga pada kena nanti."

Ruangan lenggang sejenak. Sedari tadi aku tidak berkata-kata hanya diam. Susah sekali berbicara jika orangnya ramai. Aku menatap sekeliling, nampaknya kami semua berada di dalam gudang sekolah. Banyak sekali debu di setiap sudut dan juga kemarin-kemarin yang sudah lapuk. Bahkan sarang laba-laba banyak sekali terlihat di sana.

"Adit, Rino bawa kemari alat penghancurnya!" Perintah Beben.

Adit Rino segera membawa sesuatu, sebuah mangkok yang isinya Mie pedas dengan porsi yang banyak?

"Jika kalian tidak bisa menjaga rahasia ini, terimalah siksaan mie pedas ini. Cabenya pake sepuluh biji, bubuk pedasnya lima, boncabe level lima puluhnya pake dua."

"Bagaimana ini Bora?" Aku berbisik.

"Apanya yang bagaimana? Kita lihat saja, ini sangat menarik apa yang aku cari dan pastikan sebentar lagi akan sangat jelas." Bora tertawa kecil

"Apa maksudmu?" Aku mengerutkan kening.

Bora tidak menjawab hanya diam. Beben menuju ke arah Dimas dan Isna sambil membawa mangkuk berisi mie instan dengan level pedas yang di luar akal sehat.

"Kalian harus makan ini sekarang."

"Kalian berempat ini maksudnya apa sih? Kita bahkan ga tau rahasia kalian apa?" Dimas sangat kesal.

"Sandy yang tau." Beben menunjuk ke arahku.

Dimas menatapku dengan tatapan tajam seolah ingin sekali membunuhku persetan kau Sandy. Aku jadinya gak bisa banyak menghabiskan waktu dengan Isna.

"Apa? Menghabiskan waktu dengan Isn-"

BUM

Beben mundur beberapa langkah oleh sundulan Dimas. Dimas mengatumkan rahang dan entah kenapa dia bisa merusak tali yang diikatkan padanya dengan kencang sekali.

"Kalian membuang waktu. Ini saatnya aku beri pelajaran." Dimas tersenyum miring.

BRUK

Suara terjatuh. Itu Isna. Sejak tadi dia hanya berdiam diri saja tidak bersuara sama sekali.

"ISNA!" Semua panik.

"Dia gak bisa kalo ada di ruangan sempit dan pengap, asmanya pasti kambuh," ujar Dimas sambil melepas ikatan pada Isna.

"Bangun Isna!" Dimas berseru hingga beberapa kali.

"Yang harus aku salahkan untuk kejadian ini. Kira-kira siapa, ya?" Wajah Dimas berubah mengerikan.

Dimas beranjak dari tempat Isna berada dan menghampiri empat sekawan absurd.

Empat sekawan absurd menelan ludah dan berkeringat dingin. Mereka diambang panik

dan bahaya.

"Dasar bedebah!"

Dimas menerjang dengan ambisi menghajar. Jaraknya tinggal beberapa langkah menuju Beben, Rino, Adit dan Genta.

Alih-alih menghindar, Rino justru maju dengan sapunya, Dimas menyambut pukulan dari sapu tersebut.

TANG!!

Eh bunyi apa itu? Besi? Aku tidak salah dengar kan? Sapu Beben tidak patah begitu saja padahal ayunan darinya sangat keras dan sapu itu terbuat dari kayu. Bahkan Dimas pun sama, tidak ada luka memear yang dia dapatkan.

Awalnya aku mengira hanya Beben saja manusia berkempuan istimewa pertama yang aku temui. Aku keliru. Ternyata fakta tentang dunia yang berubah itu benar adanya.

"Apa yang terjadi?" Aku bertanya.

"Mudah saja Sandy, mereka sama sepertimu." Jawab Bora santai.

"Tunggu dulu....itu berarti?"

Lagi-lagi Bora tidak menjawab, dia sedang fokus kepada pertikaian yang sedang terjadi.

Kenapa? Kenapa bisa dia menahan pukulanku dengan sapu? (Dimas)

"Kenapa? Bahkan kita juga heran dengan Lo, Dimas. Kenapa Lo bisa nahan serangan sapu Rino yang keras bahkan setelah material sapu tersebut di kuatkan." Beben menanggapi suara Dimas dalam pikirannya.

Rino dan Dimas mundur beberapa langkah, bersiap menyerang kembali.

TANG

BUK

Jual beli serangan terjadi, namun belum ada

yang terluka bahkan memar sekalipun. Beben menatap ke arah Genta, memberi suatu isyarat, Genta mengangguk pelan seolah mengerti kode yang diberikan.

Rino mendadak mundur beberapa langkah. Dimas memasang kuda-kuda bersiap dengan serangan dari Rino. Namun, Dimas salah kira. Adit yang kini maju. Dia melompat, panci yang dipegangnya di lepas. Entah apa yang di bawanya. Jika di lihat oleh mata, Adit sama

sekali tidak membawa apa-apa

DUK

Dimas termundur jauh seolah di dorong oleh alat yang sangat berat. Dimas terkejut dengan apa yang tadi dia rasakan. Belum sempat mengatur nafas. Barang-barang seketika melayang di udara. Kardus, kotak kayu, balok bahkan panci sekalipun.

BRUK

Barang-barang berjatuhan mengenai Dimas—memberikan dampak lumayan cukup untuk membuat Dimas sedikit merasakan sakit dan terengah-engah. Itu semua disebabkan oleh Genta.

Beruntung Isna sudah di pindahkan. Bora melepaskan ikatan pada dirinya dengan mudah. Aku pun ikut di bebaskan. Kami kini hanya bisa menonton. Sebenarnya kami bisa menolongnya, tapi Bora menyuruhku untuk tetap menunggu hingga dia mengetahui sesuatu.

"Dia masih bisa bertahan. Rencana C. Ayo, lakukan teman-teman!" Beben bergaya sok keren.

Genta membuka telapak tanganmya lalu mengangkatnya ke udara. Sesuatu terangkat. Mie Instan Pedas level tidak wajar.

Mie tersebut di lempar tepat mengenai wajah Dimas. Setelahnya Rino mendaratkan sapu kerasnya di sambung Adit yang masih menjadi pertanyaan, karena kedua tangannya seperti Membawa sesuatu yang berat tapi tidak terlihat.

BUK

DUK

Dimas terjatuh. Lenggang kembali gudang tersebut. "Yes, kita semua berhasil tumbangin dia."

Dugaan yang benar, tapi juga salah. Dimas yang tergeletak bergegas bangun kembali dan kini kekesalannya menjadi amarah yang berapi-api. "KALIAN MENJENGKELKAN! SAATNYA MEMBASMI KALIAN SEMUA!" Ekspresi Dimas menjadi datar namun malah membuatnya semakin menyeramkan ditambah dengan matanya yang memerah akibat mie instan level pedas di luar akal sehat.

Dimas melesat kencang ke arah empat sekawan absurd WOSHH!! Rino dan Adit bersiap menyambutnya, Genta juga tak kalah siap dengan kemampuannya benda-benda di sekitarnya dia apungkan dan bersiap untuk menjatuhkannya ke arah Dimas.

Hantaman dari Dimas segera mendarat ke arah Rino. BUK! Tiba-tiba Dimas terjatuh. Pelakunya? Bora.

"Sudah cukup!" Bora berdiri tegak dan berbicara santai.

"Kita akhiri semuanya."

"Semua kepastianku akhirnya terjawab.......kalian memanglah orang-orang dengan kemampuan istimewa. Akan aku beri tahu satu hal..........orang seperti kalian pasti akan di cari oleh seseorang demi sesuatu............oleh karena itu, Beben, Rino, Adit, Genta, Dimas dan Sandy. Kalian berenam dalam waktu tiga atau empat Minggu, jika tidak, kemungkinan bulan depan—datanglah ke ruangan OSIS. Semua apa yang kalian ingin tahu ada di sana.......... pertemuan ini menjadi sebuah awal untuk mengakhiri apa yang terus terjadi."

"Maksud Lo, apa?" Beben bertanya bingung.

"Sebelumnya,.izinkan aku menebak semua kemampuan teman-temanku yang ada di ruangan ini."

"Beben, kemampuanmu pasti membaca pikiran. Itu sangat mudah di tebak dengan menilai aspek kejadian dari setiap perkataan yang sedang tak dibicarakan serta cara pengaktifannya." Bora menatap Beben.

"Rino,.kalo tidak salah adalah memanipulasi objek menjadi sangat keras. Pertarungan tadi menjadi jawabannya.......kau bisa memberikan serangan mematikan dengan sapunya yang seharusnya mudah sekali patah berhubungan bahwa gagang sapu tersebut terbuat dari kayu, tapi pertahanan tubuhmu sangat lemah dan mudah sekali menerima rasa sakit." Bora berganti menatap Rino.

"Telekinesis sudah menjadi jawaban atas hal yang telah kau perbuat tadi Genta, benar tidak?" Genta menelan ludah dengan susah payah.

"Adit pastinya adalah kemampuan manipulasi imajinasi dengan objek yang ak terlihat. Biar aku tebak......kau tadi sedang memegang palu dengan ukuran besar, kan?"

"Gi-gimana lo bisa tahu? Da-dan sebenarnya, Lo siapa? "Adit gelapan.

"Aku, hanya anak SMA biasa. Selain itu, tidak sopan memotong orang lain berbicara saat belum selesai."

"Dimas yang sedang tergeletak karena aku totok titik-titik sarafnya memiliki kemampuan memanipulasi otot menjadi lebih efisien dan kuat." Lanjut Bora.

"Terakhir Sandy." Bora kini manatapku, masih dengan ekspresi wajah yang sama.

"Kemampuanmu berhubungan dengan waktu, salah satunya adalah melihat masa depan hanya dengan bertatapan saja."

Aku, mulai merinding. Bukan karena pengungkapan kemampuanku yang dilakukan oleh Bora. Melainkan saat kami bertatapan, kekuatan aktif dan aku melihatnya. Seorang lelaki berdiri di atas puing-puing bangunan serta ada banyak sekali mayat yang berserakan. Dan ada salah satu tubuh yang di pegang oleh salah satu lelaki tersebut, dia berusaha melawan namun tak berdaya.

"KAU TIDAK TERMAAFKAN!"

"Seolah kau sudah tahu, tapi masih banyak keraguan....kenapa kau tidak langsung memberitahuku sejak pulang ke kelas sehabis tur kemarin, Bora?" Aku bertanya.

"Nantikan saja, saat pertemuannya tiba......omong-omong, bukannya kita seharusnya mengikuti pelajaran?"

Ruangan hening.

Namun, berubah jadi panik termasuk aku. Tapi tidak dengan Isna dan Dimas yang pingsan.

"ANJIR! GIMANA INI CUY, NTAR PASTI MASUK BK!"

"TENANG. PANIKNYA KURANGIN KECENGIN AJA SUARANYA."

"MATI DAH. MANA MTK LAGI JAM PERTAMANYA.

"Tak usah panik. Aku punya alasan logis." Bora menenangkan situasi.

"Mereka bisa dijadikan alasan yang kuat." Bora menunjuk ke arah Isna dan Dimas yang pingsan.

"Bilang ke guru piket mereka pingsan di jalan gara-gara kepanasan," ujar Bora polos.

"Kan masih pagi." Kataku

"Begini saja, alasan mereka pingsan karena shock, ada truck ingin menabrak mereka waktu menyebrang jalan."

"Logis." Serentak Empat sekawan absurd.

"ISNA KASIHAN ANJIR, KATA DIMAS DIA PUNYA ASMA! CEPET BAWA KE UKS!! Empat sekawan absurd sangat panik.

Kami pun berhasil membuat alasan yang logis, tapi tetap saja—BK sudah terbuka lebar untuk kami. Hukumannya? Bersihin langit-langit ruang BK.

BAB 3 : Chef Terkenal

Angin berhembus pelan melewatiku anak rambutku, sejuk sekali udaranya. Jam istirahat paling tenang menurutku sejauh ini. Dua Minggu telah berlalu sejak peristiwa gudang yang menuju kepada pengungkapan kekuatan yang aku miliki dan juga Beben, Rino, Adit, Beben, Dimas.

Pot-pot berisi tanam-tanaman hijau berjejer rapi di atas atap sekolah. Meskipun sudah pernah aku lihat sebelumnya tetap saja tempat ini sangat nyaman. Aku jadi teringat gadis bernama Nayyara yang bersama Raga saat Bora mengajakku tur keliling sekolah.

Mataku memandang jauh ke depan, hamparan langit biru dengan awan sirus lembut yang berjajar dengan bentuk horizontal. Pikiranku mulai memikirkan banyak hal secara acak, mulai dari masa depan Nayyara, Bora dan juga pertemuanku dengan orang-orang berkemampuan istimewa.

Fakta yang mengejutkan dan juga membuat keingintahuanku yang selama ini selalu aku pertanyakan. Orang-orang berkemampuan istimewa. Namun itu menjadi masih menjadi pertanyaanku. Mengapa dan apa tujuan semua orang dengan kemampuan istimewa ada? Apa benar meteor yang menjadi sebuah penyebabnya?

"Menyebalkan," Gumamku.

Aku mulai berbicara dengan diriku sendiri, saling bertukar pikiran. Meskipun aku tidak tahu apakah itu bisa di katakan bertukar pikiran.

"Banyak sekali misteri di dunia ini."

"Aku pikir sekolah baruku ini akan menuntunku pada perjalanan baru yang lebih baik, alias seperti kehidupan remaja normal pada umumnya."

"Malahan aku terseret kepada kemungkinan dan teka-teki yang sering aku pertanyakan sejak usiaku memasuki usia 9 tahun."

"Wah, hebat sekali kamu. Kamu pasti pelajar aktif di sekolah sebelumnya." Suara wanita tiba-tiba menimpali pembicaraanku dengan diriku sendiri.

Aku menoleh ke arah sampingku. Dia. Gadis berambut pendek dengan tinggi kurang lebih 160 cm, dan memakai sarung tangan berwarna putih. Nayyara.

"K-kamu....Bukannya yang bersama Raga waktu itu?" Aku bertanya walaupun gugup.

Aku mempunyai dua sisi berbeda. Satu, aku bisa berbicara dengan mudah dan lancar apabila lawan bicaraku berjumlah dua orang atau kurang dari sepuluh, jika melebihinya maka aku akan mengalami kegugupan karena semakin banyak tatapan orang kepadaku, itu akan membuatku overthinking. Selain itu, jika topik pembahasan adalah yang sedang aku cari dan aku sukai—sangat memancing rasa keingintahuanku.

Kedua, aku akan gugup jika seperti yang sudah aku beritahu tadi. Tapi ada hal lain. Perempuan.

Yap, itu akan sangat membuatku canggung serta kegugupan yang akan mencapai level entah berapa—tergantung situasi dan kondisi. Jika perempuan tersebut sering menatap serta membuat gestur yang seperti ingin akrab. Aku akan sangat gugup.

"Iya." Nayyara mengangguk.

"Ohh....."

Lenggang sejenak atap sekolah. Angin berhembus kembali, anak rambut Nayyara tertiup angin sehingga aroma sampo yang dia pakai tercium oleh indera penciumanku. Harum.

"Kamu dari SMA Berlian?" Nayyara bertanya.

"Iya." jawabku singkat.

"Kamu kayaknya orang yang sudah di ajak bicara, ya?" Nayyara mulai sedikit kesal.

Sepertinya kondisi yang aku alami tidak terlalu buruk, tidak ada sok akrab, tidak ada menatap lama seperti mengamati. Baiklah aku beranikan diri saja.

"Kenapa kau ingin tahu masalah orang lain?" Aku berbalik bertanya.

Sial salah pertanyaan. aku merasa bersalah

"Eh, bukan seperti itu. Aku cuman mau sedikit mengenal murid baru, toh nanti kita juga bakal terlibat untuk kerja sama dalam pembelajaran."

"Selain itu......." Wajah Nayyara berubah menjadi sedikit memerah serta malu-malu. "Apakah kamu ingat aku?"

"Hah?" Aku menatap Nayyara heran.

"Hmm......." Aku mulai berpikir, tapi sepertinya wajah Nayyara nampak familiar dalam ingatanku, aku masih menebak-nebak. Dan seketika aku menemukan jawabannya, bahkan membuatku terkejut.

"OHHHHH~~" Aku menjentikkan jari.

Wajah Nayyara nampak kegirangan sepertinya saat aku hendak menjawabnya.

"Kamu itu chef remaja terkenal di TV Nayyara Qwira." Aku menunjuk Nayyara.

Ekspresi wajah Nayyara berubah drastis menjadi muram dan sepertinya pasrah. Apa aku berbuat kesalahan? Apa aku salah menebak?

"Ehh...Apa aku salah menebaknya?" Tanyaku.

"Eng-enggak kok. Kamu benar nebaknya, hehe." Ekspresinya semakin pasrah.

"Ini akan sulit. Apakah mungkin aku masih bisa mengharapkan keajaiban?" Nayyara mengeluh.

"Apa maksudmu?"

"Bu-bukan apa-apa kok." Nayyara terlihat gelagapan.

Apa yang di katakan olehnya benar adanya, beban dengan tidak menghapus apa yang tertanam pada memoriku hanya akan menjadi beban saat pertemuan yang segera terjadi. (kata hati Nayyara)

"Kenapa kamu bersekolah di sini, hei?" Aku mengubah topik pembicaraan yang telah menuntun pada kebuntuan.

Nayyara menatapku sekilas dengan seksama, lalu pandangannya kembali mengarah ke arah depan, menatap pemandangan kota dari atap sekolah.

"Banyak hal yang telah terjadi. Namun, singkatnya adalah sekolah ini menyenangkan dan memberi rasa aman bagiku." Jawab Nayyara

"Bukankah seharusnya bagi orang terkenal sepertimu bersekolah di sekolah elite? Sekolah ini katanya adalah yang terburuk, bukan? Bagaimana kamu bisa menerima sekolah ini dengan baik sedangkan popularitas serta penilaiannya buruk?"

"Apa yang terlihat buruk tidak selalu buruk dan apa yang terlihat baik tak sepenuhnya baik. Begitulah kira-kira jawabanku Sandy."

BRAK!

Suara pintu terbuka dengan kerasnya, empat sosok remaja terlihat panik lantas menutup kembali pintu menuju atap. Mereka empat sekawan absurd.

Aku dan Nayyara terkejut secara bersamaan mendengar suara tersebut.

"Udah gua bilang, jangan bikin ulah sama si Raga. Mana ujung-ujungnya Dimas jadi ikut-ikutan." Adit mengelap keringat serta mengatur nafasnya yang terengah-engah.

"Mana gua tahu, Dit. Kita niatnya bikin prank ramal terus nyata untuk lihat ekspresi takjub semua murid, tahunya tuh satu orang, Raga lagi punya mood ga bagus....ehh waktu kita ramal digigit ular terus pake ular mainan biar bikin benar terjadi malah ngambek," ujar Genta.

"Raga lagi gak mood gara-gara nyari Nayyara. Tuh orang kayaknya terlalu protektif ke pacarnya." Rino menjelaskan.

"Masalah gara-gara Raga ngamuk, ular mainannya kena Isna terus bikin kaget, eh malah pingsan. Tahukan kalo Dimas suka Isna? Apa yang terjadi sama si Isna pasti Dimas turun tangan." Beben mengatur tempo nafasnya.

"Setidaknya, kita aman disini untuk sementara waktu." Lanjut Beben.

Mereka berempat terduduk lega di dekat pintu menuju atap tersebut.

"Lu bawa makanan gak, Gen?" Beben bertanya.

"Cuman chokie-chokie."

"Bagi dong!"

"Udah gua gigit, jir....lu gak jijik apa?"

Mereka terus berbincang setelahnya tanpa menyadari keberadaanku dengan Nayyara yang sudah ada di atap sejak tadi.

"Oh, iya.......... Aku baru mau tanya ini. Sebenarnya aku sudah penasaran sejak Bora menjelaskan tentang hubunganmu dengan Raga......... Apa benar kamu dan Raga pacaran? Dan apakah itu semacam... Politik? Tanyaku penasaran sekali.

Nayyara menghembuskan nafas panjang. "Aku dan Raga tidak pacaran. Sebaiknya kau tidak percaya dengan rumor atau isu seperti itu. Raga hanya menjagaku saja."

"Aku kira hubungan kalian seperti itu, nampak jelas dari ekspresi Raga yang sangat ingin melindungi kamu layaknya sesuatu yang berharga baginya."

"Yang terlihat tidak selalunya sama. Begitulah maksudku."

"Sandy!?" Nayyara memanggilku pelan.

Entah kenapa rasanya tidak seperti berbicara dengan kebanyakan orang yang bisa membuatku kehabisan energi, rasa nyaman yang aku rasa pernah terjadi. Perkataan dan tutur kata yang halusnya itu sepertinya aku juga pernah mendengarnya, tapi entah dimana.

Aku menoleh ke arah tepat Nayyara sedang berdiri.

"Pernah tidak kamu mendengar sebuah puisi tentang dua jiwa dan lautan?" Nayyara bertanya padaku.

"Sagaras yang luas, deru ombak ganas yang mengguncang laksana perahu. Mimpi buruk dengan badai tak menjadikan dua orang yang terhubung akan gentar dalam janjinya hingga kapal karam, meskipun telah karam ikatan janji masih terasa nyata."

Indah sekali perkataan puisi tersebut. Mendengarnya saja sudah membuatku merinding dan mencerna makna di baliknya.

"Hebat, menceritakan tentang apa puisi yang tadi kamu ucapkan? Siapa pembuatnya? Sepertinya aku pernah dengar juga." Aku menyeringai.

"Puisi itu di buat oleh seseorang yang sangat berharga bagiku. Puisi itu menceritakan tentang dua orang yang membuat janji di tengah cobaan yang berat. Dan keduanya berjanji jika tidak akan pernah bertemu lagi, hubungan yang pernah tercipta akan selalu erat dalam ingatan." Nayyara tertunduk lesu.

Tak lama air matanya perlahan jatuh hingga mengalir ke pelipisnya.

"Kamu kenapa? Apa aku salah? Maafin aku, kayaknya aku bikin kesalahan, ya?" aku panik sekaligus khawatir.

BRUK

Nayyara memelukku secara mendadak hingga membuatku semakin panik. Sungguh, kayaknya aku sudah membuatnya butuh penanganan psikolog.

"Kamu tidak salah....Aku yang selalu berharap setiap hari agar keajaiban datang.....aku terlalu takut." Nayyara menangis sambil memelukku.

Tinggi kami tidak terlalu jauh, hanya selisih sepuluh centimeter saja.

"Eh, sungguh aku seharusnya yang minta maaf. Aku sudah membuat kami sedih, meskipun aku tidak tahu apa penyebabnya." Aku menggaruk rambutku yang tidak gatal sama sekali.

Saat aku asyik menenangkan Nayyara yang sedang bersedih. Mereka berempat mulai bertingkah.

CEKRECK!

CEKRECK!

CEKRECK!

"Bukti yang sangat kuat, wahai saudara-saudaraku."

"Betul sekali, saudara Beben. Bukti ini akan menjadi perbincangan hangat di website sekolah kita dengan judul 'anak baru udah main nikung pacarnya orang'." Timpal Rino.

"Selain itu, bukti ini akan semakin kuat. Raga akan menjadi penyebabnya juga dengan deskripsi 'Chef remaja terkenal lebih memilih seseorang yang baru di hidupnya karena pacar lamanya adalah orang yang terlalu protektif. Di kabarkan hal ini membuat korban hingga curhat kepada seseorang yang menjadi pacar barunya.' Begitulah kira-kira." Adit membuat hipotesis tak jelas."

"Drama ini akan menjadi topik hangat sampai lima bulan kedepan." Genta ikutan nimbrung.

"E-e-EEEHHHHHHH?!!"

"Se-sejak kapan kalian melihat kami, hei?" Aku mulai gelapan. Tingkat bukan karena faktor yang sudah aku jelaskan, tapi ini berbeda.

Kebanyakan orang ketika ingin menyampaikan kebenaran di saat kebenaran yang terlihat adalah salah paham, pasti akan sulit dipercaya oleh orang-orang jika kita sedang menjelaskan yang sebenarnya terjadi, salah satunya adalah panik.

"Kami? Kami dari tadi." Jawab mereka polos seolah tak berdosa.

"I-ini salah paham."

"Nayyara? Nayyara?!" Aku memanggil Nayyara yang masih memelukku erat. Tangisnya sudah berhenti beberapa menit yang lalu.

"Gua gak nyangka sih , San, Lo bisa nikung pacarnya orang sampe betah kayak gini." Genta menepuk pundakku.

"Kalian semua salah paham." Aku mencoba menjelaskan.

"Tolong jangan disebarkan!" Aku berusaha keras meminta pencegahan hal yang tak diinginkan terjadi.

Empat sekawan absurd saling melirik satu sama lain, bertukar pandang seolah berbicara melewati telepati.

"Ada satu syarat, jika apa yang sedang terjadi disini gak akan disebarkan ke satu sekolah, Sandy," Ujar Adit sembari menepuk bahuku.

"Lo harus bikinin kita masakan enak pake Indomie favorit kita berempat masing-masing, gimana? Setuju?" Lanjut Adit.

Nayyara akhirnya melepas pelukannya kepadaku dan justru malah dia yang menjawab dengan semangat, "Setuju!"

Aku menatap heran kepada Nayyara, bukannya tadi dia sedang menangis?

"Baiklah, kami beri waktu tiga Minggu."

"Bukannya itu terlalu lama?" tanyaku.

"Soalnya...... Sebenarnya kita berempat banyak melihat rahasia seseorang, jadi banyak yang membuat perjanjian membuat makanan untuk kita agar rahasianya tidak tersebar."

Bukannya itu pemerasan? kataku dalam pikiran.

"Ini bukan pemerasan, wahai kisanak. Kita itu orang baik." Beben nada sok drama. Dia membaca pikiranku lagi.

"Kita itu cuman asal lewat terus kebenaran lihat, mereka panik dan maksa biar rahasianya tidak di sebarkan. Gua juga sebenarnya cuman pura-pura ambil foto. Tentang kamera, sebenarnya Gua engga ngambil gambar apapun tentang mereka. Gua cuman motret wajah kita berempat ini." Adit menjelaskan detail.

"Jadi, aku terbebaskan?" Tanyaku.

Bukan jawaban yang aku dengar pertama kali, tapi tawa jahil mereka berempat.

"Lo sudah berjanji bakal bikinin makanan enak pake Indomie favorit kita berempat masing-masing. Janji tidak boleh di tarik, jika di tarik maka itu dosa." Beben menyeringai sambil melipat kedua tangannya.

"Jika itu dosa, bagaimana kau menjelaskan tindakanmu itu tidak berdosa? Dari kejahilan kecil bisa menimbulkan kejahatan yang seriusan, kasus tersebut sering terjadi, bukan?" suara seorang lelaki terdengar.

Dari atas balkon tempat pintu menuju atap berdiri, remaja lelaki dengan memakai Hoodie terduduk dari rebahan santainya.

TUK

Dia turun dari atas balkon. Tudung hoodie yang dia pakai kemudian di turunkan. Terlihat wajahnya sangat bersih, namun rambutnya acak-acakan— gaya standar anak SMA zaman sekarang pada umumnya.

"Omong kosong yang sangat besar sekali. Pantas saja negeri ini tidak mengalami kemajuan. Orang seperti kalian harus cepat sadar, tidakkah kalian merasa bahwa apa yang dilakukan oleh berkuasa itu salah? Lantas kenapa kalian secara tidak sadar mengikuti perlakuan kecil seperti mereka?" Remaja tersebut terus memberikan pertanyaan.

"Siapa dia?" Aku menyenggol Nayyara dengan sikukku.

"Nara. Murid paling cerdas di sekolah ini. Ketika ada pembicaraan mengenai pengetahuan, sedikit mendengar saja bisa membuat Nara sangat tertarik hingga terus membahasnya dengan logika yang dia miliki." Jawab Nayyara. Dari wajah Nayyara aku melihat ekspresi orang yang sudah terbiasa melihat tingkah laku remaja dengan Hoodie di depan kami.

Beben berbisik pelan kepada ketiga sahabatnya yang lain, "Gua lupa jadwal tempat Nara tidur."

"Kita, kan gak tahu bakal bicarain yang beginian." Rino menimpali.

"Dahlah, sebentar lagi kita semua kena mental sama pikiran logika masuk akal dari orang genius satu sekolah yang bahkan udah setara dosen katanya." Adit pasrah.

"Lebih baik kalian berempat katakan apa yang terjadi sebenarnya kepada semua korban yang sudah kalian tipu itu. Apa kalian tidak tahu malu, hah? Membenci sifat para pejabat sedangkan kalian pun melakukan hal yang sama." Nara menunjuk keempat sekawan absurd dengan ekspresi dingin namun tatapannya tajam.

Keempat sekawan absurd mulai terlihat ragu, pelan-pelan mereka berempat akhirnya mengangguk dan menyesal.

Nara melangkah menuju pintu atap sekolah. "Aku akan lanjutkan tidurku di tempat lain, kalian secepatnya harus mengungkapkan kebenaran yang ada, itulah ciri jiwa seseorang pembela–"

BRUK! pintu di terbuka dengan keras menghantam Nara yang hendak membuka pintu.

"DISINI KALIAN RUPANYA DASAR BEDEBAH SIALAN YANG BIKIN ISNA LAGI-LAGI PINGSAN!!!"

Ternyata Dimas yang membuka pintu tersebut dengan emosi. Disusul oleh Raga yang justru langsung melangkah cepat ke arah Aku dan Nayyara tepat berdiri.

Pintu yang di banting menutup kembali dengan cepat di akibatkan oleh pemantulan. Yap, itu di sebabkan oleh Nara.

Nara pun menahan sakit, sambil mengomel kepada Dimas.

"Bego, gak ada otak!"

"Suruh siapa berdiri di depan pintu!"

"Mana aku tahu, hah?!!?!?"

"Terus siapa yang harus di salahkan, Bego?!"

"Ini semua terjadi karena Empat sekawan bejat?!"

"Betul, sekali."

Nara dan Dimas beralih menatap Beben, Rino, Adit dan Genta.

"Harus di hajar."

"Aku tahan sebelah kanan, kau bagian kiri Dimas."

"Siap, laksanakan."

Mata keduanya memancar sebuah tatapan balas dendam yang pekat sekali dan berapi-api.

Raga menatapku tajam, tatapannya masih sama dengan saat pertama kali bertemu.

"Kau habis menangis, ya?" Raga bertanya kepada Nayyara.

Raga kembali menatapku, kami berkontak mata. Dan aku melihat masa depan Raga.

"Apakah ini adil? Tolong siapa saja!"

"Kenapa? Kenapa harus dia yang pergi bukannya aku?!"

Aku melihatnya menangis sejadi-jadinya di tengah reruntuhan bangunan sambil memegang tubuh seorang gadis remaja yang entah siapa. Wajahnya hanya terlihat samar tak jelas.

Aku lupa memberitahu kalian. Kemampuan melihat masa depanku ini—aku hanya bisa melihat masa depan seseorang sekilas saja, alias dalam hitungan detik hingga paling lama 1 menit.

"Kenapa kau membuat Nayyara menangis, dasar siala–" Raga berhenti marah. Dia melihat Nayyara yang berada di sampingku menunjukkan sesuatu yang tidak aku sadari.

"Begitu rupanya."

"Baiklah, kalo begitu, aku izin pamit."

Raga melangkah menuju pintu atap sekolah, menyusul Nara dan Dimas yang berhasil menangkap empat sekawan absurd. Mereka berempat sudah pasrah.

"Sandy, ingatlah ini. Apa yang kau miliki tanpa kau sadari, sebaik mungkin jagalah hal tersebut sambil kau harus mengingatnya."

Sosok kumpulan remaja akhirnya menghilang sepenuhnya di balik gelapnya tangga ke bawah dari atap sekolah.

"Bukannya tadi dia ingin marah kepadaku? Apa yang terjadi sebenarnya?" aku bertanya kepada Nayyara.

"Bukan apa-apa kok. Apa kataku, Raga bukan seperti yang dibicarakan banyak orang." Nayyara melangkah meninggalkanku. Namun berhenti sejenak.

"Sandy?"

"Apa?"

"Jika kamu ada waktu senggang, bisakah kamu datang ke acara memasakku tiga hari dari sekarang?"

"Tentu saja." jawabku singkat.

"Memang kenapa?"

"Aku cuman ingin pamer serta menunjukkan bahwa aku memang chef terkenal yang kamu tebak." Nayyara tersenyum kepadaku lantas pergi meninggalkanku.

Aku mulai memikirkan banyak hal sekarang. Kejadian di masa depan yang aku lihat dari tiga orang berbeda dengan nasib menyedihkan membuatku bertanya-tanya apa maksud sebenarnya.

Hari ini cukup rumit. Masa depan, kelakuan empat sekawan absurd, Nayyara yang sulit ditebak bahkan bertemu murid genius. Ini benar-benar Bukan Sekolah Biasa.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!