NovelToon NovelToon

Zone

•Bintang Alana Swissa•

Oy, gue lagi piket! Mata lu ambeien apa gimana?! Bukannya bantuin malah diinjek seenak jidat!"

"Misi kanjeng putri~"

"Banyak omong lo, direktur Lo?? Muka Lo berdebu ni kaya jendela!!"

Bintang Alana swissa. Dia yang paling gencar marah-marah kalau soal kebersihan.

Siapa yang tidak kenal anak itu? Cewek cantik dengan tinggi badan 170 cm dari klub beladiri, cuek dan populer satu sekolah.

Soal kebersihan, Alana nomor satu.

"Keluar gak? Ambilin air baru Sono!" Sekali lagi Alana menunjuk-nunjuk kaki 'Dia' yang masih menginjak lantai.

Baru di pel, lantainya belum kering sempurna.

"Heh kuping Lo conge? Ambil cepet, mau gue suciin Lo do#!@!?"

"Hmm~mau dong. Sini maju kalo berani tuan putri?" Cowok itu tersenyum lebar memamerkan pesona baru, rambutnya baru dipangkas kemarin.

"Cica, rambut gue keren ga?"

Erlangga Braven Jonathan, wajahnya itu hiasan di sekolah. Berkali-kali menjadi model brosur sekolah, sering dapat tawaran menjadi model atau bahkan tawaran ikut trainee idol di Korea.

Tubuh tinggi 185 cm dengan anugerah spesial dari tuhan, Erlangga memiliki darah campuran.

"Bilang keren kalo gak gue injek ni lantai pake sendal gue bekas nginjek tai kucing!" Ancam Nathan, nyengir.

"Gila Lo! Ampe Lu injek kaki lu gua belah dua!!" Alana tambah tantrum, mengancam dengan tongkat pel di tangannya.

Gadis itu berancang-ancang siapa tahu Nathan benar-benar menginjak lantai dengan sepatu laknat itu.

"Iya deh, enggak. Galak amat sih, cuma nanya doang kok." Cibir Nathan enteng sambil menarik kakinya.

Alana tetap menyeringai galak. Akhir-akhir ini entah kenapa Nathan jadi lebih sering mengganggunya, padahal dulu tak separah ini.

Mereka berdua adalah teman SD yang cukup dekat, tapi sempat terpisah karena waktu itu Nathan harus pindah ke luar negeri mengikuti orang tuanya yang punya pekerjaan disana, pertemuan mereka kedua kalinya saat Alana tepat menginjak usia lima belas tahun.

Sampai sekarang, Nathan tetap seperti dulu, tapi ada kejanggalan yang sedikit mengganggu Alana.

"Ah, gue mau cepet pulang! Adek gue nunggu di rumah, kasian!!"

Alana berteriak kesal melihat Nathan masih saja memandanginya dari pintu kelas, sengaja benar sekali dua kali mendekatkan tapak sepatunya ke lantai kinclong yang baru ia pel.

"Eh Alana!!"

Gadis itu menepuk pundaknya kencang-kencang. Ini Ola, teman dekat Alana yang berpostur Yakult, penggila novel bergenre romantis.

Ola menunjukkan novel di hp nya, "nih, novelnya bagus bangett!! Sumpah aku suka banget sama MC disini, mereka itu Friendzone!!"

Demi melihat Ola yang excited parah, Alana melihat sekilas.

"Oh, ini baru Lo baca ya?"

Ola mengangguk kencang.

"Iya! Aku paling suka baca novel yang ada Friendzone gini!!"

Friendzone.

Gue gak pernah percaya itu. Aneh kan kalo seandainya kita naksir sahabat sendiri, ngebayanginnya aja gue kejang-kejang.

Alana terkekeh pelan.

"Emang gituan ada ya La? Gue sih ga nganggep serius yang kaya gitu."

Ola tetap ngotot menjelaskan kalau itu semua bisa saja terjadi, malah sangat mungkin.

Dia tipe orang yang selalu berpikir positif sekaligus polos dalam masalah pertemanan.

Penampilan Ola cukup menarik karena wajahnya yang kecil dan imut, tapi sampai sekarang dia masih belum punya siapa-siapa, setia mati sama biasnya.

"Gue percaya ko," tiba-tiba Nathan menimpali. Tersenyum tipis.

Alana masa bodoh soal itu, toh ia sebenarnya tak tertarik kalau saja bukan Ola, teman baiknya yang bercerita.

Piket hari ini hampir selesai, tinggal menumpuk kursi diatas meja-meja.

"La, bisa bantuin gue ga? Berat, sebenarnya pengen gue tendang aja tapi takut bolong."

Sial sekali, meja guru yang letaknya miring itu susah banget diangkat.

"Yo, satu-dua-tiga!"

Gagal, meja itu terlalu berat. Mencoba berapa kali pun percuma.

Nathan menertawai dari pintu.

"Ggrhh... daripada Lo ketawa-ketiwi gitu mending bantuin angkat dah ni!" Geram Alana.

Nathan tersenyum, "kan kata Lo gue gak boleh injek lantainya."

"Ah, gatau deh! Yaudah masuk sini!!"

Nathan tersenyum puas, merasa menang. "Liat ya cara gue angkatnya."

Dengan satu tarikan nafas, Nathan berhasil menggeser meja itu dalam sekejap. Dia tertawa tak habis pikir.

"Ha-ha, apaan sih kalian? Cuma gini doang. Berat? No~"

Cowok itu menggeleng sambil mendekat ke arah Alana.

"Girl, you are so weak." Bisiknya tepat di depan telinga Alana hingga nafasnya terasa hangat.

Alana menggeliat jijik.

"Apa? Jauh-jauh Sono." Gadis itu menggoyangkan tangannya.

Ola malah tertawa cekikikan.

Mereka lucu banget ih.

Alana tersenyum. Akhirnya piket hari ini selesai dengan sempurna. Lantai kelihatan sangat mengkilap, sepertinya lalat yang masuk pun bisa terpleset.

Gadis itu selalu begitu.

Entah dia mengidap OCD atau apalah, tapi Alana pasti tegas dengan kebersihan.

Tiba-tiba hp Alana berdering.

"Eh, ibunya Raven?"

Telepon kali ini sangat penting, berhubungan dengan kerja sampingan Alana.

Sejak kecil dia hidup bertiga dengan adik laki-laki dan neneknya, setelah nenek meninggal, Alana terpaksa bekerja mencari penghasilan untuk kebutuhan mereka.

Nathan yang mendengar nama 'Raven' langsung berhenti.

Ola ikutan menatapnya.

Entah telfon dari siapa, raut wajah Alana mendadak berubah suram. Sesekali dia mengangguk dan meminta maaf.

"Ah iya....saya masih tak percaya mendengarnya... iya Bu. Iya.. mungkin saya juga bersalah.." suara Alana perlahan semakin serak.

Beberapa menit kemudian, telfon ditutup.

Tanpa menoleh kepada Nathan dan Ola yang menatap penasaran, Alana tetap berjalan keluar kelas dengan wajah tertunduk.

"Dia kenapa ya?"

"Ada yang salah."

...***...

Namaku Alana.

Aku terlahir miskin tanpa orang tua, aku bahkan lupa wajah mereka.

Selama ini aku dirawat oleh nenek, begitu dia pergi, aku mulai merasakan pahitnya kehidupan.

Adikku harus sekolah, dan kami harus makan untuk tetap hidup. Mau tidak mau, aku harus bekerja dari usia SMP. Itu tidak mudah, aku menerima cacian, intimidasi, dan penderitaan lain.

Tapi, nenek sudah memperjuangkan kehidupan kami. Dan aku yang melanjutkan tanpa mengeluh sepertinya. Aku membenci ibu, entah dimana dia berada, aku tidak pernah menganggapnya sebagai orang tuaku.

Seandainya suatu saat nanti dia muncul di depanku, aku tidak akan pernah menganggapnya. Dia tidak membesarkan kami, jadi dia bukan ibu kami kan?

Untungnya, aku punya skill mengajar yang baik. Aku dipekerjakan oleh ibu rumah tangga teman SMP ku dulu, namanya Raven.

Dia bodoh, tapi baik hati. Dia sangat populer dan sama-sama belajar judo denganku saat hari libur.

Tapi hari ini juga, aku mendengar kabar buruk. Ibunya menelfonku dan menceritakan kalau putranya minum alkohol.

Itu pukulan telak bagi keluarga mereka. Jadi untuk sementara aku diberhentikan. Dan aku jadi menganggur lagi.

Entahlah, hidupku akan berakhir seperti apa. Kuharap tuhan masih mengasihani kami.

-Alana, In my story heart-

•Manis pahit•

"Aku menyukai kopi, karena di dalamnya aku melihat ibarat kehidupan, merasakan manis setelah pahit."

...-Bintang Alana swissa-...

Diantara sekian banyak manusia yang diciptakan Tuhan, mungkin Raven termasuk beruntung.

Kedua orangtuanya masih lengkap dan bekerja dengan penghasilan besar. Dia anak tunggal yang selalu cukup perhatian.

Tapi, kenapa dia malah menghancurkan semua itu dan membuatnya sia-sia?

Itulah pertanyaan pertama gue.

Bukannya kalau dibandingkan dengan kehidupan kecil gue ini dia harusnya merasa cukup dan puas? Apalagi yang kurang?!

Alana menggenggam gelas kopi kertas di tangannya.

"Kak, gue minta maaf. Karena gue...kakak jadi diberhentikan." Ucapan itu keluar dari mulut Raven dengan tulus.

Dia menyesal seribu kali, ternyata karena perbuatan brengseknya Alana harus berhenti mengajarinya Les.

Itu artinya Alana tidak punya penghasilan lagi.

Bukannya ia tak tahu, Raven sudah lama berteman dengan Alana sebagai adik kelas.

Dulu kan ia sendiri juga yang memaksa ibunya mempekerjakan Alana sebagai guru private. Itu karena Raven tahu kehidupan Alana yang susah.

Tapi sekarang dia pula yang menghancurkan harapan Alana, membuatnya putus harapan.

"Kak-"

"Iya, gue paham. Lo salah Raven. Dan gue juga salah sebagai guru Lo. Mungkin ibu Lo takut gue mempengaruhin Lo jadi buruk, dan itu wajar karena gue juga manusia yang bisa salah. Tapi, pertanyaan gue, kenapa Lo pake coba minum alkohol segala?" Dahi Alana mengernyit.

Keadaan ini berkali-kali membuat Raven menelan ludah. Sebenarnya ia juga tak tahu pasti alasannya.

"Gue....cuma sekedar mau coba aja kak. Temen gue soalnya pada ngelakuin itu..jadi.."

Alana mendengus, membuat Raven bungkam.

"Rav, berapa kali gue bilang? Gue paham Lo masih remaja yang sulit mengendalikan diri sendiri. Tapi, kan Lo bisa gak usah ngelakuin sesuatu yang bikin Lo ragu. Pasti awalnya Lo bimbang kan?"

Alana menatapnya serius.

Dia sudah menganggap Raven adiknya selama ini, jadi, kabar itu juga membuat ia sesak.

"Kak, Raven janji gak bakal ulangin ini semua. Tapi, kakak bisa ngajar gue lagi ga? Gue mohon."

Ekspresi Raven membuat Alana ingin mengusap kepalanya. Tapi apa boleh buat, dia sendiri masih terpuruk setelah kehilangan harapan.

Usia Raven selisih dua tahun dibawah Alana, jadi Alana masih menganggapnya anak kecil.

"Raven, tahun depan Lo masuk SMA kan? Lo tetep bisa ketemu gue kok. Tapi untuk ngajar, gue rasa..gak bisa lagi."

"Maaf kak, gue bisa kok bantu kakak cari kerjaan baru."

Alana menggeleng tegas.

"Gak, Raven, tugas Lo belajar buat masa depan Lo nanti."

"Raven, gue maafin Lo kali ini dan gue yakin ortu Lo masih menaruh harapan. Jadi, Lo harus bisa bahagiain mereka. Itu aja sih dari gue. Makasih kopinya ya."

Terakhir, Alana mengacak rambut halus Raven sambil tersenyum meyakinkan.

"Kalo Lo butuh sesuatu, bilang aja ya."

Sebelum sempat berdiri, Raven tiba-tiba menahan ujung ranselnya.

"Kak..., bisa gak setiap pulang sekolah kakak mampir kesini sebentar? Gue ada perlu."

"Oke deh."

Karena buru-buru, Alana asal mengiyakan. Ditambah ia makin gelisah memikirkan adik-adiknya di rumah.

Apalagi ia tidak langsung pulang dari sekolah karena Raven mengajaknya bertemu di taman ini.

Alana berlari menjauh. Meninggalkan Raven yang masih duduk di bangku taman, menunduk dalam-dalam.

"Hoi!!"

'plak!'

"Eh, Ola? Lo ng-ngapain disini?"

"Apaansih, aku kan mau pulang ke rumah. Emang sengaja lewat sini biar Deket ke kompleknya."

Dua orang itu saling pandang. Sama-sama curiga.

Nathan sudah tidak bisa beralasan lagi, jelas-jelas ia kelihatan sekali baru saja mengintipi Alana dan Raven dari balik pohon besar.

Gue khawatir, dan gue baru tahu Tentang Raven. Dia tahu juga ya Alana suka kopi?

Nathan tersenyum memaksa. Keringat dingin, malu.

"Santai Nat. Aku kesini juga karena khawatir kok. He-he, soalnya aku tahu Alana lagi ada problem." Ola terkekeh demi melihat wajah Nathan memerah.

Tck, sial malu banget gue. Untung Ola ga Cepu. Dan tujuan kita sama.

Nathan meregangkan ekspresi wajahnya.

Entah apalagi musibah yang menerjang Alana, tapi baru kali ini dia menunjukkan jelas rasa keputusasaan.

"Btw, La, Alana emang sedeket itu ya sama dia?" Tanya Nathan.

"Dia siapa? Raven?"

Nathan mengangguk.

Iya.

"Alana gak pernah cerita sih. Tapi kayaknya iya. Emang kenapa?"

"Ng-nggak...nanya aja." Nathan menggeleng kaku.

Tapi Ola tidak peduli dengan reaksinya. Dia sedikit cemas karena Alana dan berusaha menghubungi nomornya.

"Ha~ah, gak diangkat. Aneh. Biasanya sesibuk apapun dia kalau aku yang telfon pasti diangkat kok."

Suasana tadi emang agak aneh. Gue gak tahu dia ada masalah apa sama bocah tadi, tapi mukanya Alana kelihatan sedih banget. Dia gak pinter nyembunyiin ya. Pfft...

Batin Nathan sambil tersenyum kecil.

...***...

Sampai di rumah, Alana terkejut.

Dua adiknya, Arga dan Aysa tidak ada di mana-mana.

Yang jelas tadi siang mereka sudah pulang sekolah karena tasnya ada di ruang tamu. Tapi saat Alana keliling di rumah, mereka sama sekali tidak kelihatan.

Dalam keadaan kacau ini, Alana panik menelpon Ola dan minta tolong bantuannya mencari Arga dan Aysa. Mungkin saja mereka main di sekitar kompleknya.

Sedangkan ia sendiri sudah menelusuri sekitar rumah dan tempat-tempat yang biasa mereka datangi. Bahkan sampai matahari mulai tenggelam.

Alana lelah, seragam sekolah saja belum ia ganti.

Tuhan, tolong bantu gue. Gue gak bisa kehilangan semuanya begini.

Baru saja Alana memanjatkan doa, tiba-tiba ia dapat telfon dari satgas lalulintas dan mendapat kabar buruk.

Alana segera berlari sekuat tenaga ke lokasi, tidak peduli seberapa hebat air matanya mengalir di pipinya. Gadis itu mulai merasakan tekanan hebat, seakan dunia runtuh.

Tuhan, apa salah gue? Kenapa musibah yang engkau berikan seberat ini? Apa gue yang lemah ini bisa bertahan?!

Gue sendirian, gak punya siapapun buat jadi pelampiasan.

Itulah, tepat di depan matanya, Alana harus menyaksikan dua mayat anak kecil.

Arga dan Aysa mati dihantam mobil yang langsung mengebut begitu lampu hijau menyala, dua bocah itu terlalu lama berjalan diatas zebra cross.

Mereka takut kakak mereka ada masalah dan ingin menyusul. Sayangnya, takdir berkata lain. Mereka sendiri malah yang mengalami kecelakaan maut.

Walaupun sopir mobil tadi memberi Alana sejumlah uang, hatinya tetap terasa sesak seakan ingin meledak. Melihat dua adik yang disayanginya tewas akibat dirinya sendiri.

Alana harus menanggung dua kesedihan dalam hari yang sama.

Ola cuma bisa menyemangatinya lewat telepon karena dia pergi ke rumah neneknya sepulang sekolah tadi.

Untuk kedua kali, Alana harus kehilangan. Tidak, bahkan tiga kali.

Ayah dan ibu yang tidak bertanggung jawab, nenek yang meninggal dan sekarang dua adiknya ikut menyusul.

Gadis itu langsung tertidur karena lelah menangis dan lelah batin, di rumah ia mengeluarkan segala kesedihan dengan menangis selama mungkin.

Selesai sudah. Tidak ada lagi yang bisa ia harapkan. Tidak ada juga motivasi untuk tetap hidup.

Rumah ini kosong, Alana hanya sendirian.

Tidak ada yang tahu seandainya ia mati atau menghilang dari bumi sekalipun, tidak ada yang peduli.

Dalam keadaan seperti ini, Alana tidak tahu harus menghubungi siapa. Gadis itu putus asa, marah, sedih.

Dia melirik segelas kopi hangat diatas meja.

...***...

•Mood booster•

"Yo!"

Pak Galih langsung menoleh galak. Kesal melihat anak ini sembarangan masuk ke dalam kelas di jam pelajarannya tanpa rasa bersalah. Padahal jelas-jelas jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi.

"Santai aja ya?" Sarkas pak Galih.

Mentang-mentang ganteng, Nathan sama sekali tidak dapat tatapan sinis dari yang lain.

"Sori pak, gue lahiran dulu tadi."

"Heh, kamu itu cowok!!" Pak Galih berteriak jengkel, diikuti tawa anak-anak sekelas.

"Lahiran pup Lo mah!!" Celetuk Bryan, teman sebangku Nathan.

Dengan pede dan berani Nathan mengangguk. Sok keren.

"Yoi. Oke pak, gue duduk dulu ya."

Nathan berjalan santai melewati sosok pak Galih yang seolah hampir meledak saking jengkelnya. Guru satu ini paling sering menyaksikan sendiri aksi gila Nathan.

Pak Galih menarik nafas sambil melihat daftar absen kelas.

"Oh, hari ini Alana tidak masuk lagi ya?"

Ola mengangkat tangan, "iya pak! Sudah tiga hari! Saya hubungi tidak ada kabar."

"Oh, baik. Padahal dia ketua kelas. Harusnya harus selalu aktif komunikasi." Gumam Pak Galih.

Di bangkunya, Bryan menyikut Nathan yang malah tiduran padahal baru saja datang.

"Harusnya Lo aja yang jadi ketu. Kan Lo paling tua disini."

"Gue kan gara-gara gak naik kelas b*go!!"

Bryan nyengir.

Iya juga. Dia kan pernah hampir dikeluarin gara-gara ikut balap liar dan perkelahian di Deket rel kereta waktu itu.

Masih menjadi misteri kenapa Nathan tidak dikeluarkan setelah insiden besar yang terjadi saat ia kelas sebelas.

Jonathan ikut terkait dengan gerombolan motor yang sering mengadakan balap liar paling gila. Dia juga pernah hampir mati akibat luka bacok di punggungnya yang dia dapat saat perkelahian besar antar kelompok jalanan.

Anak-anak memang tidak ada yang tahu jelas tentang latar belakang kehidupannya. Tapi barang apapun yang dia kenakan selalu kelihatan bagus senada dengan visual wajah dan tubuhnya.

Sosok Nathan sangat mencolok dan berbeda. Cowok itu berkulit putih pucat bagaikan vampire dengan rambut yang dicat warna sama.

Percuma berkali-kali dia ditegur guru atau OSIS sekalipun, Nathan tidak pernah berubah.

Dia bermata agak sayu sedikit tajam di bagian ekor matanya. Yang unik, Nathan selalu memakai softlens berwarna merah menyala. Entah apa alasannya, tapi dengan itu dia semakin mencolok seperti mutiara di tengah-tengah batu.

Soal populer, jangan ditanya.

Dulu saat pertama kali dia datang ke sekolah ini, Nathan sampai disangka seleb karena penampilan dan gayanya.

Tapi karena dia tegas dengan cewek-cewek centil yang berusaha mendapatkan dirinya, alhasil mereka hanya bisa mengagumi diam-diam di belakang. Karena Nathan pernah sampai mendorong keras salah satu cewek yang berlaku seperti itu.

Menjijikkan.

Bagaikan visual yang hanya ada di dalam komik. Sosok Nathan benar-benar mempesona menggetarkan hati dalam sekali pandang. Dia seolah sempurna fisik maupun wajah.

Bryan sendiri yang paling akrab dengan Nathan, sebatas tahu bahwa Nathan berdarah campuran. Tidak lebih.

"Baik, ada pertanyaan?" Pak Galih hampir menutup pelajaran pertama. Nathan menggeliat sedikit.

"Pak..mana Alana?"

Hening. Semua mata tertuju pada sosoknya. Kaget, shock, entahlah, mendengar pertanyaan dari seorang Nathan yang bahkan tidak pernah berminat belajar.

Pak Galih melotot.

"Mana saya tahu! Dia gak ada kabar."

Selesai di kata terakhir, Nathan tiba-tiba berdiri berjalan mendekati pak Galih.

"Pak...gue..."

Nathan tersenyum smrik, detik selanjutnya dia berlari ke arah jendela dan Tanpa ragu main lompat ke bawah.

Semua murid heboh berteriak, pak Galih buru-buru melongok dari jendela melihat ke bawah.

Sial, Nathan sudah hilang.

"Bocah gila itu bisa-bisanya lompat dari lantai dua?!"

...***...

Apa gue mimpi?

Rasanya nyaman, bengkak di sekitar mata gue agak kempes. Kayanya gara-gara gue nangis dua hari.

Eh? Siapa....

Alana terbangun.

Mendengus lemah, haha, gue mimpi kan. Apalagi coba yang gue harapin.

Alana meringis, kepalanya sangat nyeri. Untung ada obat di meja dan segelas air.

Gadis itu menyeret langkah ke meja makan, meminum obat.

Sekali lagi ia menghembuskan nafas berat.

Hp di meja yang ia tidak buka selama tiga hari mendadak menyala karena beberapa notifikasi masuk di layar kunci.

Alana melihat semua pesan, jumlahnya nyaris puluhan. Ada juga belasan panggilan telfon tidak terjawab.

"Aduh Ola....gue lupa ngasi kabar. Semoga aja kelas gak rusuh selama gue gak ada." Gumam Alana.

Eh apa ini? Nathan lagi?! Dia kabur pas jam pelajaran?

Alana meremas rambutnya.

Awas aja dia, kebiasaan bikin susah gue.

Selalu begini. Alana semakin pening. Nathan itu tidak bisa dibiarkan sendiri, Lepas sedikit saja dari Alana di sekolah dia langsung buat masalah baru.

"Ah... dasar gila...."

"Padahal dia udah gue biarin punya rambut dicat gitu. Tapi makin ngelunjak aja.."

"Yah...emang tugas gue sih buat tertibin anak-anak kelas."

Alana tipe cewek yang sangat bisa diandalkan. Karena dari kecil hidupnya tidak semulus itu.

"Tapi.... mungkin karena dia juga gue jadi merasa masih ada tanggung jawab sebelum mati."

Mungkin hari ini gue coba cari kerjaan baru kali ya. Semoga aja gak sulit.

...***...

Alana tidak bilang apa-apa besoknya di kelas. Tapi Ola paham dia pasti masih terpukul soal kematian dua adiknya.

Sedangkan tentang kasus Raven dan pekerjaannya yang ikut hilang, Ola sama sekali tidak tahu.

Alana datang paling pagi seperti biasa dia mengomandoi anak piket, kebetulan hari ini jadwal Ola.

"Alana, nih aku bawain gorengan. Kalo masih sakit bilang ya." Ola menaruh kresek gorengan di hadapan Alana.

"Iya la. Thanks."

Sebenarnya ia malas makan, tapi karena Ola membeli ini untuknya jadi-

Tap!

"Eh, udah Dateng!!!"

Ini dia. Alana mengernyitkan dahi. Ujian dimulai.

"Nat, kalo Lo mau kan bisa ambil sendiri di plastik. Kenapa mesti gigit yang ada di tangan gue?"

Bukannya menjawab Nathan malah asyik lanjut makan bakwan yang dipegang Alana.

"Soalnya gue gak mau tangan gue kotor."

Ola tertawa kecil, "habisin dulu itu mulut. Baru ngomong."

Iseng banget. Pengen gue jadiin persembahan aja ni anak. Jual di pasar gelap pasti laku.

Alana masih berusaha sabar, memakai kembali earphonenya.

"Al, kalo gue copot trus gue buang earphone Lo boleh gak?"

"Gila, ini berharga brengs*k!"

Padahal baru hari pertama Alana masuk kembali, tapi Nathan seolah kesurupan jin pengganggu Alana.

Saat jam pelajaran pun dia melempar remahan penghapus, sesekali melempar permen ke Ola.

Apalagi lemparan Nathan itu sakit meski jaraknya lumayan.

Lama-lama Alana minta Nathan di hukum di luar di bawah pengawasannya, ia kelewat kesal. Daripada nanti ilmu beladirinya malah keluar.

Pak Galih paling setuju, Akhirnya Nathan dihukum berdiri hormat di depan tiang bendera yang ada di lapangan. Matahari sedang panas-panasnya.

Alana sih enak duduk di pinggir lapangan di bawah kanopi payung.

"Panas ya? Gitu terus ya sampe jam dua belas."

Nathan malah tertawa mengejek. Mentang-mentang kulitnya yang kelewat putih itu tidak mudah hitam, yang ada berubah kemerahan.

Alana makin kesal.

"Udahlah. Lo bisa gak sehari aja gak bikin masalah gitu? Gue kan capek. Masalahnya gue ini ketua kelas!"

Nathan diam, tidak menjawab. Karena suasana mendadak berubah suram.

Ia memandangi Alana yang duduk, berkali-kali menghela nafas.

"Alana, gue janji gak bikin masalah lagi deh. Tapi Lo kenapa?"

Gue? Gue mau nyerah aja, kalau tuhan mengizinkan.

"Yang ada Lo cuma ngetawain gue kan?" Sarkas Alana. Ia masih ingat wajah Nathan yang senang mendengar ceritanya ditinggal kedua orang tuanya dulu.

"Pengen gue peluk dulu baru percaya?" Nathan nyengir, gigi taringnya yang agak meruncing terlihat di pinggir bibirnya.

Alana mendengus. Nathan bukan pendengar yang baik, dia dari dulu selalu tidak bisa diam kalau Alana bercerita panjang.

Tapi, keadaan ini hanya membuatnya tambah frustasi. Alana akhirnya membuka mulut.

"Gue gak ada kerjaan sekarang. Dan adek gue dua-duanya meninggal."

Setelah mengeluarkan suara, Alana langsung membuang muka ke arah lain sambil menahan tangis.

"Gue..."

Sekuat apapun, Alana tetap wanita yang kesepian.

"Al, obat kemarin udah diminum?" Nathan tiba-tiba meletakkan tangan diatas kepala Alana.

"Kalo nangis Lo jadi jelek."

"Jadi- kemarin Lo asal masuk aja ke rumah gue? Gak sopan!!" Mendadak Alana jadi emosi, lupa dengan kesedihannya.

"Kan Lo yang bolehin gue. Gue tanya pas di pintu, trus Lo masih setengah sadar gitu, bilang masuk aja." Ucap Nathan mencibir.

Alana berdehem, malu.

"S-sono Lo diri lagi di bawah bendera! Ngapain malah kesini!!"

Nathan buru-buru kembali di posisi awal. Tapi bibirnya tersenyum tipis.

"Oh iya, ntar pulang sekolah ikut ke rumah gue yok!"

"Ngapain? Gue sibuk ah."

"Pokoknya ikut aja. Gue tahu kerjaan yang cucok buat Lo."

Seketika Alana menoleh antusias, kedua matanya berbinar.

"Oke!"

Gak apa-apa kan? Gue juga udah jarang main sama dia. Terakhir pas berapa tahun lalu.

...***...

Alana tidak begitu kaget sebenarnya. Tapi ia baru tahu, Nathan pindah ke penthouse.

Harganya saja sekitar milyaran. Alana mulai membayangkan bisa apa saja ia dengan uang sebanyak itu.

Dari kecil, Alana sudah tahu fakta ini. Keluarga Nathan yang sukses dan dibanjiri harta kemewahan.

Ia masih ingat jelas dulu Nathan pernah dirayakan hari kelahirannya dengan biaya hingga ratusan juta. Banyak para artis dan seleb yang ikut diundang.

Walaupun sudah tidak punya ayah, Nathan tetap hidup berkecukupan karena ibunya punya bisnis startup yang berpenghasilan hingga triliunan perbulan disamping beberapa bisnis cabang lainnya seperti robotik dan technology.

Hanya Alana yang tahu banyak tentang Nathan, tentang kehidupan, tentang semuanya.

Gadis itu tahu Nathan adalah tipe orang yang tidak peduli dengan kekayaan, dia sama sekali tidak ingin terlihat tambah menonjol diantara orang-orang.

Nathan benci perhatian dari orang lain. Dia hanya ingin hidup seperti remaja lainnya yang bebas tanpa kekangan.

"Enak ya Lo Nat." Alana bergumam pelan sambil memandangi sekeliling ruangan megah ini.

Barang-barang mahal dimana-mana.

Seandainya gue jadi kayak dia...

"Ha? Lo ngomong apa? Gak denger." Nathan tersenyum meledek, menyodorkan kaleng kopi dingin yang baru diambil dari dalam kulkas.

"Enggak kok, makasih ya." Alana buru-buru menggeleng.

"Terus mana lowongan kerja yang Lo bilang?"

"Oh iya."

"Sini ikut." Nathan seenaknya menarik ujung rambut Alana yang diikat buntut kuda.

Sabar Alana. Kalo gue sampe kelepasan nendang dia ntar gue gak jadi dapet kerja.

Batin Alana jengkel.

Nathan membuka salah satu pintu ruangan. Di dalamnya sangat gelap, hanya ada sedikit cahaya suram dari lampu kecil.

Begitu menginjak lantainya, Alana merasakan keberadaan manusia di sana.

"Nat, tempat apa ini?"

Nathan tidak menjawab. Dia spontan menyalakan lampu.

"Eden....ini kakak."

Alana menoleh heran.

Tapi setelah dilihat-lihat lagi, ternyata ada sosok bocah yang meringkuk sendirian di sofa.

Bocah itu agak unik. Sekilas seperti boneka.

"Ini adek gue. Namanya Lex Rayden. Panggil aja sesuka Lo."

Semakin didekati, Alana tambah terpesona. Anak ini sangat unik, walaupun wajahnya ditutupi bantal, tapi detail tubuhnya membuat Alana terpana.

"Adek? Lo kok gak pernah bilang?"

"Gue cuma-"

'Plak!'

Tangan Nathan benar-benar ditepis kencang, seketika Alana berkedip kaget.

"Al, jangan kaget sama kelakuannya. Dia ini beda." Kata Nathan dengan tatapan mata pasrah.

Iya, secara fisik jelas beda.

Kulitnya putih total, bahkan rambut, semuanya, Alana sudah menduga dia mengidap kelainan kulit Albino.

"Nat, boleh gue pegang gak?"

Nathan mengangguk pelan.

"Nama kamu Eden ya? Halo, aku Alana. Boleh kenalan gak?" Alana berusaha bicara seramah mungkin. Sambil perlahan menjawil punggung anak kecil ini.

Eden tidak bergerak. Dia tetap meringkuk.

"Al, pelan-pelan kalo mau interaksi sama dia. Emang agak susah. Karena Eden punya tekanan mental." Nathan berbisik.

"Tapi....gue bingung. Kenapa dia sendirian di ruangan gelap? Dan meringkuk begini?"

"Nanti aja gue cerita." Nathan mendekat lagi, kali ini jongkok persis di hadapan Punggung Eden.

"Oi, kamu lupain kakak ya? Masa ngambek?"

Alana terkekeh.

Cuma sama Eden ya Nathan jadi kalem gini. Kalo begini, dia jadi kelihatan lebih oke.

"Ini kakak bawa temen baru buat kamu." Tambah Nathan, asal.

Alana menyeringai.

Setau gue... anak-anak paling suka kalo dikasih...mainan?

Alana baru kepikiran, kalau tidak salah ada mainan robot bekas Arga yang terbawa di dalam ranselnya.

"Eden...aku bawa ini lho, coba liat deh. Bagus banget!"

Alana melihat sekeliling. Kalau diperhatikan di ruangan ini tidak ada mainan sama sekali, yang ada hanya buku-buku anak dan balok kayu.

Nathan malah tertawa cekikikan.

"Lo ngapain bawa mainan bocah?"

"Suka-suka gue."

Diluar prediksi Nathan, entah kenapa, tiba-tiba adiknya duduk dan balik menatap wajah Alana lekat.

Alana sama sekali tidak bisa berkata-kata. Di hadapannya Seorang bocah laki-laki dengan paras paling indah yang pernah ia lihat, layaknya sesosok malaikat kecil.

Bulu matanya lentik berwarna putih dengan bola mata merah menyala seolah zamrud, rambutnya yang terkulai di dahi seperti bulu lembut.

"K-kamu....ganteng banget.." mulut Alana reflek mengatakan itu.

Nathan menoleh, demi melihat wajah sayu Eden, dia ikut tersenyum mengikuti Alana.

"Kamu siapa?" Eden bersuara, membuat Alana hampir menangis saking terharunya.

Secara feeling, dia bisa paham rasanya menjadi berbeda seperti Eden.

"Aku Alana."

Eden menatap robot mainan di tangan lentik Alana.

"Itu buat Eden?" Tanyanya pelan dengan suara sedikit parau.

Alana mengangguk kencang-kencang, "simpen ya."

Eden menerimanya, tapi kedua mata kecilnya masih menatap Alana ragu-ragu.

"Apa kak Alana tidak takut?"

"Takut?" Alana menatap Nathan. Maksudnya apa?

"Kan Eden ganteng, kenapa aku takut?"

Nathan diam-diam tersenyum.

Untung dia paham.

Alana nyengir. Dia bisa menyimpulkan sendiri, bahwa orang seperti Eden sering dianggap aneh dan dijauhi. Makanya Alana berusaha membangkitkan lagi kepercayaan dirinya.

Pipi Eden memerah, malu. Meskipun dia menunduk.

Melihat mata Eden, Alana mulai mengerti mengapa Nathan selalu memakai softlens berwarna merah dan mengecat rambut putih. Semuanya ia lakukan agar Eden tidak merasa sendiri melihat Nathan juga sama seperti dirinya.

"Eden, umur kamu berapa?"

"Tujuh tahun."

Sama seperti Arga, ya. Gue jadi keinget dia lagi.

"Eden, kenapa kamu sendirian disini?"

Kali ini Eden hanya diam, bola mata merahnya mengerjap gelisah.

Seandainya ia hanya berdua dengan Eden saat ini, Alana ingin sekali memeluknya untuk menghibur.

Dari sorot mata dan cara Eden menatap Alana, sangat kelihatan dia menyimpan suatu kenangan buruk. Entah apa itu, tapi Alana sangat penasaran.

Di tengah keheningan, hp Nathan berdering. Panggilan telfon masuk.

"Ya, Mama?"

Ibunya?

Alana fokus mendengarkan.

"Iya. Er udah dapat pengganti bibi suster." Nathan tersenyum melirik Alana yang jelas-jelas nguping.

Ia sengaja menyalakan speaker.

Suara ibu Nathan terdengar.

"Umur berapa? Ada pengalaman ngurus anak? Atau lulusan kuliah pendidikan?"

Mendengar suaranya saja, Alana merinding. Kesan pertama kali adalah, beliau sangat berwibawa.

"Ad- eh, ada kok. Er langsung lulusin aja ya? Dia masih kenalan Er."

Alana menatap bingung. Maksudnya lulus apa?

"Mama harap tidak mengecewakan ya. Nanti saat mama pulang dia harus menghadap mama." Kata ibu Nathan lagi.

"Untuk gajinya buatkan dia rekening bank baru, nanti Mama tinggal transfer."

Nathan mengangguk.

"Oke Ma. Thanks for you." Telfon ditutup, Nathan langsung mendekati Alana dan menepuk keras punggungnya.

"Nah, beres. Kerjaan Lo udah dapet."

Alana mencubit lengan Nathan, "dari tadi Lo ya. Maksudnya apa?!"

Masih aja iseng, heran.

Eden ikut menatap Nathan.

"Al, Lo mau kan jadi guru private sekaligus temen buat adek gue? Semacam suster anak gitu ceritanya." Ujar Nathan lugas.

"H-hah? Emang gue bisa?"

Sebenarnya Nathan sudah tahu soal Alana yang pernah menjadi guru private Raven, tapi ia sengaja pura-pura tidak tahu apa-apa, siapa tahu Alana memang tidak suka hal itu diketahui orang lain. Buktinya Ola saja tidak tahu.

"Bisa. Gue percaya. Soalnya Lo kan pernah ngurus anak kecil kan? Adek Lo, Arga dan Aysa."

Semudah itu? Gue takut mengecewakan. Gue kan cuma anak SMA.

"Makasih Nat. Tapi gue harus pikirkan dulu, mungkin besok gue baru bisa putuskan." Ucap Alana tegas, sambil mengusap rambut putih Eden yang sok serius mendengarkan.

Nathan tersenyum miring.

"No problem, gue selalu disamping Lo."

Baru mau senang, Tiba-tiba Nathan dengan kurang ajarnya sengaja benar menarik lepas ikat rambut Alana.

"Jangan marah ya, kan gue udah bantuin."

Dia langsung kabur.

"Kampret!!! Sini Lo!!!"

...***...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!