NovelToon NovelToon

Aurora

Bab 1

...༄˖°.🎻.ೃ࿔*:・...

Aurora. Hanya itu namanya, tidak ada marga yang tersemat di belakangnya. Apa Aurora peduli? Tidak. Yang penting dia punya nama. Masalah ada atau tidaknya marga, Aurora tidak peduli.

Rambut curly berwarna coklat tua, mata hazel yang begitu indah dihiasi bulu mata lentik, hidung mungil dan sedikit mancung, bibir mungil berwarna soft pink alami, itulah yang membuat wajah Aurora terlihat cantik meski tanpa polesan make up. Tinggi tubuhnya 165 cm, tapi terlihat mungil jika bersanding dengan suaminya. Wajah dan kepribadian nya sangat cocok.

Dia memang memiliki wajah cantik natural, auranya begitu segar dan nyaman dipandang. Apalagi tatapan mata teduh yang begitu polos dan lugu. Gadis itu seolah permata yang terus bersinar terang. Tapi sayangnya, kehidupannya tidak seterang itu.

Aurora mahir memainkan biola dan juga suka melukis. Tapi, hobi mahal nya itu tidak bisa dia kembangkan karena tidak memiliki alat yang lengkap. Dia tidak berani meminta pada orangtuanya. Aurora sangat suka dengan nuansa vintage juga dengan benda-benda yang bersifat kuno dan penuh sejarah.

Menikah di usia 23 tahun? Tidak masalah. Mau itu di umur 23, 24, atau bahkan 30 tahun, rasanya Aurora sudah tidak memiliki gairah untuk hidup. Semuanya dia serahkan kepada kedua orangtuanya. Dan ya, mereka menikahkannya di umur yang terbilang muda ini, 23 tahun.

Bukan perjodohan, bukan pula karena mereka saling mencintai. Pernikahan ini diadakan karena sebagai ganti untuk membayar lunas hutang keluarga Aurora. Bahasa kasarnya, keluarganya menjual Aurora pada pria yang mereka hutangi.

Menolak? Memangnya dia siapa? Apakah suaranya akan didengar? Selama ini Aurora hanya diam menerima semuanya. Dia tidak pernah diberi kesempatan untuk bicara.

Meski tidak saling mencintai, pernikahan ini tetap diadakan secara mewah. Banyak tamu undangan yang hadir. Tentu saja mereka semua tidak tau kalau pernikahan ini diadakan secara terpaksa.

Skala Bramasta adalah nama suami Aurora. Salah satu pewaris keluarga Bramasta sekaligus CEO yang memimpin perusahaan keluarganya. Tampan, berkharisma, namun berbahaya. Tidak ada yang berani menyenggol cucu pertama keluarga Bramasta ini. Karena dia adalah cucu pertama, tentunya kekuatannya tidak main-main. Meski hanya diam, aura gelapnya sangat terasa. Bukan gelap karena makhluk halus, melainkan keberingasan nya. Diam tapi menghanyutkan.

Ya, orang tua Aurora meminjam uang pada Skala untuk modal usaha. Keluarga Aurora membuka sebuah restoran. Dengan uang yang mereka pinjam dari Skala, mereka bisa mendirikan sebuah restoran mewah. Dan saat Skala menagih nya, mereka malah menawarkan Aurora sebagai ganti.

Semuanya seolah sudah direncanakan dari jauh hari. Dan Skala malah menerima begitu saja. Karena memang pada dasarnya dia tidak membutuhkan uang, dia lebih membutuhkan perempuan untuk dia jadikan istri.

Umurnya yang 29 tahun sudah matang untuk menikah, kedua orangtuanya terus mendesak dirinya agar segera menikah. Jadi, inilah satu-satunya cara untuk membuat kedua orangtuanya diam.

Tiga hari sudah pernikahan mereka. Aurora ikut suaminya tinggal di mansion keluarga besar Bramasta.

Satu hal yang Aurora ketahui, Evanda alias mommy Skala tidak menyukainya. Wanita itu selalu sinis padanya. Tapi, Aurora tidak mempermasalahkan, karena dia sudah terbiasa ditatap sinis seperti itu.

Ceklek

Suara pintu dibuka membuat Aurora mengalihkan pandangannya dari jendela kaca yang ada di depannya.

Skala masuk dan langsung ke kamar mandi tanpa melirik Aurora.

Melihat jas yang Skala lempar ke sembarang arah membuat Aurora bergerak mengambilnya. Dia memeluk jas itu sambil duduk di pinggiran ranjang, menunggu Skala keluar dari kamar mandi.

"Wanginya tidak membosankan," gumamnya ketika tidak sengaja menghirup aroma parfum Skala yang melekat di jas.

15 menit kemudian Skala keluar dengan handuk yang melilit di pinggang nya dan masuk ke ruang ganti.

Aurora pun segera ke kamar mandi untuk meletakkan jas kotor ke keranjang yang ada di sana. Nanti akan ada pelayan yang datang untuk mengambil pakaian kotor tersebut.

"Sudah makan?"

Aurora tersentak kecil. Dia berbalik setelah menutup pintu kamar mandi. Matanya menatap Skala yang sudah rapi dengan kaos hitam dan celana pendek berwarna hitam juga.

Ia menggeleng. "Aku menunggu kamu ...," lirih Aurora.

Semenjak tinggal di sana, Aurora takut makan bersama tanpa Skala. Di meja makan, Evanda terang-terangan merendahkannya. Bukan hanya di meja makan, setiap mereka berkumpul, pasti Evanda akan membuat Aurora sakit hati.

"Ikut aku," ucap Skala. Tanpa basa-basi Aurora mengikuti langkah suaminya.

Gadis itu terus menunduk, tak mau melihat sekitarnya, dia hanya menatap langkah kaki Skala yang ada di depan.

Melihat sang tuan datang bersama istrinya, seorang pelayan langsung menyiapkan makanan tanpa diminta, karena dia tau tuannya itu baru pulang.

Skala melirik Aurora yang masih berdiri. "Kenapa masih berdiri di sana? Duduk!" titahnya dengan tegas.

Lagi-lagi Aurora menuruti tanpa banyak berkata.

Mata hazel itu menatap makanan di depannya.

"Maaf, hanya tersisa ini saja, Tuan. Jika anda mau, saya akan memasakkan yang lain," ujar pelayan.

"Tidak perlu."

Setelah pelayan pergi, Aurora beranjak mengambilkan makanan untuk suaminya. Meski mereka terpaksa menikah, Aurora akan melayani suaminya dengan tulus.

"Kamu tidak makan?" Kening Skala mengerut saat Aurora hanya meminum air setelah mengambilkan makanannya.

Melihat tatapan tajam sang suami, Aurora mendadak takut dan langsung berdiri untuk mengambil nasi. Namun, Skala kembali menatapnya dengan tajam ketika dia hanya mengambil kuah, tanpa menambahkan lauknya.

"Kamu menantu keluarga Bramasta, kenapa hanya mengambil kuah saja? Makan dengan lauk tidak akan membuat keluarga ini bangkrut," cetus Skala.

Aurora mendongak menatap Skala dengan tatapan teduh nya. "Aku alergi sea food," lirihnya.

Semua yang disajikan pelayan adalah olahan udang dan cumi, serta kepiting.

Alis yang tadinya menukik tajam, kini langsung kembali normal. Skala langsung memanggil pelayan.

"Ada apa, Tuan?"

"Masak sesuatu untuk istriku. Dia alergi sea food," titahnya.

"Baik, Tuan."

Tangan Aurora saling meremas, apalagi saat Skala menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi sembari mengetukkan jari telunjuknya ke meja dengan pelan.

"K-kenapa kamu tidak makan?" tanya Aurora.

Skala menoleh. "Aku tidak akan makan sebelum makananmu siap."

Jantung Aurora berdetak kencang. Ucapan Skala memang terdengar biasa saja, tapi Aurora menyadari ada arti di balik itu.

Mereka menikah dengan terpaksa, tapi kenapa Skala masih bersikap baik pada Aurora? Bahkan Aurora pernah berfikir kalau nanti suaminya akan memperlakukannya dengan kasar, tapi ternyata, dia salah besar.

Aurora tak lagi bicara sampai makanan nya datang. Sup ayam di dalam mangkok itu masih mengepulkan asap.

"Makanlah," ucap Skala.

"Kamu dulu," ujar Aurora mempersilakan. Dia pantang makan sebelum si paling tua memakan makanannya.

Skala menghela nafas, dia pun memakan makanannya. Setelah mengunyah satu suap tadi, dia menoleh pada Aurora.

"Sekarang, makan makanan mu," titahnya.

Aurora menurut. Perlahan dia menyuapkan makanan yang ada di piringnya dengan pelan.

Aurora menghormati Skala sebagai suaminya. Dia menyuruh pria itu menyuapkan makanan lebih dahulu dibandingkan dirinya. Perhatian kecil inilah yang membuat rumah tangga mereka berkembang nantinya.

Aurora sama sekali tidak sedih karena dinikahkan dengan Skala. Dia malah bersyukur karena bisa lepas dari keluarganya sendiri. Setidaknya dengan ini ia bisa memulai hidup yang baru, dan Aurora berharap, kehidupan yang baru ini adalah kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya.

bersambung...

Bab 2

...༄˖°.🎻.ೃ࿔*:・...

Aurora diam menatap Skala yang sedang berkutat dengan laptopnya. Padahal mereka baru saja menikah, tapi pria itu sudah sibuk bekerja. Wajar, karena Skala adalah CEO, dia pasti sibuk mengurus ini itu.

Tunggu, memangnya Aurora berharap apa dengan pernikahan tanpa cinta ini?

"Tuan ..."

"Panggil namaku, aku bukan tuanmu," sela Skala tanpa mengalihkan perhatiannya pada laptop.

Merasa Aurora tak lagi bersuara, Skala pun mengangkat kepalanya. Dia mengerutkan keningnya melihat Aurora yang hanya diam dengan tatapan lugunya, gadis itu benar-benar seperti bocah.

"Kamu butuh sesuatu?" tanya Skala. Sebenarnya dia malas basa-basi.

Aurora menggeleng. "Tapi, bisakah kamu beri aku kesibukan? Apapun itu. Kalau hanya berdiam diri seperti ini, aku bosan ..." Aurora menunduk, dia merasa lancang telah meminta demikian.

Aurora terbiasa selalu bergerak. Halaman rumah orangtuanya saja begitu asri dan rapi karena dirinya, bukan hanya halaman, isi di dalamnya juga rapi. Di sana memang tidak ada pembantu, jadilah Aurora yang membantu ibunya bersih-bersih rumah.

"Kesibukan seperti apa yang kamu mau?"

"Tidak tau. Aku ingin membantu beres-beres di istana ini, tapi kamu melarang." Aurora menghela nafas. Alih-alih menyebutnya rumah atau mansion, Aurora lebih memilih menyebut istana karena saking mewahnya.

"Tentu saja aku melarang mu. Kamu adalah nyonya muda di rumah ini," balas Skala.

Aurora menunduk seraya memilin piyama nya.

"Kamu punya hobi?"

Aurora mengangguk kaku.

"Apa itu?"

"Me ... lukis ...," jawab Aurora, tapi terdengar ragu. Untuk itu Skala kembali bertanya.

"Apa lagi?"

Aurora menatap Skala yang menunggu jawabannya.

"Hanya itu."

Skala mengangguk paham. "Besok kita beli peralatan melukis yang kamu mau, supaya kamu ada kesibukan."

Mata Aurora berbinar cerah. "Benarkah?!" Dia beranjak berdiri saking senangnya.

"Hm." Skala kembali menatap laptopnya.

Aurora melebarkan senyumnya. "Terimakasih, Tuan Skala, terimakasih!"

"Aku bukan tuan mu." Skala berdecak.

Aurora mengerjapkan matanya. Dia berdehem canggung. "T-terimakasih, Skala..."

"Ya."

...-...

...༄˖°.🎻.ೃ࿔*:・...

...-...

Esoknya, Skala benar-benar membelikan alat lukis untuk Aurora. Karena sudah menginginkan ini dari lama, tanpa ragu Aurora memilih peralatan yang dibutuhkan.

"Ambil yang mahal, kalau yang murah cepat rusak," kata Skala saat melihat istrinya mengambil kuas dengan harga yang murah.

"Aku tidak akan sering-sering menggunakannya, jadi—"

Tiba-tiba Skala mengembalikan kuas yang dipegang Aurora dan menggantikannya dengan yang lebih mahal dan bagus.

"Jangan membantah," peringat Skala. Lalu dia menyuruh Aurora memilih kembali.

Ini terlalu mahal! Batin Aurora. Tapi apa boleh buat? Skala lah yang membayar semua ini, jadi, bukankah dia harusnya senang?

Namun, Aurora bukanlah gadis yang haus akan uang dan barang-barang mahal. Sejak kecil dia selalu diajarkan memanfaatkan barang yang ada. Dulu, bajunya banyak robekan, bukannya mengganti, kedua orangtuanya hanya menjahitnya saja. Kalau bajunya kekecilan, bukannya membeli yang baru, Aurora disuruh menguruskan badannya agar baju itu muat kembali.

"Ada lagi?" tanya Skala. Dia menatap Aurora yang sedang mengecek isi keranjang nya.

"Umm ... bolehkah aku membeli kanvas nya satu lagi?" tanya Aurora ragu.

"Ambil sepuas mu. Aku tidak membatasi apapun jika itu membuatmu senang," balas Skala, dia melangkah lebih dulu ke rak khusus kanvas.

Aurora tersenyum lebar. Sungguh, dia berkali-kali mengucapkan terimakasih pada Tuhan karena telah mengirimkan Skala Bramasta sebagai pangerannya.

"Terimakasih, Skala," ucap Aurora sungguh-sungguh.

"Hm."

Meski bicaranya lumayan irit, Skala tetap bisa membuat Aurora tersenyum dan merasa senang.

"Sudah," kata Aurora. Semua keperluan melukis nya sudah dia beli, tidak ada yang kurang, yang ada kelebihan karena saat dirinya memasukkan satu set cat minyak, Skala akan menambahkan nya jadi lima set cat minyak dan cat akrilik. Betapa beruntungnya Aurora.

"Selain itu, ada lagi yang mau kamu beli?" tanya Skala.

Aurora menggeleng. "Tidak ada. Ini sudah lebih dari cukup."

Tak memaksa, Skala pun mengangguk paham.

Setelah membayar semuanya, mereka langsung pulang karena sesudah ini Skala akan pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Sekarang masih pukul sebelas.

"Di kamar kita ada pintu lain, di sana ada ruangan kosong, bisa kamu gunakan untuk ruang melukis," jelas Skala. Matanya masih fokus pada iPad di tangannya.

"Memangnya itu ruangan untuk apa awalnya?" tanya Aurora penasaran.

"Tidak ada. Aku hanya iseng membuat ruangan kosong di kamar," jawab Skala.

Tak bertanya lagi, Aurora pun mengangguk paham.

"Jangan menungguku pulang. Berbaur lah dengan keluargaku agar kamu tidak merasa sendiri," ucap Skala setelah mereka sampai di rumah. Lagi-lagi Aurora mengangguk.

"Kamu langsung berangkat sekarang?" tanya Aurora.

Skala mengangguk. "Hm, tidak ada waktu untuk beristirahat. Pergilah."

Aurora melepas sabuk pengamannya, sebelum keluar, dia menatap Skala lebih dulu. "Hati-hati, Skala."

Skala menjawab dengan anggukan singkat. Setelahnya Aurora benar-benar keluar dari mobil. Lalu seorang penjaga datang mengeluarkan belanjaan Aurora dan membawanya sesuai arahan sang tuan. Sedangkan Aurora menunggu sampai mobil yang ditumpangi Skala melaju dari sana.

Ketika berbalik, Aurora menerbitkan senyumnya melihat seorang wanita tua yang duduk di kursi roda nya, di belakangnya ada Binar— kakak ipar Aurora.

"Nenek," sapa Aurora. Dia berjalan mendekat lalu berjongkok di depan Nenek Aster.

Nenek tersenyum. "Dari mana, Rora?"

"Beli alat lukis bersama Skala. Nenek sudah makan siang belum?" tanya Aurora.

"Belum, Nenek ingin kamu yang suapi, boleh?"

Tanpa ragu Aurora mengangguk. "Tentu saja, ayo kita masuk."

Aurora mendorong kursi roda itu masuk ke dalam. Sedangkan Binar mengikuti di belakang.

Semenjak kedatangan Aurora di rumah itu, Nenek Aster menyambutnya dengan antusias. Bahkan tanpa ragu dia mengajak Aurora berbincang-bincang. Padahal, Nenek Aster termasuk orang yang susah akrab dengan orang baru. Tidak ada yang melarang kedekatan mereka selagi itu membuat nenek senang, termasuk Evanda.

Aurora yang memang tidak punya teman akrab menjadi sangat senang saat mengetahui Nenek Aster menyukai kehadirannya. Usia tidak terlalu penting untuk dunia pertemanan. Setidaknya ada Nenek Aster yang bisa membuat Aurora tersenyum di rumah ini.

"Kamu bisa masak?"

Sambil menyuapi Nenek Aster, Aurora mengangguk. "Bisa, Nek."

"Lain waktu cobalah memasak untuk Skala, agar hubungan kalian semakin dekat. Siapa tau dia menyukai masakanmu."

Aurora mengangguk. "Iya, nanti akan aku coba."

Nenek Aster tersenyum lebar.

Mereka berdua berada di belakang mansion. Di sana banyak pepohonan yang menaungi halaman belakang rumah. Nenek Aster suka sekali berada di sana.

Setelah makan siang, mereka berdua masih berada di sana. Meski sudah lelah, Aurora tetap menemani Nenek Aster di sana. Wanita tua itu bercerita banyak dan Aurora mendengarkan dengan seksama. Nenek Aster duduk di kursi rodanya, sedangkan Aurora duduk lesehan di atas rumput tepat di samping Nenek Aster.

"Astaga, maaf Nenek terlalu banyak cerita padamu," ujar Nenek Aster.

"Tidak apa-apa, Nek. Aku senang kalau Nenek banyak bicara seperti ini," ujar Aurora seraya tersenyum.

"Kamu memang anak baik, Rora. Semoga kamu selalu bahagia." Nenek Aster mengelus puncak kepala Aurora. "Ya sudah, ayo kita masuk. Sudah hampir petang."

Aurora menurut, dia beranjak berdiri dan mendorong kursi roda nenek masuk ke dalam mansion.

bersambung...

Bab 3

Rarwrrrr

Aurora tersentak saat mendengar suara itu. Matanya menatap seekor macan kumbang di hadapannya. Entah sejak kapan hewan berwarna hitam itu ada di sana. Mungkin karena dirinya berjalan sambil menunduk, jadi tidak mengetahui kedatangan macan kumbang tersebut.

Kenapa aku baru tau ada hewan ini? Batin Aurora.

RARWRRRR

Aurora memejamkan matanya saat macan kumbang itu mengaum lebih kencang hingga membuat wajahnya seperti diterpa angin. Dia mengepalkan tangannya berusaha tidak takut. Karena jika dia ketakutan, maka hewan itu akan semakin beringas.

"Blaze."

Aurora menoleh, begitu juga dengan macan kumbang tersebut.

Melihat sang tuan datang, macan kumbang bernama Blaze itu mendekat ke arahnya.

Skala mengelus kepala Blaze dan menepuk-nepuk nya.

"Dia istriku, jangan menakut-nakutinya," ujar Skala seolah hewan hitam di depannya ini paham dengan ucapannya.

Aurora menatap ke arah mereka. Tanpa sadar kakinya melangkah mendekat, dia sama sekali tidak takut dengan hewan tersebut. Padahal tubuh Blaze lebih besar darinya.

"Kamu pelihara dia?" tanya Aurora pada Skala.

Skala hanya mengangguk sebagai jawaban.

Skala memelihara nya dari Blaze masih kecil hingga sekarang. Skala juga membiarkan Blaze berkeliaran di rumahnya, kecuali malam. Macan kumbang ini tidak terlalu buas seperti singa atau harimau liar. Kecuali saat Skala memerintah, barulah Blaze tanpa ragu menunjukkan sisi ganas nya.

Mata Aurora menatap penasaran ke arah Blaze yang sibuk bermanja dengan Skala. Terlihat menggemaskan dan mengerikan secara bersamaan.

Melihat tatapan Aurora, Skala pun mengarahkan Blaze agar berbalik menghadap gadis itu.

"Ulurkan tanganmu," titah Skala.

Aurora mengulurkan tangannya pada Blaze. Dan ya, macan kumbang tersebut langsung mengeluskan kepalanya ke tangan Aurora yang mungil.

Senyum Aurora merekah merasakan betapa lembut dan lebat nya bulu Blaze.

"Apakah aku boleh peluk?" tanya Aurora meminta izin. Aurora pernah memeluk kucing peliharaan nya, tapi dia tidak puas karena kurang besar. Jadi dia ingin memeluk macan kumbang ini agar merasa puas dan nyaman.

Skala mengangguk mengiyakan.

Tanpa ragu, Aurora langsung memeluk leher Blaze dan mengusap bulunya dengan lembut.

Melihat keduanya yang akur membuat Skala tanpa sadar tersenyum tipis.

Aurora melepaskan pelukannya, dia mencium kening Blaze dengan lembut. Senyumnya semakin merekah melihat hewan itu mau bermanja dengannya.

"Hai, Blaze," sapanya dengan suara lembut mendayu-dayu. Blaze semakin mengusapkan badannya pada Aurora.

"Ada apa ini?" Aurora tersentak mendengar suara tersebut. Dia langsung menjauh dari Blaze.

Sebelah alis Skala terangkat. "Ada apa, Mom?" tanyanya.

"Kenapa kamu bawa macan ini masuk ke dalam?" Evanda menatap tajam anaknya.

"Memangnya kenapa? Bukankah biasanya dia memang berkeliaran di dalam rumah?"

Evanda menghela nafas. "Jangan dibiarkan terus menerus, Skala. Nanti dia bisa menerkam salah satu pelayan di sini," ujarnya. Diam-diam dia melirik sinis Aurora yang berdiri di belakang putranya.

"Cepat bawa kembali ke kandangnya." Setelah mengatakan itu, Evanda berbalik pergi dari sana.

Skala memanggil penjaga yang bertugas merawat Blaze.

Dengan terpaksa Aurora membiarkan Blaze dibawa oleh penjaga tersebut. Padahal dia ingin bermain dengan kucing raksasa itu.

Skala melihat jam yang melingkar di tangannya. Sudah jam 4 sore. Lalu dia beralih menatap Aurora yang mengawasi Blaze.

"Kamu baru selesai melukis?" tanya Skala ketika melihat noda cat di tangan Aurora.

Aurora mengangguk. "Iya."

"Sudah makan siang?"

Aurora menggeleng kaku. "Belum..."

Skala menghela nafas berat. Apakah gadis di depannya ini tidak lapar hingga melewatkan jam makan nya?

"Aurora."

Aurora mendongak ketika seseorang memanggil namanya.

"I-iya, Mommy?"

Evanda melirik Skala sekilas, lalu beralih menatap Aurora. "Bisa tolong belikan Mommy telur? Pelayan sedang sibuk. Kalau kamu keberatan, tidak—"

"Mau, Mom, Aurora mau," jawab Aurora cepat. Dia tersenyum sumringah. Ia sama sekali tidak tersinggung saat Evanda menyuruhnya, Aurora malah senang karena Evanda mau berkomunikasi dengannya.

"Tidak bisa." Skala menyela. "Pelayan di rumah ini banyak, tidak mungkin semuanya sibuk," lanjutnya. Skala sampai memegang tangan Aurora seolah menjaga istrinya dari penjahat.

"Skala, untuk apa Mommy berbohong? Kamu lihat sendiri kalau tidak percaya," balas Evanda.

"Ada bibi yang lain. Kenapa harus istriku?"

Evanda mengepalkan tangannya. Kenapa putranya jadi sering membantah seperti ini semenjak menikah?

"Tidak apa-apa. Aku mau belikan telur nya, Skala." Aurora mendongak menatap Skala yang tinggi besar, lalu dia menoleh kembali pada Evanda. "Biar Aurora yang belikan. Mau beli berapa, Mom?"

"Lima rak. Ini, kamu pakai kartu ini untuk bayar."

Saat Aurora hendak menerima, Skala lebih dulu mengambilnya.

"Biar aku yang beli."

"Skala, kamu baru pulang, pasti lelah, kan?"

"Tidak," jawab Skala. Pria itu menunduk menatap istrinya. "Kamu masuk kamar, tunggu aku kembali."

Langsung saja Aurora menggeleng cepat. "Tidak. Aku mau belikan telur buat mommy. Kamu tidak perlu ikut. Ya?" Matanya menatap sang suami dengan memohon. Dia hanya ingin mengambil hati mertuanya agar Evanda tidak terus-terusan melihatnya dengan sinis.

Sebagaimana menantu, Aurora juga ingin disayang mertua. Melihat tatapan sinis Evanda setiap hari, membuat Aurora terus kepikiran. Apalagi Aurora adalah tipe orang yang suka overthinking. Sikap Evanda yang seperti itu membuatnya takut.

Skala berdecak kesal mendengar ucapan Aurora. "Bisakah kamu menurut? Jangan membantah ku!"

Aurora mengabaikan Skala, dia menatap Evanda dengan senyum terbaiknya. "Aurora yang belikan, Mom. Kalau begitu Aurora permisi," ucapnya. Evanda hanya mengangguk malas.

Aurora segera berlari ke luar mansion. Sedangkan Skala dibuat semakin kesal oleh gadis mungil itu. Demi mertuanya, Aurora rela melakukan apapun. Bahkan dia lupa kalau tidak memakai sendal.

"Jangan membuat istriku tertekan di rumah ini," peringat Skala.

"Mommy tidak memaksa Aurora, dia sendiri yang mau, kan?" balas Evanda lalu pergi dari sana. Sedangkan Skala langsung menyusul Aurora yang sudah berjalan ke luar gerbang. Bahkan gadis itu lupa kalau di sana ada supir yang bisa mengantarnya kemanapun.

"Aurora!"

Mendengar suara Skala yang menggema, Aurora menghentikan langkahnya, dia berbalik dan menatap Skala yang baru saja masuk ke mobil. Dan tak lama dari itu, mobil tersebut berhenti di depannya.

"Masuk!"

Tanpa diperintah dua kali, Aurora masuk ke dalam mobil. Dia baru merasakan kalau kakinya tidak memakai sendal saking antusias nya disuruh Evanda.

"Jangan keras kepala." Suara Skala terdengar lebih datar dari biasanya.

Aurora yang sedang memasang sabuk pengaman pun menoleh. Dia terdiam sebentar sebelum menjawab. "Maaf..."

Skala diam, dia langsung melajukan mobilnya setelah Aurora duduk dengan nyaman.

Hingga saat mereka sudah sampai di supermarket, Aurora hendak turun, tapi Skala menahan tangannya.

"Pakai alas kakimu," ujarnya.

Aurora menunduk. Dia baru sadar di samping kakinya ada sebuah sendal berwana putih. Tak menolak, ia pun memakai sendal tersebut. Pas, tidak kebesaran ataupun kekecilan. Bagaimana ini bisa terjadi?

Mendengar suara pintu mobil tertutup, Aurora menoleh mendapati Skala yang keluar lebih dulu. Buru-buru dia mengikuti Skala seraya berlari kecil.

Padahal Evanda hanya menyuruhnya untuk membeli telur, tapi Aurora senang bukan main. Jika kebanyakan orang mengira dia dimanfaatkan, Aurora sebaliknya, dia malah merasa Evanda mulai menyukainya. Pikirannya terlalu polos saat ini. Dan hal itu tentu membuat Skala geram. Kalau terus seperti ini, bisa-bisa Aurora dimanfaatkan banyak orang nanti. Sepertinya, dia harus mendidik istrinya agar menjadi orang yang tegas.

Setelah mengambil telur, Aurora diam mengikuti Skala yang sedang membayar. Kepalanya menoleh kesana-kemari melihat orang-orang yang berbelanja.

"Kamu ingin membeli sesuatu?" tanya Skala mengejutkan Aurora.

"Tidak," jawab gadis itu singkat. Lagi pula dia tidak terlalu suka snack. Aurora terbiasa hidup sehat. Jadi, dia tidak ingin mengambil resiko.

Skala mengambil plastik besar bersisi telur pesanan Evanda. Lalu dia menyuruh Aurora untuk melangkah lebih dahulu.

"Aku mau bawa—"

"Tidak." Skala mendorong punggung Aurora agar terus berjalan menuju mobil.

Setelah masuk mobil, Aurora langsung mengambil alih plastik yang dibawa Skala, lalu dia letakkan di atas pangkuannya.

"Biar aku yang pegang," ujarnya lalu tersenyum manis.

Skala berdecak. Dia tidak menolak dan segera melajukan mobilnya membelah jalanan. Sepanjang jalan, Aurora tersenyum. Dia membayangkan kalau setelah ini akan dipuji-puji oleh ibu mertuanya. Skala sendiri hanya menghela nafas berat. Dia harus memberi peringatan pada ibunya agar tidak membuat Aurora tertekan. Jika tidak mempan, maka dia akan bicara dengan ayahnya.

"Di mana mommy?" tanya Aurora pada salah satu pelayan. Skala menyusul di belakangnya dengan wajah malas.

"Nyonya ada di taman belakang bersama nyonya besar, Nona," jawab pelayan tersebut.

Setelah mengucapkan terimakasih, Aurora segera menuju taman belakang.

Terlihat Evanda dan Nenek Aster ada di sana sedang berbincang-bincang.

"Mommy," panggilnya dengan pelan. Ketika kedua wanita itu menoleh, Aurora melebarkan senyumnya.

"Sudah?" tanya Evanda dan beranjak menghampiri Aurora.

Aurora mengangguk. "Iya. Ini telurnya. Rora letakkan di dapur ya?"

Evanda melirik Nenek Aster sekilas, lalu kembali pada Aurora. "Tidak perlu. Kamu temani nenek sana." Dia mengambil alih telur yang dipegang Aurora.

Tak membantah, Aurora pun membiarkan Evanda pergi membawa telur tersebut.

"Dari mana, Rora?" tanya Nenek Aster.

Aurora duduk lesehan di atas rumput tepat di samping kursi roda yang diduduki Nenek Aster. "Beli telur untuk mommy, Nek." Dia tersenyum.

Kening Nenek Aster mengerut. "Di mana para pelayan? Kenapa kamu yang membelinya?"

"Kata mommy, para pelayan sedang sibuk. Jadi, aku yang membelikannya. Tidak sendirian, Skala mengantar ku juga, Nek," jelas Aurora.

Meski bibir itu tersenyum, Nenek Aster tetap tidak bisa membenarkan sikap menantunya yang me nyuruh-nyuruh Aurora. Menantu di keluarga ini diperlakukan dengan baik, kenapa Evanda malah menyuruh Aurora untuk berbelanja?

Tidak memperpanjang, Nenek Aster memilih mengangguk, biar dia yang bicara dengan Evanda nanti.

"Kalau begitu, antar Nenek masuk ke dalam. Nenek mau menunjukkan sesuatu padamu," pinta Nenek Aster.

Aurora langsung beranjak dan mulai mendorong kursi roda nenek.

bersambung...

Like nya dongg

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!