Arthea Hermosa Edbert , seorang Rapunzel di kehidupan yang sebenarnya. Selama 19 tahun, dia tidak pernah melihat dunia luar. Hari-harinya hanya berada di kediaman Edbert. Dirinya hanya tinggal bersama ayah dan ketiga kakak laki-lakinya. Tak pernah tahu, bagaimana dunia luar itu. Kesehariannya hanya bersama pelayan dan juga penjaga yang di utus sang ayah guna menjaganya.
Bagaikan burung di dalam sangkar emas, itu yang Arthea alami. Gadis cantik itu berada dalam kemewahan tapi tidak menikmati kehidupannya. Dia selalu penasaran, bagaimana kehidupannya orang di luar sana. Mengapa sang ayah mengurungnya dan tidak mengizinkannya keluar dari kediaman Edbert. Namun, berada di dalam satu atap yang sama pun, ayah dan ketiga kakak laki-lakinya mengabaikan kehadirannya.
"Bagaimana rasanya di cintai?" Arthea tengah berdiri di depan sebuah jendela besar, menatap langit gelap yang sebentar lagi akan membawa hujan. Kedua tangannya memegang sebuah buku berwarna biru yang tampak usang. Lalu, dia membawa buku itu keluar kamarnya untuk berjalan-jalan sebentar.
Pandangan matanya jatuh pada ketiga pemuda yang berjalan menuju ke arahnya. Melihat ketiganya, gadis itu semakin mempercepat langkahnya. Dengan antusias dan senyuman lebar, dia berhenti tepat di hadapan ketiganya.
"Kak apa kalian ...,"
Ketiganya berlalu melewatinya begitu saja, meninggalkan perasaan sang gadis yang hancur lebur. Pandangannya menoleh, menatap ketiga punggung tegap yang bergerak semakin menjauh. Tatapan ketiga pemuda tadi, seolah sudah menunjukkan padanya jika ketiganya sama sekali tidak mau berhubungan dengannya.
"Masih membenciku." Lirihnya dan semakin memeluk erat buku di pelukannya.
"Apa yang kamu lakukan disini?"
Arthea mendongak, menatap sosok pria tinggi tegap dengan tatapan tajam menatap padanya. Sosok pria itu adalah ayahnya, Kendrick Levon Edbert. Kehadiran Kendrick pasti selalu bersama asistennya bernama Fabian yang selalu berada di sisinya.
Arthea menatap keduanya secara bergantian. "Ayah, apa aku bisa meminta sesuatu malam ini? Ayah tidak lupa bukan jika malam ini, tepat aku berusia sembilan belas tahun? Boleh aku meminta sesuatu?"
"Katakan." Ucapnya dengan nada dingin.
Arthea meneguk kasar lud4hnya, dia jadi merinding takut melihat raut wajah dingin pria itu. Tangannya semakin memeluk erat bukunya untuk menyalurkan perasaan takut dan cemasnya saat ini. Bahkan, dia sampai menggigit bibirnya secara tidak sadar.
"Tiga permintaan ... apa boleh?" Lirih Arthea, ia melirik pada Kendrick yang mengangguk pelan. Mendengar itu, Arthea membulatkan matanya.
"Aku ingin kue ulang tahun, itu yang pertama. Kedua ... aku ingin melihat dunia luar, aku tidak mau terus berada di kediaman Edbert. Ketiga ...." Arthea menahan nafasnya sejenak, dia semakin merasakan aura penuh tekanan di sekitarnya.
"Aku ingin ayah, Kak Axton, Kak Arsha , dan Kak Fian menemaniku di malam ulang tahun ku." Lanjut Arthea.
"Bian, catat semua." Titah Kendrick sebelum melangkah pergi, meninggalkan Arthea yang terkejut atas respon pria itu.
"Ayah ... mengabulkannya?!"
.
.
.
Sebelum jam dua belas malam, Arthea sudah siap dengan gaun putih cantiknya. Pelayan setianya telah mendandani rambut panjang bergelombangnya dengan cantik. Kini, dia tampak seperti seorang putri. Perasaan Arthea bahagia, sangat bahagia.
"Sembilan belas tahun aku terkurung di dalam tempat ini, dan besok ... aku akan keluar melihat dunia." Gumamnya penuh rasa bahagia. Matanya menatap pada jendela kamarnya, tak sabar menanti hari esok untuk menikmati hari-harinya.
Matanya memandang lekat pada gambaran hasil karya seninya sepuluh tahun lalu pada sebuah bingkai kecil di hadapannya. Dimana, dirinya menggambar sosok ayahnya, dan ketiga kakak laki-lakinya yang tidak pernah menyayanginya. Bahkan, ke empatnya terkesan membencinya.
Terasingkan dari dunia luar, sampai keluarganya sendiri mengasingkannya. Orang-orang yang mengenal keluarga ini bahkan mengira, keluarga Edbert tidak memiliki seorang putri. Tidak di perdulikan, di asingkan, di abaikan, seolah menjadi teman bagi kehidupan seorang Arthea.
Tanggal lahirnya adalah peringatan duka bagi sang ayah dan ketiga saudara laki-lakinya. Dirinya, di cap sebagai penyebab kem4tian seorang istri Kendrick. Arthea seolah berada di dalam jurang kesalahan yang tidak dirinya lakukan. Menjadi seorang putri tahanan, seolah itu sedang menebus kesalahannya karena telah membuat sang ibu tiada.
"Nona, anda sangat cantik." Puji seorang pengasuh setia Arthea. Wanita itu sudah mengasuhnya sejak bayi, membuat Arthea sangat menyayanginya.
"Bibi Len, besok aku bisa keluar dari sini. Aku akan datang ke tenpat yang Bibi Len sering ceritakan, nanti temani aku yah!" Seru Arthea dengan senyuman mengembang nan polos.
Lena, pengasuh Arthea itu tersenyum. Namun, matanya terlihat menahan tangis sejak tadi. Dia berlutut di hadapan kursi Arthea dan membelai rambutnya dengan lembut. Air matanya luruh, membasahi wajahnya.
"Kenapa Bibi Len menangis? Ini malam bahagiaku, jangan menangis." Ucap Arteha dan menghapus air mata wanita itu.
Tok!
Tok!
Pintu di ketuk, Lena segera beranjak berdiri dan membukanya. Arthea mendekatinya, dia melihat Kendrick membawakan kue untuknya sesuai permintaannya. Bagimana dirinya tidak senang? Sang ayah yang selalu mengabaikannya kini datang padanya dengan membawa sebuah kue. Namun, yang buat Arthea bingung tidak ada ketiga kakaknya di sana.
"Mereka ... tidak mau yah?" Tebak Arthea.
"Ambil lah." Bukannya menjawab, Kendrick justru memberikan kue tersebut pada Arthea. Dengan bingung, Arthea mengambilnya dan tersenyum melihat kue cantik itu.
"Ayo masuk Ayah, aku dan Bi Len sudah mendekor ...,"
"Aku bisa turuti dua permintaanmu, tapi tidak dengan permintaan terakhir."
Senyuman Arthea luntur, jantungnya seolah berhenti berdetak. Tatapan matanya terlihat pias, dia kecewa dengan apa yang Kendrick putuskan untuknya. Arthea tertawa hambar, menatap penuh kecewa pada pria di hadapannya.
"Lagi? Ayah tidak bisa lagi menemaniku di malam ini?! Kenapa?! Sembilan belas tahun aku hidup seperti tahanan! Aku menjalani setiap hariku dan menganggap hal itu sebagai penebus kesalahan karena telah membuat istrimu tiada akibat melahirkanku! Sekarang, aku hanya minta permintaan yang sangat sederhana dan Ayah tidak bisa mengabulkannya?!"
Lena dan Fabian syok bukan main, karena untuk pertama kalinya Arthea mengamuk dan membentak Kendrick. Karena biasanya, gadis itu hanya diam, menerima, dan jadi anak yang penurut. tapi malam ini, semuanya seolah lecah begitu saja.
"Aku sangat sayang Ayah, saking sayangnya ... sampai-sampai aku membenci diriku sendiri. Aku tetap diam menerima semua perlakuan kalian padaku, karena aku merasa itu hukuman yang pantas karena membuat bunda meninggal hiks ...."
Kendrick hanya diam, menatap putrinya tanpa ekspresi apapun. Namun, kedua tangannya terlihat terkepal kuat. Fabian dapat melihat emosi yang tertahan dalam diri tuannya. Tapi, pria itu tetap diam tak mengatakan sesuatu. Sampai rasanya, Arthea muak terus di diamkan.
"BESOK AKU AKAN PERGI DARI SINI! PERGI DARI KEHIDUPAN AYAH DAN KAKAK! AKU AKAN MENJALANI KEHIDUPANKU TANPA KALIAN! TANPA KELUARGA YANG TIDAK PERNAH MENYAYANGIKU! KELUARGA YANG MENGANGGAPKU SEBAGAI AIB UNTUK KELUARGA INI!"
Arthea menutup pintu kamarnya dengan kencang, tubuhnya bersandar pada pintu sebelum akhirnya luruh terduduk di lantai. Matanya menatap sendu pada kue ulang tahun yang dirinya minta. Namun, Arthea melihat tidak ada lilin sama sekali di sana.
"Lilin saja dia melupakannya." Decak Arthea kesal walau masih terisak lirih.
Arthea memejamkan matanya sejenak, d4danya terasa sangat sakit. Seharusnya malam ini jadi malam paling bahagia dalam hidupnya. Namun, dirinya harus kembali menelan rasa kecewa.
"Ayah, apa kamu tahu? Aku selalu menantikan hari lahirku agar dapat bertemu denganmu. Karena hari lahirku, adalah peringatan duka untukmu. Aku tidak pernah minta di lahirkan, aku sama sekali tidak pernah memintanya. Aku selalu berteriak atas rasa sakitku, tapi kenapa justru aku yang selalu di salahkan?"
Arthea memegang kuenya dengan kedua tangannya, memandangnya dari dekat dengan air mata yang terus mengalir. Bibirnya berusaha untuk tersenyum, walau pedih yang dirinya rasakan.
"Dunia tidak pernah tahu tentang Arthea Edbert. Kelahiranku ... sebuah aib untuk kalian bukan? Tidak bisakah sehari kalian menyayangiku? Sehari saja, sebelum aku benar-benar pergi dari sini. Bisakah aku dapat kesempatan itu?" Arthea mengatakannya seolah-olah sang ayah dapat mendengarkannya.
Arthea lalu meletakkan kue itu di hadapannya, tangannya mencari benda yang dapat memotong kue itu. Karena tidak ada, jadilah Arthea mengambilnya asal dengan tangannya. Tak peduli, kue itu tidak terpotong secara bagus. Lagian, hanya dia yang makan.
Dia memasukkan kue itu dalam mulutnya sedikit demi sedikit. Merasakan sensasi manis yang sangat memanjakan lidahnya. Mengingat siapa yang memberikan kue itu, membuat air mata Arthea kembali luruh. D4danya kembali terasa sesak, isak tangisnya tertahan.
"Makan sambil nangis itu enggak enak tau." Gumam Arthea sambil sesenggukan.
Setelah di rasa kenyang, Arthea membersihkan tangannya dengan tisu. Malas rasanya dia ke kamar mandi saat ini. Tanpa mengganti pakaiannya, Arthea merebahkan dirinya di atas ranjangnya. Kedua matanya menatap langit-langit kamarnya, menunggu waktu kapan ia terlelap.
"Aku janya ingin di cintai, kapan waktu itu tiba?" Lirihnya. Arthea memiringkan tubuhnya, matanya menatap kue ulang tahunnya yang sudah tersisa setengah. Dia terus memandang kue itu, sampai dia merasakan dadanya semakin sesak. Seolah jantungnya di tusuk oleh ribuan jarum.
Keringat dingin membasahi tubuhnya, Arthea meremas dadanya dan menarik nafas sekuat-kuatnya. Sayangnya, tubuhnya justru terasa sangat remuk hingga dirinya merasa tak kuat. Di ambang kesadarannya, Arthea menatap pada kue ulang tahunnya.
Mengingat kebencian sang ayah padanya, Arthea tertawa hambar. "Apa ada racun di kue itu? Hahaha, selama bertahun-tahun di kurung akhirnya aku tetap ... akan di singkirkan juga." Gumamnya sebelum kegelapan merenggut kesadarannya.
.
.
.
"Bagimana keadaannya? Bagaimana dia bisa demam satu minggu ini? Mana dokter? Kenapa demamnya belum turun juga?"
Arthea menangkap suara kebisingan di sekitarnya. Namun, dirinya masih sulit membuka mata. Apalagi, d4danya merasa sangat sesak, tubuhnya pun terasa panas. Arthea tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Jelas, ini sangat menyakitkan!
"Cepat panggil dokter lain!"
Arthea berusaha membuka matanya, dia melihat sosok pria tinggi di sisinya tengah memarahi ketiga pelayan di hadapannya. Pandangan Arthea berbayang, dirinya tidak bisa melihat jelas siapa pria itu. Sampai, tiba-tiba keningnya merasakan sebuah tangan besar yang menyentuhnya. Dingin, itu yang Arthea rasakan.
"Tuan Kendrick, dokter telah datang."
"Cepat periksa dia, demamnya seminggu ini tidak turun juga."
Arthea tidak tahu apa yang terjadi, dirinya kembali tidak sadar apapun. Sampai, sebuah cahaya menyorot ke arahnya, membuatnya sedikit merasa terganggu karenanya. Matanya mengerjap pelan, tangannya langsung menghalau sinar matahari yang sangat menyilaukan. Namun, Arthea baru menyadari sesuatu.
"Eh?" Arthea menatap tangannya yang tanpak kecil. Seolah tak percaya, dia melihat tangan satunya yang tentu saja sama dengan tangan lainnya. Tangannya tiba-tiba menjadi kecil saat dirinya terbangun. Seolah tak percaya, Arthea mencoba mendudukkan tubuhnya, pandangannya langsung terjatuh pada cermin besar di hadapannya.
"Kenapa ... hmp!" Arthea menutup mulutnya, suaranya juga berubah jadi aneh. Merasa denial dengan apa yang terjadi, dia lekas turun dari ranjangnya. Tubuhnya yang berubah kecil membuatnya kesulitan. Tapi dia dapat turun juga pada akhirnya.
"Enggak, enggak, enggak mungkin!" Pekik Arthea dalam hatinya saat dirinya sampai di depan cermin besar dan menyaksikan langsung perubahan tubuhnya.
Arthea menggelengkan kepalanya, dia memundurkan langkahnya pelan akibat kaget melihat dirinya menjadi kecil. Karena saat melangkah mundur tidak hati-hati, membuatnya tidak seimbang dan berakhir jatuh. Pandangannya masih menatap syok pada pantulan dirinya pada cermin yang ada di hadapannya.
"Aku ... kembali jadi bayi?!"
_________
Peringataaaan! Cerita ini hanya fiktif belaka, karangan Author. Jadi, apa yang ada di cerita ini bukanlah kejadian sebenarnya, oke. Aku tahu kalian pasti bijak dalam membaca🤗
Arthea masih tidak percaya, dia terus mencubit pipinya sampai merah. Cubitannya terasa sakit, artinya apa yang terjadi saat ini bukanlah mimpi. Dirinya kembali memadangi wajahnya dari dekat. Memastikan, apa yang dirinya lihat tidaklah halu semata.
"Actagaaaa, lucu kali dili ini." Gumam Arthea. Dia kembali menutup mulutnya, dan mencoba untuk menjulurkan lidahnya.
"Eeeeel! Eeeellll! El uhuk! uhuk! Cssss Csss ... kenapa cucaaaah?! Kenapa cucaaah?! Kenapa lidah ini belok cecuka hati?!" Arthea merasa frustasi dengan lidahnya yang sulit di ajak bekerja sama. Dia kesulitan mengucapkan huruf dengan benar, kecadelan ini cukup menganggunya.
Arthea menadahkan tangannya ke atas, kemudian mengepalkannya sambil memasang raut wajah penuh tekanan. Dia sedang berpikir, kenapa dirinya bisa kembali kecil. Namun saat mengingat kejadian terakhir sebelum dirinya tak sadar, Arthea jadi berpikir sesuatu.
"Makcudnya, di culuh balik lagi jadi kecil bial dapat pelhatian ayah dan kakak agal menghindalii ... kematian?" Arthea tersenyum senang. Tapi, mengingat perjuangannya dulu yang terabaikan, membuat senyumannya surut. Kedepannya nanti, dia akan menghadapi kerumitan hidupnya.
"Ndaaaa! Kenapaaaa, anak ceimut dan cegembul ini halluss mendelita lagi?!"
BRAK!
"NONA ARTHEA!"
Arthea menatap Lena yang baru saja datang menghampiri dengan raut wajah panik dan nafas memburu. Wanita itu lekas berlutut di hadapan Arthea dan meraih kedua bahunya. Dengan panik, Lena memeriksa kondisi Arthea dan memastikan gadis kecil itu baik-baik saja.
"Apa Nona baik-baik saja? Kepalanya sudah tidak pusing? Demamnya ... syukurlah, demamnya sudah turun. Selama seminggu ini Nona demam, saya dan pelayan lainnya sampe panik melihat keadaan anda." Lena terlihat menghela nafas lega setelah menempelkan punggung tangannya pada kening Arthea. Memastikan, demam gadis kecil itu sudah turun.
"Bibi Len ...." Lirih Arthea dengan suara bergetar. Bibirnya mencebik ke bawah, matanya terlihat berkaca-kaca menahan tangis.
"Eh, Nona?" Antara bingung dan terpana melihat kegemasan sang nona saat ini. Apalagi kedua pipinya yang sangat chubby, ingin rasanya Lena menggigit gemas kedua pipi gembul itu.
"Bi Len, huaa! Thea linduu Bi Lenaaa!" Arthea memeluk Bi lena dengan erat, jingga membuat wanita itu merasa tercekik.
"Nona, saya tidak bernafas!" Serunya.
Arthea melepaskan pelukannya, dia kembali menatap kekat pengasuhnya. Sekarang, Bi Lena tampak terlihat muda. Padahal sebelumnya, wanita itu sudah memiliki helaian rambut putih. Tapi di masa ini, wanita itu kembali muda.
"Nona kenapa? Apa saat sakit Nona mimpi sesuatu hm?" Tanya Lena lembut, wanita itu lalu mengelus rambut panjang Arthea.
"Cangat buuluk." Lirih Arthea dan membatin, "Sayangnya itu bukan mimpi, tapi kehidupan nyata. Aku harus terkurung selama belasan tahun dan tetap berakhir di habisi juga. Astaga, apa aku harus menunggu selama itu lagi dan berakhir tersiksa lagi?"
"Nona?" Tegur Lena saat melihat Arthea melamun.
Arthea tersadar, dia kembali merubah ekspresinya. "Bi Lena, umul Thea belapa?" Tanyanya, dia tidak tahu berapa umurnya saat ini.
Lena tersenyum, "Anda lupa lagi yah? Umur nona sekarang lima tahun. Baru tadi malam Nona merayakannya, sudah lupa?"
Arthea tersenyum lebar sembari mengg4ruk kepalanya yang tak gatal. Andai wanita itu tahu, jika dirinya bukan lupa. Melainkan, memang tidak tahu. Dia bisa tiba-tiba kembali menjadi balita, bayi lima tahun yang begitu polos tapi berjiwa dewasa. Tentu saja, tidak pernah terpikirkan olehnya.
"Sekarang mandi, ayo." Lena menggandeng tangan Arthea masuk ke dalam kamar mandi. Namun, saat dia akan membuka baju gadis kecil itu, tiba-tiba Arthea memekik histeris.
"Mau napaiiiin?!" Arthea menyilangkan tangan di depan d4danya sambil mel0t0t pada Lena.
"Saya ... mau mandikan Nona." Ucapnya dengan heran.
Arthea menggeleng, "Thea mandi cendili bica! Cudah becaaaal, nda boleeeh! Bibi kelual aja, Thea bica mandi cendili!" Serunya seolah akan di apa-apakan.
Lena tidak percaya Arthea bisa mandi sendiri. Jika di biarkan, dia berpikir Arthea tidak akan bersih menggosok tubuhnya. Apalagi, lihat tangannya yang pendek itu, mana sampai ke punggungnya?
"Nona tapi ...,"
"Althea cudah becaaal, maluu. Bibi Lena pelgi aja, Thea mau kopi cucu buatan Bi Lena kayak biaca." Ucap Arthea yang mana membuat Bi Lena terlihat kaget.
"Kopi susu? Sejak kapan Nona minum kopi? Nona, anda masih kecil, tidak baik meminum kopi. Kapan anda meminumnya? Dari mana anda mendapatkannya?"
Gawat! Arthea melupakannya, dia terlalu santai mendalami peran sebagai dirinya sendiri sampai lupa jika saat ini dia berusia lima tahun. Dimana ada anak usia lima tahun menyukai kopi? Yang benar saja!
"Itu ... Thea mimpi, yah ... Thea mimpi!"
Raut wajah Lena berubah, "Oh, hanya mimpi. Ya sudah, Bibi akan biarkan Nona mandi sendiri. Tapi kalau di cek masih kurang bersih, Bibi yang mandikan ulang, oke?"
Arthea mengedipkan satu matanya dengan kedua jarinya yang membentuk huruf o. Lalu, anak itu menutup pintu kamar mandi dan menguncinya. Lena sedikit khawatir, takut sang nona tidak dapat membuka kuncinya. Tapi, dia mencoba untuk tenang dan memberikan kepercayaan pada gadis kecil itu.
Semuanya berjalan baik awalnya, Arthea mudah melepas pakaiannya dan masuk ke dalam bathtub yang sudah di isikan air. Anak itu kemudian menyabuni badannya. Tapi saat akan menyabuni punggungnya, dia tak bisa melakukannya.
"Kenapa cuucaaah cekaliii!" Arthea kesulitan menyabuni belakang punggungnya, tangannya terlalu pendek untuk menggapainya.
"Halus bagaimana ini, pelutnya telalu maju jadi Thea nda bica." Gumam Arthea.
Tak hilang akal, Arthea menumpahkan semua sabun yang ada di dalam botol dalam bathtub. Hal itu tentu membuat air menjadi penuh dengan busa. Arthea tertawa senang, dengan cara seperti ini seluruh tubuhnya dapat terkena sabun.
Tok!
Tok!
"Nonaaa, jangan lama-lama! Anda bisa masuk angin nantinya!"
"Iya Bibi, cebental lagi!" Seru Arthea dan turun dari bathtub kecilnya. Dia lalu berjalan menuju shower untuk membilas tubuhnya.
Cklek!
Arthea keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit tubuhnya. Melihat itu, Lena menghela nafas lega. Dirinya sempat khawatir, tapi untunglah tidak terjadi apapun. Gegas, dia masuk ke dalam kamar mandi untuk menguras air di dalam bathtub.
"Astaga!" Lena syok melihat air penuh busa yang Arthea lakukan. Dia menoleh pada gadis kecil sang pembuat ulah yang sedang berdiri di ambang pintu sambil menyengir lebar.
"Cucah nyampe tangannya, telhalang pelut. Thea tumpahkan cemua itu cabun. Nda papa, cetok kan macih banyak." Ucap Arthea dengan tatapan polosnya.
.
.
.
Arthea sudah rapih, rambutnya pun sudah terkuncir dengan pita yang indah. Dress bunga-bunga yang di kenakanan menambah kesan imut untuknya. Lena selalu pandai dalam mendandaninya, padahal wanita itu memiliki anak laki-laki bukan anak perempuan yang bisa di dandani.
"Bibi akan keluar sebentar, Nona ingin belajar apa?" Tanya Lena.
"Gambal." Jawab Arthea singkat, dia memang menyukai kegiatan itu sejak dirinya kecil sampai dewasa.
"Oke, Bibi siapkan." Lena menyiapkan segala perlengkapannya dan meletakkannya di atas meja belajar Arthea. Segala aktifitas yang Arthea lakukan, selalu di kamarnya.
Setelah Lena keluar dan pintu tertutup, Arthea berlari menuju pintu dan menguncinya. Dia memastikan tidak akan ada orang yang masuk ke dalam kamar dan mengganggunya. Gadis kecil itu lalu berlari menuju lemari pakaiannya dan membukanya dengan lebar.
"Thea banyak menaluh uang, kemana uangnya? Ini lemali yang cama, Thea inget betul-betul." Arthea menarik laci kecil lemarinya, di kehidupan sebelumnya dia banyak menyimpan uang sebagai bekal dirinya keluar dari kediaman Edbert. Namun, laci itu kosong. Uangnya tidak ada, dan perhiasan yang ia simpan juga tidak ada. Arthea lalu memandangi lemari yang mirip dengan miliknya di kehidupan sebelumnya.
"Tamatlah cudah ... gimana mau kabul kalau nda ada uang. Nda mau Thea jadi olang cucah di jalan. Kalau telus dicini, akan telancam." Gumam Arthea. Dengan lemas, ia menjatuhkan b0k0ngnya begitu saja. Menatap lemas pada laci yang ada di pelukannya.
Tarikan nafas berat Arthea tak membuat hatinya menjadi nyaman. Tiba-tiba dia kepikiran sesuatu, tentang hal sebelum dirinya dapat terdampar kembali di umur lima tahun. Dia kembali mengingat kejadian sebelum kesadarannya hilang.
Arthea membatin sambil menatap tangan gembulnya saat ini. "Aku kembali mengulang waktu dimana usiaku masih lima tahun. Aku di beri kesempatan kehidupan kedua, untuk apa? Jika pada akhirnya, Ayah akan membvnuhku juga. Kue itu ... kue itu yang membuatku jadi seperti ini sekarang."
Air mata Arthea turun membasahi pipi gembulnya, setelah tahu mengapa dirinya hisa kembali ke usia lima tahun. Sungguh, Arthea merasakan jantungnya seolah di tusuuk oleh banyak jarum. Perasaannya hancur, kenyataan yang dirinya terima sungguh tidak pernah dia pikirkan sebelumnya.
"Thea kila, Ayah cuman benci Thea hiks ... tapi telnyata, ayah juga nda cuka Thea belnapas hiks ...."
Puas menangis, Arthea mengusap air matanya. Raut wajahnya berubah, dia kembali mengambil buku kosong dan juga pena. Anak itu menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan kasar.
Matanya menatap lembaran kosong di hadapannya dan membatin, "Enggak bisa, aku harus menghindari tragedi itu. Yah, harus! Caranya, aku harus bisa keluar dari sini. Tapi sebelum itu ...."
Arthea menggambar sesuatu, dia sampai mengeluarkan lidahnya karena sangking seriusnya. Hingga beberapa saat, gambaran Arthea telah jadi. Gadis kecil itu tersenyum lebar dan mengangkat tinggi hasil karyanya.
"Kenapa Thea halus mendelita lia dicini. Ndaa, anak gembul dan ceimut ini nda boleh mendelita lagi." Gumam Arthea sebelum menatap kembali gambarnya.
"Peltama-tamaaaa, Thea halus kumpulin uang! Yah, uang! Di lual cana pacti halus banyak punya uang. Nda mau jadi olang kele di lual cana, jadi gelandangan nda mau lah! Halus kabul cejahtelaaa! Ini lencana peltama, teluuuus lencana kedua ...."
Arthea kembali mengambar sesuatu, dan tak lama dia kembali mengangkatnya tinggi. "Lencana kedua, halus cali ayah adopci! Yah, haluuus, bial hidup cejahtela cehat cempulna, halus cali ayah adopci!" Pekiknya senang, dia bangga melihat hasil rencananya.
"Karena uang pasti akan habis, aku harus mencari uang abadi dengan cara mencari ayah adopsi. Di luar sana, pasti banyak pria kaya raya, aku harus mencarinya." Arthea membatin dengan sangat yakin.
"Tapi ... dimana Thea dapat uang? Kamal Ayah? Apa halus macuk ke kandang monstel?"
Tok!
Tok!
Tok!
Arthea terkejut mendengar jendela kamarnya yang di ketuk. Takut rahasianya terbongkar, Arthea gegas membenahi buku-bukunya dan menyembunyikannya di bawah ranjang. Lalu, dia berjalan mendekati jendela. Ingin lihat, siapa yang berani mengetuk jendela kamarnya.
"Cia ...." Arthea mematung sejenak melihat kehadiran seorang anak laki-laki yang berusia dua tahun di atasnya. Anak itu dengan santainya mendorong Arthea dan menaiki jendela.
"Lama sekali, kamu ngapain sih?!" Omelnya.
Arthea masih mematung, matanya menatap nanar pada anak laki-laki itu. Dirinya sangat mengenalnya. anak berumur tujuh tahun itu adalah kakak ketiganya, Elfian Edbert. Di kehidupan sebelumnya, Elfian paling terlihat sangat membencinya. Memandangnya saja tidak mau. Tapi di kehidupan saat ini, kenapa anak itu justru datang menemuinya? Apa di kehidupan sebelumnya, saat dirinya berusia lima tahun Elfian juga bersikap baik padanya?
"Nih, aku bawakan permen kesukaanmu. Katanya kemarin kamu sakit, Ayah tidak mengizinkanku menemuimu." Ucapnya sembari menyodorkan permen lolipop di hadapan Arthea.
Melihat hal itu Arthea mematung sebentar, dia memandang ke arah permen yang di pegang oleh Elfian. Dia memang menyukai permen sejak kecil, tapi dia tidak pernah tahu jika kakak ketiganya juga pernah memberikannya permen.
"Ck, biasanya kamu cerewet. Kenapa hari ini mendadak jadi patung? Ambil lah! Takut ada penjaga yang melihatku disini dan ayah akan marah!"
Bukannya mengambilnya Arthea justru menangis, hal itu tentu membuat Elfian panik di buatnya. "Hei, kamu kenapa? Thea, kamu kenapa? Aku minta maaf, aku tidak bermaksud membentakmu!" Serunya panik
"Kakak ketiga nda benci Thea telnyata hiks ...,"
Arthea menghentikan tangisnya, dia lekas menghapus air matanya dan mengambil cepat permen yang masih ada di tangan sang kakak. Perbuatannya, menjadi tanda tanya di benak Elfian. Apalagi sikap Arthea yang sangat aneh menurutnya.
"Thea nda papa, telima kacih." Ucap Arthea dengan tersenyum manis.
Melihat senyuman manis menggemaskan Arthea, Elfian tampak tersipu malu. Dia menunduk dan mengusap belakang lehernya dengan gugup. Kegemasan Arthea, membuatnya ingin sekali mencubit pipi gadis kecil itu. Sayangnya, dia takut Arthea menangis.
"Aku akan kembali besok, kamu mau apa? Biar aku bawakan." Tanya Elfian bersiap akan kembali meloncat keluar jendela.
Arthea menggeleng, "Kakak kecini, Thea cudah cenang kali."
"Apa Ayah sudah memberimu makanan enak?" Tanya Elfian dengan kening yang mengerut dalam.
"Thea nda ta ...." Keduanya menoleh kaget saat melihat pintu yang terbuka. Untunglah, yang membukanya adalah Lena. Tapi setelah melihat wanita itu, Elfian gegas pergi dari sana.
"Nona!" Lena gegas menutup jendela dan menguncinya, dia menatap pada Arthea yang tangannya masih memegang permen.
"Jika Tuan tahu, dia akan marah! Jangan bukakan jendela untuk siapapun!" Tegur Lena.
Arthea mengangkat pandangannya, dia menatap dalam wanita yang baru saja memarahinya. Banyak pertanyaan yang ingin Arthea tanyakan tentang kehidupannya. Kenapa, semua orang tidak boleh menemuinya termasuk kakaknya sendiri?
"Nona, dengar Bibi enggak?!"
"Thea nda boleh ketemu kakak? Dia kakak Thea, kenapa nda boleh? Kenapa Ayah malah? Thea cuman beltemu kakak Thea, anak olaaang! Bukan anak cetan."
Lena terkesiap, untuk pertama kalinya Arthea tidak takut dengan ancaman yang ia gunakan. Biasanya, gadis kecil itu takut setelah mendengar ayahnya akan marah. Tapi sekarang, Arthea justru membalikkan pertanyaan padanya.
"Nona, apa Nona mengantuk?" Tanya Lena bingung.
"Thea nda ngantuk! Thea mau pelgi dali cini, dali cemua olang! Telutama dali monstel tua jelek itu!" Pekik Arthea dan beranjak menaiki ranjangnya, meninggalkan Lena yang mematung akan sikap Arthea yang sangat berubah.
.
.
.
Terlihat, seorang pria tampan tengah sibuk menandatangani setumpuk dokumen di mejanya. Namun, ia harus menunda pekerjaannya lantaran mendengarkan laporan yang pengasuh putrinya sampaikan. Sejenak, dia tampak terdiam dengan tangannya yang masih memegang sebuah pena.
"Arthea aneh sejak bangun pagi ini?"
"Ya Tuan, Nona Arthea mengancam akan pergi dari kediaman Edbert terutama pergi dari Monster tua jelek."
Mendengar kata Monster tua jelek, Kendrick mengangkat pandangannya dan menatap pada pengasuh putrinya itu. "Monster tua jelek? Siapa Monster tua jelek yang anak itu maksud? Dia bertemu siapa sebelumnya?"
"Tidak ada Tuan. Nona marah dan tiba-tiba mengatakan itu setelah saya menegurnya untuk tidak bertemu dengan Tuan muda ketiga." Terang Lena.
Kendrick tampak mematahkan pena yang ada di tangannya, dia berdecak kesal mendegar putranya mengindahkan larangannya. Lena tahu, tuannya akan marah. Tapi, jika dia tidak melaporkannya, Kendrick akan tahu sendiri dan memberikan dirinya teguran seperti waktu lalu.
"Urusan Tuan muda ketiga biar menjadi urusanku. Untukmu, pastikan Arthea tidak keluar dari paviliun dan bertemu orang lain. Jika dia bosan, kamu alihkan perhatiannya dengan mainan yang ada. Dia masih anak berumur 5 tahun, tidak sulit untuk mengalihkan pikirannya." Titah Kendrick
"Baik Tuan. Saya pamit kembali ke paviliun, permisi."
Kendrick mengangguk, dia menyandarkan tubuhnya dengan helaan nafas berat. Rasanya, kepalanya sakit mendengarnya berbagai aduan yang pengasuh anaknya lakukan. Terlebih, tentang Arthea, anak terakhirnya.
"Sepertinya anda terlalu keras pada Nona Arthea Tuan. Menurutku, anak seusianya pasti menginginkan hal baru. Dia akan setres jika terlalu lama berada di paviliun." Tegur Fabian sebagai asisten Kendrick .
"Diamlah, aku tidak butuh pendapatmu!" Sentak Kendrick kesal. Dia memijat pelipisnya pelan karena kepalanya yang terasa pusing. Memejamkan sejenak, berharap hal itu dapat berlaku meredakan pusingnya. Namun, dirinya kembali membuka mata saat melihat putra ketiganya berdiri di hadapannya dengan bodyguard di belakangnya.
"Pengasuh itu mengadu lagi?" Tebaknya dengan tepat.
"Ayah sudah memintamu untuk tidak mendekati Paviliun hijau itu bukan?"
"Kenapa aku tidak boleh mendekati adikku sendiri?" Tanya Elfian penuh penekanan dan tatapan tajam.
"Belum saatnya kamu mengerti, kembalilah!" Kendrick melempar pena yang baru saja dia patahkan ke dalam tong sampah yang sudah berisikan tumpukan pena dengan nasib serupa.
"Aku akan terus menemui adikku!"
"Ayah akan mengirimnya ke desa terpencil jika kamu masih melawan, Elfian!"
Ancaman Kendrick membuat raut wajah Elfian berubah pias. Dirinya tak bisa lagi melawan, kedua tangannya terkepal dengan kuat. Dengan marah, dia menghentakkan kakinya dan pergi begitu saja dari ruangan sang ayah.
"Banyak hal, yang belum waktunya kamu mengerti. Ayah sedang mengusahakan agar dia bisa bertahan." Lirih Kendrick .
_________
Pada korban apa kalian? Pasti korban perasaan kaaaan🤣🤣 sama, othornya juga🫠
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!