NovelToon NovelToon

Cintaku Kepentok Bos Dingin

1

Bab 1: Nasi Goreng di Sepatu Mahal

Namaku Cathesa Arunea Agastha. Panggil saja Cathesa, atau The-sa, kalau kamu merasa dekat. Tapi orang kantor biasanya memanggilku, “Eh, kamu bagian administrasi kan?”

Aku perempuan biasa. Saking biasanya, kadang pintu lift pun malas terbuka untukku. Tapi hidupku berubah—bukan karena kutemukan cinta sejati, bukan pula karena tiba-tiba viral di TikTok—melainkan karena… nasi goreng.

Hari itu aku membawa bekal. Sederhana saja: nasi goreng buatan warteg ujung jalan, ditambah kerupuk pink yang rasanya lebih mirip plastik aromatik daripada kerupuk.

Aku berjalan cepat di lobi kantor, terburu-buru karena bosku bilang, “Kalau laporan itu nggak nyampe meja gue jam sembilan, kamu jangan nyampe kantor besok.”

Aku panik. Tangan kanan megang map. Tangan kiri bawa kotak nasi goreng. Langkah cepat, napas ngos-ngosan, rambut awut-awutan seperti habis dikejar debt collector.

Lalu—karena Tuhan sedang ingin bercanda—aku menabrak seseorang.

BRUK.

Kotak nasi gorengku terbang. Dalam gerakan slow motion, aku melihat nasinya berputar di udara seperti bintang jatuh, sebelum mendarat sempurna di sepatu pria itu.

Pria itu menunduk. Menatap sepatunya yang sekarang bertabur nasi, telur orak-arik, dan sepotong sosis potong miring.

Aku menatap wajahnya.

Tegas. Dingin. Mata tajam seperti pisau dapur baru diasah.

Itu adalah… Nagendra Ramiel Alejandro.

CEO. Atasan tertinggi. Raja beku dari kantor kami.

Jantungku berdetak tiga kali lebih cepat dari biasanya. Atau mungkin berhenti. Aku belum yakin. Aku hanya tahu aku ingin hilang. Menguap. Menyamar jadi pot bunga.

Dengan suara setenang kuburan, dia berkata:

“Ini Louboutin.”

Aku mengangguk seperti ayam disuruh ceramah. “Saya… saya kira itu nama makanan Korea, Pak…”

Dia tidak tertawa. Jangankan tertawa, ekspresinya tidak berubah sedikit pun. Kalau ada lomba mimik muka tidak bergeming, dia juara umum.

Aku buru-buru mengeluarkan tisu dari dompet—yang, sialnya, bergambar kartun kelinci memakai tutu.

“Saya bersihkan, Pak?”

Dia menatapku. Lama.

Kemudian menjauhkan sedikit kakinya.

“Jangan sentuh.”

Aku langsung berdiri tegak, hampir hormat. “Siap, Pak!”

Dia berjalan pergi. Sepatunya masih menyisakan sebutir jagung menempel di sisi kiri. Aku ingin mengejar dan mencoleknya—maksudku, mencolek jagungnya—tapi niatku mati bersama harga diriku yang barusan tewas di lantai lobi.

Aku tidak tahu, hari itu akan jadi awal dari cerita aneh hidupku.

Karena setelah insiden nasi goreng itu, aku mulai sering melihat Nagendra Ramiel Alejandro—dengan tatapan dinginnya, dengan sepatu Louboutin-nya, dan… entah kenapa, dengan komentar pedas yang selalu bikin pipiku merah sendiri.

Aku kembali ke mejaku dengan langkah sisa-sisa harga diri. Semua orang tampaknya tidak sadar kalau aku baru saja menumpahkan nasi goreng ke sepatu CEO. Atau pura-pura tidak sadar. Kantor ini memang penuh bakat sandiwara.

“Nggak apa-apa, The-sa. Ini masih lebih baik daripada kamu muntah di lift kayak minggu lalu,” aku membatin, mencoba menyemangati diri sendiri. Tapi ingatan soal sosis di sepatu itu terus menari-nari di otakku seperti flashback drama Korea episode 14.

Tiba-tiba, handphone-ku bergetar.

Dari nomor tak dikenal.

Pesannya singkat:

“Ke lantai 20. Sekarang.”

—NR.A

NR.A?! Aku nge-zoom-in inisial itu sampai 300%. Nggak salah lagi. Nagendra Ramiel Alejandro.

Tubuhku refleks ingin pingsan. Tapi aku urungkan. Pingsan tidak akan menyelamatkan kontrak kerjaku.

Lantai 20 – Ruang CEO

Suasana di lantai 20 beda seperti dunia atas awan. Karpetnya tebal, wanginya seperti campuran kayu mahal dan keberhasilan hidup. Saat aku masuk, seorang sekretaris berseragam hitam menunjuk ruangan dengan kaca buram di ujung koridor.

“Masuk saja. Dia sudah menunggu.”

“Dia”? CEO? Menungguku? Astaga.

Dengan napas pas-pasan, aku dorong pintu. Di dalam, Nagendra duduk di balik meja besar, menatap layar laptop tanpa menoleh padaku.

“Cathesa Arunea Agastha,” katanya datar, masih tanpa melihatku.

Aku berdiri tegap, mencoba tidak gemetar seperti jelly.

“I-iya, Pak. Saya minta maaf soal—”

“Duduk.”

Nada suaranya seperti sedang membaca manual mesin cuci. Datar dan minim emosi.

Aku duduk. Pelan. Lalu diam. Sangat diam. Karena entah kenapa, ruangan ini membuat jantungku berdetak seperti genderang perang.

Dia akhirnya menutup laptopnya dan menatapku.

Tatapan itu… membuatku ingin mengaku dosa yang belum kulakukan.

“Kamu tahu berapa harga sepatu saya tadi pagi?”

“Rp150 ribu…?” aku jawab dengan harapan, walau sadar jawabanku itu sangat bodoh.

Dia menghela napas. “Itu sepatu limited edition. Handmade. Kulit asli. Diimpor langsung dari Paris.”

“Oh. Paris… Cianjur?” tanyaku spontan, lalu langsung menyesal.

Senyap.

Hening selama lima detik. Lalu enam.

Lalu dia berkata, “Kamu tahu kenapa saya panggil kamu ke sini?”

Aku menelan ludah. “Karena saya menodai sejarah fashion?”

Dia mengabaikan komentarku.

“Kamu lucu.”

Kalimat itu keluar begitu saja, dengan wajahnya yang tetap tidak menunjukkan ekspresi.

Aku kaget. “Lucu… kayak, pelawak lucu? Atau lucu kayak aneh?”

“Lucu karena tidak ada satu pun karyawan saya yang berani menjatuhkan nasi goreng ke sepatu saya dan tetap hidup.”

Dia menyilangkan tangan.

“Dan kamu… masih hidup.”

Aku tersenyum ragu. “Saya… bersyukur, Pak.”

Lalu tiba-tiba—sangat tiba-tiba—dia melemparkan satu map ke arahku.

“Mulai minggu depan, kamu pindah ke lantai ini. Jadi asisten pribadi saya.”

Jantungku berhenti.

Mulai bunyi lagi.

Lalu berhenti.

Lalu aku tanya, “Pak… maksudnya… jadi asisten… CEO? Saya? Yang tadi pagi numpahin nasi goreng?”

Dia berdiri, lalu berjalan ke arah jendela besar yang memperlihatkan langit Jakarta yang mendung.

“Anggap ini… hukuman.”

Aku menatap map di tanganku.

Aku tidak tahu ini awal dari apa. Tapi aku yakin, ini bukan mimpi. Karena kalau ini mimpi, tidak mungkin ada nasi goreng dan sepatu mahal di satu adegan.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Aku masih menatap map itu seperti baru saja diberikan surat tugas ke Mars.

“Asisten pribadi?” ulangku dengan suara nyaris sumbang.

“Iya,” jawab Nagendra datar. “Atau kamu lebih suka dipecat karena menodai Louboutin?”

Mulutku ingin bilang, “Saya bisa cicil bersihinnya, Pak,” tapi itu terdengar seperti tawaran mafia bersih-bersih jejak dosa.

“Baik, Pak,” ujarku akhirnya, suara lebih mirip suara tikus ketahuan nyolong snack.

Dia kembali duduk, membuka laptop, dan tanpa melihatku berkata:

“Kamu mulai besok. Jam tujuh pagi. Jangan telat. Jangan banyak tanya. Dan jangan bawa nasi goreng.”

Aku mengangguk cepat. “Siap, Pak. Tujuh pagi. Tidak tanya. Tidak goreng.”

Tapi sebelum aku keluar, dia menambahkan satu kalimat yang bikin langkahku berhenti:

“Dan tolong jangan jatuh cinta padaku. Itu akan merepotkan.”

Waktu seakan berhenti.

Otakku nge-lag.

Mulutku refleks terbuka, tapi suara tidak keluar.

Aku berbalik dengan ekspresi antara syok, bingung, dan pengen ketawa.

“Maaf, Pak… apa tadi?”

Nagendra tidak menjawab. Matanya kembali ke layar laptop seolah barusan dia cuma bilang, “Tolong jangan bawa sendal ke kantor,” bukan “jangan jatuh cinta padaku.”

“Pak, saya bahkan belum pernah naksir cowok yang makan salad, apalagi cowok yang ngomong kayak Google Translate!”

Masih tidak dijawab.

Oke. Mungkin dia serius. Atau mungkin dia bercanda dengan gaya batu-batuannya.

Yang jelas, aku keluar dari ruangan itu dengan jantung lari sprint dan otak berteriak:

“APA BARUSAN YANG TERJADI?”

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

...Visual Cathesa ...

...Visual Nagendra...

2

Bab 2: Ditolak Pakai Nada Datar

Hari pertama jadi asisten pribadi CEO dingin ternyata…

lebih berat daripada skripsi yang dikerjain dua hari sebelum sidang.

Jam tujuh pagi aku sudah berdiri di depan ruangannya. Bahkan matahari belum bangun sepenuhnya, tapi Pak Nagendra sudah duduk di balik meja, mengetik seperti sedang hack sistem pertahanan dunia.

Tanpa menoleh, dia berkata,

“Kamu telat satu menit.”

“Pak… saya datang lebih awal enam menit.”

“Kamu berdiri di luar pintu selama tujuh menit.”

…Gimana dia tahu? Pakai CCTV di pelipis?

Hari itu berlalu dengan segunung tugas absurd: menyortir email yang semua isinya pakai bahasa legal kayak mantra kuno, mengarsipkan kontrak setebal bantal hotel, sampai mencari pena favorit Pak CEO yang warnanya biru dongker dengan ujung emas yang ’nempel pas di tangan kanan’ (katanya).

Sumpah, aku mulai curiga pena itu sebenarnya tongkat sihir.

Jam lima sore, aku akhirnya bebas. Hampir. Karena sebelum pulang, aku dihadang kenyataan pahit:

macet.

Tapi Tuhan sepertinya masih menyayangiku sedikit.

Dari kejauhan, aku lihat mobil sedan hitam berhenti di depan lobi. Jendelanya diturunkan, dan muncullah wajah familiar yang bikin aku refleks tersenyum.

Reynard.

Dia sahabat lamaku sejak SMA. Sekarang kerja di perusahaan sebelah. Tinggi, good looking, dan sering bikin aku tertawa di saat hidup ingin menyeretku ke jurang.

“Cathesa! Ayo naik, aku anterin!”

Tanpa pikir panjang, aku melompat masuk ke dalam mobilnya. Belum sempat pakai seatbelt, aku lihat seseorang di trotoar seberang sedang membuka pintu mobil mewah berwarna abu-abu metalik.

Nagendra.

Dia berdiri di sana, mengenakan coat gelap, rambutnya agak berantakan karena angin sore, wajahnya… tetap seperti biasa: ekspresi “aku benci segalanya kecuali udara.”

Mataku refleks melihat ke arahnya. Dan, untuk sesaat, aku pikir—mungkin—dia akan mengangguk. Atau sekadar melirik.

Tapi tidak.

Dia melihat ke arahku, lalu masuk ke mobilnya. Tanpa ekspresi. Tanpa sapaan. Tanpa anggukan. Seolah aku ini… kursi taman.

Aku diam.

Reynard melirikku. “Kenapa? Kamu kenal dia?”

Aku tertawa canggung. “Iya. Bosku. CEO. Sumber stres dan… inspirasi diet mendadak.”

Reynard tertawa. “Dia kelihatan… dingin banget.”

“Dia bukan dingin. Dia kutub selatan versi manusia.”

Tapi entah kenapa, dadaku sedikit sesak.

Bukan karena dia cuek. Tapi karena… aku peduli. Padahal seharusnya tidak.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Dalam perjalanan pulang, Reynard cerita tentang proyek barunya, tapi pikiranku terbang ke arah yang lain. Ke Nagendra. Ke caranya menatapku pagi tadi—datar tapi tajam. Ke caranya tidak melihatku barusan—dan entah kenapa, itu lebih menyakitkan daripada dimarahi.

Dan untuk pertama kalinya… aku mulai bertanya-tanya:

“Kenapa dia bilang jangan jatuh cinta padanya… kalau dia bahkan tidak peduli aku ada?”

Mobil Reynard meluncur pelan ke arah pintu keluar gedung. Aku duduk di jok penumpang dengan kepala miring ke jendela, memperhatikan mobil mewah yang kini sudah jauh di depan.

Mobil itu membawa seseorang yang baru saja melihatku langsung… dan memilih untuk tidak melihat sama sekali.

Aku mencoba tertawa.

“Wah, cowok itu bener-bener anti-sosial ya,” kataku sambil mengatur seatbelt yang agak nyangkut di bahu.

Reynard melirik ke arahku, satu alisnya terangkat. “Kamu tersinggung?”

“Enggak lah! Hahaha! Aku? Tersinggung karena dia cuek? Tidak mungkin. Aku bukan tipe cewek baperan cuma karena cowok dingin nge-ghosting secara visual.”

Reynard tertawa. “Ghosting secara visual tuh gimana?”

“Ya… aku ada di hadapan dia. Tapi dia melihatku kayak aku makhluk mitos yang tidak perlu ditanggapi.”

“Makhluk mitos itu masih lebih keren, loh,” kata Reynard sambil tersenyum. “Kamu kayak… lampu sen di siang hari.”

Aku mendelik. “Rey, itu hinaan atau pujian?”

“Pujian. Nggak semua orang sadar kamu penting, tapi begitu nggak ada, orang bisa nabrak.”

Aku terdiam. Sebentar. Lalu mengedip cepat.

“Jangan gombal, nanti aku ke-GR-an dan belanja baju couple,” godaku.

Reynard hanya tertawa kecil, tapi tak melanjutkan. Suara di mobil hening sebentar, hanya ada suara klakson dan lagu lawas dari radio.

Di dalam kepala, aku kembali memutar ulang ekspresi Nagendra tadi. Datar. Tak ada seulas senyum, tak ada tanda pengakuan. Padahal… kami habis menghabiskan satu hari kerja bareng, lho.

Dia bahkan tahu aku alergi penghapus cair.

Aku memijat pelipis. “Aku nggak ngerti kenapa aku mikirin ini.”

Reynard menoleh sekilas. “Mikirin siapa?”

Aku terdiam. Kemudian pura-pura merapikan poni. “Nggak. Random aja.”

Tapi ya Tuhan, kenapa rasanya hati ini kayak ditolak tanpa dilamar?

Sampai di depan rumah, aku turun dengan langkah lemas. Reynard masih menunggu sampai aku benar-benar masuk pagar.

“Thanks ya, Rey,” kataku sambil melambai.

“Besok aku jemput lagi?”

Aku ragu sebentar. “Aku belum tahu. Bosku mungkin suruh aku lembur sambil hitung butiran beras.”

Reynard tertawa. “Kalau dia macam-macam, kasih tahu aku. Aku bakar motornya.”

“Dia naik mobil mewah, Rey…”

“Ya udah, aku gosokin mobilnya pakai nasi goreng bekas.”

Aku tertawa keras. Tapi tawa itu pelan-pelan redup waktu aku masuk kamar dan merebahkan diri di kasur.

Dan saat menatap langit-langit kamar…

Wajah Nagendra yang dingin itu muncul lagi.

Entah kenapa,

aku berharap dia tadi menyapaku.

Sekadar anggukan, atau bahkan… lirikan kecil. Tapi nyatanya?

Dia bahkan tidak menganggapku layak untuk sekadar ditatap dua detik.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Setelah masuk rumah, hal pertama yang kulakukan adalah… menendang sandal sambil drama.

“Ya ampun, The-sa… kamu kenapa?!” tanya Mamaku dari ruang tamu.

“Aku baru aja dighosting sama bos, Ma. Tapi versi IRL,” jawabku sambil menenggelamkan muka ke bantal sofa.

Mama cuma geleng-geleng. “Kamu kalau drama, rating-nya udah bisa nyalip sinetron jam sembilan.”

Setelah ritual curhat ke Mama dan mandi air super panas yang tidak bisa menghapus rasa diabaikan, aku rebahan di tempat tidur. HP kuambil, niatnya mau scroll-scroll TikTok. Tapi, jari malah berhenti di satu hal:

Kontak bernama: “Jangan Di-SMS: CEO Dingin.”

Itu nomor yang dipakai Nagendra buat SMS-ku kemarin, waktu dia menyuruhku ke lantai 20.

Aku nggak tahu kenapa belum kuhapus.

Atau mungkin… aku tahu, tapi pura-pura nggak tahu.

Aku bolak-balik ponsel itu di tangan.

Lalu aku mengetik pesan.

“Terima kasih atas kerja samanya hari ini, Pak. Semoga sepatu Anda pulih dari trauma nasi goreng.”

Kudet tapi jujur. Kocak tapi sopan.

Setelah berpikir lima menit penuh, aku… tidak jadi kirim.

Aku hapus.

Aku taruh HP.

Aku tarik selimut.

Tapi otak nggak bisa ikut tidur.

Karena, untuk alasan yang bahkan aku sendiri malu mengakuinya…

Aku nungguin dia bales sesuatu yang nggak pernah kukirim.

Esok paginya, aku terbangun dengan rambut mirip colokan kebakar dan mata bengkak sebelah karena salah posisi tidur. Masih dalam mode setengah zombie, aku buka notifikasi HP.

Satu pesan masuk.

Tanpa nama. Hanya nomor.

Tapi aku tahu siapa itu.

“Datang jam tujuh. Jangan lupa bawa kontrak vendor dan jangan tertinggal pena emas saya lagi.”

Ah.

Pesan profesional.

Datar. Jelas. Seperti template balasan otomatis.

Tapi…

aku tetap senyum-senyum kayak orang bego.

3

Bab 3: Antara Salak dan Tanda Tangan Kontrak

“Cathesa, kamu bawa dokumen vendor yang aku suruh semalam?”

Aku mengangguk cepat. “Bawa, Pak!”

Pagi itu, suasana di ruang CEO lebih menegangkan dari biasanya. Nagendra berdiri dengan jas rapi, jam tangannya mengkilap seperti masa depan orang sukses, dan aku… yah, aku berdiri dengan map di tangan kanan dan tas belanjaan Mama di tangan kiri.

“Rapat sama klien Jepang di lantai 22. Lima menit lagi. Kamu ikut.”

Aku langsung tersedak udara. “Saya ikut?!”

Nagendra menoleh, menatapku datar. “Kamu asisten saya, bukan tanaman hias. Ayo.”

Tanpa banyak tanya, aku mengikuti langkahnya yang panjang dan cepat itu, walau langkahku seperti penguin gugup. Aku hampir jatuh tiga kali gara-gara hak sepatu palsu yang sudah retak tapi belum niat diganti.

Sampai di ruang rapat, suasana super formal. Ada tiga pria Jepang memakai jas, duduk kaku seperti patung wasabi. Nagendra menjabat tangan mereka satu-satu. Aku berdiri di belakangnya, berusaha terlihat penting padahal jantungku marathon.

“Saya Nagendra Ramiel Alejandro. CEO.”

Lancar. Tegas. Penuh aura.

Sementara aku? Berkeringat dingin sambil memeluk map erat-erat.

Nagendra menoleh ke arahku. “Mapnya.”

“Siap, Pak.”

Aku buka tas besar yang kubawa—tas belanjaan milik Mama yang tadi kubawa sekalian pas berangkat karena beliau nitip salak dari pasar. Dalam kepanikan dan buru-buru tadi pagi, aku asal masukin barang.

Tangan kiriku mengaduk tas.

Menyentuh sesuatu yang…

bulat. Kasar. Wangi khas.

Astaga. Salak.

Mataku membelalak. “Bentar, Pak! Salah map!”

Aku buka map yang kubawa. Isinya… struk belanja, brosur panci diskon, dan sebuah resep sup ayam.

Aku panik. Pelan-pelan aku buka plastik belanja dan—dengan harapan kosong—cek isinya.

Salak. Enam biji. Matang semua. Tidak satu pun dokumen.

Nagendra melihatku. “Cathesa.”

“Y-ya, Pak?”

“Itu… bukan kontrak vendor.”

Aku terdiam. Semua orang menatap. Bahkan klien Jepang kelihatan bingung, salah satu dari mereka sempat membisikkan sesuatu seperti:

“Sore wa… furu-tsu?” (Itu… buah?)

Aduh.

“Maaf, Pak. Saya… mungkin tukar tas sama Mama saya tadi pagi… beliau pesan salak soalnya.”

Suasana hening.

Nagendra menatapku tajam.

Aku siap dipecat di tempat.

Tapi kemudian…

Salah satu klien Jepang tersenyum—dan berkata dalam bahasa Inggris terbata, “We like… sa-la-ku. Is sweet. Very local.”

Nagendra masih tidak tersenyum. Tapi dia mengangguk, lalu menoleh padaku.

“Keluar. Ambil dokumen yang benar. Dan jangan bawa salak ke ruang rapat lagi.”

“Siap, Pak.”

Aku berlari keluar sambil hampir menabrak tanaman hias. Sambil mikir:

“Kenapa aku begini, ya Tuhan. Kenapa?”

30 menit kemudian, setelah insiden salak, kontrak berhasil ditandatangani.

Rapat selesai, semua senang, dan aku kembali ke meja kerjaku dalam kondisi hampir mati secara emosional.

Lalu, HP-ku bergetar.

Nomor tanpa nama.

“Kamu beruntung klien tadi doyan salak. Lain kali bawa otak, bukan buah.”

Aku mendengus. Balas:

“Otak saya ketinggalan karena fokus mikirin pena emas Bapak yang hilang entah ke mana.”

Balasan masuk:

“Pena emas saya ada di saku jas. Sejak tadi.”

Aku menatap layar.

Mendesah panjang.

Lalu tiba-tiba, satu chat masuk lagi:

“Tapi saya akui… kamu beda.”

Aku diam.

Lama.

Senyumku muncul, kecil tapi nyata.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Aku menatap layar ponselku seperti itu baru saja memunculkan ramalan masa depan.

Kata-kata yang kuterima dari seorang Nagendra Ramiel Alejandro—CEO paling tidak ramah, paling cuek, paling dingin—masih terpampang jelas:

“Tapi saya akui… kamu beda.”

Beda?

Beda gimana?

Beda kayak… beda dari pegawai biasa?

Atau beda kayak… beda dari wanita lain yang nggak pernah bawa salak ke ruang rapat? 😩

Aku guling-guling di kursiku sendiri sambil menggigit lengan jaket.

“Beda tuh maksudnya apa sih?!” bisikku sambil menggoyang ponsel.

Lalu…

chat itu dibaca ulang lima kali.

Karena aku wanita. Dan itu sudah insting biologis.

Menjelang sore, kantor mulai sepi. Aku baru selesai merapikan file digital dan mindahin jadwal meeting Nagendra ke hari Jumat, karena hari Kamis depan beliau bilang “harus kosong.”

(Kenapa harus kosong, aku nggak nanya. Tapi setengah diriku curiga… dia mungkin punya ritual memanggil alien.)

Tiba-tiba, suara langkah terdengar.

Nagendra muncul di depan meja kerjaku.

DEG.

Dia berdiri sambil menatap layar tablet. “Kamu sudah kirim draft final ke legal?”

“Sudah, Pak. Email jam 4 sore.”

“Hm.”

Aku menunggunya menambahkan sesuatu. Tapi… ya, tidak ada. Dia berdiri di sana. Diam. Lalu mengangguk kecil, dan mulai jalan pergi.

Tapi baru dua langkah, dia berhenti.

Lalu tanpa menoleh, ia berkata:

“Besok jangan bawa buah-buahan. Tapi… kalau kamu bawa kopi, saya nggak keberatan.”

…Eh?

Aku bengong.

Kopi?

“Eh… Pak? Maksudnya kopi kayak… kopi sasetan? Atau kopi yang dibeli di tempat mahal yang logonya cewek rambutnya berantakan?”

Dia tidak menjawab. Hanya melambaikan tangan sedikit sambil jalan menjauh.

Aku tetap bengong.

Ngeliatin punggungnya.

Lalu pelan-pelan, senyum bodohku muncul.

Sejenis senyum yang hanya keluar saat kamu dikomentarin soal kopi oleh pria yang kemarin bilang:

“Jangan jatuh cinta padaku.”

Tapi sekarang…

Dia minta kopi.

Dan bagiku, itu bukan permintaan biasa.

Malamnya, aku duduk sambil ngelus dompet.

“Besok bawa kopi…” gumamku.

“Ya Tuhan, gajiku belum naik. Tapi Starbucks mahal. Masa aku kasih dia kopi sachet rasa durian?”

HP-ku bunyi lagi. Pesan masuk.

Dari Nagendra.

“No kopi durian. Saya bisa cium dari tiga meter.”

Aku kaget.

Lalu ngakak.

Dia tahu. DIA TAHU.

Oke, baiklah, Tuan Dingin.

Besok akan kubawa kopi paling netral rasa sedunia.

Dan, entah kenapa…

besok itu jadi hari yang kutunggu-tunggu

...****************...

Setelah insiden salak dan pesan “kamu beda” yang masih terus terngiang-ngiang di otak seperti lagu TikTok yang tidak bisa dilupakan, aku mencoba fokus kerja. Tapi gagal.

Kenapa?

Karena setiap kali buka spreadsheet, aku malah ngetik:

“Beda kayak apa, Pak?”

“Kopi apa, Pak?”

“Saya ini karyawan atau konten hiburan, Pak?”

Jam menunjukkan pukul 17.30 saat aku akhirnya berdiri dari kursi buat nge-print berkas legal. Di lorong kantor, suasana udah agak sepi. Hanya tinggal suara mesin printer dan… langkah seseorang dari arah belakang.

Langkah pelan. Teratur.

Aku nggak perlu menoleh untuk tahu siapa itu.

Nagendra.

Aura dinginnya terasa kayak AC kantor yang terlalu dingin padahal thermostat-nya udah 24 derajat.

“Masih kerja?” suaranya terdengar, tenang seperti biasa.

Aku refleks menoleh sambil senyum setengah gugup. “Iya, Pak. Lagi print dokumen. Tadi sempat kejang batin habis lihat saldo rekening.”

Dia tidak tertawa. Tapi aku sumpah melihat sudut bibirnya gerak sedikit.

Sedikit aja. Tapi itu berarti.

Nagendra berjalan ke dispenser, mengisi gelas dengan air putih. Ia berdiri di sana, minum pelan, lalu matanya melirik ke arahku.

“Besok… kamu bisa ikut ke event klien di Hotel Levara?”

Aku nyaris menjatuhkan berkas yang baru keluar dari printer.

“E-Eh? Saya? Ikut?”

“Iya. Sekalian belajar cara handle klien besar.”

Lalu dia menatapku, datar, “Dan jangan bawa salak.”

Aku langsung pengin masuk ke mesin printer.

“O-oke, Pak. Saya catat.”

Dia mengangguk. Lalu seperti biasa, langsung putar badan dan pergi tanpa basa-basi.

Tapi kali ini, langkahnya sedikit melambat di akhir lorong.

Dan entah kenapa… dia menoleh sebentar, hanya sekejap, lalu melanjutkan langkahnya.

Aku berdiri di sana, masih megang kertas, tapi pikiran entah ke mana.

Nagendra Ramiel Alejandro.

Pria paling dingin sejagad. Tapi sekarang…

Dia ngajak aku ikut event klien.

Dan tadi… dia menoleh.

Ya Tuhan. Apakah ini kemajuan?

Atau aku cuma halu tingkat akhir?

Beberapa menit kemudian, aku balik ke mejaku dan menemukan satu benda tergeletak di sana:

Sebuah stik kopi hitam dalam kemasan mahal.

Dan secarik kertas kecil dengan tulisan rapi:

“Latte. Manis. Jangan salah beli.”

— N

Aku langsung nunduk ke meja. Menahan diri buat nggak menjerit.

Apakah ini… semacam kontrak kerja emosional tak tertulis?!

Atau…

Apakah ini…

kode?!

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!