NovelToon NovelToon

Cinta Yang Terlarang

BAB 1 Retakan Pertama

Pukul sepuluh malam, aroma mie instan yang baru saja dimasak memenuhi apartemen, bercampur dengan bau sabun cuci piring yang masih menguap dari wastafel. Televisi di ruang tamu menyala, menayangkan pertandingan sepak bola yang entah mengapa tidak pernah menarik perhatianku. suara sorakan komentator, kadang diselingi umpatan pelan dari Mas Satria, suamiku, adalah melodi yang belakangan ini, terasa semakin sumbang di telingaku.

Aku duduk di sofa, memeluk bantal dekorasi bermotif bunga, mataku terpaku pada layar, tapi pikiranku melayang entah kemana. Sudah berapa lama kami seperti ini? duduk bersama, tapi terasa begitu jauh. Fisik kami berbagi ruang, namun jiwa kami entah saling terpisah berapa kilometer.

Mas Satria berbalik, menggeser posisi duduknya agar bisa melihatku lebih jelas. Wajahnya yang tampan dengan garis rahang yang tegas dan mata cokelat yang dulu selalu memancarkan kehangatan, kini terlihat lelah. Ada lingkaran hitam samar di bawah matanya, dan kerutan halus mulai menjalar-jalar di sudut-sudutnya. Entah karena usia atau karena beban pekerjaan yang tak kunjung usai.

"Kamu kenapa, Sayang? dari tadi diam saja," tanyanya, suaranya sedikit serak. Dia mengulurkan tangan, mengusap rambutku dengan lembut. Sentuhan itu, yang dulu selalu berhasil membuatku merinding bahagia, kini hanya terasa seperti kebiasaan, tanpa emosi yang berarti.

Aku tersenyum tipis, mencoba menutupi kekosongan yang menggerogoti. "Nggak, apa-apa, Mas. Cuma lagi mikir besuk mau masak apa," jawabku berbohong. "Oh, aku kira kenapa. Nggak usah pusing-pusing. Kalau capek, pesan saja," jawabnya, seperti biasa, dia menelannya mentah-mentah. Dia kembali fokus pada pertandingan, sementara aku kembali tenggelam dalam lamunanku.

Mas Satria adalah suami yang baik. Sangat baik, malah.. Dia bertanggung jawab, pekerja keras, tidak pernah macam-macam. Dia bahkan sering membantuku mengerjakan pekerjaan rumah, sesuatu yang jarang kulakukan sendiri. Tapi, entah kenapa, kebaikan itu terasa hambar. Hubungan kami terasa seperti sebuah rutinitas yang monoton, tanpa gejolak, tanpa gairah, tanpa percikan api yang dulu menyala-nyala.

Kami menikah lima tahun yang lalu. Dulu, kami adalah pasangan yang paling romantis diantara teman-teman kami. Kami selalu punya waktu untuk berdua, entah sekedar menonton film di rumah, makan malam romantis di restoran kecil, atau bahkan hanya berjalan-jalan di taman sambil berpegangan tangan. Obrolan kami tak pernah habis, tawa kami selalu riang. Tapi, seiring berjalannya waktu, semua itu memudar. Entah kapan tepatnya, aku tidak ingat. Mungkin saat kami mulai disibukkan dengan pekerjaan masing-masing, atau kami terlalu fokus pada rencana masa depan yang terasa begitu jauh.

"Besuk, Pak Hendra mau jemput kamu main golf lagi, Mas?" tanyaku, mencoba memecah keheningan. Mas Satria mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari televisi. "Iya.Kenapa?" Jawabnya. "Nggak, apa-apa. Cuma nanya saja," jawabku.

Hendra, sosok yang belakangan ini mulai mengisi sebagian kecil ruang dipikiranku. Dia adalah sahabat Mas Satria sejak kuliah, sekaligus rekan bisnisnya. Mereka berdua membangun perusahaan konsultan dari nol, dan sekarang sudah cukup berkembang dan sukses. Hendra jauh lebih santai daripada Mas Satria. Dia sering melemparkan lelucon, selalu tersenyum, dan matanya selalu teduh menatapku. Usianya beberapa tahun diatas kami, tapi dia terlihat jauh lebih muda. Setiap kali Hendra datang ke apartemen kami, suasana selalu menjadi lebih hidup. Dia membawa cerita-cerita lucu dari kantor, atau kisah-kisah perjalanan bisnisnya yang menarik. Dia sering memujiku didepan Mas Satria, mengatakan betapa beruntungnya suamiku memiliki istri sepertiku. Pujian-pujian itu, entah kenapa, selalu berhasil membuat pipiku merona, dan jantungku berdebar lebih cepat.

Malam itu, setelah Mas Satria tertidur pulas di sampingku, aku masih terjaga. Aku memandang langit-langit kamar yang gelap, mencoba memahami perasaan yang bergejolak di dalam dadaku. Ada rasa bersalah, tentu saja. Bersalah karena merasa bosan dengan pernikahan yang seharusnya sempurna ini. Bersalah karena perasaanku pada Mas Satria tidak sedalam dulu. Dan yang paling mengkhawatirkan, bersalah karena mulai ada nama lain yang mulai memenuhi benakku. Nama yang seharusnya tidak ada disana.

Aku bangkit dari tempat tidur, berjalan pelan menuju jendela. Langit di luar tampak gelap, hanya diterangi lampu-lampu kota yang berkelip-kelip. Aku merenung. Apakah ini yang dinamakan "Retakan Pertama?." Retakan yang perlahan tapi pasti, akan menghancurkan fondasi pernikahan kami? aku tidak tahu. Yang jelas aku merasa tersesat. Dan yang lebih parah, aku merasa tak berdaya untuk mencari jalan pulang.

Pagi itu, Mas Satria sudah rapi dengan stelan golfnya. Dia mencium keningku sebelum berangkat. "Aku berangkat dulu, ya, Sayang. Nanti sore Pak Hendra datang." ucapnya, seraya mencium keningku. Aku mengangguk, mencoba tersenyum sehangat mungkin. "Hati-hati, Mas." ucapku, sambil mencium punggung tangannya.

Setelah Mas Satria pergi, aku kembali ke kamar. Memandang pantulan diriku di cermin. Mata itu, yang dulu memancarkan kebahagiaan, kini terlihat kosong Ada bayangan kegelisahan disana. Aku menghela nafas panjang. Apa yang akan terjadi selanjutnya? aku tidak tahu. Tapi aku punya firasat, bahwa hari-hari yang akan datang tidak akan sama lagi. Retakan itu, perlahan tapi pasti, akan terus membesar Dan aku, entah mengapa tidak memiliki kekuatan untuk menghentikannya.

Apa yang terjadi nanti jika Tania bertemu dengan Hendra, ak kan bersikap bagaimana? ikuti terus ceritanya pembaca yang budiman, biar aku bisa terus update cerita ini sampai tamat. Terimakasih

BAB 2 Titik Balik

Siang itu, apartemen terasa begitu sepi setelah kepergian Mas Satria. Keheningan yang menyesakkan, hanya sesekali diselingi suara hembusan angin dari luar jendela. Aku memutuskan untuk membersihkan apartemen, berharap kesibukan bisa mengusir pikiran-pikiran kalut yang berputar di kepalaku. Setiap sudut yang kusentuh, setiap benda yang kurasakan, seolah memicu ingatan akan kebersamaan kami. Foto pernikahan yang terpajang di nakas, dua cangkir kopi yang selalu kami gunakan untuk sarapan, bahkan deretan buku di rak yang sebagian besar adalah koleksi Mas Satria. Semuanya terasa seperti peninggalan dari masa lalu yang tak akan kembali.

Aku menyapu lantai ruang tamu, pandanganku terhenti pada bantal dekorasi yang tadi malam ku pegang. Bantal itu masih berbau samar parfum Mas Satria. Sebuah aroma yang dulu selalu membuatku merasa aman, kini hanya menimbulkan rasa hampa. Aku menyingkirkan bantal itu dengan sedikit kasar, seolah ingin membuang semua kenangan yang terikat padanya.

Pukul tiga sore, ponselku berdering. Nama Mas Satria tertera di layar. Aku mengangkatnya dengan sedikit enggan. "Hallo, Sayang," sapanya ceria. "Aku dijalan pulang nih. Pak Hendra sudah selesai main golf, jadi kami mau langsung ke apartemen." ucapnya di ujung telepon.

Jantungku berdesir. Hendra. Nama itu, entah kenapa selalu berhasil memicu reaksi yang berbeda di dalam diriku. Sebuah campuran antara rasa penasaran, sedikit gugup, dan entah mengapa semacam harapan. "Oh, ok, Mas. Mau kubuatkan minum apa nanti?" tanyaku, berusaha terdengar biasa. "Apa saja, Sayang. Terserah kamu. Aku mau ganti baju sebentar, keringetan banget." jawabnya kepadaku. "Siap," ucapku dengan hati berdebar.

Panggilan terputus. Aku menatap ponsel di tanganku. Mengapa aku merasa gugup? Bukankah ini hanya pertemuan biasa antara teman dan sahabat? Aku menghela nafas panjang, mencoba menenangkan diri. Ada yang salah dengan diriku. Aku tahu itu. Aku segera bergegas ke dapur. Memutuskan untuk membuatkan es teh lemon dan beberapa camilan ringan. Saat memotong lemon, tanganku sedikit gemetar. Mengapa aku jadi seperti ini? perasaan bersalah semakin menghimpit.

Tidak lama kemudian, suara bel pintu terdengar. Aku segera membuka pintu. Mas Satria berdiri di sana, senyum lebar terlihat di wajahnya yang agak memerah, karena terpapar matahari. Disampingnya, Hendra berdiri dengan senyum khasnya yang selalu menawan. Mengenakan kaos polo berwarna cerah dan celana pendek, dia terlihat jauh lebih santai daripada Mas Satria.

"Hai, Sayang!" Mas Satria mencium keningku. "Sudah lama nunggunya?" tanyanya kepadaku. "Nggak, kok, baru juga selesai siap-siap," jawabku, tersenyum padanya, lalu aku mengalihkan pandangan pada Hendra. " Hai, tania," sapa Hendra, matanya berbinar. " Wah, makin cantik saja nih istrinya Satria. Benar-benar beruntung banget kamu, Satria punya istri seperti tania." ucapnya sambil menepuk pundak mas Satria. Pujian itu, lagi-lagi membuat pipiku sedikit memerah. Jantungku berdetak lebih cepat. Aku melirik Mas Satria, yang hanya tersenyum bangga. Dulu, pujian seperti itu akan membuatku merasa sangat dicintai oleh Mas Satria, tapi kini, rasanya justru terasa aneh, karena datang dari Hendra, sahabat suamiku. "Bisa saja, pak hendra," kataku, mencoba tertawa kecil. "Silahkan masuk, " ajakku kepada kedua laki-laki tersebut.

Mereka berdua masuk. Mas Satria langsung menuju kamar untuk berganti pakaian, sementara Hendra duduk di ruang tamu. Aku meletakkan nampan berisi minuman teh lemon dan camilan di meja. "Makasih ya, tania. Kamu repot- repot saja," kata Hendra sambil mengambil es teh lemon. "Nggak repot kok, Pak Hendra. Biasa saja," jawabku, duduk di sofa seberangnya. Kami terdiam sesaat. Lalu Hendra memulai percakapan. "Satria cerita katanya kamu lagi suntuk ya belakangan ini?" tanyanya, suaranya terdengar lembut. Aku sedikit terkejut. Mas Satria bercerita tentangku pada Hendra? "Eh, nggak juga sih, Pak. Biasa saja," jawabku mencoba mengelak. "Jangan sungkan, kita kan sudah kayak keluarga sendiri, kalau ada apa-apa cerita saja, siapa tau aku bisa bantu," katanya, menatapku dengan tatapan hangat. Tatapan itu, entah mengapa, membuatku terasa nyaman sekaligus gelisah. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang berbeda dari tatapan Mas satria. Tatapan hendra, terasa lebih dalam, lebih memahami.

"Kadang memang begitu, Pak Hendra. Pekerjaan Mas Satria banyak, kami jadi jarang ngobrol," aku akhirnya mengakui, setengah berharap dia bisa mengerti. Hendra mengangguk pelan. "Iya, Satria memang gila kerja. Tapi kan harusnya ada waktu juga buat istri. Kamu harus ingatkan dia, Tania," ucap Hendra, sambil memandang lekat kearahku. Aku hanya tersenyum tipis. Bagaimana bisa aku mengingatkan Mas Satria, jika aku sendiri sudah tidak yakin dengan apa yang aku inginkan. "Pasti dia sayang banget sama kamu, ya tania," lanjut Hendra, seolah membaca pikiranku. "Kadang cowok memang begitu. Saking fokusnya sama satu hal, jadi lupa sama yang lain." dia berkata lembut dengan senyumnya yang menghanyutkan.

Obrolan kami mengalir begitu saja. Hendra bercerita tentang pengalamannya travelling ke berbagai negara, tentang makanan-makanan aneh yang pernah dia coba, dan tentang kelucuan yang sering terjadi di kantor. Setiap ceritanya selalu diselingi tawa dan ekpresi wajah yang menyenangkan. Aku merasa nyaman sekali mengobrol dengannya. Untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, aku merasa benar-benar hidup. Aku tertawa lepas, merespon setiap leluconnya, dan bahkan ikut menambahkan beberapa cerita dari pengalamanku sendiri. Tak terasa, Mas Satria sudah bergabung dengan kami. Dia terlihat lebih segar setelah mandi.

"Wah, asyik banget ngobrolnya!" serunya, duduk disampingku. "Iya dong, Mas. Ini Pak Hendra cerita banyak hal lucu," kataku, masih tersenyum. Melihat kami berdua tertawa bersama, Mas Satria pun ikut tersenyum. Tapi aku bisa merasakan, ada sedikit kerutan di dahinya saat dia memandangku dan Hendra bergantian. Atau itu hanya perasaanku saja?

Sore itu, suasana di apartemen memang terasa lebih hidup. tawa kami mengisi ruangan, obrolan kami tak ada hentinya. Hendra memang pandai mencairkan suasana. Dia selalu punya cara untuk membuat orang sekitarnya merasa nyaman. Saat Hendra pamit pulang, Mas Satria mengantarnya sampai ke depan pintu. Aku mengikutinya. "Makasih ya, Tania, makanannya enak banget. lain kali kalau boleh, aku main kesini lagi, ya, kalau aku rindu masakanmu," kata Hendra, tersenyum padaku. "Sama-sama, Pak Hendra. Pasti", jawabku, balas tersenyum. Dia menatapku sejenak, tatapannya hangat dan penuh arti. Lalu dia mengalihkan pandangannya pada Mas Satria, menepuk pundaknya." Satria, jaga baik-baik istrimu, permata seperti dia banyak yang suka, jangan sampai kamu menyesal lo, kalau ada yang merebut dia dari kamu,"ucapnya membuatku terkejut. Mas Satria tertawa." Pasti dong, Hendra."

Setelah Hendra pergi, keheningan kembali menyelimuti apartemen. Kali ini, rasanya lebih berat daripada sebelumnya. Aku merasakan gejolak aneh di dalam dadaku. Ada perasaan campur aduk, sedikit senang, sedikit bersalah, dan sedikit cemas. "Hendra memang selalu bikin suasana jadi ramai ya," kata Mas Satria, memecah keheningan. Dia tidak menatapku, melainkan ke luar jendela. Aku hanya mengangguk. "Dia memang orang baik," lanjut Mas Satria. "Selalu perhatian sama orang lain." Ada nada suara yang sulit kuartikan dalam suaranya. Aku menatapnya. Wajahnya terlihat datar.

"Kenapa, Mas?" tanyaku, memberanikan diri. Mas Satria menoleh kepadaku. Matanya menatapku lurus. "Ngga apa-apa. Cuma... kamu terlihat lebih ceria kalau ada Hendra." Jantungku langsung mencelos. Keterkejutanku pasti terlihat jelas di wajahku. "Maksud Mas apa?" tanyaku, pura-pura tidak mengerti. "Ya, kamu taulah. Kamu kan jadi banyak senyum, lebih banyak ketawa," katanya, nadanya sedikit lebih dingin dari biasanya. "Aku senang kok kalau kamu senang. Cuma... aneh saja. Kan Hendra sahabatku, bukan suamimu." Kata-kata nya menamparku. Sebuah kebenaran yang tak bisa ku, bantah, namun begitu menyakitkan untuk didengar. Aku terdiam, lidahku kelu, rasanya seperti ada tangan kasat mata yang mencekik tenggorokanku.

"Aku....aku tidak bermaksud begitu, Mas," kataku terbata. "Aku cuma....senang saja ada teman ngobrol."

Mas Satria menghela nafas panjang. Dia memalingkan muka lagi ke jendela. "Sudahlah, aku mau tidur sebentar. Aku capek." Dia berjalan menuju kamar tidur, meninggalkan aku sendirian di ruang tamu yang kembali sunyi. Aku terduduk lemas di sofa. Kata-kata Mas Satria berputar-putar di Kepalaku. Dia menyadarinya. Dia menyadari perubahan dalam diriku. Dan yang lebih buruk, dia mengaitkan dengan Hendra. Rasa bersalah yang tadi sempat sedikit terobati oleh kebersamaan dengan Hendra, kini kembali menghantamku dengan kekuatan penuh. Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Apakah ini awal dari sebuah masalah yang lebih besar? Apakah Masih Satria mulai mencurigai sesuatu?

Malam itu, tidurku tidak nyenyak. Setiap kali aku memejamkan mata, wajah Hendra dengan senyum menawannya dan tatapan hangatnya muncul di benakku. Lalu, disusul oleh wajah Mas Satria yang datar, dengan nada dingin yang terlontar dari bibirnya. Aku merasa terpecah belah. Disatu sisi, aku merasa berdosa karena perasaanku yang mulai menyimpang. Disisi lain, aku merasa Mas Satria sendiri yang telah menciptakan celah itu, dengan jarak dan rutinitas yang monoton dalam pernikahan kami

Aku tahu, apa yang terjadi sore itu adalah sebuah titik balik. Sebuah alarm. Apakah aku akan memilih untuk memperbaiki retakan yang sudah ada, atau justru membiarkannya semakin membesar dan menghancurkan semuanya? aku tidak tahu jawabannya. Yang jelas, malam itu, aku merasa semakin tersesat, dan jalan pulang semakin jauh.

Apa yang akan terjadi selanjutnya, ikuti terus kisahnya Tania, Satria dan Hendra. Apakah Tania akan memilih mengejar cintanya ataukah mempertahankan pernikahannya. Bab selanjutnya akan lebih seru, ikuti terus ya Pembaca yang Baik Hati.

BAB 3 Kebimbangan

Apartemen kami kembali pada rutinitasnya. Mas Satria sibuk dengan pekerjaannya, dan aku berusaha mengisi hari-hariku dengan kegiatan yang bisa mengalihkan perhatianku. Namun, bayangan Hendra dan percakapan kami sore itu terus menghantuiku. Aku merasa bersalah pada Mas Satria, tapi disaat yang sama, aku tidak bisa memungkiri bahwa ada sesuatu yang berbeda dalam diriku setiap kali aku berada di dekat Hendra.

Suatu malam, saat aku sedang membaca buku di ruang tamu, Mas Satria tiba-tiba duduk di sampingku. Dia terlihat lelah, tapi ada sesuatu yang berbeda di matanya. "Sayang, katanya, suaranya lembut." Aku minta maaf. " Aku menatapnya bingung. "Maaf untuk apa, Mas?" tanyaku penuh selidik. "Untuk sikapku beberapa hari yang lalu. Aku tahu, aku sudah membuatmu tidak nyaman. Aku terlalu fokus pada pekerjaanku, sampai aku lupa bagaimana caranya menjadi suami yang baik." Aku terdiam, Kata-katanya menyentuh hatiku. Aku tahu dia tulus, tapi aku juga tahu bahwa masalah kami tidak sesederhana itu.

"Mas.. aku juga minta maaf," kataku akhirnya. "Aku juga tidak tahu, apa yang terjadi kepadaku. Aku merasa... kesepian." Mas Satria meraih tanganku. "Aku tahu, Sayang. Aku janji, akan berusaha lebih baik lagi. Kita akan menghabiskan lebih banyak waktu bersama. Kita akan melakukan hal-hal yang dulu sering kita lakukan." Aku tersenyum tipis. Aku ingin percaya padanya, tapi aku tidak yakin, apakah itu cukup. Ada celah yang terlalu lebar di antara kami, dan aku tidak tahu apakah kami bisa menutupnya kembali.

Keesokan harinya, Mas Satria mengajakku makan malam di restoran favorit kami. Kami tertawa, bercerita, dan untuk sesaat, aku merasa seperti kami kembali seperti dulu. Tapi kemudian, Mas Satria menyebut nama Hendra. "Sayang, aku ingin memberi kabar, Pak Hendra bilang, dia akan pergi ke luar kota untuk beberapa minggu," katanya. "Ada urusan pekerjaan. " Jantungku berdebar. Aku berusaha menyembunyikan reaksiku. "Oh, ya? Kapan dia berangkat?" tanyaku mencoba sebiasa mungkin. "Minggu depan. Dia bilang, dia akan merindukan kita." Aku mengangguk, tidak tahu harus berkata apa. Aku merasa lega, karena Hendra akan pergi, tapi disaat yang sama, aku merasa kehilangan.

Setelah makan malam, Mas Satria mengajakku berjalan-jalan di taman kota. Kami bergandengan tangan, menikmati udara malam yang sejuk. Aku berusaha menikmati momen itu, tapi pikiranku melayang pada Hendra. Aku membayangkan wajahnya, senyumnya, dan tatapan matanya yang hangat. Aku tahu, aku harus menghentikan perasaan ini. Aku tidak boleh membiarkan diriku jatuh terlalu dalam. Tapi semakin aku berusaha, semakin sulit rasanya. Aku merasa seperti ada dua orang yang bertarung di dalam diriku. Yang satu ingin setia pada Mas Satria, dan yang satu lagi ingin mengejar sesuatu yang tidak seharusnya kuinginkan.

Malam itu, aku tidak bisa tidur. Aku terus memikirkan Mas Satria, Hendra dan masa depan kami. Aku tahu, aku harus membuat keputusan. Aku tidak bisa terus hidup dalam kebingungan ini. Tapi aku tidak tahu, keputusan.apa yang harus ku ambil, aku takut menyakiti Mas Satria, tapi aku juga takut kehilangan diriku sendiri. Aku menatap Langit-langit kamar, air mata mengalir di pipiku. Aku merasa tersesat, sendirian, dan tidak tau harus berbuat apa. Aku hanya bisa berharap, , suatu hari nanti, aku akan menemukan jalan pulang.

Pembaca yang baik, terlihat bagaimana sikap Tania, yang tidak bisa melupakan Hendra walaupun telah dicoba. Apakah Tania bisa melupakan, wajah tampan Hendra? pantau terus cerita selanjutnya, jangan lupa tonton terus kisah selanjutnya..

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!