JEPIT RAMBUT JIMAT PENERUS TITISAN DEWI KENTRING
Desa Ranca Codet, Tahun 1999.
Malam itu, suara denting dari lonceng delman yang terbuat dari kuningan beserta deru roda kayu yang dilapisi ban karet menggerus jalanan tanah berbatu. Kusir delman memacu kendaraannya dengan wajah serius hingga alisnya saling bertaut begitu dekat.
"Wan, lebih cepat lagi istriku sudah tidak tahan." panik Leman
"Ini juga udah dipacu Man, jalanan licin karena hujan. Daripada delmanku terjungkal ke jurang."
"Kangmas, aku gak tahan... Uughh saakiitt mas... sakitt!" teriak Nunung memegang perutnya yang membesar.
"Tahan mba, sebentar lagi kita sampai di klinik." ucap Wawan tatapannya kian fokus menatap ke depan.
"Tarik napas dek, terus buang. Ayo ikuti mas."
Di tempat lain.
Angin bertiup kencang menerbangkan kain-kain gorden di sebuah bangunan tua yang ada di tengah hutan. Suara gemerisik angin menderu dan dedaunan bergoyang saling bertubrukan menambah ketegangan memenuhi udara dalam bangunan itu.
"Denok... Cucuku akan lahir hari ini. Penuhi janjimu cahyu... " suara bisikan dari perempuan tua memenuhi ruangan, tentu saja hanya Denok yang mendengarnya.
Denok terkesiap, ia menegakkan punggungnya lalu berdiri dan melangkahkan kaki dengan beban berat di pundaknya, ia menyiapkan peralatan untuk membantu proses persalinan.
"Risma, vera bantu aku! sebentar lagi ada pasien penting akan datang ke sini." titah Denok.
Kedua anak buah Denok saling pandang, karena sudah hampir dua bulan klinik bersalin itu sepi tanpa pengunjung. Tidak ada orang yang memeriksa kandungan, memasang alat kontrasepsi atau imunisasi. klinik hanya di datangi orang yang akan menjalani proses menggugurkan kandungan. Itu pun dua bulan lalu, setelahnya klinik itu selalu sepi.
"Bagaimana dia tahu akan ada pasien yang mau melahirkan?Sejak tadi telepon tidak berdering, apa jangan-jangan dia punya firasat?" bisik Vera.
"Mungkin, nyi Denok kan aneh lihat aja setiap sudut di sediakan kopi pahit dan bunga tujuh rupa." jawab Risma.
"Apa yang kalian bicarakan!" suara Denok menggema, tiba-tiba wajah Denok sudah di depan Risma dan Vera.
"I-ibu bidan!! Tidak ada Bu, tidak ada." jawab Risma gugup.
Mereka berdua saling cubit, Wajahnya memucat.
Suara lonceng delman kian terdengar, Denok menyambutnya di depan pintu dengan wajah tersenyum.
"Selamat datang Nyimas kanjeng." ucap Denok seraya membungkukkan tubuhnya dengan tangan menangkup di depan dada.
Udara dingin berhembus kencang memasuki pintu, seperti ada energi kuat dan kental akan dunia mistis memasuki ruangan. Suara derap langkah menghantam lantai dengan keras, namun tidak ada sosok yang terlihat. Hanya Nyi Denok yang mampu melihat dan memberikan hormat.
Delman terhenti di halaman klinik yang memiliki penerangan terbatas. Turun dari atas delman dengan tergesa sepasangan suami istri. Sang istri sudah terlihat sangat lemah, Leman memapah istrinya hingga ke depan pintu. Selanjutnya ia serahkan kepala Nyi Denok.
"Kalian pulanglah, Nunung tidak akan kembali. Kantung hijau di bawah jok delman untukmu Wawan, dan kantong merah sudah aku letakkan di dalam rumahmu Leman." suara perempuan tua itu kembali terdengar. Suara yang ditujukan untuk Wawan dan leman.
"Nyai... Tidak bolehkan saya membawa pulang istri dan anakku?" ucap Leman gugup dan gemetar.
"Hahahah... Dasar manusia, kalian serakah. Dia bukan anakmu, tapi dia adalah cucuku, milikku bukan milik kalian."
"Nyai, a-aku bersedia merawat dan menghamba pada cucumu. Ijinkan aku merawatnya." bujuk Leman.
"Pulanglah kalian!" bentak sosok yang dipanggil Nyai oleh leman. Kedua pria itu lari terbirit-birit menaiki kembali delman mereka.
Di kasur persalinan, Nunung berteriak kesakitan dengan suara yang memilukan. Denok dengan sigap membantu mendorong perut Nunung secara perlahan dengan tiupan angin yang sudah ia sematkan mantra-mantra.
Beberapa orang yang tidak kasat mata menyaksikan proses kelahiran tersebut, mereka ikut merasakan linu sekujur tubuhnya mendengar rintihan dan teriakan Nunung.
Setelah dua jam terlewati... "Oaakk... Oaakk... Oaakk...!!" suara tangisan bayi perempuan terdengar.
Bayi yang cantik dengan tanda berwarna putih di area punggungnya.
Risma dan Vera seakan terhipnotis oleh suasana, mereka hanya diam tanpa bersuara ikut membantu persalinan, meskipun di hati kecil mereka bertanya-tanya, siapa bayi merah ini mengapa kelahirannya begitu spesial hingga bidan kepala di klinik itu begitu hormat dan penuh kasih sayang pada sosok bayi itu.
Mobil ambulance terdengar di halaman depan. Jenazah Nunung segera di pindahkan ke dalam mobil untuk segera di lakukan pemandian juga penguburan secara layak.
Keesokan harinya...
Sebuah mobil Cadillac hitam memasuki halaman klinik, sepasang suami istri turun dengan seorang bayi berusia lima bulan. Mereka memasuki klinik dengan wajah sumringah.
"Mana bayiku, Nyi Denok." ucap Rangga.
"Ingat Rangga, aku titipkan dia padamu tidak gratis. Kalian harus menjaga dan menyayanginya hingga waktunya ia kami ambil kembali, jika ingkar... Anda akan menerima karma yang lebih dahsyat dari apa yang anda pikirkan." desis Denok.
"Tentu saja Denok, aku akan menjaganya seperti putriku sendiri." janji Rangga.
"Nyimas Ageng menamakan bayi itu Nilam Renjana. Dan berikan Jepit rambut Nyimas Dewi Kentring pada bayi itu setelah usianya lima belas tahun." pesan Denok.
Dengan wajah sumringah Rangga dan Ranti membawa bayi Nilam Renjana keluar dari klinik, bayangan kekayaan melimpah akan mewarnai kehidupan rumah tangga mereka.
💎💎💎
KS. Tubun, Tahun 2005
"Anak Wewe gombel... Nilam anak Wewe gombel!" seru anak-anak di lingkungan mereka tinggal, Nilam di arak anak-anak seusianya.
Hingga... Byuuurrr!! Nilam masuk ke dalam selokan karena di dorong oleh Rose.
"Rose, kamu jahat sekali!" Mariana panik melihat temannya masuk ke dalam selokan. Ia berusaha menggapai tangan Nilam untuk membantu Nilam naik dari selokan.
"Hei, kalian! Apa yang kalian lakukan pada Nilam!" teriak Bram.
"Bram! Kamu gak usah ikut campur ya, sana pergi!" rose mendorong Bram agar tidak membantu Nilam.
Bram balik mendorong rose hingga tubuh gadis berusia enam tahun itu terjungkal. Bram segera mengangkat tubuh basah kuyup Nilam dari dalam selokan.
Mariana dan Bram mengantar Nilam pulang, di halaman rumah... Rose sudah berdiri di samping Ranti sambil sesenggukan.
"Owhh jadi kamu yang mendorong putriku!! Dasar anak pungut!!" pekik Ranti lalu menarik tubuh kecil Nilam, ia memukuli Nilam dengan sendal kulit ke seluruh tubuhnya.
"Tante stop! Bukan Nilam yang mendorong Rose, tapi rose jatuh sendiri!" Bram menghadang Ranti hingga tubuh Nilam tertutupi oleh punggungnya.
"Minggir kamu gak usah ikut campur!" bentak Ranti sambil mendorong tubuh kecil Bram.
"Masuk kamu Nilam!" amarah Ranti semakin meledak-ledak.
Di dalam rumah, Nilam semakin di siksa dengan berbagai macam alat untuk membuat gadis kecil itu mengiba dan meminta maaf. Tangisan anak kecil itu semakin menyayat kalbu bagi siapa saja yang mendengarnya.
Malam hari, saat Nilam tertidur di lantai kamar mandi, ia merasa tubuhnya diguncang lalu bisikan halus terdengar. "Keluar nduk... Berjalanlah ke Utara... " bisikan itu bersuara lembut.
Nilam kecil mengucek matanya yang sembab, ia mengikuti arahan suara lembut yang terus memberikan instruksi. Hingga sampailah ia di sebuah bangunan berusia ratusan tahun yang di bangun dengan marmer hitam.
Kuburan tua yang ikonik dan megah dimana di sana terkubur sepasang saudagar tebu kaya raya tahun 1820, bangunan itu diberi nama Mausoleum OG KHOUW.
"Duduklah di lantai satu bangunan itu, nduk... Tunggulah para penjagamu akan menghampirimu." suara lembut itu terdengar kembali.
Setiap langkah kecil Nilam menimbulkan getaran pada lantai, angin berbisik kencang berputar pada satu titik, dinding batu bergetar seakan berderak dan berdenyut, ribuan wajah menempel di dinding berebut ingin melihat siapa yang hadir hingga sebuah altar sudah disiapkan dengan begitu teliti.
Nilam terduduk ditengah, hamparan marmer berbentuk kotak itu seumpama altar yang siap menyambut titisan sang penguasa.
Perlahan cahaya berpendar berwarna keemasan hingga terang benderang. Wajah kecil Nilam mendongak menatap cahaya yang menyorotnya dari atas langit.
Kabut putih turun dengan cepat memenuhi ruang bawah tanah yang kini hanya ada tubuh ringkih dan kecil seorang Nilam. Wajah kecil itu memucat saat di depannya kini berdiri sosok perempuan cantik dengan memakai baju kerajaan berwarna hijau, mahkotanya dihiasi batu-batu sapphire dan rubi, rambutnya terurai indah hingga semata kaki. Sosok itu tersenyum pada Nilam lalu tangannya terulur untuk menyambut tangan mungil Nilam.
"Sini nduuukk... Cahyuuku." lembut suara itu menggema seakan memeluk tubuh Nilam yang gemetar.
Perempuan cantik itu menimang Nilam dalam buaiannya yang hangat, mengajaknya berkeliling dan terbang di atas langit yang bertabur bintang dan bulan.
Hingga mata Nilam tertutup rapat dan mendengkur halus...
Satu Minggu telah berlalu...
"Nilam... Papa bawa boneka!" seru Rangga di depan pintu setelah melepas sepatunya.
"Pppp... Pa—pa... Ni—lam hi... Lang." gugup Ranti dengan wajah takut.
"Apa?!" kaget Rangga dengan melotot dan wajahnya tegang. Seketika kecurigaan menghantamnya, ia mendorong tubuh Ranti ke tembok. "Apa yang kamu lakukan Ranti! Kamu pasti menyiksanya lagi, iya kan?!" Rangga mencengkram leher atas Ranti hingga wajah perempuan itu memerah. "Kamu tanggung akibatnya jika kali ini anak itu diambil kembali oleh Nyimas!" Rangga menghempaskan tubuh Ranti ke lantai dengan mata yang memerah.
...Hai Readers, ini adalah karya terbaruku di genre horor komedi. Mohon dukungan like, komen dan subscribenya ya.. 🩷🩷...
...Happy Reading 🩷🫶...
Cairan merah mengalir di sudut bibirnya, ia menyeringai menampilkan taring tajamnya dengan wajah sumringah. "Oh Gosh! da rah anak itu sungguh nikmat." ucapnya seraya menarik tetesan yang tersisa dengan jari telunjuknya lalu ia ngemut ujung jarinya dengan mata merem melek. "Apa saja yang di makan orang-orang ini, kenapa rasa da rah nya berbeda." gumam Albert.
"Huh! Dasar setan gak ada akhlak! Ini wilayah kekuasaan Togar, manusia itu jatah dia!" omel sosok yang terbungkus kain putih di bagian atas dan bawahnya diikat seperti permen.
"Apa urusanmu, siapa cepat dia dapat." ucap Albert masih berkeliling ke setiap sudut ruang jenazah.
Baru saja Albert ingin melesat, suara gaduh dari pintu terdengar.
Bruaakk!! Pintu kamar jenazah di buka paksa.
Seorang wanita memakai pakaian kerajaan berwarna merah dengan diiringi oleh para pengawal yang beraneka entitas masuk ke dalam.
"Amankan wilayah, hanya aku yang boleh menghisapnya sampai ia mengering." ucap wanita yang memakai baju berwarna merah.
Suara roda brankar terdengar akan memasuki kamar jenazah. Seorang calon jenazah sudah dimasukkan ke dalam peti pendingin oleh para petugas. Albert mengendus aroma darah yang segar dan nikmat karena calon jenazah itu masih perjaka tulen. "Amat sayang jika dilewatkan." desis Albert.
Tidak berapa lama, brankar kembali di masukkan ke dalam kamar jenazah. Namun lelaki yang tergeletak di brankar tersebut hanya di letakkan di meja pemandian oleh para petugas.
Suasana tiba-tiba hening, semua manusia yang ada di sana bergerak melambat hingga lama kelamaan mematung. Molekul debu berhenti di udara yang terdiam.
Putri kerajaan yang memakai baju merah itu meletakkan telapak tangannya pada kelapa calon jenazah. Menghisapnya dengan rakus semua energi tanpa sisa.
Sang putri memutari brankar dengan wajah meremehkan, merobek dadanya lalu memakannya dengan serakah. "Rangga, kamu tidak lagi layak menjadi hambaku. Kamu hanya pandai berjanji tapi lagi dan lagi mengingkarinya. Hukuman karma yang diberikan Dewi Kentring akan kau tanggung hingga tujuh turunan mu, Rangga." desis sang putri dengan wajah bengis, matanya berkilat merah dan telinganya mulai membentuk sudut lancip ke atas.
Suara langkah kaki menghantam lantai keramik dengan gerakan tergesa, suara isakan kian terdengar sayup hingga pintu ruang jenazah terbuka.
"Papaaaa... Papaa... huhuhu... Kenapa papa pergi tinggalin aku, huhuhu." Isak gadis cantik bermanik mata hazel, seragam putih abu-abu yang ia kenakan terlihat lusuh.
Semua makhluk yang tidak kasat mata di sana melihat dan menyaksikan betapa pilu tangisannya. Airmatanya mengalir bagaikan butiran embun yang terjatuh di dedaunan dan bercahaya diterpa sinar mentari.
Albert terkesima melihat sosok itu. Ia nyaris menghentikan napasnya karena debaran jantungnya lebih dulu ingin ia dengarkan. Setelah sekian lama, getaran itu bagaikan vibrator yang menyala karena terkoneksi tegangan tinggi.
"Dia... Apakah dia gadis yang kutunggu?" desah Albert.
Ucapan Albert mengusik salah seorang pengawal sang putri. Pengawal itu melesat dan kini berdiri di depan Albert dengan api yang menyala membungkus tubuhnya "Siapa kamu?!" bentaknya.
"Kamu tidak lihat jubah kebesaranku?! Setan bodoh!" maki Albert.
'Masa dia gak kenal aku sih! Di layar kaca saja aku dibuat beberapa episode, setiap hari raya kisahku seringkali di putar di saluran mereka.' gumam Albert dalam hati
"Cepat pergi dari sini atau kami akan hisap energimu hingga habis!" ancamnya.
Albert melayang di atas atap rumah sakit sambil tertawa sumbang, ia menatap tajam sang pengawal dengan tatapan remeh. Tangannya ia lipat di atas dada sambil pamer gigi taringnya yang berkilat.
"Aku tidak menganggu aktifitas kalian, silahkan lanjutkan. Aku memiliki kepentingan lain." desis Albert mencoba mengalah, karena buruannya sedang menunggu di dalam lemari pendingin jenazah.
Kali ini ia tidak boleh lolos, bisa menghisap darah perjaka tulen akan meningkatkan hidup dan peremajaan kulitnya semakin cepat, jaman sekarang sangatlah sulit mencari perjaka tulen, mereka melepaskan keperjakaannya dengan para LC, janda kesepian, terkadang wanita penghibur di warung kopi remang-remang.
Dan, gadis dengan bening airmata yang berkilauan tadi, adalah alasan lain yang membuat Albert terpaksa harus bertahan di sana.
Ia menggunakan kekuatan yang ia miliki dari sepasang matanya yang mampu menghipnotis, agar makhluk banaspati yang berdiri di depannya takluk dan membiarkan kehadirannya ikut menyaksikan yang terjadi di sana.
Banaspati memicingkan mata, senyuman asimetris terukir di wajahnya. "Aku akan biarkan kau hidup kali ini, namun... Jika kau menghisap darah gadis muda yang ada di sana. Kami akan menghancurkan kerajaan vampir mu!" desisnya.
Albert memuntahkan tawa secara spontan sambil membuang muka ke atas, menaikan dagu, menunjukkan kesombongannya, tapi lagi-lagi ia harus bersabar dan mengalah. "Baiklah... Aku janji!" ucapnya tanpa arogansi.
Banaspati melesat kembali ke kamar jenazah itu.
Albert melirik ke bawah, gadis bermata hazel itu sedang di keroyok oleh dua orang perempuan. Satu perempuan muda memakai seragam sekolah sama seperti gadis itu, satu lagi seorang wanita paruh baya yang belum begitu tua. Wanita itu akan menyandang status janda sebentar lagi, namun sayang yang diwariskan sang suami hanyalah kemiskinan.
Albert tersenyum sinis.
"Gara-gara kamu papaku mati, dasar gadis sia lan!! Pembawa si al! Belum cukup kamu merusak kebahagian kami, Hah!?" tamparan dan pukulan dari dua orang perempuan beda usia itu mendarat di tubuh sang gadis.
Buumm... Prangg !
Perempuan berpakaian putri mengeluarkan energi berwarna merah untuk melindungi gadis bermata hazel. Hingga kedua perempuan yang menyerang terlempar.
Gadis yang sejak tadi agresif pada gadis bermata hazel terlempar membentur tembok, sementara perempuan paruh baya itu mengejang di lantai karena lehernya di injak makhluk tinggi besar tubuhnya berbulu lebat dan wajahnya menyerupai kera.
"Hukum mereka tapi jangan membuatnya mati, mereka harus merasakan siksaan setiap hari." ucap sang putri kerajaan dengan nada kebencian.
Sang gadis bermata hazel memeluk tubuh wanita paruh baya itu, "Mama... Jangan begini, mama kenapa? Jangan tinggalkan Nilam maaa ... " teriak gadis itu.
"Suster!! Dokter!!" teriaknya dengan kencang.
"Rose! bangun, rose!" Nilam mengguncang tubuh Rose yang sudah mengeluarkan darah dari kepala dan mulut.
Tentu saja Nilam tidak melihat apa yang terjadi di ruangan itu. Dia tidak melihat bermacam entitas ada di sana dari yang bertubuh manusia normal hingga siluman berbagai bentuk.
Mata batin Nilam masih terkunci saat itu.
Albert berdecak gelisah melihat cairan berwarna merah itu berkilat dan menggugah seleranya. Telinganya memanjang dan meruncing di bagian sudutnya, tandanya ia sangat tergiur aroma cairan kental berwarna merah itu. "Hmm... sangat menggoda." desisnya.
Banaspati melesat lagi menghampiri Albert, "bukankah kau sudah berjanji tidak akan menganggu ritual kami? Atau aku... " banaspati memberi ancang-ancang untuk menyerang.
"Wait! Wait! Baik... Aku akan duduk tenang di sini. Nih lihatlah aku akan hanya melihat dari sini." Albert duduk di atas cabang pohon nangka yang tidak pernah berbuah karena menjadi halte para hantu dan siluman yang memiliki kepentingan.
Banaspati kembali berkumpul dengan pasukan sang putri, mereka berpesta dengan buruannya.
Sang putri menghisap energi biru dan kemudaan gadis yang sedang terkapar juga wanita paruh baya itu ia hisap kemudaannya hingga wanita itu semakin menua dan beruban, penampilannya kini tidak sesuai usianya.
Siluman yang memiliki lidah panjang dan menjulur, dengan gigi yang runcing, mengobrak abrik sudut segitiga diantara pangkal pa ha Rose, aroma anyir keluar, cairan yang penanda sikluk kewanitaan itu ia hisap tanpa sisa.
Makhluk berbulu dan berwajah seperti monyet dengan gembira menggagahi gadis itu hingga aroma ruangan menjadi tidak karuan.
Sementara Nilam masih berlarian memohon pertolongan pada siapa saja yang ia temui.
Pagi pun hadir, menyibak tabir gelap dengan segala peristiwa yang terjadi di ruang jenazah semalam.
Ranti, kini tergeletak di ruang ICU dengan alat-alat kesehatan yang menempel di tubuhnya, Rose juga masih tergeletak dengan kepala yang masih di perban dan tubuhnya penuh lebam dan aroma kewanitaan yang semakin berbau busuk.
Di kamar jenazah, tubuh Rangga sudah membiru dan membengkak, wajahnya hitam legam dengan mata terbelalak. Para modin mengeluarkan cairan ektra untuk melindungi diri mereka dari virus dan bakteri yang dikeluarkan dari cairan tubuh mendiang. Mereka memakai masker yang sudah di bubuhi parfum murni dari saripati bunga agar mengurangi aroma busuk yang memenuhi ruang jenazah.
"Padahal matinya baru semalam, kenapa baunya seperti ini sih!" keluh asisten modin.
"Hush! Lebih baik diam daripada membuka aib si mayit. Dosa sidik!" pesan kepala Modin.
Modin segera membalurkan parfum melati pada tubuh mendiang, lalu membungkusnya dengan kain kafan. Nilam berdiri lemah di depan kamar jenazah menunggu mendiang Papanya diurus dengan sempurna.
"Apa tidak ada keluarga lain yang bisa kamu hubungi, Nilam." ucap dokter muda yang berwajah tampan.
Nilam menggeleng, "tidak ada dokter. Setahuku, kami hanya hidup berempat tidak pernah ada keluarga papa atau mama yang datang ke rumah kami." ucapnya lirih.
"Nilam!" teriak Bram. Pemuda itu berlari bersama Mariana (Nana) menghampiri Nilam.
"Alhamdulillah kalian ke sini. Bram, Nana aku bingung banget... Hikks hikks." Nilam memeluk Mariana dan terisak di bahu sahabatnya itu.
"Aku sudah bilang papaku untuk membantu menyiapkan pemakaman papa kamu. Lalu bagaimana rose dan Tante Ranti?" tanya Bram.
"Mama... Hiikkss... Mama kena serangan stroke, rose mengalami gegar otak ringan dan sekarang sedang di rawat di ruang melati. Aku, aku tidak tahu apa yang terjadi dengan mereka, tiba-tiba saja angin kencang menghantam tubuh mereka dan menggulung mereka, Bram, Na... " tutur Nilam sambil terisak.
"Sudah... Sudah, kamu belum makan kan? Nih aku bawain kamu roti isi dan nasi cokot juga beberapa cemilan. Kamu tidak boleh sakit, Nilam." Bram mengusap bahu Nilam dengan lembut.
Mariana memapah Nilam untuk duduk di kursi ruang tunggu, membujuknya untuk mengisi perutnya.
Di sebuah Kamar Jenazah, Rumah sakit Pemerintah.
Para korban tawuran yang berjumlah sembilan orang sudah berjejer di sebuah ruangan IGD. Tiga orang dinyatakan meninggal di tempat karena sabetan benda tajam mengenai organ vital mereka, sementara enam orang lagi mengalami luka yang cukup parah namun masih bernyawa dan mendapatkan penanganan intensif.
Ketiga siswa yang sudah dinyatakan tidak bernyawa sudah di geser ke ruangan lain. Setiap detik sangatlah berharga, para medis pontang panting mencari kantung darah yang tersedia, orang tua korban sudah di hubungi pihak berwajib untuk segera mengenali anak-anak mereka.
Seorang pelajar yang menjadi ketua Genk tawuran itu masih terkapar dengan luka ringan di beberapa anggota tubuhnya, sementara di bagian kepalanya ia mengalami luka yang cukup serius.
Dia bernama Darrel Washington Tjokroaminoto.
Putra semata wayang dari pasangan Raden Santanu Tjokroaminoto dan Cleopatra, perempuan blasteran Amerika- Indonesia. Darrel tumbuh menjadi pemuda tampan, bertubuh tinggi dengan otot-ototnya yang mengeras karena sering dilatih untuk kepentingannya memuaskan nafsu akan tawuran dan balapan liar.
Setiap lima belas menit, brankar yang ditutupi kain putih keluar dari ruang IGD dan di pindahkan ke ruangan lain. Hingga akhirnya, total seluruh korban meninggal ada enam orang. Para pemuda belia itu sudah di jejer di ruang jenazah dengan berbagai luka.
Albert yang sejak semalam tertidur di atas pohon nangka terkesiap mengendus aroma cairan merah yang segar. Matanya memejam merasakan aroma itu memenuhi indera penciumannya. "Hmmm... Pesta di mulai." desisnya.
Dia berdiri dan berkeliling di ruangan itu, matanya tersita oleh bungkusan putih yang masih tergeletak di atas brankar. "Bukankah itu lelaki yang semalam meninggal? Kenapa aromanya busuk sekali, apa yang dia lakukan hingga membuat sang penguasa tanah Jawa itu marah besar?" gumamnya.
Nilam dan kedua sahabatnya masuk ke ruangan dengan wajah tegang.
"Bram, bukankah itu anak-anak Genk Rangers 10? mereka jadi korban tawuran!" pekik Nana
"Iya! Dimana Darrel... Si brenkzek itu! Semoga dia juga menjadi korban, biar dia tidak ganggu kalian lagi." geram Bram.
Albert menyimak obrolan para remaja itu dengan kening berkerut.
Seorang dokter muda mendekati Nilam bersama dengan Cahyo, papa Bram. "Nilam, pemakaman untuk papamu sudah siap. Lebih baik kita segerakan prosesi pemakamannya." ucap Cahyo
"Baik Pak Cahyo." jawab Nilam lemah. Nilam menatap dokter muda yang berdiri di depannya. "dok, aku titip mama dan saudariku. Selesai prosesi pemakaman, aku akan memenuhi pembayaran administrasi. Terima kasih dokter sudah bersedia menjadi penjamin kami." ucap Nilam dengan sopan.
Dokter muda bernama Megantara yang tertulis di papan namanya itu mengangguk, dengan tatapan yang sulit diartikan.
Ruang Jenazah kembali sepi, hanya ada Albert di pojok ruang. Ia memanggil mama dan papanya untuk segera merapat dengan cara telepati. Hanya butuh waktu sekian menit, kedua orangtuanya sudah hadir di sana.
"Kenapa kau memanggil kami di sini? Apa tidak ada tempat yang lebih baik selain di sini?" decak Natasya dengan geram, namun aroma anyir da rah membuat tubuhnya meremang. "Manusia-manusia dari jenis apa ini, mengapa aroma mereka berbeda sekali." ucap Natasya, matanya berbinar.
"Aroma rempah." ujar Albert tersenyum manis.
"Ah, dasar kalian! Otak VOC! dalam otak kecilmu itu hanya rempah dan minyak bumi." ketus Papa Albert.
Albert tertawa lebar, "Mom, Daddy... aku menemukan gadisku di sini. Tapi aku tidak ingin mencintainya dalam bayangan. Aku ingin seperti manusia normal yang bisa menyentuh dan melindunginya." ucapnya dengan tatapan yang penuh arti.
"Jadi kamu ingin 'memilih rumah' untuk menjadi inang kamu?" Natasya tersenyum dengan alis terangkat
Albert mengangguk, "Bantu aku mencari rumah yang cocok." pinta Albert.
Mereka membuka satu persatu para korban.
"Uughh... Dia sangat jelek Albert, giginya ompong!" tolak Natasya.
Albert membuka satu selimut lainnya.
"No! Dia terlalu pendek, dan... kudisan." Natasya bergidik.
Albert menyingkap lagi selimut demi selimut.
"Nah ini wajahnya lumayan... " seru Natasya.
"Wait, mam! Lihatlah 'aksesoris'nya, ugh... Masa sekecil itu." Albert menunjukkan mortir pemuda itu lalu di samakan dengan jarinya. Ia mengukur dengan kelingking, kepalanya menggeleng dengan tatapan prihatin.
"Aarrggkk... sepenting itukah?!" Natasya memutar bola matanya dengan malas sambil menggelengkan kepalanya dengan gaya dramatis.
Suara langkah kaki dan derit roda brankar kembali memasuki ruangan. Jenazah baru dari pemuda korban tawuran kembali di jajarkan di samping para rekannya. Para petugas meninggalkan ruangan setelah menurunkan suhu pendingin.
Albert menyingkap selimut pemuda itu hingga di bawah pinggulnya demi melihat 'Aksesoris' yang bagi Albert sangatlah fundamental, keluarga itu saling tatap dengan senyuman mengembang. "Yess!!" seru Albert seraya meninju udara dan memutar tubuhnya.
"Good luck my son!" seru Arnold lalu menempuh pundak putranya.
"Darrel." Albert mengeja nama yang terbordir di seragam sekolah pemuda itu.
"Welcome Darrel, I hope we can be good friends." sambutnya dengan mata yang berbinar seperti ribuan gemintang bersinar terang di manik matanya yang kelabu.
Di sebuah rumah mewah.
"Pah, Darrel sejak semalam tidak ada kabar. Mama sudah hubungi teman-temannya tidak ada yang bisa di hubungi." Cleo berjalan mondar mandir di depan suaminya yang duduk santai membaca koran.
"Tenang saja mam, anak buahku sedang mencarinya ke setiap sudut kota. Kamu terlalu memanjakannya mam, makanya dia seenaknya bergaul. Kalau kali ini dia terlibat tawuran lagi, aku akan membekukan semua kartu debitnya." ancam Raden Santanu Tjokroaminoto.
Dering telepon membuyarkan obrolan sepasang suami istri yang sedang menikmati sarapannya.
"Apa?! Di rumah sakit mana? Baik... Baik kami akan ke sana." wajah Santanu memucat dengan tangannya gemetar saat memasukkan ponsel ke saku celananya.
"Ada apa pah?" tanya Cleo.
"Da— Darrel... Di rumah sakit mam." gugup Santanu.
"Ap... " tubuh Cleo melemah dan luruh ke lantai marmer.
"Duh! Mam, tidak tepat sekali kamu pingsan sekarang. Ayo mam, kita harus segera ke rumah sakit." panik Santanu.
Cleo membuka matanya sedikit lalu berusaha mencari kekuatan dari pelukan suaminya. "Pah, firasat mama mengatakan... "
Santanu segera mengangkat tubuh istrinya keluar dari rumah dan segera melesatkan mobil mewahnya membelah jalan raya.
...🦇🦇🦇🦇🦇...
B e r s a m b u n g...
Mohon dukungannya untuk karya baruku ya sob, terima kasih 🩷🩷
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!