Suara burung hantu bergema di telinga gadis yang sedang rebahan, dengusan nafas terdengar diiringi decak kesal karena tak habis pikir dengan apa yang dilihatnya.
Safma menggigit kuku ibu jarinya, sungguh, gadis itu tidak habis pikir dengan berita yang lewat karena fyp di sosial medianya.
"Itulah alasanku tak ingin menjalin hubungan dengan manusia manapun sampai saat ini," membatin dengan raut wajah tak habis pikir dengan pengorbanan pemuda yang telah tewas akibat patah hati.
"Ini kalau aku ada disana sebelum kejadian, beda cerita pasti, beritanya jadi 'seorang turis asing ikut tewas saat menyelamatkan pria lokal yang ingin mengakhiri hidupnya', ikut mati konyol hem ..." Setelah bergumam seperti itu Safma menatap langit-langit kamarnya seakan menerawang dengan segala overthinking di kepalanya.
Satu hembusan nafas mengakhiri overthinking gadis itu, benar, karena dia sudah terlelap dalam tidurnya meninggalkan dunia nyata yang keras dan menjemput dunia mimpi dengan damai, baru beberapa menit tubuhnya seakan terkejut dengan sendirinya karena bermimpi terjatuh.
Matanya membuka perlahan lalu menutup kembali karena benar-benar sudah mengantuk.
Pagi harinya, mata cantik Safma terbuka perlahan menyesuaikan dengan cahaya yang masuk di netranya. Pandangannya menyapu segala penjuru ruangan dengan nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya.
"Kemana perginya guling ku?" Meraba-raba bed yang ditempati lalu melotot seakan memperjelas penglihatannya, "Perasaan sprei ku belum ku ganti, sprei model ini kapan aku belinya?" Monolognya bingung.
Garuk-garuk kepala seolah ada kutu padahal kebingungan melanda, Safma berjalan tak tentu arah.
"Sejak kapan kamarku jadi diatas? Ck, ini bukan kamarku eh. Kamarku di bawah tanah bukan di gedung apartemen, ini dimana?" Panik kini dirasanya, menggigit kuku menjadi jalan ninja nya.
Tiba-tiba saja ia teringat dengan ponselnya, gegas ia mencari dimana handphonenya berada, "Dimana ... Ah," matanya melebar.
Prokk prokk
Menepuk tangan berulang.
Sayang aku disini ... Sayang aku disini ...
Dering dengan suara dari semua member of Straykids yang ditunggu menggema ke segala penjuru.
Suara itu ternyata bersembunyi di dalam vas kosong, tersenyum samar. Diraihnya handphone kesayangannya lalu menghidupkan layar dan tampaklah screen lock sunset dengan fotonya.
Kaget bukan main, sungguh, sejak kapan ia berencana keluar negeri? Apalagi negeri C, pandangan Safma beralih ke tas kesayangannya. Saat dilihat ia bertambah kaget, bukti ia liburan ke luar negeri benar-benar adanya.
Tidak mau tahu, ia pun segera mandi dan sarapan, Safma berjalan ke dapur minimalis dan mulai menggoreng telor dua biji juga membuat sambal untuk bumbunya. Benar, rencananya Safma akan memasak telor sambalado, harum masakan benar-benar menggugah seleranya.
Sedikit takjub dengan isi lemari pendingin yang lengkap akan sayur mayur dan keperluan lauk pauk lainnya.
Setelah selesai menikmati masakannya dengan hikmat, entah ini mimpi atau bukan, yang jelas ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini, Safma mencari kamera dari hasil menulis novel seraya tersenyum lebar selama sedetik.
Bersiap dengan baju sederhana, Safma berniat berkeliling dengan puas. Safma akan mengabadikan segala momen yang ada dengan kameranya, tanpa terkecuali.
Dari pagi sampai malam hari, Safma benar-benar puas menjelajahi negeri C, mencicipi makanan halal yang ada, menapaki tempat wisata dengan wajah poker face andalannya walaupun hatinya sangat berbunga-bunga.
Saat memotret langit yang cantik dengan bulan dan bintang yang menambah keindahan langit malam ini, tiba-tiba ada bintang jatuh, tidak mau ketinggalan momen, tentu saja Safma mengarahkan bidikan kamera dengan wajah menampilkan senyum tipisnya.
Melihat hasil jepretannya, Safma tak mampu menyembunyikan senyuman sangat puas.
Kembali mengambil ancang-ancang untuk memotret langit, tiba-tiba saja ada angin malam berhembus dari kanannya. Membuat wajahnya tertutup rambut dan pandangannya jadi terganggu.
Menghela nafas kesal karena gagal memotret momen indah, merasa sedikit pegal, Safma merilekskan otot lehernya sampai terdengar bunyi...
Krekk krekkk
Dan betapa kagetnya ia saat memiringkan kepalanya ke kiri, pemandangan pria asing yang mencoba memanjat pagar jembatan dengan bahu bergetar.
Tanpa babibu, Safma menghampiri pria asing itu dengan berlari tergopoh-gopoh. Firasat buruk menyerangnya, debar jantungnya berdetak kencang.
Sesampainya ditempat tujuan, dengan nafas ngos-ngosan Safma memegang dadanya yang terasa sangat sesak. Menopang tubuhnya dengan membungkukkan badannya dengan tangan sebelah bertumpu pada lutut kirinya dan tangan sebelah kiri memegang dadanya.
"Sungguh, kamu berharga dan layak untuk hidup." Tahannya dengan nafas ngos-ngosan, ditambah memakai bahasa lokal karena Safma yakin bahwa yang mencoba mengakhiri hidupnya itu orang lokal. Masa bodoh dengan aksen suaranya yang mungkin terdengar aneh. Toh emang bukan orang sini.
"Percayalah, kamu berharga dan layak untuk hidup." Ulangnya dengan sedikit perubahan.
"Kamu tidak tahu apa yang kurasakan!" Lirih pemuda itu masih berusaha memanjat pagar jembatan.
Sedikit batuk, "Aku memang tidak tahu, yang ku tahu keberadaan aku di sini untukmu dan aku ingin membantumu." Rayu Safma mencoba mengambil celah.
"..."
Panick attack dan GERD Safma kembali kambuh sekarang diwaktu yang tak tepat. Ingin menangis rasanya, badannya gemetar juga merasa sesak.
Berdehem seraya mengatur nafasnya, "Aku peduli padamu dan aku tidak ingin kamu celaka ..." Rayunya dengan mencekal lengan pemuda asing itu.
Namun pemuda asing itu kekeuh berusaha melepaskan cekalan tangan Safma dengan bergetar, Safma yakin kekuatan pemuda asing itu sedikit melemah.
"Apa yang membuatmu ingin melakukan ini sodaraku? Butuh pelukan? Turunlah, dan peluk aku, menangislah sepuasmu jika itu akan membantumu lega, ayo River turunlah, kumohon ..." Rayunya lagi dengan wajah memohon, "Bersama-sama, kita bisa mencari solusi untuk masalahmu. Percayalah padaku, aku akan membantumu, kamu tidak sendiri."
Beberapa menit kemudian akhirnya pemuda asing itu mau turun walaupun dengan paksaan karena Safma langsung menariknya karena tak sabar ...
Pemuda itu berjongkok memeluk tubuhnya sendiri dengan bergetar, terdengar isak tangis memilukan. Sesakit itukah sampai pemuda itu menangis semenyedihkan itu?
Pandangan Safma melembut, "Sini peluklah aku, luapkan emosimu dalam pelukanku. Aku di sini untuk mendengarkan dan membantu sebisa yang aku bisa." Rayu Safma, sekali seumur hidup baru kali ini Safma merayu orang sampai seperti ini, persetan dengan gengsi, ini sangat genting dan penting dilakukan daripada mengedepankan ego.
Tak ada pergerakan, akhirnya Safma berinisiatif memeluk duluan dan ...
Grepp
Sepertinya pemuda itu sedikit terkejut dengan gerakan tiba-tiba yang Safma lakukan.
Tak peduli, Safma lebih mengeratkan pelukannya.
"Ayo, menangislah sampai kamu lega, setidaknya itu akan mengurangi rasa yang kamu rasakan saat ini walaupun sedikit," tangan Safma mengusap punggung dan kepala pemuda itu sayang.
Tangis pemuda itu kembali pecah dengan suara yang benar-benar memilukan, Safma menggigit bibirnya seraya memejamkan matanya erat merasa tak kuat dengan suara yang begitu memilukan di indra pendengarannya.
"Benar, menangislah ..." Lirih Safma setia menenangkan.
"Aku benar-benar bodoh ..." Lirih pemuda itu dengan suara bergetar pilu.
Safma tersenyum seakan mengiyakan walaupun tidak dapat dilihat oleh pemuda itu. "Kau memang bodoh." Batin Safma membenarkan.
"Aku benar-benar bodoh ..." Ulang pemuda itu entah sudah berapa kali.
Mendengar itu sebenarnya Safma sedikit tak enak karena membenarkan, mungkin sudah setengah jam mereka berdua berpelukan, ah tidak, lebih tepatnya Safma memeluk pemuda malang itu.
Sebenarnya jika boleh jujur, Safma merasa benar-benar pegal dan kesemutan ditubuhnya. Baiklah, lupakan itu dan fokus dengan pemuda asing itu sekarang.
Tiba-tiba keheningan melanda, hanya ada isak tangis pemuda itu yang menandakan tangisnya mereda.
Berfikir sejenak, Safma memberanikan diri untuk bertanya, "Hey, um, apa kau tertidur?"
Dirasakannya pemuda itu memberi respon dengan menggelengkan kepalanya.
Menepuk bahu pelan, kemudian Safma melepaskan pelukannya. "Ikutlah denganku!"
Pemuda asing itu mendongakkan kepalanya dengan wajah sembabnya akibat menangis yang entah sudah berapa lama yang jelas pasti sangat lama sampai terlihat menggemaskan eh. Tidak, menyedihkan.
Menghela nafas panjang, "Aku mengajak bukan memberi pilihan." Jelasnya. "Ayo!"
Tangannya meraih tangan pemuda itu dan mengalungkan lengannya di leher untuk menopang tubuh pemuda yang terbilang cukup jangkung itu.
Dari jauhan sangat terlihat jelas kejomplangannya, bagaimana tidak, Safma yang memiliki tinggi hanya 150 cm harus menopang tubuh pemuda asing itu dengan tinggi badan sekitar 185an cm.
Didalam mobil, suasana hening menyelimuti mereka berdua, pemuda asing itu terus saja menatap kearah jendela.
Sungguh, sejujurnya Safma sedikit bingung untuk memulai membuka percakapan diantara mereka berdua. Safma kurang pandai untuk hal itu.
Tersenyum tipis dan menghela nafas panjang, "Dunia memang selucu itu, untuk kita yang serius dan menaruh harapan besar," suara Safma memecah keheningan mereka.
"..." Masih setia menatap jendela, tanpa merespon apapun.
Melirik sekilas lalu kembali fokus menyetir, "Jangan terlalu dipikirkan, itu akan merusak mu lebih dalam, aku tidak bisa bayangkan apa yang kamu rasakan sekarang, tapi aku ingin kamu tahu bahwa kamu tidak sendirian." Memasang wajah serius, kemudian tangannya menepuk bahu pemuda itu seakan memberi semangat.
"..." Terdengar helaan nafas yang seakan sesak didengar ditelinga Safma.
"Benar, kebanyakan kata-kata bijak itu mudah diucapkan dan terkadang begitu sulit menjalaninya. Yah, seperti kalimat 'Tuhan saja pemaaf, masa kamu ngga.' CK, yang benar saja, kita ini manusia loh bukan Tuhan, bisa-bisanya kalimat itu menyamakan dan membandingkan kita dengan sang pencipta, gak masuk akal huh." Entah kenapa Safma terdengar malah seperti adu nasib.
Sadar akan ucapannya, Safma sedikit berdehem seraya tersenyum awkward, "Um, maksudku itu, em itu, yah itu, apa ya itu, em jangan bandingkan diri sendiri atau orang lain gitu. Eh, tidak, hidup dimulai dengan mencintai sang pencipta, diri sendiri dan kemudian orang lain seperti keluarga, nah baru orang asing, ya, kurang lebih begitu. Yang jelas percaya akan diri sendiri bahwa kamu bisa melewatinya dengan baik." Safma menggigit bibirnya karena sadar ucapannya belepotan.
Pemuda asing itu menoleh sebentar kemudian kembali memandang jendela, "Aku dikhianati oleh kekasih ku, tidak, mantan kekasihku. Dilukainya dan ditipu habis-habisan, hatiku hancur, cintaku hancur, kepercayaan ku hancur, perasaanku hancur, pikiranku hancur, semuanya hancur karena dia. Dia datang seakan menjadi obat ternyata sumber luka terhebat, aku tidak menyesal berkorban banyak hal untuk dirinya, yang ku sesali adalah aku jatuh cinta sedalam-dalamnya tanpa menyisakan sedikit untuk diriku sendiri. Aku terlalu buta dan tuli mencintainya tanpa peduli ucapan teman-temanku untuk berhati-hati. Aku benar-benar payah." Terlihat air mata pemuda itu menetes tanpa permisi, suaranya bergetar dan serak.
Safma meneguk salivanya susah payah, curhatan pria itu terdengar sangat putus asa dan sesak untuk didengar, "Apakah kamu sadar bahwa kamu beruntung setelah terlepas darinya?" Celetuk Safma.
"..." Masih memandang jendela, namun dengan mengernyitkan dahi yang ditangkap oleh sudut mata Safma.
"Bukan karena kamu bertindak seperti tadi, bukan, bukan, bukan, melainkan karena kamu sudah selamat untuk tidak sakit hati lebih dalam lagi, percayalah kamu berhak bahagia. Bila perlu buktikan kamu akan lebih sukses tanpanya, dan aku yakin kamu pasti bisa melakukannya." Senyum Safma diakhir kalimatnya.
Mendengar kalimat dari Safma, pemuda asing itu menoleh dan menatap mata Safma dengan tatapan kosong, "Apakah itu mungkin? Aku tidak memiliki apa-apa sekarang." Lirihnya.
"Tapi kamu punya semua yang kamu inginkan didalam diri kamu, tanpa perlu aku sebutkan apa bukankah kau sudah mengetahuinya? River percaya dirilah, temani aku yang sudah menaruh rasa percaya padamu untuk kebangkitan dirimu sendiri. Dengan kata lain, aku akan membantumu bangkit dan berdiri menginjak masa lalu mu itu."
Dan ya, obrolan pun terhenti, keheningan kembali melanda, hanya suara mesin mobil yang memenuhi indra pendengaran mereka.
Sesampainya di apartemen.
Safma terus saja menggandeng tangan pemuda asing itu posesif karena takut jika pemikiran untuk mengakhiri hidupnya dominan lagi. Lebih tepatnya jika pemuda asing itu kabur dan kembali melakukan tindakan konyol itu.
"Masuklah ..." Dengan lapang dada Safma mempersilahkan pemuda asing itu masuk ke apartemen minimalis nya.
"..." Pemuda itu benar-benar diam dari tadi, Safma jadi was-was jika itu mungkin bisa saja pemuda itu ingin mengakhiri hidupnya dengan benda tajam di apartemennya.
Overthinking Safma memang merugikan Safma sendiri.
Tangannya membawa pemuda asing itu ke sofa ruang tamu, "Duduk dan tenangkan pikiran mu juga perasaan mu, tetap lah disini aku akan kembali!"
"..." Dengan pandangan kosong menatap lurus tanpa bergerak sedikitpun.
Setelah kembali dari dapur dengan nampan berisi bubur ayam diatasnya. "Makanlah, aku tahu kau pasti lapar karena menangis dan bersedih, sayangi tubuhmu dulu sebelum jatuh pada orang lain. Bersama-sama, kita bisa melewati ini, Aku tidak akan meninggalkanmu sendirian ..." Menyodorkan semangkuk bubur dengan suwiran ayam yang sudah dipanaskan. "Baiklah, River ayo buka mulutmu akan ku suapi."
Lahap
Ya, itu yang ditangkap oleh indra penglihatan Safma, pemuda asing ini sangat lahap seakan tak pernah makan sebelumnya. Mana didukung dengan tubuhnya yang kurus, Safma jadi tak tega.
"Orang gila mana yang tega mencampakkan pemuda setulus dia." Prihatin Safma.
Setelah membereskan makanan pemuda asing itu, Safma kembali mengambil tempat duduk di sampingnya.
Uluran tangan Safma ajukan, "Oh ya, sebelumnya perkenalkan, namaku Safma asal Indonesia. Aku sedang liburan disini," Safma mencoba akrab dengan senyuman manis yang gadis itu tampilkan.
"Yang River."
"Yang River."
Mendengar itu Safma membelalakkan matanya lebar, apakah ini lelucon takdir?
"Yang River? Bagaimana mungkin, aku tidak percaya hal ini bisa terjadi. Maksudku, bagaimana bisa aku memanggilmu dengan nama aslimu yang bahkan aku sendiri tidak tahu hal itu. Sungguh, aku asal sebut namamu, kenapa bisa se plot twist begini?" Heboh Safma tak percaya.
"Aku juga kaget saat sadar kamu tahu namaku tadi."
"Hem," melirik River lalu tersenyum manis, "Aku rasa kamu lelah setelah meluapkan emosimu tadi, sini," menepuk pahanya yang sudah tergeletak bantal kecil, "letakkan kepala kamu disini dan tidurlah."
Wajah pemuda itu sangat terlihat jelas menampilkan raut kelelahan, keputusasaan dan ketidakmampuan untuk melewati ujian yang dia alami sekarang ini.
Tak ada pergerakan, entahlah, Safma merasa River mungkin merasa tidak nyaman dan asing ya walaupun memang situasinya benar begitu. Yasudahlah, toh Safma sudah membuang gengsi dan jual mahalnya saat ini.
Safma bergeser mendekati dan mepet pada pemuda itu, tangannya terulur untuk menyentuh telapak tangan besar namun kurus itu. "Tidurlah di pangkuanku, aku tidak bisa menopang kepalamu di bahuku, kuyakin kau akan pegal dan itu juga jomplang karena selisih tinggi badan kita yang sangat jauh ini."
"..."
"River, aku tidak akan macam-macam, dan dengan kesadaran penuh aku mengakui aku pendek, em tidak, tidak, sebenarnya aku tidak pendek, melainkan orang-orang yang entah makan apa bisa tinggi-tinggi huh, jadi menurutlah." Rayu Safma.
Dan lihat, River menampilkan raut wajah seperti menahan tawa di wajah sembabnya itu. Benar-benar tak habis pikir di mata Safma.
"Kalau mau tertawa, tertawalah!" Safma kembali ke tempat duduk semula dengan bantal kecil yang masih setia di pangkuannya.
"Maaf," tiba-tiba pemuda itu memeluk Safma seraya mengucapkan kata maaf berulang kali.
Safma membalas pelukan hangat itu, "Sudah-sudah, sekarang tidurlah."
"..."
"Kamu ku maafkan," tambah Safma.
Mata River yang sudah terpejam kembali terbuka dan langsung bertubrukan dengan tatapan Safma, "Gadis mungil itu imut dan menggemaskan kau tau, bahkan awet muda." Celetuknya.
Dan mata Safma membalas lontaran itu dengan berkedip beberapa kali seakan mencerna apa yang baru saja dikeluarkan oleh River, setelah sadar dan paham, Safma berdehem untuk mengusir awkward diantara mereka. "Tidurlah, mentari pagi ingin menyambutmu esok." Tahu Safma dengan mengusapkan puncak kepala River berulang kali.
Terdengar dengkuran halus dan teratur dari River yang menandakan bahwa pemuda itu sudah terlelap. Mata Safma juga kian memberat dan akhirnya ikut tertidur pulas dengan posisi duduk memangku River.
Keesokan harinya
Safma terbangun dengan tubuh yang ia regangkan karena merasa pegal dan agak nyeri. Walaupun nyawanya belum terkumpul sepenuhnya, otaknya cepat tanggap untuk mengingat apa yang terjadi sebelumnya.
Gadis cantik dan manis itu berfikir, apakah semalam itu ia mimpi atau nyata ya. Jika bukan mimpi kenapa dia saat terbangun di kamar tidurnya bukan di sofa?
Lalu jika mimpi kenapa tubuhnya terasa sangat pegal sampai kebawa di dunia nyata. Setelah berpikir apakah dia mimpi atau tidak, akhirnya Safma bergegas menuju ke kamar mandi dan mandi kemudian mengganti baju dengan setelan kaos dan celana pendek yang ia beli 100 ribu dapat lima, walaupun murah tapi ia merasa nyaman.
Menuruni tangga menuju dapur, saat menginjak anak tangga keempat dari bawah, ia harus terhenti karena melihat pemuda asing tertidur di sofa ruang tamu miliknya.
Pemuda itu ...
Matanya menyoroti untuk beberapa saat, kemudian menghela nafas saat nyawanya benar-benar terkumpul. Senyum tipis ia cetak diwajahnya, kembali berjalan ke dapur secara perlahan agar tak membangunkan manusia yang terlihat lelap dalam tidurnya.
Sungguh, Safma tak menyangka bahwa kemungkinan besar River lah yang membawanya pindah ke tempat tidur lalu kembali tidur di sofa.
"Dia memang pemuda yang gentle, betapa bodohnya perempuan gila itu." Lirih Safma seraya tangan sibuk membuat sarapan pagi dengan seafood, nasi, dan lauk sederhana lainnya.
Saat makanan sudah hampir selesai dibuat, pemuda itu bangun dan menghampiri Safma. "Maaf aku bangun terlambat, ada yang bisa ku bantu?" Seraknya.
Tersenyum manis, "Mandilah, bajumu sudah aku siapkan di atas kasur. Setelah itu turun dan sarapan pagi bersama."
Masih berdiri tanpa bergerak sedikitpun.
"River, mandilah, kita akan makan setelah kamu melakukan hal yang aku katakan tadi." Putus Safma terdengar tegas.
Akhirnya pemuda itu mengangguk dan mengambil langkah untuk membersihkan tubuhnya.
Beberapa menit kemudian
River turun dengan pakaian yang sudah berganti menjadi pakaian rumahan yang begitu cocok dipakainya.
Safma kembali tersenyum tipis, "Ambil kursimu dan duduklah."
"Aku memasak ayam seafood, apa kamu suka?" Tambah Safma bertanya.
"Sangat suka," jawab River dengan sorotan mata berbinar-binar layaknya belum pernah makan-makanan ini.
"Syukurlah," lega Safma, "Silahkan dimakan apa yang kamu mau dimeja ini."
Mereka pun sarapan pagi dengan hikmat dan berselera, Safma jadi puas karena tidak merasa sepi saat makan sekarang.
Setelah membereskan sarapan, Safma bergegas mencuci piring kotor dibantu River yang memaksa untuk membantunya. Mau tak mau Safma pasrah saja dengan tindakan yang dilakukan oleh River.
Mereka kini kembali berkumpul di sofa, menonton televisi yang menampilkan kartun kesukaannya, mereka terlihat menikmati tayangannya dan sesekali terkekeh geli.
"Safma, terimakasih banyak." Suara yang begitu tulus terdengar ditelinga Safma.
Membuat Safma menoleh dan mendapati bahwa River juga sedang menatapnya intens.
"Sama-sama."
"Mungkin jika tidak ada kamu, ataupun jika tadi malam aku benar-benar melakukan hal itu, mungkin sekarang aku tinggal nama saja. Tidak bisa menghirup udara seperti sekarang ini juga menatap mata kamu seperti ini." River menggenggam erat tangan Safma.
Sedangkan Safma sendiri sedikit terkejut karena tangannya entah sejak kapan bisa berpindah ke genggaman tangan River.
"Kau memang layak untuk hidup, lagipula hidupmu terlalu berharga untuk diakhiri oleh dirimu sendiri bukan takdir. Lupakan masa lalu dan bukalah lembaran baru," Safma berusaha menyakinkan dengan bersungguh-sungguh.
"Benar, aku terlalu dangkal tadi malam."
"Em River, aku tidak tau jika mungkin aku berada diposisi mu ataupun situasimu sekarang ini apakah aku akan sekuat dirimu atau tidak, yang jelas, kamu itu terlalu berharga. Dan kamu tidak usah merasa sendiri, banyak orang dibelakang mu yang mendukung dirimu untuk masa depan cerah."
"Apakah aku seberharga itu?"
"Ya."
"Lalu kenapa orang tua ku tidak peduli padaku, kenapa mereka egois dengan berpisah dan menelantarkan anaknya?"
"Orang dewasa seperti mereka memiliki alasan sendiri juga sudut pandang yang sulit untuk kita pahami."
"Ya, dengan kata lain aku tak berharga bagi mereka."
"River."
"Itulah alasanku sampai di titik tadi malam," lirih River menunduk. "Orangtuaku berpisah dengan cekcok sebelum pengadilan mengabulkan permohonan mereka untuk bercerai, lalu wanita itu datang layaknya obat disaat terpuruk ku menyelimuti. Dia menghiburku, menyemangati ku, benar-benar membuatku merasa nyaman dengan kehadiran dirinya dalam hidupku, walaupun dia pertama kali datang lewat pesan singkat dan berakhir terjerat rasa ingin bersamanya." Sekali lagi terdengar tarikan nafas panjang dari River.
Safma masih setia diam dan mendengarkan curhatan pemuda itu dengan menatapnya dalam.
"Dia benar-benar dewasa menurut pandangan ku saat itu, begitu baik dan pengertian. Bagaimana pun juga dia lebih tua tujuh tahun dariku, jadi aku fikir dia memang memiliki sifat dewasa dan keibuan yang saat itu aku butuhkan karena memang aku butuh sosok seperti itu."
"Dan aku berfikir kami akan bersama, dengan itu aku memberikan segalanya untuk dia, uang gaji ku selama lima tahun terakhir. Aku bekerja banting tulang dari bangun tidur sampai tidur lagi, sampai beberapa kali mimisan karena memaksa tubuhku untuk bekerja hingga drop. Aku tidak suka sayuran tapi aku setiap hari memakannya, aku suka seafood tapi aku tidak sanggup membelinya."
"Hingga saat aku meminta kepada dia untuk membelikan aku seafood, dia meminta ku untuk beli sendiri, namun bagaimana bisa aku membeli itu jika aku saja tak memiliki uang. Ya, semua uang sudah aku berikan padanya, selama ini aku bertemu dengan dia 3 kali saat hari besar, itupun tidak bisa dikatakan jalan berdua."
"Aku tidak pernah mengambil dan meminta hal tak wajar dari dia, karena aku benar-benar mencintainya, perhatian dia lewat pesan dan telepon sudah sangat cukup bagiku. Aku juga memberinya modal usaha untuk kami berdua kedepannya setelah menikah, ya, aku sudah berfikir sejauh itu."
"Namun semua itu tak ada artinya saat aku mengetahui dari temanku bahwa dia sudah menikah seminggu yang lalu oleh pria yang mungkin lebih mapan dariku, pria yang lebih baik dariku. Puncaknya saat sore itu, aku menelponnya dan panggilan ke dua puluh tiga baru dia jawab, dan itu panggilan video."
Air mata sudah membanjiri pipi River, "Saat itu aku huh, aku melihat sendiri mereka sedang berbulan madu dan dia, dia mengangkat telponku saat mereka sedang melakukan hubungan badan. A-aku ... Aku merasa ..." Suaranya bergetar.
Dengan sigap Safma memeluk tubuh pemuda itu begitu erat seolah mencoba membiarkan pemuda itu menyalurkan kesedihannya lewat pelukan mereka.
Tangisan tadi malam pun kembali terdengar, lagi-lagi Safma menutup kembali matanya rapat, sungguh merasa tidak tega.
Tak terasa, lebih dari satu jam mereka masih diposisi River yang menangis dan Safma menenangkan.
"River ..." Panggil Safma lembut.
"Hum ..." Sahut River makin mempererat pelukannya.
"Terimakasih, kau sudah mau menceritakannya padaku." Tulus Safma.
"Aku yang seharusnya berterima kasih, dan aku juga berhutang nyawa padamu." River.
Safma melepaskan pelukan mereka, "Baiklah, masa lalu buruk lupakan, masa depan cerah rencanakan dan masa sekarang kita nikmati dulu masa muda kita." Menangkup wajah tirus River seraya mengusap air mata pemuda itu.
"Oke." Putus River.
"Karena anda orang asli sini, maukah anda menjadi tour guide saya? Saya ingin mencicipi makanan yang lezat disini." Semangat Safma dengan ucapan formal.
"Dengan senang hati nona," sahut River yang diakhiri tawa keduanya.
"Tunggu, aku ambil tas dulu." Dengan semangat Safma lari mengambil tasnya.
Beberapa menit kemudian ...
Di dalam lift, kebetulan hanya ada mereka berdua, River menoleh kearah Safma.
"Kamu yakin keluar seperti ini?" Heran River.
"Ya."
"Ga memakai dress atau makeup?" Heran River dengan gadis disebelahnya.
"Ya."
"Ya?" Bingung River mengulangi nada ucapan Safma.
"Ya, kenapa?" Sekarang ganti Safma yang heran.
"Biasanya perempuan selalu tampil all out ketika keluar, sodaraku begitu." Jelasnya.
"Hemat makeup, lagipula tidak ada yang mengenaliku disini." Acuh Safma.
"Ah benar," River menggaruk kepalanya yang terasa gatal tiba-tiba.
"Karena kita sama-sama suka seafood, misi pertama kita ke surganya seafood." Putus Safma berjalan keluar ketika lift terbuka.
Kini mereka berdua berada di dalam mobil, "Dimana?" Penasaran Safma memegang setir mobil.
"Tidak jauh dari sini," sahut River memasang sabuk pengaman.
"Baiklah," Safma menghidupkan mesin mobil dan menancapkan gas.
"Kamu tidak takut aku tipu?" Entah kenapa tiba-tiba River berkata demikian.
"Apa penipu berakting semenyedihkan itu seperti benar-benar dia telah merasakannya? Kenapa alami sekali," telak Safma.
"Em, apa jika ada pria atau perempuan lain seperti aku tadi malam kau akan melakukan hal yang sama?" Tanya River.
"Tentu."
"Kenapa?" Heran River.
"Aku tidak ingin melihat orang mengakhiri hidupnya sendiri dengan sia-sia, hidup terlalu berharga. Pasien rumah sakit berjuang membayar mahal untuk hidup, kenapa kita yang sehat harus mengakhiri hidup jika kemungkinan besar kita berumur panjang." Jelasnya.
"..."
"Mau mampir ke psikiater gak?" Tawar Safma.
"Sama kamu aja." Ambigu River.
Tidak mengerti, "Gimana?" Safma butuh penjelasan.
River tersenyum manis, "Tidak usah, sama kamu sama saja, sedikit lagi juga kita sudah sampai."
"Oke." Safma akhirnya mengalah.
Sesampainya di gerai yang menjual berbagai macam jenis seafood, membuat Safma tersenyum berseri-seri.
"Boss, saya mau yang ini, ini, ini, ini, ini dan yang ini." Tahu Safma pada sang penjual.
"Porsi makan mu banyak sekali," ceplos River tanpa sadar.
Mendengar itu Safma menoleh, "Kecil-kecil begini rakus juga tau." Kesal Safma, lalu fokus kembali pada surga dunia didepan mata.
"Eh ... Maaf," River tak enak.
"Tak masalah, kau orang yang ke seribu tiga yang bilang begitu." Santai Safma.
"Apa?" Tak percaya River atas kalimat Safma barusan.
Safma pun menggelar karpet diikuti River yang meletakkan makanan yang dibelinya tadi.
Setelah membeli makanan dan minuman yang dibelinya dari gerai tadi, Safma dan River kini duduk di taman dengan hamparan rumput hijau yang cocok untuk piknik.
Ya, Safma berfikir hari ini untuk mengadakan acara piknik dadakan yang sederhana. Begitulah sisi lain Safma, random, susah ditebak dan suka mendadak.
Kalau kata zodiak Safma, ya begitulah sosok karakter kelahiran February berzodiak Pisces.
Contohnya seperti dulu, saat masih duduk di bangku sekolah, Safma selalu mengerjakan PR saat hari h PR dikumpulkan padahal itu adalah tugas dua minggu lalu.
Pernah juga dia diberi tugas membawa pupuk dari kotoran ternak, dan baru bilang sama orang tuanya saat pagi hari dan itu hari h tugas dikumpulkan. Orangtuanya pun kalang kabut dan tak habis pikir, sedangkan Safma cengar-cengir ngerasa bersalah.
Mana pupuk dari kotoran ternak itu harus dikumpulkan hari itu juga, dan ga hanya sekilo, melainkan lima kilo.
Saat ibunya mengomeli sambil melotot, Safma mendekati ibunya dan berkata.
"Mak, jangan marah ih." Sambil cengar-cengir.
Bukannya redup amarahnya, sepertinya kekesalan sang ibu bertambah dengar celetukan anak tengahnya itu.
"Owalah, tugas minggu lalu kok bilangnya baru sekarang? Senengnya dadakan kamu ini." Gemas sang ibu berkacak pinggang yang dibalas senyuman tidak berdosa Safma.
Tapi untungnya tetangganya memiliki ternak dan tentunya memiliki barang yang dibutuhkan Safma.
Jadi omelan sang ibu pun berhenti namun tidak dengan pelototannya, sampai Safma menghilang dari balik dinding gang.
Balik lagi dengan Safma dan River.
"Anggap aja ini sebagai acara perayaan em ... Kemenangan kamu terhadap keputusasaan kamu kemarin dan juga hari jadi pertemanan kita. So, cheers!" Senang Safma menjulurkan sekaleng minuman soda untuk cheers bersama.
Dengan senang hati River menyambutnya, mereka tertawa bersama. Ya, sama-sama menertawakan masalah mereka masing-masing lebih tepatnya.
Jangan kalian pikir Safma tidak punya masalah, tentu saja ada. Karena saat ini ia masih bingung sebenarnya dengan keadaannya yang tiba-tiba bisa berada disini dan menyelamatkan pemuda yang ah, memikirkan hal itu membuat Safma nyut-nyutan kepalanya.
Pertanyaan yang masih setia dipertanyakan oleh Safma adalah, apakah ini mimpi atau nyata?
Lalu kenapa harus dia yang mengambil peran ini?
Apakah ada konspirasi dibalik ini semua?
Atau apakah ini social experiment?
Sungguh, orang dengan type pemikir seperti Safma sangat mudah membuat nyut-nyutan kepala.
Dan makan banyak adalah salah satu obat Safma, ya, memikirkan hal juga butuh energi bukan.
"Safma?" Kejut River dengan memegang tangan Safma yang menggantung didepan mulutnya.
Alhasil makanannya Safma terlepas dan jatuh karena refleks dengan kejutan tiba-tiba dari River. Masih linglung, Safma menunduk melihat makanannya sendiri yang sudah tergeletak tak berdaya di karpetnya.
"Hey, Safma!" Lagi-lagi River berusaha menyadarkan Safma kembali dari lamunannya.
Mendongakkan kepalanya menatap wajah bingung River, lalu menundukkan kepalanya menatap nanar makanannya sendiri lalu mendongakkan kepalanya menatap wajah River lalu menundukkan kepalanya lagi menatap nanar makanannya.
Safma melakukan hal berulang sampai saat ia sadar, langsung mengambil makanannya yang terjatuh tadi.
Dengan wajah cengar-cengir, Safma memakan makanannya tadi lalu menatap wajah River. "Sayang belum lima menit," dan akhirnya makanan yang terjatuh tadi habis dimakan Safma.
Sedangkan River sendiri memandang Safma dengan wajah tak bisa percaya bahwa didepannya ini jenis manusia macam apa kira-kira.
"Apa yang kamu pikirkan?" River menatap wajah Safma penasaran.
"Aku? Aku sedang memikirkan tentang konspirasi elite global." Nada bicara Safma memang sangat serius, tapi tidak dengan raut wajahnya.
"Sepertinya kamu yang lebih butuh psikiater," saran River bersungguh-sungguh.
"Benar." Tentu saja Safma setuju.
"Ya?" Tanya River mencoba menyakinkan pendengarannya.
"Sebenarnya tak hanya itu, aku butuh ahli gizi, ahli ilmu filsafat, ahli kesehatan, ahli publik speaking, ahli matematika, ahli hukum, ahli sejarah dan masih banyak lagi. Tapi, otakku tidak sampai untuk menampung itu semua, hah ... Apalah dayaku yang lagi mode freeze ini." Entah kenapa Safma merasa sangat lelah akan semuanya, mau menangis juga bingung mulainya dari mana.
Niatnya Safma ingin makan lagi, namun saat tangannya yang di sarungi plastik meraba tak menemukan makanan yang tersisa. Dan benar saja, saat menunduk untuk melihat, benar-benar sudah habis makanan untuk porsinya.
Sadar akan hal itu, Safma membuka sarung tangan plastiknya lalu membereskan bekasnya hingga rapi.
"Ceritakan masalahmu padaku, aku akan mendengarkan curhatan kamu seperti kamu mendengarkan curhatan ku." Tawar River terdengar tulus.
Mendongakkan kepalanya menatap wajah River untuk kesekian kalinya, Safma tersenyum lalu merebahkan tubuhnya yang entah kenapa benar-benar terasa sangat lelah.
Tangannya dilipat untuk dijadikan sebagai bantal, tiga kali Safma terlihat menghela nafas kemudian menatap langit yang bisa dibilang cerah untuk negara dengan empat musim.
Melihat hal itu, River ikut merebahkan tubuhnya di sebrang sana karena terhalang tempat makanan mereka.
"Sesungguhnya aku tidak pandai untuk publik speaking, aku tidak pandai untuk mengungkapkan apa yang ada dipikiran ku saat ini. Ucapanku suka belibet dan tak tertata rapi, apa yang aku ucapkan terkadang itu tidak sama dengan apa yang otakku pikirkan, orang sekarang bilangnya berkata random. Bahkan aku sendiri bingung dengan hal itu, jika kau sadar, ucapanku yang lalu-lalu itu terdengar aneh bukan? Aku akan bisa lancar berbicara tanpa belibet pada orang lain namun seperti berbicara pada diri sendiri seperti ini. Aku tidak tahu jelas awal mula aku mengalami hal ini, yang ku tahu dan sadari adalah saat ini aku memiliki hal itu." Mata Safma terpejam kala angin menerpa wajahnya.
"..." River diam mendengarkan dengan hati merasa tidak nyaman karena sepertinya akan membuka luka lama gadis di sampingnya.
"Aku adalah seorang korban bully selama duduk di bangku sekolah, dulu aku salah satu murid dengan otak encer, tapi semenjak aku kelas tiga sekolah dasar, aku sudah merasakan nikmatnya rasa dibully fisik dan verbal membuat pikiranku bercabang. Dan entah kenapa aku merasa pemikiran ku terlalu dewasa untuk usiaku, karena aku sadar bahwa aku dibully karena aku gadis miskin." Tersenyum pongah karena mengingat masa lalunya.
"..." River tetap diam, ingin mengeluarkan suara namun terasa kelu.
"Untuk fisik, kepalaku jadi sasaran empuk untuk digetok pakai cincin batu asli, juga kepalan tangan bocah laki-laki. Dan verbal, karena aku gadis miskin dengan nilai mata pelajaran tinggi diantara mereka jadi mungkin hal itu membuat mereka iri makanya mereka membully dengan kalimat yang tak pernah dibayangkan untuk diucapkan oleh anak sekolah dasar."
"Mereka juga tak segan menuduh hal yang aku sendiri tidak memahaminya kala itu, dan untuk pertama kalinya dalam hidupku pipiku ditampar begitu pelan sampai tercetak telapak tangan berwarna merah dan agak terasa panas juga saat itu, haha aku masih sangat mengingat kejadian itu hingga saat ini. Aku hanya bisa menahan tangis entah karena merasa syok kali ya, karena itu hal pertama bagiku, apalagi saat kejadian akan ada acara upacara yang rutin dilakukan setiap hari senin."
"Tidak ada yang membelaku saat itu dari begitu banyak yang menonton dan kebetulan juga tidak ada guru disana. Setelah upacara selesai, aku izin ke kamar mandi untuk menangis disana namun ketika sampai disana untuk menangis, aku lupa untuk mulai darimana nada awalnya dan ternyata malah aku merasa akan buang air kecil, jadi acara menangis ku ganti dengan buang air kecil."
"Lalu ada salah seorang dari mereka bilang bahwa itu salah paham, tanpa ada rasa bersalah ataupun minta maaf dia biasa saja seakan tak pernah melakukan hal itu. Sebenarnya itu bukan apa-apa dari pembullyan yang mereka lakukan, tapi sungguh aku tidak tahu mereka mendapatkan kata dan kalimat mutiara dulu itu darimana."
"Dulu juga hampir terjadi pelecehan padaku dan itu dilakukan oleh sebayaku masih sangat kecil, ya, mereka berdalih akan mengajak aku main asal aku mau melakukan hal menjijikan itu dengan sepupu jauhku sendiri dan aku tak tahu apapun saat itu karena aku saja belum sekolah, namun tetap saja aku ingat kejadiannya."
"Sejak kejadian itu, aku yang seorang korban selalu dihina-hina bahkan difitnah sudah tak virgin padahal aku masih virgin loh, aku sadar anak sekecil itu mana mungkin bisa terangsang bahkan menggagahi sebayanya, ditambah kurang dari semenit saat hal itu, keberuntungan datang padaku karena tiba-tiba saja ibuku datang dari pasar dan memanggil aku. Aku benar-benar selamat, tapi hal itu benar-benar menjadi bencana dalam hidupku hingga kini aku dicap wanita murahan." Terkekeh geli Safma menarik nafas dalam-dalam lalu keluar melalui mulutnya.
Beda dengan River yang langsung terduduk mendengar setiap kalimat yang begitu menyesakkan, bagaimana tidak. River tahu perempuan memiliki perasaan yang lebih dominan, dan yang dialami oleh gadis kecil itu membuat River kehilangan kata-kata. Walaupun Safma seakan menyelipkan candaan, tapi River tak menangkap ada kelucuan diasana.
"Dasarnya aku type pemikir ya, seperti yang aku katakan tadi, lama-lama peringkat kelas dari duduk di peringkat pertama jadi drop drastis paling bawah. Gak mau nyalahin siapa-siapa sebenernya, tapi karena efek tekanan itu."
"Jujur saja aku sudah berulang kali berfikir untuk mengakhiri hidupku bahkan beberapa kali berniat untuk itu dengan berbagai macam cara yang sudah ada didepan mata dan tinggal melakukannya, karena aku merasa tak sanggup melalui itu semua. Berada diposisi itu aku pernah merasakannya."
"Mata pelajaran yang dulunya dengan mudah otakku cepat menangkapnya, jadi lama tanggap karena saat itu benar-benar berada di fase tidak percaya diri dan aku juga memutuskan lebih fokus jualan biar jadi orang sukses."
"Setelah melalui semua itu, aku benar-benar memfokuskan diri untuk jualan dan mengembangkan bakat apapun yang ada padaku. Namun tentu saja tidak semudah itu, ditambah aku juga salah satu korban broken home, orang tuaku tidak cerai namun selalu saja berdebat tentang hal yang sepele jadi begitu rumit dan itu setiap hari. Tapi ya ... Begitulah namanya hidup." Merasa sedikit lega telah mencurahkan isi hatinya walaupun tidak tentang hal aneh yang terjadi saat tiba-tiba ia bisa berada disini.
Dengan senyuman manis Safma menoleh ke samping, tepatnya ke arah River merebahkan tubuhnya. Namun alangkah kagetnya ketika ia tidak mendapati River disana, Safma tahu jika River ikut merebahkan tubuhnya tapi ia tidak tahu kapan pemuda itu berubah posisi menjadi ... Eh, duduk dengan wajah yang tak terbaca?
"Kenapa dengan wajahmu?" Heran Safma dengan tampilan ekspresi wajah yang River tampilkan.
"Safma ..." Entah kenapa River hanya bisa mengeluarkan suara itu saja, entah kenapa River jadi ikut-ikutan berbicara seperti Safma.
"Hem?" sahut Safma santai bahkan sangat santai setelah menceritakan luka lamanya. "Tolong jangan pasang wajah iba itu padaku, kamu bisa membuatku menangis asal kamu tau. Ck, jangan buat aku meninju wajah mu ya!" Ancam Safma tak main-main dan terlihat kesal dengan raut wajah River.
"..."
"Sudah waktunya pulang," Safma bangkit dari tempatnya dan pergi membawa perbekalan tadi. "Ayo!" Ajaknya santai, melenggang pergi ke parkiran mobilnya.
Dari mulai mobil berjalan sampai di sebuah apartemen milik Safma, mereka berdua hanya berdiam diri dan tak ada dari mereka yang membuka obrolan ataupun sekedar basa-basi.
Di ruang tamu tepatnya di sebuah sofa, Safma menatap heran dengan tingkah aneh River yang terus menatap dirinya dari tadi dengan ekspresi wajah yang tak terbaca oleh Safma.
Mereka memang tidak mengeluarkan sepatah katapun sejak tadi, tapi River yang terus menatap dirinya di manapun saat bergerak kesana-kemari membuat gadis itu tentu risih dan kesal.
"Apa ada yang ingin kamu bicarakan?" To the points Safma dengan tatapan kesalnya, ya, Safma bukan type orang yang suka basa-basi.
Kehidupannya dulu benar-benar membuat dirinya memiliki aturan sendiri dan kadang merasa tidak percaya diri juga pada orang lain. Safma menyelamatkan pemuda itu juga atas dasar rasa kemanusiaan.
"Em ... Itu," River terlihat ragu sampai menggantung ucapannya selama hampir tiga puluh menit.
Hal yang membuat Safma terkekeh, "Aku rasa kamu ilfeel berteman dengan gadis sepertiku, ga papa kok santai aja."
"Bukan begitu Safma, aku pikir selama ini hidupku paling menyedihkan, ternyata aku salah." Ralat River.
"Aku juga pernah berfikir demikian, dan aku sadar bahwasanya aku tidak hidup sendiri di bumi ini. Terlebih lagi, jalan orang juga hambatannya berbeda-beda. Bisa saja ada yang lebih besar ujiannya daripada aku, ya, kurasa masalahku tidak sebesar itu, aku mungkin berada di level perkenalan akan dunia yang sesungguhnya." Kemudian meminum salah satu cokelat panas yang ada dimeja.
"Kita memang cocok jadi teman." River ikut meminum salah satu minuman coklat panas dimeja.
"Tentu saja," smirk Safma.
Tak lama River berdehem pelan, "Mau lebih juga--"
Safma tentu saja melirik River dengan tajam seraya memotong ucapan pemuda itu, "Kau baru patah hati, aku tidak mau jadi pelarian mu ya! Enak saja."
"Yang benar? Aku pikir, aku lumayan tampan loh, bahkan aku murid paling populer waktu sekolah." Goda pemuda itu sungguh menggelikan.
Lihatlah kerlingan matanya pemuda bernama River itu di imajinasimu, Safma saja muak walaupun yah ia akui River cukup tampan sih.
"Ew, menggelikan!" Sindir Safma tentu saja.
"Oh ayolah, akui saja!" Goda River makin jadi dengan menyenggol lengan Safma.
"Narsis!" Kesal Safma.
Dan dengan refleks mendorong kuat tubuh River sampai nyungsep dengan sempurna. Lalu pergi meninggalkan sofa sekaligus River tanpa berniat menolongnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!