NovelToon NovelToon

Lelaki Arang & CEO Cantik

Penjual Sate Ayam

Senja mulai merayap di Pasar Malam Kertajaya, yang terletak di sudut sisi barat kota Metropolitan Jakarta. Hiruk-pikuk pejalan kaki dan kendaraan bermotor lalu lalang tanpa henti, meninggalkan jejak daun-daun sayur berserakan dan genangan air kotor di jalanan. Toko-toko tua berjajar dengan papan nama yang sudah pudar, dihiasi kerlip lampu neon seadanya. Para pekerja pulang dari kantor, anak-anak sekolah bergegas pulang, ibu-ibu berbelanja kebutuhan sehari-hari dan para musafir yang tampak letih. Semua berbaur dalam kesibukan kota yang tidak pernah benar-benar berhenti, membuat langit senja yang berdebu terasa semakin muram. Di tengah gemerlap kota metropolitan seperti Jakarta, area semacam ini merupakan aib yang sangat memalukan dan ingin sekali dihilangkan dari peta.

Di samping tembok dekat persimpangan jalan, seorang pemuda sedang sibuk dengan pekerjaannya. Pekerjaan yang mungkin akan dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orang. Namanya Revan Anggara, seorang pemuda yang seluruh tubuhnya berlumuran jelaga dan minyak sedang menjajakan sate ayam. Ia mengenakan kaus oblong putih, celana kain berwarna coklat dan sepasang sandal jepit biru yang telah kaku.

Rambut Revan tampak acak-acakan, namun wajahnya menampilkan paras yang rupawan dan terkesan dewasa. Jika diamati lebih dekat, akan terlihat keteguhan di balik sorot matanya. Meskipun dengan wajah tampan, wanita-wanita yang lewat di jalanan tidak pernah meliriknya. Barangkali karena ia hanya seorang penjual sate ayam, yang tidak layak untuk diperhatikan.

Revan meletakkan sate ayam yang baru saja selesai dipanggang. Cuaca yang panas seperti ini membakar sate memang mudah, tapi menjualnya yang sulit. Tiga tusuk sate seharga lima ribu rupiah, sudah terbilang murah. Namun hampir seharian penuh, ia hanya mendapat kurang dari seratus ribu dan itu hampir tidak cukup untuk makan dua kali.

Tapi Revan tidak pernah merasa sedih, justru wajahnya memancarkan ekspresi santai dan puas. Ia duduk di bangku kecil sambil memandang ke arah jalan yang ramai, seolah pemandangan itu adalah panorama terindah di dunia.

Tiba-tiba, suara keras memecah keheningan di sekitar.

"Pak Rahmat! Waktunya menepati janji dua hari yang lalu!"

Tiga pemuda berusia belasan tahun, dengan tampang sangar datang menghampiri. Gaya mereka ala preman pasar dengan rambut berdiri, kalung mengilap, celana robek dan rokok yang menyala di bibir. Mereka mengelilingi seorang pria tua yang duduk lesu di samping Revan.

Pak Rahmat adalah seorang pedagang gorengan yang mangkal persis di samping Revan. Sama seperti Revan, akibat cuaca panas dagangannya sepi dan duduk di bangku dengan wajah cemas.

"I-ini…," Pak Rahmat menunjukkan wajah masam. "Nak, mohon bersabar sedikit. Cuaca panas begini dagangan belum banyak laku, bagaimana bapak bisa membayarnya."

“Dengar ya Pak, jangan coba-coba kabur dari tanggung jawab. Kalau bukan karena bos Bimo yang melindungi Bapak, lapak ini sudah lama hancur,” gertak salah satu dari mereka dengan nada mengancam namun menjilat.

Preman yang dipanggil Bimo itu, tampak sangat senang. Ia menepuk punggung anak buahnya dengan berkata, "Uang keamanan hari ini, aku harus dapat bagaimanapun caranya. Bapak bisa pilih, mau bayar atau tidak. Kalau tidak, lapak ini akan aku hancurkan sekarang juga!" Setelah berkata demikian, ia mengambil sebatang sosis goreng. Melahapnya dengan dua gigitan besar, lalu membuang sisanya ke tanah.

Pak Rahmat terjebak dalam situasi yang sulit, tanpa jalan keluar. Ia menggenggam erat tumpukan uang kertas di sakunya, menimbang-nimbang apakah akan memberikan begitu saja. Uang itu rencana untuk biaya berobat istrinya, bagaimana mungkin ia tega memberikannya untuk para berandal ini?!

"Aku yang akan bayar." Revan si penjual sate ayam, tiba-tiba datang menghampiri. Ia merogoh beberapa lembar uang dari saku, yang tidak sampai seratus ribu. Diserahkannya uang itu sambil berkata santai, "Ini saja yang aku punya. Pak Rahmat sudah tua dan sangat membutuhkan uang, kalian sebaiknya jangan keterlaluan."

Preman itu menyipitkan matanya dan tertawa, lalu mengambil uangnya dan memberikan kepada anak buah yang ada di belakang. "Hahaha... Revan, kamu mau sok jadi orang baik, tapi kamu sendiri belum bayar uang keamanan!"

Revan mengernyitkan alis, dalam hati menyayangkan mengapa anak-anak seusia mereka tidak belajar dengan benar. Kenapa harus menjadi preman? Tapi ia bukanlah ayah mereka, jadi tidak pantas baginya untuk menasehati. Ia juga tidak ingin mencari masalah, jadi hanya berkata dengan datar, "Besok, aku akan membayarnya besok."

"Bagus, aku bukan orang yang tidak punya perasaan. Kita semua harus bekerja sama, dan saling menguntungkan. Aku melindungi usaha kalian, sementara kalian membayar uang keamanan sebagai balasannya. Besok aku akan datang lagi ke sini untuk menagih uangnya." Setelah berkata demikian, Bimo dan kedua anak buahnya melenggang angkuh menuju lapak-lapak lain untuk membawa kesusahan bagi para pedagang.

Mata Pak Rahmat sudah memerah, menatap Revan dengan getir, "Nak Revan, kenapa harus repot-repot membayarnya? Kamu selalu membantu membayar para berandal itu, bagaimana bisa bapak membiarkan ini terus-menerus."

"Pak, jangan bicara begitu. Waktu aku baru datang dan belum terbiasa hidup di sini, aku tidak punya teman untuk diajak bicara kecuali dengan bapak. Bapak adalah dermawanku, dan ini caraku untuk membalas budi."

"Kamu ini, apa lagi yang harus bapak katakan padamu." Pak Rahmat tampaknya mengerti, bahwa ia tidak bisa meyakinkan Revan dan hanya bisa menghela napas dalam.

Revan tidak keberatan dan tertawa, tawa yang sederhana namun tulus. Seolah pemerasan tadi tidak memengaruhi suasana hatinya. "Hehehe... Ngomong-ngomong, bagaimana dengan kondisi  istri bapak?"

Wajah pak Rahmat dipenuhi dengan rasa syukur. "Semua berkat uang yang kamu berikan untuk operasi istriku, sekarang dia hanya perlu beberapa kali kontrol, minum obat dan kemudian akan sembuh total."

"Oh, syukurlah! Semoga lekas sembuh." Revan mengangguk puas.

Pak Rahmat tersenyum getir, "Nak Revan, uang yang dipinjamkan pasti akan dikembalikan. Kalau bapak tidak sanggup mengembalikan semuanya sampai akhir hayat, anak perempuanku yang akan melanjutkan membayarnya. Ah, kalau bukan karena bapak, uang seratus juta rupiah milikmu itu pasti bisa dipakai untuk membuka toko yang bagus. Kamu tidak perlu datang ke sini untuk jualan sate ayam, serta tidak perlu menahan siksaan para berandal itu."

Revan melengkungkan bibirnya, "Aku sedikit menikmati gaya hidup seperti ini, jualan sate ayam tidaklah buruk, sederhana tapi cukup untuk makan."

"Kamu ini terlalu…." Pak Rahmat sedikit murung saat berkata, "Nak Revan, kamu baru berusia 25 tahun. Pria lain seusiamu banyak yang sedang kuliah, atau bahkan gigih membangun sebuah karier. Sementara kamu, pacar saja tidak punya. Apakah kamu berencana jualan sate ayam selamanya? Nak Revan mungkin tidak khawatir, tapi bapak yang merasa khawatir melihatmu."

Melihat pak Rahmat benar-benar menunjukkan kekhawatiran padanya, Revan tanpa sadar menunjukkan ekspresi sedikit getir. Bukan berarti ia tidak khawatir, hanya saja tidak pernah memikirkannya sama sekali.

Setelah malam tiba, Revan membereskan lapaknya dan mendorong gerobak kembali ke kontrakannya. Ini adalah sebuah kontrakan kecil yang entah sudah berapa tahun dibangun, sewa per bulan hanya seratus ribu rupiah. Karena tidak ada yang mau tinggal di sini, makanya murah sekali. Berbeda dengan orang lain yang khawatir kontrakannya roboh, Revan justru memutuskan untuk pindah begitu melihat betapa murahnya tempat itu.

Kontrakan Revan hanya memiliki perabotan yang sangat sederhana, kebanyakan barang bekas yang dibuang orang lain. Ada ranjang, lemari, kursi, dan TV yang hanya bisa menonton beberapa saluran lokal.

Setelah mendorong gerobak kecilnya masuk ke dalam kontrakan, Revan menatap kalender yang tergantung di dinding. Ia mengecek tanggalnya, tiba-tiba teringat sesuatu dan segera berlari ke kamar mandi.

Dalam waktu kurang dari lima menit Revan mandi dengan air dingin, lalu keluar dari kamar mandi bertelanjang dada. Kulitnya berwarna kuning langsat dengan tubuh yang proporsional, tidak terlalu mencolok. Tetapi jika diamati dengan cermat, seseorang dapat merasakan kesan maskulinitas yang tersembunyi.

Berjalan menuju lemari di samping tempat tidur, Revan menggaruk-garuk kepalanya dengan cemas sambil melihat tumpukan pakaian yang tidak beraturan. Ia memilih beberapa dan akhirnya mengenakan kemeja kuning, celana kain linen ringan dan memakai sandal jepit plastik yang sama.

Setelah meninggalkan kontrakan, Revan bergegas menuju jalan paling ramai di wilayah barat. Bernama Jalan Disco, yang merupakan satu-satunya jalan terhormat di wilayah barat yang kumuh.

Kehidupan malam yang penuh pesta dan kesenangan tersebar di mana-mana, ada rok-rok berwarna-warni dan segala macam parfum yang berbeda. Begitu seseorang memasuki Jalan Disco, suasana kota langsung terasa.

Revan tidak menatap terang-terangan seperti beberapa pemuda yang tak tahu malu dan tak berprinsip, dan juga tidak mengintip secara diam-diam paha wanita-wanita cantik di jalanan yang membuat orang lain meneteskan air liur.

Papan nama neon kafe itu tidak terlalu mencolok, dengan bangunan berukuran sedang itu memiliki aura misterius. Lampu-lampunya berbentuk mawar berwarna-warni menghiasi papan nama.

Setelah memasuki kafe, Revan berjalan ke sisi konter seperti biasa dan duduk di sudut ruangan.

"Bang Revan, akhirnya datang juga." Barista muda berkaus rompi memperhatikan Revan, dan menunjukkan senyum ramah. Pada saat yang sama, ia membawakan segelas air. "Kak Risa sudah menunggu abang sejak tadi."

Revan tersenyum padanya, lalu menyesap air dari gelas. "Kak Risa tidak marah, kan? Aku pulang agak telat tadi, jadi datang ke sini terlambat."

"Tidak marah kok bang." Riko tersenyum, seolah beberapa jerawat di wajahnya yang bulat ikut tersenyum padanya juga. Dengan nada memohon ia berkata: "Bang Revan, kalau ada waktu tolong ajari aku. Metode apa yang abang pakai sampai bisa menggaet Kak Risa? Abang tahu, kalau orang-orang di Jakarta yang tertarik pada bos kita antrean, bisa antre dari wilayah barat sampai ke laut. Selama bertahun-tahun, aku belum pernah melihat bos begitu jatuh cinta pada pria lain. Namun hari ini, pertanyaan apakah abang sudah di sini saja, sudah ditanyakan tidak kurang dari lima kali."

"Jangan bicara omong kosong, tidak ada apa-apa antara aku dan Kak Risa." Revan menjawab dengan putus asa dan tidak terlalu antusias.

Riko memasang ekspresi, 'aku tidak percaya itu, meskipun abang membunuhku', lalu menghela napas, "Duhai bang Revan. Jujur saja, sikap dingin abang ini terlalu berlebihan, bisa menggaet wanita cantik luar biasa seperti bos kita. Pria mana yang tidak akan menempel padanya setiap hari? Hanya abang yang datang sesekali dan bahkan membiarkan seorang wanita cantik menunggu. Kalau tidak, mengapa orang-orang mengatakan bahwa hal-hal yang tidak bisa didapatkan adalah yang terbaik? Kalimat ini cocok digunakan untuk wanita."

Saat Riko memasang ekspresi seperti seorang pakar percintaan berlebihan, suara yang menawan namun bermartabat dan cerdas muncul di belakangnya. "Riko, menurutmu berapa kali lagi gajimu bisa dipotong?"

Seolah tersengat listrik, Riko tercengang. Setelah kembali sadar, ia segera menyingkir dan pura-pura sedang meracik minuman. Seolah tidak terjadi apa-apa, namun keringat dingin di dahinya menunjukkan ketakutan di hatinya.

Dengan kebaya modern yang elegan, pahanya samar-samar terlihat melalui belahan di sisi kakinya yang memancarkan daya tarik seksual yang menggoda. Ditambah lagi gunung kembarnya yang montok dan pinggang yang ramping serasi dengan wajah halus yang tampak seperti karya seni yang teliti. Di bahunya ada untaian rambut ungu muda dengan penampilan seperti keluar dari lukisan, berjalan menuju Revan dengan santai.

Revan tersenyum dengan wajah dan matanya, menatap lurus ke arah wanita itu tanpa sedikit pun kecanggungan. Ia kemudian dengan tulus berkata, "Kak Risa, kamu benar-benar cantik. Selamat ulang tahun."

Uang untuk Hiburan

Mendengar pujian itu, Risa tersipu tipis. Ia menggigit bibirnya yang halus dan dengan nada penuh sesal berujar, "Cantik apanya? Ada seseorang yang jarang mampir, bahkan saat ulang tahunku pun masih datang terlambat."

Menghadapi wanita manis dan menawan ini, secercah hasrat membuncah dalam diri Revan karena tatapan mata Risa yang membius dirinya. Namun dengan hati yang teguh Revan berhasil menekan gejolak liarnya, mengembalikan ketenangan. Ia pun berkata, "Aku tidak minum dan aku juga tidak pandai merangkai kata-kata yang membuat wanita senang. Lagipula aku jualan setiap hari dan memang tidak punya banyak waktu luang."

Risa menatap Revan dengan kesal, "Jangan bicara omong kosong begitu padaku. Jualan? Apa bagusnya jualan sate ayam? Meskipun kamu bekerja sampai mati, tidak akan menghasilkan banyak uang. Kalau kamu benar-benar ingin uang, kemarilah dan jadilah manajerku. Gaji yang akan kubayar padamu setiap bulan seratus kali lipat dari penghasilanmu jualan sate ayam!"

Revan tersenyum kecut dengan berkata, "Kak Risa, laki-laki biasanya tidak jadi manajer untuk mengurus hal-hal semacam itu."

"Sudah berapa kali kukatakan padamu, panggil aku Risa. Kenapa kamu selalu memanggil Kakak, Kakak, Kakak, apa aku setua itu?"

Revan hanya bisa mengalah, "Baiklah Risa, aku salah. Hanya saja, aku agak menikmati gaya hidupku saat ini dan sementara waktu tidak berniat untuk mengganti pekerjaan."

Tidak mau menyerah, Risa juga berkata, "Kamu tidak perlu jadi manajerku kalau begitu, jadi pengawal pribadiku juga boleh kan? Atau aku bisa membiarkanmu menjadi kepala operasional kafe ini, aku juga jarang mengawasi tempat ini dan biasanya aku membiarkannya begitu saja."

Mendengar perkataan ini, Revan sedikit tersentuh. Tentu saja tahu wanita ini benar-benar peduli padanya, tapi ia punya pendirian sendiri. Sejak bertemu Risa, ia memutuskan untuk tidak terlalu dekat dengannya.

"Sudahlah Risa, aku rasa jualan sate ayam lumayan bagus." Revan menunduk untuk minum airnya, enggan melanjutkan topik ini.

Melihat keras kepala Revan, Risa mengernyitkan dahi. Lalu dengan marah berbisik pada dirinya sendiri, "Lebih baik lagi, kalau kamu jadi milikku."

Meskipun kata-kata itu nyaris tidak terdengar oleh dirinya sendiri, tapi bagi Revan perkataan itu terdengar jelas. Namun Revan juga tahu, harus berpura-pura tidak mendengarnya.

Tidak peduli seberapa redup lampu di kafe itu, wajah dan fisik Risa tetap memancarkan pesona yang tidak tertahankan. Sejak Risa muncul, bahkan ketika beberapa orang memperhatikannya, mereka hanya berani melirik sekali sebelum mengalihkan pandangan. Bahkan beberapa pelanggan baru yang penasaran, bertanya kepada pelanggan di sekitarnya siapa Risa. Dia hanya mendapat satu jawaban, "teguk saja minumanmu dan jangan cari masalah."

Merasa sedikit kalah, Risa berjalan ke sisi lain konter. Ia duduk di samping Revan, pertama menuangkan segelas wiski untuk dirinya sendiri, lalu menuangkan segelas lagi untuk Revan. Ia memutar matanya sambil mencibir, "Dasar keras kepala, aku tahu kamu tangguh. Tidak masalah jika kamu tidak mau tinggal di sisiku, tapi hari ini ulang tahunku. Bisakah kamu membuat pengecualian dan minum segelas minuman beralkohol?"’

Revan ragu sejenak, sebenarnya bukan karena tidak bisa minum. Hanya saja setiap kali ia minum, alkohol akan menyebabkan kekacauan pada jiwanya. Ada terlalu banyak hal yang tidak ingin diingat, itulah sebabnya ia perlu ketenangan. Oleh karena itu, baginya alkohol adalah racun.

"Baiklah, tapi hanya satu gelas." Dengan sedikit rasa bersalah, Revan tidak ingin mengecewakan Risa sepenuhnya dan memutuskan untuk menerima. Dalam hati ia diam-diam berharap tidak akan terjadi apa-apa, karena ini hanya segelas kecil.

Benar saja, Risa tersenyum senang. Senyum itu mirip melihat salju untuk pertama kalinya. Di bawah cahaya redup wajahnya bersinar, menatap mata Revan sampai membuat jantungnya bergetar lagi.

"Bersulang."

Setelah membenturkan gelas, Revan mengangkat kepalanya dan menenggak cairan dingin itu tanpa ragu sedikit pun.

Risa terkekeh sambil mencondongkan tubuh ke depan dan menekan tubuhnya ke dada Revan. Ia lalu berkata dengan melankolis, "Tahukah kamu, sudah sepuluh tahun sejak terakhir kali aku merayakan ulang tahunku. Meskipun tidak ada kue, tidak ada lilin, tidak ada hadiah, bahkan tidak ada pesta. Ada pria yang tidak romantis sepertimu menemaniku minum, aku merasa sangat puas."

Fisik wanita ini terlihat sempurna dari sudut mana pun dan membuat pria mana pun meneteskan air liur. Pada saat ini, Revan merasakan dengan jelas dua gumpalan lembut menekan pahanya, mengelusnya dengan lembut sampai membawa sensasi yang merangsang.

Sedikit menunduk, ia bisa melihat belahan kebaya Risa dan kulit putih mulus seperti porselen yang cukup terlihat. Di bawah pergelangan kakinya yang indah, ada sepasang sepatu hak tinggi berwarna merah menyala.

Stimulasi visual yang kuat beserta godaan yang sengit, membangkitkan hormon pria dalam diri Revan. Tepat saat Revan berusaha sekuat tenaga menekan reaksi tubuhnya, Risa akhirnya berdiri dengan memberinya senyum licik. Seolah-olah ia adalah rubah yang berhasil dalam rencananya, "Itu bagus Revan, sepertinya 'joni-mu' sangat perkasa ya."

Revan memaksakan senyum, tentu saja tahu apa yang dimaksud Risa. Wanita ini, benar-benar mengintipnya saat mereka berdekatan tadi.

"Aku lihat kamu sudah tidak sabar duduk di sini, aku akan pergi menghibur pelanggan lain. Kalau kamu tidak mau berlama-lama di sini, kamu boleh pergi." Risa meninggalkan tempat duduknya dengan luwes dan berjalan menuju pelanggan lain.

Pelanggan kafe sudah lama tahu bahwa bos wanita kafe itu sangat menawan, namun mereka tidak berani bersikap tidak sopan. Ini karena mereka mendapat informasi, kalau latar belakang wanita itu sama sekali tidak sederhana. Akibatnya, Risa dengan mudah menyapa pelanggannya.

Faktanya, wajah Risa memancarkan senyum penuh gairah. Pembawaan yang luar biasa itu cukup untuk membuat sebagian besar pria merasa terintimidasi, sehingga mereka hanya bisa melihat dari jauh. Juga mereka tidak ingin menunjukkan niat cabul apa pun, karena tidak ada yang berani mendapat penolakan.

Ketika Risa pergi, Revan menghela napas lega. Pada saat yang sama, ia diam-diam mencemooh dirinya sendiri. Selama setengah tahun terakhir sejak kembali ke negara ini, ia tampaknya telah banyak berubah.

Jika itu Revan yang dulu dalam menghadapi wanita mempesona seperti Risa yang memiliki perasaan padanya, bahkan tidak perlu Risa merayunya. Ia pasti sudah melemparkannya ke tempat tidur sejak lama, tanpa memedulikan konsekuensi apa pun. Toh setelah selesai, ia bisa saja pergi begitu saja. Namun ia tidak bisa melakukan itu sekarang, terutama kepada Risa yang bisa dibilang salah satu teman pertamanya di Jakarta dan baginya dalam hati Risa memiliki arti penting.

Meskipun Revan hanya minum sedikit, alkohol sudah mulai memengaruhi pikirannya. Ia merasa bahwa hasratnya akan alkohol sudah terbangkitkan, namun tidak berani untuk minum berlebihan. Rasa sakit akibat mengingat hal-hal yang tidak diinginkan setelah minum adalah sesuatu yang hanya ia sendiri yang mengerti.

Ketika melihat tubuh bagian bawahnya masih tegang, Revan merasa perlu melampiaskan emosi yang terpendam. Kalau tidak, si joni akan tercekik sampai mati. Tapi tentu saja, bukan kepada Risa ia akan melakukannya. Begitu mereka memiliki hubungan itu, akan sulit baginya untuk pergi.

Setelah minum segelas air, Revan diam-diam meninggalkan Kafe Risa. Saat ia pergi, ada perasaan kecewa pada Risa yang diam-diam telah mengawasinya. Di luar kafe, Revan melihat sekeliling sebelum akhirnya berjalan menuju sebuah kafe kecil di dekatnya. Mungkin ada banyak buruan di kafe-kafe kelas atas, tapi uang di dompet Revan tidak akan cukup.

Sebuah Inisiatif

Tidak lama setelah melangkah mendekati kafe kecil ini, Revan yakin datang ke tempat yang tepat. Lampu-lampu kafe yang temaram tampak kabur namun memikat seperti mimpi. Di mana-mana, di konter kafe, di sudut-sudut, bahkan di tengah ruangan, ada pasangan-pasangan yang saling merangkul, berpelukan dan berciuman, pria dan wanita muda bercampur bebas. Terdengar gelak tawa yang lepas dan memesona tanpa henti.

Baru beberapa langkah Revan masuk, seorang wanita dengan riasan tebal dan pakaian mencolok mendekatinya. Tubuh bagian atasnya hanya ditutupi bra berwarna merah maron, sementara bagian bawahnya mengenakan rok mini berwarna hitam. Memegang minuman berwarna kuning keemasan di tangannya dengan terhuyung-huyung dan menempelkan dirinya pada Revan.

"Abang ganteng, mau traktir aku minum?" Suara wanita itu sangat genit, cukup untuk membuat pria mana pun merasa mual.

Karena sudah lama tidak bersentuhan dengan alkohol, Revan yang kepalanya sudah agak panas secara refleks mencubit lembut ujung bra wanita itu yang menonjol. Seluruh tubuh wanita itu langsung bergetar, lalu terkekeh. "Hehe... Abang ganteng nakal banget sih, baru ketemu sudah pegang-pegang begitu. Kalau ini rusak bagaimana, abang mau ganti rugi." Di satu sisi mencibir dengan rasa tidak senang, di sisi lain menekan tubuhnya semakin dekat dan sepasang lengan putih berkilau sudah melingkari leher Revan.

Revan memasang senyum licik di wajahnya, tidak terlalu tertarik pada wanita seperti itu karena terlihat terlalu murahan. Revan mendorong wanita itu menjauh dari tubuhnya, "Aku tidak tertarik pada wanita mabuk yang hanya memikirkan hubungan badan."

Tampaknya sebagian otaknya masih sadar, karena ketika wanita itu mendengar "wanita mabuk", darahnya langsung mendidih dan dengan kasar membanting gelas minumannya ke lantai. "Pria kurang ajar, kamu pasti sudah bosan hidup! Tunggu saja!" Selesai berbicara, ia dengan marah berjalan menuju kerumunan orang di sudut kafe.

Revan tiba-tiba merasakan keinginan jahat menyeruak dalam hatinya. Sudah lama sekali ia tidak datang ke tempat seperti ini dan berurusan dengan orang-orang semacam ini. Sepertinya hari ini, ia bisa mengandalkan efek alkohol untuk melampiaskan hasrat yang terpendam.

Setelah pergi ke konter kafe untuk memesan segelas vodka, panas membakar mulai mendidih di dalam diri Revan, sementara matanya memancarkan kegembiraan yang aneh.

Entah bagaimana wanita berpakaian mencolok itu berhasil memanggil delapan orang pria, semuanya bertubuh kekar. Mereka memiliki semangat seperti naga dan kegarangan seperti harimau. Begitu Revan selesai menenggak minumannya, mereka lalu mengepungnya.

Wanita itu memeluk lengan tebal dan kokoh pria botak besar yang berdiri di depan, sambil menunjuk Revan dengan berteriak keras, "Bang! Pria ini yang sudah kurang ajar padaku, bantu aku hajar dia sampai mati!"

Pria besar itu melirik tubuh Revan yang ramping, dan menunjukkan tatapan jijik. Ia kemudian memberi isyarat kepada dua bawahannya untuk maju memberi pelajaran pada Revan. Kedua pria itu tersenyum jahat saat maju dan tidak berniat membuang waktu dengan Revan, kemudian langsung melayangkan tinju ke arahnya.

Revan menghadapi pukulan itu dengan tenang, seolah tidak terjadi apa-apa. Ia kemudian mengangkat kedua tangan pada waktu yang tepat dan telapak tangannya beradu dengan kepalan tangan kedua pria itu.

"Aaakh!!!"

Kedua pria besar itu berteriak bersamaan dan jatuh ke lantai, lalu terus-menerus berguling-guling sambil memegangi tangan mereka.

Adegan di dalam kafe itu terasa janggal dan berlangsung terlalu cepat. Meski perkelahian bukan hal asing di kafe kecil ini, tapi baru kali ini kelompok pria botak itu mengalami kekalahan. Banyak orang yang tidak bisa menyembunyikan rasa terkejut mereka, dan kini menatap Revan dengan rasa penasaran.

Pria botak itu mengernyit, menyadari situasi tidak berjalan seperti yang diharapkan. Ia menatap Revan dengan sorot curiga, lalu berjongkok memeriksa lengan anak buahnya yang terluka. Begitu melihat kondisi anak buahnya, wajahnya langsung memucat dan keringat dingin mulai mengalir di dahinya.

Beberapa anggota lain yang berdiri di belakang mulai meluapkan amarah, mengumpat dan bersiap menyerang. Namun sebelum mereka sempat maju, si botak mengangkat lengannya untuk menghentikan mereka.

Tanpa banyak bicara, ia berdiri dan menunduk hormat ke arah Revan. "Abang adalah orang kuat dengan hati yang lapang. Kami telah lancang dan menyinggung abang hari ini. Jika suatu saat abang membutuhkan bantuan, panggil saja kami. Semoga kita bisa bertemu lagi dalam suasana yang lebih baik."

Dengan gerakan tegas, si botak memberi isyarat pada anak buahnya yang masih bingung untuk mengangkat kedua pria yang terluka dan membawanya keluar dari kafe. Sementara itu, wanita yang semula begitu marah masih berteriak dengan mempertanyakan mengapa si botak tidak membantunya untuk membalas dendam.

Si botak yang bernama Heru, menatap tajam ke arah wanita itu. Ia lalu mengalihkan pandangan pada anak buahnya dan berkata dengan suara berat, "Pria itu mematahkan tangan dua orang kita, hanya dengan satu tangkisan. Kalian pikir bisa mengalahkannya?"

Mendengar itu, suasana langsung mereda. Para anggota mulai sadar, dua telapak tangan yang tampak biasa tadi ternyata menyimpan kekuatan luar biasa. ’Jika Revan bukan seorang ahli, lalu siapa dia sebenarnya?’

Beberapa dari mereka buru-buru memuji si botak, mengatakan bahwa keputusan mundur adalah bukti kepemimpinan yang bijak. Namun Heru tak menanggapi sanjungan itu, Ia hanya berdiri terpaku menatap ke arah dalam kafe. Wajahnya menyiratkan pikiran yang berputar cepat, tidak ada yang tahu apa yang sedang ia pikirkan.

Sementara itu, Revan yang masih berada di kafe tidak terpengaruh sama sekali. Melihat si botak dan yang lainnya pergi, area di sudut kafe menjadi kosong. Jadi dengan santai ia berjalan ke sana, bermaksud mencari mangsa malam ini dengan cermat.

Karena Revan mengalahkan si botak dan gengnya dengan begitu mudah, rasa takut muncul di hati pria dan wanita yang hadir di kafe. Sesekali beberapa wanita cantik melayangkan tatapan genit ke arah Revan, tetapi diabaikan dan hanya bisa menyerah untuk merayunya.

Tepat saat Revan hendak duduk di sofa, ia melihat di sudut sebuah bilik seorang wanita muda yang terbaring. Dengan sekali pandang, tatapan Revan menjadi panas.

Di bawah cahaya remang-remang, rambut hitam legam yang lembut tergerai dari sofa hingga ke karpet. Sebuah gaun terusan putih membalut lekuk tubuh indahnya, seperti gelombang lembut dan memesona.

Setelah mendekat, Revan bisa mencium aroma tubuh yang memikat membawa campuran melati dan alkohol.

Wanita itu tampak sangat mabuk, ditangannya yang putih memegang segelas anggur. Namun tubuhnya bersandar lemah di sofa dengan ringan dan sesekali bergerak. Bokongnya yang berisi membentuk garis lekukan yang menggoda.

Revan menghampirinya lalu menopang wanita itu dan menyingkirkan rambut acak-acakan yang menutupi wajahnya, menampakkan wajah cantik yang mabuk dan memerah.

Yang membuat Revan heran, penampilan wanita ini lebih cantik dari Risa yang ia temui sebelumnya. Entah itu wajah yang terpahat indah, atau keanggunan dingin dan daya pikat dari kondisi mabuk, keduanya cukup untuk membuat pria mana pun tersesat.

Namun, kecantikan luar biasa seperti ini juga membuat Revan bingung. Bagaimana bisa wanita seperti ini seorang pekerja seks komersial? Tetapi jika bukan, mengapa ia minum bersama orang-orang itu sampai mabuk berat? Apalagi dengan ekspresi penuh hasrat dan gairah.

Wanita itu tampaknya sudah sangat mabuk, tanpa menunggu Revan berpikir lebih jauh dengan santai meraih kerah kemeja Revan. Lalu bibirnya yang lembut dan indah seperti bunga segar mendekat untuk mencium. Namun karena tidak dapat menemukan target, ciuman wanita itu hanya mendarat di pipi Revan, lalu bergeser.

Revan tersentak oleh sentuhan dingin namun lembut yang menyapu wajahnya. Sensasi itu merambat cepat ke seluruh tubuhnya, membangkitkan gejolak panas yang sulit dikendalikan. Di hadapannya, wanita cantik itu menatap dengan ekspresi jernih dan tenang. Wanita itu begitu memesona dan anggun, sosok yang pasti diinginkan banyak pria.

Ia sendiri memang menginginkan malam yang penuh kesenangan. Jadi, untuk apa terlalu banyak berpikir?

Dengan dorongan hasrat yang tidak tertahankan, Revan menarik tubuh lembut itu ke dalam pelukannya. Tanpa banyak kata, ia mencium bibir wanita itu dengan penuh gairah, membiarkan instingnya mengambil alih.

"Ahhh..."

Wanita itu mengerang pelan, campuran antara keluhan dan desahan. Ada protes di matanya, namun juga sorot kebahagiaan yang samar, seolah menikmati cara lidah mereka saling melilit dalam ciuman yang dalam dan panas.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!