"Bodoh!"
Wanita itu terisak pelan, menghapus air mata yang sudah membasahi pipinya sejak ia keluar dari apartemen kekasihnya yang baru saja ia datangi.
"Bodoh!"
Dia kembali memaki, merutuki dirinya sendiri saat ingatannya merekam dengan jelas apa yang ia dengar serta ia lihat.
Rea Raveena, wanita berambut coklat yang kini tengah mengemudikan mobilnya dengan tangis yang tak kunjung mereda akibat rasa sakit dan kecewa yang tengah ia rasakan.
Beberapa saat lalu sebelum ia memutuskan untuk datang menemui sang kekasih, sebuah lamaran datang untuknya. Lamaran yang sebelumnya pernah ia bahas bersama kekasihnya.
Namun, ia tidak menyangka jika lamaran itu akan datang lebih cepat dari yang ia duga. Hingga ia memutuskan untuk menemui sang kekasih untuk mempertanyakan apa yang terjadi.
Sayangnya, niat itu berbuntut kekecewaan mendalam ketika ia tiba di apartemen sang kekasih, ia justru mendengar suara tawa dari seseorang yang sangat ia kenali, suara tawa kekasihnya bersama wanita yang menjadi sahabatnya.
Evie Elizabet, sahabat Rea yang juga mengetahui bahwa pria bernama Alec Maverick adalah kekasihnya. Nyatanya, wanita itu justru tengah bermesraan bersama Alec saat Rea tiba di apartemen Alec.
Pandangan Rea mengabur, air mata yang menggenang di pelupuk mata justru membuat adegan itu terputar ulang dengan sangat jelas di depan matanya.
"Aku mulai bosan berpura-pura mencintainya,"
Apa yang Alec ucapkan masuk ke dalam pendengaran Rea dengan sangat jelas, mengubah langkah kakinya menjadi mengendap saat ia baru saja masuk ke dalam apartemen sang kekasih menggunakan kunci cadangan.
"Tahanlah sedikit lagi,"
Suara berikutnya yang Rea dengar berhasil membuat air matanya bergulir pelan.
"Bukankah Rea setuju untuk menikah dengan Tuan Kai Rylan? Dengan begitu, kita bisa menggunakan Rea untuk merebut proyek Tuan Kai dengan mudah,"
Rea membeku di tempat, tubuhnya seakan lumpuh seketika. Pandangannya terpaku pada Alec dan Evie yang kini tengah berpelukan mesra.
Evie yang selama ini ia kenal baik dan selalu berada dipihaknya, membela dirinya ketika ia ditindas, bahkan melindunginya ketika seseorang mengganggu, justru menjadi satu-satunya orang yang menggoreskan luka dengan begitu dalam.
"Jika bukan karena proyek yang ingin aku dapatkan darinya, aku sudah meninggalkannya sejak lama," ucap Alec.
"Lagipula, apa yang dia miliki selain wajahnya yang cantik? Otaknya tidak lebih baik dari seekor keledai, sangat mudah untuk kubodohi selama empat tahun kita menjalin hubungan. Jika aku bisa mendapatkan proyek ini dari tangan paman Kai dengan memanfaatkan si bodoh itu, akan sangat mudah bagiku menyingkirkan paman Kai dari dunia bisnis, termasuk menendang dia dari keluarga,"
"Aku kasihan padanya," ucap Evie.
"Pada Rea, atau pada pamanku? Kau menyukainya?" selidik Alec seraya menarik Evie lebih dekat, melingkari pinggang wanita itu untuk mengunci pergerakannya.
Evie terkekeh pelan.
"Mungkin keduanya," jawab Evie manja sembari melingkarkan kedua tangannya di leher Alec. "Atau mungkin tidak sama sekali,"
"Pamanku hanya orang buta yang menjadi beban keluarga, dan Rea hanya alat bagiku untuk meraih apa yang ingin aku dapatkan. Sialnya, Rea memiliki hubungan dengan pemilik bisnis tertinggi saat ini, dan karena alasan itu jugalah aku tetap harus bersikap manis padanya,"
"Kamu sangat jahat, Alec," ucap Evie tersenyum.
"Kau lebih jahat karena selalu menyiksaku dengan datang bersama Rea setiap kali kamu datang kemari," sahut Alec.
"Aku tidak memiliki pilihan," jawab Evie menaikkan bahu.
"Aku juga perlu bersikap baik padanya, dan dia adalah kekasihmu,"
"Tapi, kaulah yang ingin aku nikahi, bukan Rea," jawab Alec.
Satu tangan Alec bergerak naik, menahan tengkuk Evie saat menemukan bibir wanita itu, menyesapnya dalam.
Rea memejamkan mata, berharap apa yang ia lihat hanyalah mimpi buruk. Tapi suara ciuman mereka memaksa Rea untuk kembali membuka kedua matanya, menampar sekali lagi pada kenyataan bahwa pria yang ia cinta mengkhianatinya. Hatinya hancur dalam sekejap.
Dua insan itu tenggelam dalam permainan yang mereka ciptakan sendiri, tangan keduannya mulai menanggalkan pakaian satu sama lain, memperdengarkan suara yang membuat hatinya kian hancur.
Rea melangkah mundur, tidak sanggup untuk melihat lebih jauh apa yang akan mereka berdua lakukan, meninggalkan apartemen Alec tanpa suara, memastikan mereka berdua tidak menyadari kedatangannya.
Kedua tangan Rea mencengkram kemudi mobil, air matanya masih terus mengalir. Janji manis yang selalu ia dengar dari mulut sang kekasih berubah menjadi sembilu yang menyayat hatinya. Dengan satu tarikan pada tuas transmisi, Rea meninggalkan apartemen yang Alec tinggali.
"Mengapa..."
"Bagaimana bisa...?"
Rea menggigit bibirnya, berusaha meredam tangis. Tetapi, air matanya terus mengalir. Pikirannya mendadak kosong, hatinya hampa, hingga ia kembali menarik tuas transmisi sekaligus menginjak pedal gas lebih dalam.
Kecepatan mobil yang Rea kemudikan meningkat, pikiran serta hatinya yang sedang kacau membuat dirinya kehilangan kendali sesaat setelah mobilnya berbelok, wajahnya seketika memucat menyadari rem mobil tidak berfungsi yang mengakibatkan mobilnya menabrak pembatas jalan setelah Rea berhasil menghindar dari orang yang hampir ia tabrak.
'Brakk... Crash...!'
Suara benturan keras terdengar diikuti dengan hancurnya kaca mobil. Tubuh Rea terdorong maju membentur kemudi, meninggalkan rasa sakit pada sekujur tubuhnya.
"Sakit..."
Rea merintih lirih, berusaha untuk keluar dari mobil yang gagal ia lakukan, ia bahkan kesulitan menggrakkan tubuhnya sendiri. Pandangannya perlahan mengabur, meski samar ia bisa melihat banyak orang mulai berkerumun mengelilingi mobil, berusaha membantu. Sayangnya, kesadaran Rea memudar seiring dengan kegelapan yang menariknya lebih jauh ke dalam kegelapan yang lebih pekat.
Maafkan aku... Paman...
. . . .
. . . ..
To be continued....
"Akh...!"
Rea mengerang pelan, segera memegangi kepalanya kala rasa nyeri itu terasa kuat ia rasakan. Gerakan saat akan bangun dari berbaring pun urung ia lakukan saat rasa sakit pada sekujur tubuhnya mengambil alih, memaksa Rea untuk membuka mata yang sebelumnya terpejam untuk mencari tahu di mana kini dirinya berada.
Netranya menatap langit-langit bernuansa putih, mengerjap pelan untuk menyesuaikan cahaya, dan tersentak saat tangannya merasakan sentuhan lembut seseorang.
"Re..."
Panggilan itu begitu lembut untuk didengar, satu alasan untuk membuat Rea menoleh ke arah sumber suara, hanya untuk menemukan sosok pria dewasa dengan pandangan lurus ke depan duduk si sisi tempat tidur tempat Rea terbaring.
Kai Rylan, pria dewasa berusia matang yang memiliki wajah sempurna, sayangnya tidak dengan penglihatan pria itu. Memiliki perusahaan sendiri, sekaligus pemilik saham ketiga terbesar di kota. Pria yang Rea kenal sejak beberapa bulan lalu melalui kekasihnya.
Wajah murung yang Kai perlihatkan justru membuat ingatan Rea terlempar ke masa di mana Alec meminta dirinya untuk mendekati Kai yang memiliki usia jauh lebih tua darinya.
"Kamu gila!"
Rea berseru marah kala itu usai mendengar permintaan sang kekasih yang meminta dirinya untuk menikah dengan pria yang Alec tunjukkan potretnya.
"Itu sama saja kamu ingin aku mempermainkan perasaan seseorang!" ucap Rea.
"Hanya sementara, Sayang," bujuk Alec.
"Kamu hanya perlu menikah dengannya, bukan menjalani kehidupan pernikahan bersamanya,"
"Aku tidak mau! Aku tidak mencintainya. Bagaimana bisa kamu menyerahkan aku pada pria yang jauh lebih tua dariku, darimu? Dan dia buta!" sambut Rea tidak senang.
"Dengar!" Alec meletakkan kedua tangannya di bahu Rea, menahan wanita itu untuk tidak berpaling dalam usahanya membujuk sang kekasih.
"Perusahaan yang sedang aku kembangkan, akan sangat mudah dijatuhkan olehnya. Kamu menikah dengannya hanya untuk memantau apa saja yang dia lakukan dan melaporkan semuanya padaku. Dengan begitu, aku bisa lebih unggul darinya,"
"Jika aku berhasil melampaui bisnisnya, aku akan menikahimu,"
"*Tapi, aku tidak menyukai cara*mu,"
"Kamu hanya perlu menerima tawaran jika dia memintamu menikah dengannya, itu saja," jawab Alec.
"Itu saja? Mudah sekali kamu berbicara!" Rea menyipitkan mata, tak terima.
"Apakah begitu caramu untuk mengatakan bahwa kamu menjualku?"
"Sayang, bukan itu maksudku," sanggah Alec.
"Kamu menikah dengannya tentu saja akan ada perjanjian hitam di atas putih. Kamu tidak perlu melayaninya di atas tempat tidur selama kamu tidak ingin,"
"Tapi..."
"Dia adalah orang yang pernah menghancurkan keluargaku," potong Alec cepat.
"Apa?"
Alec mengangguk, memberikan wajah sendu.
"Aku ingin mengambil kembali apa yang memang menjadi milikku, dan hanya itu cara yang terpikirkan olehku. Kamu menikah dengannya,"
Kepala Rea tertunduk, ingin sekali membantu, tetapi ia tidak menyukai cara yang Alec gunakan.
"Caranya?" lirih Rea.
"Aku yang akan mengurusnya. Kamu hanya perlu mendekatinya, mengobrol, membuat dia nyaman bersamamu, dan aku akan membuat skenario pernikahan bisnis untuk keluarganya," jawab Alec.
"Kamu mengenal keluarganya?" tanya Rea.
"Kami mengenal karena kami berada dalam bisnis yang sama," jawab Alec.
"Tapi, bagaimana jika dia tahu rencanamu? Bagaimana denganku?" tanya Rea murung.
"Aku akan selalu bersamamu, percayalah!"
Sejak saat itulah, Alec memainkan drama yang membuat pertemuan Rea dan Kai terjadi secara alami, menempatkan Rea pada situasi menjadi penolong setiap saat, hingga menumbuhkan rasa nyaman di hati pria itu.
Tanpa sadar, air mata Rea bergulir, kedua matanya terpejam dengan suara isakan pelan. Merutuki dirinya sendiri betapa bodohnya ia yang sudah menelan mentah begitu saja apa yang Alec ucapkan.
Fakta bahwa Kai adalah paman dari sang kekasih membuat hatinya lebih tenggelam dalam rasa bersalah meski semua rencana itu bukan keinginan hatinya. Tetap saja, ia melakukan semua yang Alec minta dengan kesadaran penuh.
"Re..."
Rea menghapus air matanya menggunakan satu tangan yang masih bebas, berusaha untuk tidak membuat pria itu khawatir.
"Kamu sudah bangun?" tanya Kai.
Rea tidak segera memberikan jawaban. Netranya mengunci wajah Kai yang tidak mengarahkan pandangan padanya, pandangan kosong pria itu tidak cukup menutupi kekhawatiran yang ada.
Sikap lembut tanpa kepalsuan yang selama ini Kai perlihatkan tidak pernah menyentuh hati Rea. Ia hanya mencatat dalam benaknya untuk mencapai tujuan yang diinginkan sang kekasih tanpa memperdulikan bagaimana perasaan Kai. Dan sekarang, rasa bersalah itu menggerogoti hatinya.
"Kenapa kamu di sini?" tanya Rea setengah terisak.
"Kamu menangis?" Kai bertanya panik, segera berdiri dari duduknya dengan tangan terulur sembari meraba untuk menjangkau wajah Rea.
"Di mana yang sakit?" tanya Kai lagi.
"Jim!"
Kai berseru setelah menunggu, tetapi tidak mendapatkan jawaban. Sesaat kemudian, pintu ruang perawatan terbuka diikuti sosok pria berkacamata yang Rea kenali sebagai asisten dari Kai.
"Saya, Tuan,"
"Panggil dokter!" perintah Kai.
"Baik,"
Pria berkacamata yang dipanggil Jim itu berbalik, meninggalkan ruangan selama beberapa saat dan kembali bersama dokter di belakangnya.
"Kondisi Nona Rea baik-baik saja, Tuan. Anda tidak perlu khawatir," ucap Dokter usai melakukan pemeriksaan.
"Tapi dia menangis. Dia pasti kesakitan. Lakukan pemeriksaan ulang!" ucap Kai tidak tenang.
"Pasien mungkin merasakan nyeri pada cedera kepala yang dialami. Tetapi, tidak ada kerusakan serius pada tubuh pasien," jelas Dokter.
"Nona hanya perlu istirahat total selama beberapa hari untuk pemulihan," Dokter menambahkan.
"Tapi..."
"Aku baik-baik saja," Rea menyela cepat, berharap tindakanya menghentikan protes yang tengah Kai lakukan.
"Kamu yakin?" tanya Kai memastikan.
Rea mengangguk, kemudian tersenyum menyadari Kai tidak akan melihat apa yang ia lakukan.
"Ya,"
Kai membawa langkahnya mendekat pada Rea setelah dokter pergi meninggalkan ruangan, kembali duduk di kursi yang tersedia di samping tempat tidur, lalu meraih tangan Rea untuk ia genggam.
"Maaf, jika aku bukan orang yang kamu harapkan untuk datang,"
"Bagaimana kamu bisa tahu aku kecelakaan?" tanya Rea.
"Beberapa orangku mengikutimu saat aku tahu kamu pergi setelah mendengar lamaran yang aku berikan. Mereka juga melihatmu saat kamu keluar dari apartemen yang kamu kunjungi, tapi mereka gagal menghentikan kecelakaan yang terjadi," terang Kai.
"Maaf,"
"Paman bahkan tidak melakukan kesalahan, kenapa meminta maaf?" sambut Rea.
"Aku memang tidak tahu apartemen siapa yang kamu kunjungi, serta alasan mengapa kamu menangis saat meninggalkan apartemen itu," ucap Kai lirih.
"Tapi, jika alasan kamu meninggalkan rumah di tengah kedatanganku, aku bisa menebak apa alasannya. Kamu ingin menolak pernikahan bisnis ini, benar bukan?"
Rea terdiam dengan pandangan terkunci pada wajah Kai. Entah bagaimana, Rea justru merasa Kai kini tengah menatapnya. Hal yang membuat Rea mengangkat satu tangannya dan melambai pelan tepat di wajah Kai.
Pandangan Kai tetap kosong, tak berkedip.
"Aku akan katakan pada kedua orang tuamu bahwa akulah yang membatalkan pernikahan, bukan dirimu," Kai berkata lagi.
"Tidak!" Rea menjawab cepat disertai gelengan kepala.
"Ayo kita menikah!"
"A-Apa?" sambut Kai melebarkan kedua matanya.
"Aku setuju untuk menikah denganmu,"
. . . .
. . . .
To be continued...
"Aku setuju untuk menikah denganmu,"
Apa yang baru saja Rea ucapkan membuat Kai terpaku di tempat duduknya selama beberapa saat, kepalanya bergerak seakan ia tengah menajamkan pendengarannya.
"Kamu mendengarku, Paman," ucap Rea.
"Apakah kamu sadar dengan apa yang kamu katakan, Re?" tanya Kai.
"Apakah Paman menganggap aku sedang membual?" Rea balas bertanya.
Kai mendesah pelan.
"Jika ini tentang bisnis keluargamu, kamu tidak perlu khawatir. Aku akan membantu sebisaku tanpa ikatan pernikahan,"
"Aku sadar, aku tidak pantas untukmu, dan usia kita terpaut terlalu jauh,"
"Tidak!" Rea menggeleng.
"Aku setuju tanpa desakan atau tuntutan apapun. Dan tolong jangan katakan apa saja yang membuat diri Paman terlihat rendah. Aku tidak menyukainya. Lagipula, Paman memiliki wajah tampan, jadi aku tidak akan rugi bukan?" sambungnya diakhiri kekehan pelan, berusaha untuk menutupi perih yang masih terasa di hatinya.
Meski samar dan hanya sekilas, Rea bisa melihat rona merah di wajah pria buta yang kini duduk di samping tempat tidurnya.
"Tapi aku buta," ucap Kai.
"Setidaknya hati Paman tidak," jawab Rea sembari menaikkan bahu.
"Apakah kamu tidak malu?" Kai bertanya lagi.
"Paman bahkan tidak malu saat melamarku, kenapa sekarang bertanya tentang aku malu atau tidak?" balas Rea.
"Awalnya memang tidak," sahut Kai. "Tapi, setelah melihatmu pergi meninggalkan rumah dalam keadaan marah, aku memikirkan ulang tindakanku,"
"Aku tidak seharusnya mengikatmu dalam pernikahan yang tidak kamu inginkan,"
"Sekarang aku menginginkannya," jawab Rea.
"Terpaksa," Kai tersenyum, menyembunyikan getir yang hatinya rasakan.
"Kamu terpaksa melakukannya karena ingin membantu bisnis keluargamu,"
"Apakah karena Paman sudah menemukan seseorang yang lebih cantik dariku?" tanya Rea lirih.
"Apa?" Sambut Kai mengerutkan kening, tak habis pikir dengan pertanyaan yang baru saja ia dengar.
"Itulah mengapa Paman tidak mau lagi melanjutkan niat Paman untuk melamarku, bukan? Aku tidak layak, terutama dengan sikap kekanakan yang aku miliki, sikap impulsif yang aku lakukan, dan..."
"Stop!" Kai mengangkat satu tangannya untuk menghentikan Rea berbicara, menunjukkan ekspresi tidak senang sembari menghela napas.
"Kenapa sekarang justru kamu yang merendahkan dirimu sendiri? Aku hanya ingin kamu memikirkan ulang apa yang menjadi keputusanmu tanpa penyesalan dikemudian hari. Pernikahan bukan hal yang bisa kamu permainkan, Re!"
"Aku tahu, dan keputusanku tidak berubah. Aku bersedia menikah dengan Paman," jawab Rea.
Tok... Tok... Tok...
Suara ketukan pintu kamar perawatan tiba-tiba terdengar diikuti sosok Jim membuka pintu dan melangkah masuk, menahan Kai untuk kembali berbicara seakan pria itu bisa mengetahui bahwa asistennya mendekat.
"Tuan,"
"Ada apa?" tanya Kai.
Jim membungkuk, mendekatkan wajahnya ke telinga atasannya dengan harapan apa yang akan ia sampaikan tidak terdengar orang lain.
"Orang-orang kita melaporkan bahwa Alec berada di halaman rumah sakit. Sepertinya dia sudah tahu tentang Nona Rea mengalami kecelakaan," bisik Jim.
Kai mengangguk. "Keluarlah! Aku akan menyusul sebentar lagi,"
"Baik," sahut Jim.
"Ada apa? Apakah terjadi sesuatu?" tanya Rea.
"Aku akan keluar sebentar," jawab Kai seraya berdiri.
"Paman tidak akan pergi, bukan?" tanya Rea.
"Aku hanya keluar untuk menemui seseorang yang sudah menungguku di halaman rumah sakit, dan kembali setelah urusanku selesai," jawab Kai.
"Janji?"
"Janji,"
Kai tersenyum, meraba sisi tempat tidur untuk mencari tongkat penuntun miliknya dan pergi meninggalkan ruang perawatan.
"Sayang...!"
Hanya sesaat saja Rea sempat memejamkan mata setelah Kai pergi meninggalkan ruangan, pintu ruang perawatan kembali dibuka diikuti sosok Alec melangkah masuk dengan wajah khawatir. Pria itu bahkan segera memeluk tubuh Rea tanpa memberi ruang bagi wanita itu untuk menghindar.
Rea bergerak tidak nyaman, ingin sekali mendorong tubuh Alec menjauh. Sayangnya, rasa sakit pada sekujur tubuhnya membuat ruang geraknya terbatas.
"Ah... Maaf," ucap Alec melepaskan segera pelukannya.
"Aku mengkhawatirkanmu. Kamu baik-baik saja, bukan?"
'Sangat baik. Dan akan menjadi lebih baik jika kau enyah dari hadapanku!' batin Rea.
Rea menghembuskan napas panjang, berusaha untuk meredam emosi yang tengah ia rasakan.
Pengkhianatan, penghinaan dan fakta bagaimana Alec hanya memanfaatkan dirinya dengan memperkenalkan Kai padanya hanya untuk keuntungan pribadi membuat Rea menanamkan dalam benaknya bahwa Alec harus mendapatkan balasan atas apa yang dia lakukan.
Terutama setelah ia mengetahui Kai adalah kerabat Alec sendiri. Melihat pengkhianatan Alec dengan kedua matanya sendiri membuat Rea berpikir bahwa semua yang Alec ceritakan padanya hanyalah dusta. Dan Kai merupakan korban dari keserakahan yang Alec miliki.
'Aku benar-benar bodoh percaya pada orang seperti dia selama ini,'
"Ada apa kau kemari?" Rea bertanya dingin.
Alec terdiam, keningnya berkerut dengan netra menatap lekat wajah wanitanya yang kini memberikan sorot dingin padanya. Hal yang tidak pernah Rea lakukan sejak mereka menjalin hubungan.
"Apakah kamu marah karena aku tidak di sisimu saat kamu bangun?" tanya Alec.
"Bukan, aku marah karena kau datang kemari," jawab Rea.
"Ayolah Sayang, aku minta maaf. Aku terlambat mengetahui kabar tentangmu. Aku bahkan segera kemari dan meninggalkan urusan kantor hanya untukmu begitu tahu kamu masuk rumah sakit, tidakkah itu cukup?" bujuk Alec.
Rea mendengus. 'Urusan kantor katanya?' batinnya.
"Sayang..."
Panggilan sehalus beludru yang sebelumnya mampu meluluhkan hati Rea, kini justru membuat wanita itu merasa mual mendengarnya.
"Keluar! Aku ingin istirahat!" usir Rea.
Alec kembali terdiam, merasakan betapa kekasihnya bersikap berbeda dari biasanya. Ia yakin Rea hanya sedang marah padanya karena sempat mengabaikan panggilan serta tidak membalas pesan yang wanita itu kirim.
"Baiklah... Aku mengerti kenapa kamu bersikap seperti ini. Aku minta maaf karena sudah mengabaikan panggilan serta pesan darimu, bisakah kamu memaafkan aku? Aku janji tidak akan mengulanginya lagi,"
Alec mendekat, mengulurkan tangan untuk menyentuh wajah Rea yang gagal ia lakukan saat wanita itu dengan cepat menepis tangannya.
"Aku akan menikah, kuharap kau tahu apa batasanmu," ujar Rea tajam.
"Ahh... Si buta itu sudah melamarmu. Itu sesuai dengan rencana kita bukan?" sambut Alec tersenyum, sangat yakin Rea tetap mencintainya meski menikahi orang lain.
"Dan orang yang kau sebut buta itu adalah pamanmu sendiri,"
Deg...!
"Sekarang, kaluar! Aku tidak ingin melihatmu. Hubungan kita berakhir. Itu yang kau inginkan bukan?" ucap Rea.
"Apakah dia yang mengatakannya?" tanya Alec.
"Kaulah yang mengatakannya," jawab Rea.
"Aku? Kapan?" sambut Alec.
Alec kembali mendekat, mengulurkan tangan untuk memeluk wanitanya dengan pemikiran bahwa Rea masih kesal karena ia abaikan. Akan tetapi, ia kembali mendapat penolakan saat wanita itu justru mendorong dadanya menjauh. Bahkan memberikan sorot tajam padanya.
"Baiklah... Aku mengaku," desah Alec.
"Dia memang pamanku. Tapi, apa yang aku ceritakan sebelumnya padamu tentang dia adalah benar. Kamu percaya padaku, bukan?"
Alec kembali mendekat, mendapatkan penolakan untuk kesekian kalinya dari wanita yang selalu mencintai dirinya seakan apa yang ia katakan tidaklah cukup untuk meluluhkan hati wanita itu.
"Baiklah... Aku akan mengalah kali ini. Melihat kepalamu diperban, sepertinya kamu mendapatkan benturan cukup keras. Aku akan kembali besok setelah suasana hatimu membaik. Jaga dirimu, Sayang,"
Rea mendengus, menatap punggung Alec dengan kekecewaan yang tidak bisa ia tunjukkan sepenuhnya terhadap pria itu sebelum melakukan pembalasan.
. ... .
. . . ..
To be continued...
NOTE :
- Impulsif
Adalah melakukan sesuatu tanpa berpikir atau mempertimbangkan konsekuensinya. Biasanya dilakukan secara spontan atau mendadak akibat kurangnya pengendalian diri untuk bertindak sesuai keinginan tanpa mempertimbangkan resiko dalam jangka panjang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!