"Nyonya... Tuan Arka!" ucap seorang asisten rumah tangga dengan khawatir.
"Ada apa dengan anak saya?" jawab Miranda. Tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.
Seluruh anggota keluarga yang awalnya riuh karena sedang mengolok-olok Nadine, kini terdiam. Satu wajah yang tidak bisa menyembunyikan wajah kecemasannya, tak lain adalah istri Arka, Nadine.
Nadine langsung pasang kuping saat mendengar kabar dari suaminya, yang beberapa hari tak kunjung pulang.
"Tuan Arka... tiba-tiba memberi kabar kalau ia ingin pergi jauh dan jangan mencarinya untuk waktu yang cukup lama." ucap asisten itu.
Ucapan itu langsung membuat Nadine shock. Namun, berbeda 180 derajat dengan orang tua Arka, Miranda.
Mertua Nadine tersebut justru menjawab sang asisten dengan entengnya.
"Oh... Arka mau sendiri dulu berarti? Kalau begitu, Baguslah!" jawab Miranda.
"Itu pertanda dan salah satu sinyal, dia tidak puas dengan service yang kau berikan, Nadine." sambung Velove, tante Arka yang memandang Nadine dengan tatapan menghina.
"Berarti Arka sudah mulai bosan denganmu. Paling-paling, diluar sana dia sedang jajan dengan wanita lain. Kujamin itu." sahut tante Arka lainnya, Vania yang meruntuhkan semangat Nadine.
Nadine tidak bereaksi apapun. Ia justru memikirkan Arka yang tidak memberitahu ataupun pamit sama sekali padanya.
"Hmph! Sudah kuduga! Arka akhirnya sadar juga kalau kau itu bukan wanita yang pantas untuknya!" tambah Miranda.
Nadine cuma bisa menatap mertuanya dengan pandangan terpukul dan berucap, "Saya tidak tahu kenapa mas Arka pergi. Kami tidak ada masalah apapun. Lagipula, mas Arka bilang akan memberikanku hadiah saat pulang nanti. Saya akan mencari tahu, tapi—"
Tidak memberikan kesempatan, Vania menyela dengan nada mengejek, "Sudah jelas, kan? Lihat diri kamu! Kamu itu siapa? Perempuan kampung yang tiba-tiba masuk ke keluarga elite seperti ini! Arka pasti menyesal menikah denganmu." ucapnya sambil tertawa sinis.
Velove mengangkat alis, menatap Nadine dari ujung kepala sampai ujung kaki, "Mungkin memang benar, si Arka bosan dengan wanita kampungan itu, Mba Nia. Atau jangan-jangan, Arka sudah punya pengganti yang lain?"
Nadine mencoba tetap tenang, tapi hatinya terasa terkoyak.
"Mas Arka bukan tipe lelaki seperti itu, Tante. Saya sangat yakin itu. Saya percaya dia punya alasan untuk—"
Miranda menyentakkan sendok ke piring, suaranya meninggi, "Oh, jadi kau masih berharap? Kau pikir Arka akan kembali padamu, hah?! Lihatlah sekelilingmu, Nadine! Kau ini hanya beban untuk keluarga kami! Seharusnya sejak awal, aku mengusirmu dan menghancurkan pernikahan itu!"
Nadine mengepal jemarinya di pangkuan, mencoba mengendalikan perasaannya. Ia ingin berteriak, ingin pula membela diri. Tetapi ia tahu dan sangat paham, semua itu percuma.
Bagaimanapun juga, mereka tidak pernah menganggapnya bagian dari keluarga.
"Ngomong-ngomong, Nadine... tanpa Arka di sini, kamu itu cuma tamu tak diundang. Berapa lama lagi kamu akan bertahan di rumah ini?" tanya Vania, menyudutkan Nadine.
Nadine kini mulai menegakkan punggungnya, menatap tante Arka itu dengan mata yang berkaca-kaca, tapi tegar.
"Saya istri sah Arka, Tante. Saya tidak akan pergi sampai saya sendiri mendengar kata-kata itu keluar dari mulut dia."
"Hah! Kau keras kepala juga, ya? Baiklah! Bertahanlah di sini kalau kau mau. Tapi jangan harap kami memperlakukanmu seperti nyonya rumah!" sentak Miranda sambil melipat tangan di dada.
Cherry, adik Arka yang sangat cantik jelita, kini ikut membela mami nya.
Ia menertawakan Nadine dengan nada mengejek, "Iya, Mi. Nadine, dengar! Kamu itu sekarang cuma bayangan. Nggak ada gunanya di tempat ini. Tanpa Arka, kamu bukan siapa-siapa!"
Nadine menggigit bibirnya. Setiap kata yang mereka ucapkan bagaikan ujung pisau yang menggores hatinya.
Namun, di balik semua hinaan, ia bersumpah dalam hati—untuk tidak akan kalah. Ia bertekad akan memperjuangkan cinta ini hingga ujung kemampuannya.
Apabila Arka benar-benar pergi untuk selamanya, maka ia akan bangkit, membuktikan bahwa dirinya lebih dari sekadar istri yang ditinggalkan.
Nadine mengangkat dagunya sedikit, menatap mereka satu per satu sebelum akhirnya berkata dengan tenang,
"Saya mungkin bukan siapa-siapa bagi kalian sekarang. Tapi tunggu saja… suatu hari nanti, kalian akan menyesal telah meremehkan saya. Camkan itu!"
Ruang makan keluarga Hartono mendadak sunyi. Hanya terdengar suara piring yang beradu dengan sendok, tanpa ada suara bantahan. Sebuah ultimatum dari Nadine, seolah menyihir seisi ruangan menjadi hening seketika.
Nadine bangkit dari kursinya, melangkah pergi tanpa menoleh ke belakang. Ia tahu, ini belum berakhir. Ia pun paham, seluruh pasang mata semakin sinis menatapnya.
Sudah lebih dari dua belas jam, Nadine tidak mendapat kabar dari Arka. Ia cemas dan khawatir. Tidak seperti anggota keluarga Arka yang nampak biasa saja, setelah mendengar kepergian Arka.
Malam itu, Nadine duduk di ruang tamu, menunggu Arka pulang. Waktu menunjukkan sudah hampir pukul sebelas malam, tapi suaminya belum juga memberi kabar.
Ini bukan pertama kalinya Arka pulang larut. Tapi perasaan Nadine kali ini berbeda. Ada kegelisahan yang menyesakkan dadanya, seolah firasat buruk tengah berbisik di telinga Nadine.
Berulang kali Nadine mencoba menghubungi Arka, tapi panggilannya tak terjawab. Bahkan, pesan-pesan yang ia kirim hanya centang satu.
Nadine menggigit bibirnya, mencoba menenangkan diri.
"Mungkin dia sibuk," gumamnya, menekan kegundahan hatinya agar tenang.
Tapi sanubari hatinya tetap tak bisa berbohong.
Esok paginya, Arka masih belum pulang. Nadine semakin panik. Ia terpaksa menelepon mertuanya yang sedang berada diluar, tetapi jawaban yang ia terima membuat jantungnya hampir berhenti.
"Mulai lancang juga ya kau meneleponku! Dengar, Arka tidak pernah memberi kabar atas kepergiannya pada siapapun. Termasuk pada kami, orang tuanya."
"Tapi, Mi... bagaimana mungkin? Mas Arka tidak pernah pergi tanpa pamit dan berkabar sebelumnya padaku."
"Masa bodoh! Itu bukan urusanku. Tunggu saja tiga hari atau seminggu lagi. Pasti saat pulang, Arka membawa wanita cantik untuk dikenalkan padamu sebagai istri keduanya. Ha-ha-hah!" Ucap Miranda dengan nada sinis sebelum menutup telepon begitu saja.
Nadine memandang layar ponselnya dengan mata berkaca-kaca. Ia mencoba menenangkan diri, berharap Arka memberikan kabar dan akan segera kembali.
Namun, hari berlalu begitu cepat. Satu minggu, dua minggu. Arka masih tak memberikan kabar. Juga tanpa kepulangan.
Nadine duduk di depan rumah megah milik Hartono, menunggu dalam diam. Matanya kosong, wajahnya nampak pucat.
Nadine menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh berlinang. Tapi ia tak bisa membohongi diri sendiri. Suaminya telah menghilang, meninggalkannya tanpa alasan, pun tanpa pesan.
Suatu malam, Nadine memberanikan diri pergi ke kantor Arka. Ia berharap suaminya masih di sana, atau setidaknya ada seseorang yang tahu ke mana Arka pergi.
"Maaf, Bu Nadine. Pak Arka sudah lama tidak masuk kantor," kata salah satu karyawan dengan wajah bingung dan keheranan.
Nadine merasa dunia hanya berputar di satu tempat. Tanpa solusi, tanpa jalan keluar.
"Tidak masuk kantor? Sejak kapan?"
Bersambung...
Dalam pertanyaannya itu, menyimpan banyak harapan dan asa, terkait kabar menghilangnya Arka.
"Sejak dua minggu lalu, Bu." jawab karyawan tersebut.
Dadanya berdebar. Itu berarti sejak hari Arka menghilang, dia bahkan tidak pernah masuk kerja hingga hari ini.
Nadine melangkah pergi keluar kantor dengan langkah gontai. Pikirannya semakin kacau dan kalut. Ke mana perginya Arka? Mengapa suaminya pergi tanpa pamit terlebih dahulu?
Tiba-tiba, sebuah kemungkinan menghantam pikirannya. Apakah Arka pergi karena seseorang? Tega kah suami yang sangat mencintainya, pindah ke lain hati dan mengkhianati Nadine dari belakang?
Semua kecamuk dalam pikiran Nadine seolah digulung ombak samudera yang tak menentu. Menghempas dan menghantam batinnya dari arah tak terduga.
Tidak... Tidak!
Nadine masih menggeleng kuat-kuat. Sedikit rasa cinta megguatkan dirinya.
Ia kemudian memejamkan mata. Mengingat kembali momentum pernikahan mereka. Meyakinkan dalam hati, bahwa: Arka selalu mencintainya.
Namun, saat ia pulang ke rumah, matanya menangkap sesuatu yang tak biasa. Lemari pakaian Arka kosong. Beberapa baju dan barang pribadinya menghilang.
Saat itu juga, Nadine sadar.
Arka tidak sekadar menghilang. Suaminya pergi dengan sengaja. Tanpa pamit sedikitpun padanya.
Ke manakah tujuan Arka pergi dengan mempersiapkan semua itu? Batin Nadine semakin memberontak dan resah. Pikirannya kini bagaikan benang kusut.
------
Lebih dari dua minggu semenjak Nadine tinggal di rumah megah itu, tanpa kehadiran sosok Arka. Ia tabah menunggu.
Selama dua minggu itu pun, ia merasakan layaknya neraka di kediaman Hartono.
Berkali-kali ia mendapaat cemooh, caci maki, bahkan kekerasan oleh mertua dan juga kerabat suaminya.
Nadine sudah tidak sanggup lagi berada di rumah tersebut. Satu-satunya hal yang menguatkannya adalah kehadiran sang suami. Hanya Arka seorang, yang paling ditunggu Nadine.
Itulah satu-satunya obat paling ampuh, yang dapat menyembuhkan resah dalam pkiran, dan luka dalam batinnya saat ini.
Namun, Arka tak kunjung memberikan kabar maupun pesan sebelum kepergiannya.
"Anakku sedang pergi dalam jangka waktu yang lama untuk urusan bisnis penting. Kamu nggak usah nungguin dia lagi!" ketus Miranda kepada Nadine pagi itu.
"Kenapa saya dilarang untuk menunggu suami sendiri, tante?" tanya Nadine keheranan.
"Ya, cuma ngasih saran aja. Biasanya, seorang Manager atau CEO muda yang habis pulang dari rapat bisnis, di sana dia udah jajan atau punya simpanan baru. Laki-laki mana yang bisa tahan tiga hari tanpa kehangatan dari seorang wanita!" lanjut Miranda memprovokasi Nadine, menantu yang sama sekali tidak dianggap hingga sekarang.
"Nggak mungkin! Arka sangat mencintaiku. Dia tidak akan main wanita, apalagi berselingkuh di belakangku!" ucap Nadine dengan mantap dan penuh keyakinan.
"Yeee... gadis kampungan kayak kamu, mana paham dunia bisnis yang penuh kepenatan itu! Pasti lah mereka butuh hiburan selama memikirkan hal besar. Salah satu hiburannya... yaaa, apalagi kalau bukan sama wanita penggoda!" jawab Miranda dengan nada kesal.
"Toh... saat mereka jauh dari istri masing-masing, mereka kembali bujang dan burung mereka siap untuk mencari sarang baru!" lanjut Miranda, dengan analoginya yang dia rasa sangat keren.
Miranda belajar hal tersebut dari tontonan drama di televisi.
"Saya tetap nggak percaya, tante! Pokoknya, saya akan menunggu mas Arka sampai kapanpun!" sanggah Nadine.
"Terserah....!!! Kamu emang keras kepala orangnya!" ucap Miranda sambil meninggalkan Nadine yang terdiam di ruang tamu itu.
------
Nadine berkali-kali menguatkan pikirannya. Ia selalu meyakinkan hatinya, kalau Arka tidak akan pernah mengkhianati ataupun menyakitinya. Meski dalam jarak yang sangat jauh sekalipun.
Namun, batinnya kembali terusik oleh bisikan-bisikan yang melemahkan cinta kepada Arka.
Tapi, suami mana yang pergi tanpa berpamitan kepada istrinya? Apalagi, pergi dalam waktu yang lumayan lama? Batinnya kembali berguncang.
Perlahan tapi yakin, Nadine percaya kalau ia sedang dijauhkan oleh suaminya. Semu karena rencana dan perbuatan sang mertua yang sangat membencinya, Miranda.
Sampai pada suatu hari, Nadine mendapat kekerasan yang sudah diluar batas seorang mertua kepada menantunya.
Ia disiram air keras oleh Miranda di bagian wajah..!!!
Untungnya ia sigap memejamkan mata dan melindungi indra penglihatannya itu.
Nadine masih terduduk di lantai, dengan tubuh yang menggigil hebat. Linangan air matanya mengalir deras dan sepasang mata yang bengkak akibat tangis isak berkepanjangan.
Wajahnya yang melepuh oleh sirama air k-ras dari Miranda, terasa semakin perih, seolah terbakar api yang tak kunjung padam.
Sesekali, ia mencoba untuk menguatkan dirinya, mengangkat kepala yang mulai terasa berat, hanya untuk menatap ke arah Bu Minah, asisten rumah tangga kepercayaan Arka.
Namun, rasa sakit yang luar biasa sampai membuatnya kehilangan kekuatan. Tubuh istri muda itu kembali terkulai di pangkuan asisten rumah tangga yang masih setia menemaninya.
Di sekitar mereka, lantai marmer yang berwarna dasar putih, kini berceceran air yang berasal dari teko yang sebelumnya digunakan oleh Miranda untuk menyiram danmenyakiti Nadine.
Tidak ada satu pun penghuni rumah yang peduli, seolah pemandangan menyedihkan barusan, hanyalah hiburan yang sangat menyenangkan untuk dilihat.
Dalam tangisnya, Nadine mengutuk mereka semua!
Bu Minah pun tak mampu menahan belas kasihan dan iba yang semakin membuncah di dalam relung hatinya. Dengan tangan yang gemetar hebat, ia mencoba menyeka keringat yang membasahi kening Nadine, berharap bisa sedikit meringankan penderitaan istri majikannya itu.
"Nyonya Nadine, tolong ditahan rasa sakitnya. Saya akan membawa Anda ke rumah sakit sekarang juga. Bertahanlah!" bisiknya penuh kepanikan, tapi diselimuti kepedulian besar.
Namun, langkahnya segera terhenti saat suara Miranda kembali menggema di ruangan yang luas itu.
"Berani-beraninya kau bawa perempuan murahan ini keluar dari rumahku! Biakan dia tergeletak di situ, supaya merasakan penderitaan yang lebih besar lagi!" Bentakan barusan membuat Bu Minah semakin geram, namun ia tambah kesal karena tidak bisa berbuat banyak.
Asisten senior itu tahu betul, kalau tak ada gunanya melawan wanita kejam seperti Miranda.
Hartono yang sejak tadi hanya berdiri mematung, mengamati rentetan kejadian dengan wajah dingin, akhirnya membuka suara.
"Minah, kau sebaiknya ingat posisimu di rumah ini. Jika kau berani membawa perempuan ini keluar dari rumah, apalagi ke rumah sakit, saya pastikan kau akan menyesal perbuatan itu hingga seumur hidup." gertak Hartono, suaranya terdengar dingin namun penuh aancaman, membuat jantung Bu Minah berdebar lebih cepat.
Bu Minah kini berada dalam dilema besar.
Namun, rasa takutnya tak sebesar iba dan kasihan yang ia rasakan terhadap Nadine.
Dengan napas berat, Bu Minah menggenggam tangan Nadine sampai erat, seolah memberi isyarat khusus, bahwa ia tak akan membiarkan wanita itu menderita sendirian. Ia takkan membiarkan istri cantik majikannya, tersakiti lebih dari ini.
"Saya tidak peduli dengan ancaman itu, Tuan Hartono. Saya cuma mau menyelamatkan Nyonya Nadine. Apalagi beliau ini istri dari majikan saya. Menantua kalian berdua!" balasnya dengan suara bergetar.
Nadine yang merasakan sakit teramat perih, dan masih terisak, hanya bisa mendengar semua perdebatan itu dengan pandangan lemah.
Di dalam hatinya, ia merasa telah hancur lebur, sampai berkeping-keping!
Bagaimana bisa, dua orang yang seharusnya menjadi orang tuanya, menyayangi dan menghormatinya layaknya menantu pada umumnya, tega memperlakukannya seperti ini?
Bahkan, ketika tubuhnya sudah hampir tak berdaya lagi seperti saat ini, mereka masih enggan menunjukkan sedikit pun belas kasih. Justru yang ada malah tambah senang melihat penderitaannya.
"Bu Minah… saya mohon… bawa saya pergi dari sini…" lirihnya hampir tak terdengar. Ia meminta dengan nada parau.
Bersambung....
Suaranya yang semakin lemah, seperti angin yang bergerak begitu lambat, nyaris tak mampu lagi untuk menyampaikan pesan, betapa besar rasa sakit yang sedang ia rasakan.
Namun, bagi Bu Minah, kata-kata dan kode tersebut, sudah sangat cukup, menjadi alasan kuatnya agar segera bertindak dan pergi dari rumah itu!
Dengan penuh keberanian dan resiko besar, Bu Minah berusaha membantu Nadine sebisanya. Bu Minah coba mengangkat istri Arka itu supaya berdiri, meski wanita muda itu nyaris tak memiliki tenaga lagi.
Satu gerakan kecil saja, membuat Nadine mengerang kesakitan.
"Sabar, Nyonya Nadine. Kita akan segera keluar dari neraka ini. Saya janji!" ujar Bu Minah, berusaha menenangkan wanita itu dengan komitmennya.
Wanita berumur lebih dari setengah abad dengan postur tinggi besar itu, dan memiliki tinggi hampir 180 centimeter, nampak kesusahan menggendong Nadine agar tidak merasa kesakitan.
Namun, sebelum kedua kakinya sempat melangkah lebih jauh, Miranda kembali mendekat dengan mimik wajah sangar, dipenuhi luapan amarah.
"Sudah kubilang jangan melangkah lebih dari itu! Berhenti! Kalian tidak boleh meninggalkan rumah ini sebelum aku mengizinkan!" teriaknya dengan sekeras mungkin, sambil menunjuk dan menatap tajam ke arah Bu Minah yang berusaha membopong Nadine.
Kemarahan Miranda yang tambah meletup-letup, membuat suasana di dalam ruangan menjadi lebih tegang.
Nadine hanya bisa terdiam, karena sudah tidak memiliki tenaga lagi. Apalagi untuk membantah.
Ia merasa, bahwa ketidakberdayaannya semakin menjerat layaknya rantai besi.
Dadanya sesak, bukan karena rasa sakit di wajahnya, melainkan karena tekanan batin yang terus-menerus menghimpit.
-----
Nadine coba sekuat tenaga untuk mengucapkan sepatah dua patah kalimat.
"Kenapa Mami begitu membenci saya? Apa salah saya, sampai harus diperlakukan secara kejam seperti ini?" tanyanya dengan suara begitu lirih.
Sepasang mata Nadine yang sudah basah dan penuh air mata, menatap Miranda dengan pandangan kepedihan dan mulai samar.
Namun, lagi-lagi mertuanya itu hanya menanggapi dengan tawa sinis.
"Ha-hah-hah!" Kau masih bertanya apa salahmu? Sejak awal kau masuk ke rumah kami ini, hidup Anakku berubah menjadi berantakan!" ucap Miranda sinis.
"Mulai dari melawan orang tua, membentak tante-tantenya, demi membela wanita murahan sepertimu. Aku sudah bilang dari kedatanganmu, kau adalah pembawa sial di keluarga ini! Lihat sekarang? Anakku menghilang tanpa kabar, dan aku yakin semua ini gara-gara kau!" bentaknya tajam.
Miranda menatap Nadine dengan pandangan sinis. Baginya, sosok wanita dihadapannya itu, sosok istri Arka yang kini tak berdaya, merupakan sumber dari segala bencana yang terjadi dalam hidupnya, berikut keluarganya.
Hati Miranda sudah dipenuhi kegelapan dan kebencian yang tak bisa lagi dikendalikan. Ia sudah bertekad kuat, apapun yang terjadi, Nadine harus segera disingkirkan dari keluarga mereka. Titik!
Sementara itu, Hartono hanya berdiri dengan ekspresi dingin, tidak menunjukkan sedikit pun rasa empati. Ia menganggap, bahwa semua yang terjadi pada Nadine hanyalah konsekuensi karena menikahi keluarga mapan dan papan atas seperti mereka. Nadine harus paham sedari awal, bahwa keberadaannya sama sekali tak diinginkan.
"Istriku selalu benar! Kau lebih baik pergi dari rumah ini, sebelum keadaan semakin buruk. Aku sudah muak melihat wajahmu setiap hari!" ucapnya dengan nada dingin, namun dibaliknya terdapat kalimat seperti cambuk yang kembali menghantam hati Nadine, membuatnya semakin hancur berkeping.
Nadine merasa, memang sudah tak ada lagi tempat untuknya di rumah ini. Sebuah rumah yang seharusnya menjadi tempatnya untuk berlindung.
Bu Minah yang sedang menyangga tubuh Nadine, menatap istri Arka itu dengan penuh iba. Kemudian, tatapan Bu Minah beralih menuju Miranda dan Hartono dengan tatapan marah.
"Apa kalian berdua memang sudah tidak punya hati? Nyonya Nadine adalah istri sah Tuan Arka, dan kalian telah memperlakukannya sehina ini? Di mana perasaan kalian sebagai orang tua atau menantu, HAH?!" suaranya dipenuhi dengan kemarahan yang selama ini ia pendam. Ia sudah tidak peduli konsekuensi apa yang menantinya di depan.
Namun, baik Miranda maupun Hartono tidak terpengaruh. Keduanya tetap acuh tak acuh. Masih santai seperti biasa, seolah tidak terjadi apa-apa.
Pasturi konglomerat itu tetap pada pendirian dan keegoisan mereka, untuk menyingkirkan Nadine dari keluarga, apapun caranya!
Menyadari bahwa tidak ada gunanya lagi berbicara dengan Miranda maupun Hartono, Bu Minah akhirnya mengambil sebuah keputusan besar.
Dengan segenap sisa kekuatan yang masih ia miliki, perlahan Bu Minah membantu Nadine agar dapat berdiri tegak, lalu mulai melangkah menuju pintu keluar.
"Maafkan saya Nyonya, tapi saya nggak bisa membiarkan Nyonya Nadine terus disiksa seperti ini. Saya akan membawa anda ke rumah sakit sekarang juga!" ucapnya tegas.
Meski tubuh besarnya gemetar karena ketakutan, cemas akan konsekuensi besar sebagai bayaran rasa pedulinya, ia tetap melangkah maju.
Nadine salut dan merasa berhutang pada Bu Minah. Meskipun dalam keadaan lemah, ia coba berusaha merespon Bu Minah dengan segenap tenaga yang tersisa.
Namun, baru beberapa langkah keduanya keluar dari ruang tamu, suara Miranda kembali menggema.
"Kalau kau berani keluar selangkah lagi dari rumah ini, jangan pernah sekalipun kembali! Terutama kau, Minah! Aku akan pastikan, kau tidak punya tempat lagi di sini!" ancamnya penuh kebencian.
Bu Minah tidak menghiraukan ancaman itu lagi. Ia tidak ingin terus-terusan bekerja dengan sosok monster seperti Miranda. Bagi Bu Minah, cukuplah sudah. Dan ini hari terakhirnya bersama si monster itu.
Jika dipikir kembali, Nadine lah yang menguatkan tekad dan membuatnya berani menghadapi situasi berat seperti ini. Bu Minah pun tak lupa mengucapkan terima kasih kepada Nadine.
Baginya, yang terpenting sekarang adalah menyelamatkan Nadine. Dengan langkah mantap, ia terus berjalan menuju pintu depan, membawa istri Arka yang masih berjuang untuk bertahan dari rasa sakit yang sangat tak tertahankan itu.
Di luar rumah, udara yang sejuk terasa begitu kontras dengan panas yang masih membakar wajah Nadine. Meskipun tubuhnya lemah, ia merasa sedikit lega, karena akhirnya bisa keluar dari tempat yang selama ini menjadi neraka baginya.
"Bu Minah… terima kasih…" bisiknya lemah.
Bu Minah hanya tersenyum kecil dan menggenggam tangan Nadine lebih erat.
"Jangan khawatir, Nyonya Nadine. Saya tidak akan membiarkan mereka menyakiti Anda lagi. Itu salah satu pesan suami anda. Ayo kita segera pergi dari sini, lalu menuju rumah sakit!" Kata-kata itu menjadi penguat bagi Nadine untuk terus bertahan.
Setibanya di rumah sakit, Bu Minah langsung membawa Nadine menuju UGD, untuk segera mendapat pertolongan pertama dan ruangan nantinya.
"Bu Minah, saya tidak punya uang. Yang saya bawa dari rumah itu adalah pakaian yang sedang menempel pada badan saya. Mau bayar pakai apa?" tanya Nadine dengan lemah dan lemas.
"Tenang saja, Nyonya. Semua bisa diatur. Pokoknya nyonya fokus untuk pemulihan."
Bu Minah akhirnya mengeluarkan sebuah kartu sakti titipan Arka, sebelum Arka pergi. Kartu itu membuat Nadine mendapatkan perawatan khusus kelas VIP maupun VVIP.
Setelah giliran Nadine untuk diperiksa dan diobati telah tiba,
"Nadine... Ya ampun! Wajahmu kenapa? Jangan bilang si brengsek Arka yang telah melakukan ini padamu!"
Ucap dokter yang akan memeriksa Nadine di ruang UGD tersebut. Ia sangat kaget dengan kondisi Nadine. Tapi ucapannya lebih membuat Nadine dan Bu Minah terkejut.
Bersambung....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!