“Dengan Om Rayan?” Kara menghampiri seorang pria, tinggi, rahang tegas, tatapan mata tajam yang terkesan meremehkan, yang berdiri bersandar di pilar hotel.
“Hm?” gumam pria itu.
“Saya Kara, dari aplikasi Rapunzel.”
Pria itu melirik Kara, kini lebih intens, dari atas ke bawah. Lalu ia ulangi lagi aksinya itu sebanyak 2 kali, seakan matanya adalah mesin Scanning.
“Oh, oke Mbak. Yuk ke atas.” beberapa saat kemudian ia tersenyum tipis dan mengantar Kara ke kamar hotel.
Kara mengikuti pria itu.
Seingatnya namanya Rayan. Pria bayaran yang bertugas untuk memuaskannya malam ini.
Dalam hati ia berpikir, tumben yang datang cowok tinggi wangi dan tampak berkelas. Ini beneran sewa perjamnya hanya sejuta? Spek Rolls Royce begini?!
Mereka masuk ke kamar hotel yang telah disewa oleh si Om, tentunya Kara yang akan mengganti uangnya disaat terakhir nanti. Sesuai kesepakatan ia akan transfer biaya jasa ditambah sewa kamar di hotel bintang 5.
Karena Kara tak ingin ada drama.
Ia juga ingin kamar yang mewah dan bagus, biar bisa sekalian foto-foto. Untuk ditunjukkan ke teman-temannya dan… mantan suaminya.
Makanya ia pesan laki-laki yang tampangnya agak lumayan, dengan usia matang.
Setelah memakai jasanya, dan tentu saja Kara merasa sangat puas dengan service yang diberikan.
Udah wangi, ganteng, kuat pula! Ia sampai memuncak berkali-kali!
Tapi ada satu hal yang mereka tak lakukan.
Berciuman.
Berbagai gaya, berbagai tehnik, berbagai metode mereka lakukan. Bahkan menggunakan bantuan alat agar bisa kelojotan. Tapi tak sekalipun mereka berciuman.
Akhirnya pagi pun Kara terbangun karena sinar mentari dari jendela kamar menerpa pelupuk matanya.
Ia sadar ada dimana sekarang.
Ia merenggangkan tubuhnya, lalu memeluk tubuh hangat di sebelahnya.
Om yang tadi malam masih tertidur di sebelahnya.
sebelah tangannya menyambut tubuh Kara, lalu ia posisikan wajahnya menghadap tubuh wanita itu, sambil sesekali menggoda puncak dada Kara.
Kara cekikikan.
Lalu mengelus rambut Om Rayan.
“Om, aku udah mau masuk kerja. Kutransfer aja deh sekarang ya, nanti kita WA-an aja.” kata Kara sambil melirik ke arah layar ponselnya.
si Om pun mengangkat wajahnya dengan mata mengernyit.
“Ha? Transfer?”
“Iya, sesuai kesepakatan kita kan? Dua juta permalam? Tambah harga kamar jadi berapa? Lima jutaan ya?” Kara bahkan tak yakin hitungannya benar.
“Oh… dua juta ya? Kamu nggak nawar lagi? Saya puas loh sama servis kamu.” kata si Om sambil mengambil ponselnya. “Kamar ya tanggungan saya dong. Rekening kamu berapa? Lima juta cukup nggak sama besok lusa?”
Kara pun terdiam.
“Maksudnya Om?”
“Ya kalau kamu mau, saya mau sewa kamu lagi untuk lusa pas weekend.” kata Om Rayan. “Rekening kamu berapa?”
“Saya yang malah mau tanya rekening Om Berapa? Saya mau transfer uangnya nih.”
“Transfer apa?” tanya si Om.
“Ya harga sewa jasa segs kamu dong Oooom.” Kara agak tidak sabar menanggapi si Om.
“Maksudnya kamu yang mau bayar saya? Kan saya yang order kamu? Gimana konsepnya jadi malah kamu yang bayar saya?”
“Saya sebagai per-order loh om.”
“Ha?”
Lalu mereka berdua terdiam karena merasakan adanya keanehan.
dan secara berbarengan menatap ponsel mereka.
“Kamu…” si Om membaca order dari aplikasi Rapunzel. “Kania kan?”
“Kara, Om. Nama saya Kara.” sahut Kara sambil terbelalak karena kaget.
“Hah?!” dan si Om pun mengangkat ponselnya yang ada foto ‘Kania’ ke atas, menyamakan wajahnya dengan Kara. “Lah iya, aslinya jauh lebih cantik.”
“Om ini Om Rayan kan?”
“Nama saya Raka.”
“Loh?” seru Kara sambil membuka foto Om Rayan.
Ya jelas beda dengan yang di foto. Aslinya jauh lebih putih, lebih berotot, dan lebih tampan tentunya.
Dan mereka pun sadar, kalau semalaman mereka bercinta dengan orang yang salah.
“Astaga…” gumam mereka.
Dan fatalnya, mereka sama-sama penyewa jasa. Bukan penyedia jasa.
dan bodohnya lagi, semaleman karena ‘sibuk’ mereka tidak sadar kalau Rayan dan Kania yang asli sudah mengontak ponsel mereka belasan kali sampai akhirnya order itu dibatalkan sepihak dan mereka terkena denda.
“Maaf Om!” Kara langsung berdiri dan menunduk karena tak enak hati.. Ya tapi dia lupa pakai baju.
“Yah, ngapain kamu minta maaf, saya juga salah orang…” gumam Raka sambil geleng-geleng kepala..
Pria itu berdiri dan menyingkirkan selimutnya, lalu berjalan ke arah meja untuk mencari air putih. Ia meminumnya beberapa teguk lalu menyodorkan sisanya ke arah Kara.
Kara menegaknya sampai habis.
lega juga setelah minum.
Mereka terdiam beberapa saat untuk menelaah situasi yang baru aja terjadi.
Dari awal mereka tidak merasa ada hal yang aneh. Ya tapi memang masing-masing dari mereka bersikap agresif sih.
Sikap yang biasanya ditunjukkan seorang 'penyewa'. Sementara 'penyedia' biasanya lebih bersikap pasif sesuai request 'pengorder'.
Raka kira memang itulah sifat dari wanita yang ia sewa malam ini, yang mana sebenanrya itu memacu birahinya jadi semakin tinggi. Ia suka wanita yang agak 'memimpin'.
“Tapi… kamu beneran order laki-laki yang usianya lebih tua dari kamu? Fetish ya?” Raka bersandar di tepi meja, masih tanpa busana, sambil melipat kedua lengannya yang berotot ke depan dadanya yang bidang.
Kara melihat otot perutnya yang sudah puas ia jilati tadi malam.
“Yaaah, pokoknya yang posturnya beda 180 derajat dengan mantan suami saya. Terlihat lebih mapan, lebih baik.” kata Kara sambil menggigit bibirnya. Ia mulai gatel lagi.
Karena melihat anggota tubuh yang menggantung di depannya ini sangat menggoda.
“Ya ampun.” si Om Terkekeh geli. “Umur kamu berapa?”
“22 om.”
“Usia kamu bahkan lebih muda dari cewek yang saya order.” sahut Raka.
“Om sendiri berapa umurnya?”
“Tahun ini 38, single karena capek komitmen.”
“Capek?”
“Saya 3 kali menikah. Dan semua berakhir dengan kegagalan. Ya kamu tahu lah, perceraian yang terjadi dengan kondisi nggak jelas siapa yang salah.”
Kara duduk di sebelah Raka dan memiringkan wajahnya.
“Tiga kali menikah… kok bisa ya? Saya yang menikah sekali saja capek Om. Dulunya dia baik banget, dia anggap saya Ratu. Tapi pas ada cewek yang dadanya lebih besar dari saya, dia mulai jarang pulang.”
“Hm…”
“Hm.” Kara mengangguk sambil mencari bukti foto dari ponselnya. “Tuh lihat deh Om, mana ngajak saya buat poligami. Kan stress tuh orang. Ya mending saya cari gadun lah, walaupun gadun bohongan! Yang penting saya bisa foto-foto biar dia ngiri, menunjukkan kalau saya nggak peduli lagi sama dia.”
“Padahal masih peduli?”
“Yah jelas…” gerutu Kara. “Saya kan nikah pakai cinta, bukan pakai gengsi.”
“Tapi kayaknya beliau menikahi kamu dengan gengsi. Kan bisa naik level kalau nikah sama Putri Salju seperti kamu.” Raka menyeringai. Ia melihat foto mantan suami Kara yang menurutnya standar saja. Kenapa ya laki-laki seperti itu bisa dapat banyak wanita cantik, sementara yang ‘sepertinya’ malah hidup mengenaskan tanpa pasangan?
“Makasih, saya anggap itu pujian.” Kara pun berdiri dan akhirnya bergelayut di perut Raka sambil memeluk pinggangnya. “Btw, sejam lagi saya harus absen di kantor karena harus ikut rapat susunan pengurus yang baru. Ambil tengahnya saja deh Om, karena saya bukan wanita panggilan. Biar sama-sama enak, saya transfer om berapa?”
“Yaaaah, itu namanya kamu merendahkan saya. Emang gaji kamu berapa sih, sampai kamu bisa kasih saya duit ha?” Raka menoyor dahi Kara.
“Cukup lah buat membeli Om Gadun Palsu yang namanya Rayan. Khehehehe.”
“Yeaaah, bisaan kamu nih.” Raka terkekeh sambil mengecup dahi Kara, lalu memeluk wanita itu dengan erat.
Kara memejamkan matanya untuk menikmati kehangatan dari orang asing yang tadi malam sudah membuat hasratnya stabil.
“Kalau begitu… Kamu transfer saja saya dua juta sekarang, seperti harga si Rayan, lalu saya akan transfer kamu lima juta untuk sesi besok lusa. Masing-masing dari kita harus transfer nominal yang disepakati biar ada recordnya. Jadi harga diri kita terselamatkan.”
“Oke. Berbelit-belit, tapi masih oke. Terus... apa maksudnya 'Sesi Besok Lusa'?” tanya Kara.
“Iya, weekend tuh. Bisa dari pagi ke pagi lagi kita. Gimana?”
“2 hari lima juta?”
“Kenapa? Kurang?”
“Pingsan nggak ya saya?”
“Jangan khawatir, saya traktir makan kok.”
“Bukan gituuu, iiih!” Kara mencubit pinggang Raka sambil menjauh pura-pura ngambek. Raka menangkap tangan Kara, lalu memeluknya dari belakang. Dan mulai memasuki tubuh wanita di dekapannya itu.
Kara mengeluh karena merasa perih sekaligus serangan libido yang meledak-ledak.
“Terserah Om Raka…” de sahnya saat ia kembali dikerjai.
**
“Lu makan banyak banget Ra…” desis Puspa saat melihat sahabatnya itu sarapan mie ayam sampai dua mangkok. Ia sendiri hanya minum jus alpukat. itu pun sudah eneg kekenyangan.
“Habis kelar olahraga.” gumam Kara di sela-sela makannya.
“Oh, lu akhirnya jogging pagi-pagi? Semoga bertahan lama deh ya, lo kan bosenan.” sahut Puspa. “Heran deh, ada ya orang olahraga biar gemuk. Sementara yang lain olahraga biar kurus.”
Mana mungkin Kara bilang kalau olahraga yang baru saja ia lakukan termasuk jenis olah tubuh yang berbeda.
“Gue olah raga biar sehat, Puspaaa. Biar sehat! Lo nggak inget hari ini ada apa heh?! Meeting Rapat kinerja! Gue harus banyak makan biar nggak tekanan mental!!” Kara gebrak meja. “Buk, es jeruk!” ia memesan minum ke ibu-ibu kantin.
“Tadi es susunya udah habis neng?!” seru Ibu kantin sambil mengernyit ngeri.
“Udah!” sahut Kara sambil mengangkat gelas kaca kosongnya.
Tak lama Eris datang sambil merengut. “Gawat deh. Laporan keuangan yang kemarin diminta tim-nya Pak Yudhistira belum selesai dong gaes.”
“Kita udah kasih temuan itu sejak dua bulan yang lalu.” kata Kara dengan mulut penuh. “Lu scanning kan tanda terimanya? Sekarang semua data yang dikasih ke Finance harus pakai tanda terima loh ya, lu foto kalo perlu!”
“Ada sih Raaaa, tapi gue punya feeling mendung nih, bakalan tegang banget meeting sekarang.” keluh Eris.
“Ya kalo ada kesalahan Pak Yudhistira nggak jadi kasih modal tambahan ke perusahaan soalnya.” timpal Puspa.
“Ngapain sih lo ikutan pusing? Mereka digaji gede memang buat itu, buat mikir hal-hal yang lebih rumit, bukan urusan kita. Kita mah cukup kerjain porsi kita aja!” Kara menegak es jeruknya.
“Lo habis cerai, blak-blakan banget ya Ra.” kekeh Puspa.
“Perceraian mengajarkan gue untuk lebih menyayangi diri sendiri dulu baru bisa menyayangi orang lain. No Debat, Anti kritik.” sahut Kara sambil meletakkan gelas kaca kosongnya ke atas meja.
Ah, tapi memang benar feeling Eris.
Karena ruangan Rapat Besar di pagi itu mendung.
Hampir badai malah.
Karena hal ini…
Pria berwajah muram inilah masalahnya. Investor baru, sekaligus orang yang mengambil alih semua bisnis PT. Perusahaan ini memang awalnya milik Tantenya, lalu sang tante memilih pensiun karena usia senja, dan keponakannya ini yang diminta untuk memimpin semuanya.
Jelas… semua zona nyaman tidak berlaku di bawahnya.
Total sudah ada 200 orang di- Lay Off karena penggabungan anak usaha.
Dan Pria ini tidak ambil pusing sudah bekerja berapa lama, kontribusi untuk perusahaan apa saja.
Dia tidak suka, dia pecat.
Nama pria itu Yudhistira Raka.
“Topaz Delice menunjukkan angka yang benar-benar tak wajar. Terutama di bagian Finance dan Marketingnya. Laporan dari supply pabrik menunjukan angka sesuai Ratio, tetapi di bagian Marketingnya terdapat selisih yang cukup kentara.” Staff Ahlinya, Alan, menunjukan hasil presentasi dengan kening berkerut.
“Lu ngomong gini, bukan berarti lo nggak nemu siapa tersangkanya kan?” pancing Raka sambil tersenyum sinis.
“Ya pasti ketemu lah bro tersangkanya. Masalahnya dia orang kepercayaan Tante lo dulu, sekaligus dia ada hubungan saudara samaaaa.... Hem…” Alan tidak melanjutkan kalimatnya karena termasuk ke topik tersensitif sejagat raya.
“Sama Lydia, bilang aja begitu.” gumam Raka.
“Iya, sama mantan Nyonya Yudhistira.”
“Ini nyokapnya Raidan bikin masalah aja sih, udah sah putusan sidang masih ganggu gue aje.” gerutu Raka. Suaranya pelan tapi bisa didengar peserta meeting.
“Ini harus double check, Bro.” Elang, salah satu Staff Internal Controll. “Sebelum lu bikin keputusan, tolong kasih gue waktu buat periksa hasil temuan Audit. Gimana?”
“Waktu lo 24 jam.” desis Raka. “Sementara Siti, lo bikin surat pemberitahuan untuk public mengenai penggabungan Topaz Delice dan Topaz Chemicals. Hubungi Pak Effendi dan pak… siapa tuh satu lagi pengacara rekanan kita? Setidaknya harus ada 3 orang pengacara yang mendampingi Pak Effendi.”
“Yang kerja kan cuma Pak Effendi.”
“Ya biar dia kelihatan keren dan posisi kita seakan kuat, gue mau setidaknya 3 orang pengacara.”
“Lo bayar semilyar seorang cuma buat prestise?”
“Yang akan kita hadapi adalah orang pemerintah. Gue males ribet. Kalau bisa pamer kenapa nggak? Mumpung ada budgetnya.” desis Raka. “Tiga setengah miliar cuma receh dibandingkan dengan keuntungan yang akan kita hasilkan dari kemenangan.”
“Harga mentoknya berapa?” tanya Alan.
“Hm. Budgeting 6 miliar.” deiss Raka.
“Oke, gue bakalan ke Topaz Delice untuk ke Bagian Auditnya. 24 jam, gue kasih hasilnya.” Elang langsung membereskan dokumen di depan meja meetingnya dan beranjak untuk ke kantor Cabang.
**
Gita , Kepala Divisi Anak usaha Topaz Industries yang bernama PT. Topaz Delice Aria, masuk ke dalam area kerjanya dengan panik. “Kara! Siapkan dokumen temuan per triwulan dan tahun terakhir. Puspa, kamu siapkan spreadsheet dan kesimpulan yang waktu itu kita bicarakan, dan Eris, kamu siapkan notulen meeting dengan Tim Finance dan Marketing waktu itu yang sudah ditandatangan semua orang.”
Baru saja Gita duduk di kursi kerjanya, Kara sudah datang membawa semua yang diminta.
“Hah? Sudah selesai? Belum sedetik saya minta.” Gita terbengong-bengong
Kara tersenyum maklum ke dua rekannya, Eris dan Puspa yang langsung mengangkat jempolnya tanda semangat ke Gita.
“Kami sudah siapkan dari jauh hari saat kami mendengar kabar kalau Delice dan Chemicals akan digabung. Orang dari Kantor Pusat pasti akan ke sini cepat atau lambat, Bu.” kata Kara. “Anak buah ibu ini beneran kerja, nggak cuma haha hihi sambil ngemil.”
Gita secara cepat memeriksa semua dokumen, ia buka satu persatu, ia periksa email dari Kara, dan menghela nafas lega.
“Alhamdulillah saya punya kaliaaaan!” ia tersenyum terharu.
“Kita ini seringkali dibenci semua orang gara-gara yang beginian. Jadi kami berusaha laporan selengkap mungkin disertai bukti-bukti di backup di dua server. Yang nanti akan datang Pak Alan atau Pak Elang?”
“Pak Elang dari internal Control Pusat.” Kata Gita sambil memeluk Kara. “Saya gugup, walaupun saya tahu saya benar. Tapi berhadapan dengan orang dari kantor pusat rasanya tertekan sekali dibanding menghadapi santet dari divisi lain.”
“Oh iya, tadi pagi ada tanah kuburan di depan pintu ruangan ibu,”
“Ya Ampun…” gerutu Gita sambil melepaskan pelukan Kara.
“Tenang bu, Bapaknya Eris siap sedia.” Kata Kara.
Eris memiliki orang tua yang berprofesi sebagai dukun sakti di kampung, makanya Mata Batin Eris seringkali terbuka. Masalahnya si Erisnya suka nggak ngeh dan terlalu positif thinking. Jadi pertahanan gaibnya kadang sangat lemah. Dia lihat Gita baru masuk kantor disapanya, dan ternyata Bu Gita masih di rumah. Pas Gita datang, dia kembali sapa dan dengan entengnya bilang “Ibu tadi ada dua, sekalian saya saya minta tolong yang KW untuk menghadiri Rapat Direksi agar Bu Gita yang asli bisa makan siang bareng kami.”
“Kata bapak saya, itu hanya kuburan biasa untuk menggertak. Mantranya nggak kuat.” kata Eris menanggapi tanah kuburan di depan pintu.
“Kamu buang kemana tanahnya?” tanya Gita.
“Saya campur ke tanaman di beranda, kan lumayan bisa untuk menggemburkan Gelombang Cinta.”
“Dah lah setannya pindah ke beranda. Bentar lagi kalo ada yang bundir dari sana gue nggak heran lagi.” Gumam Kara.
“Seharusnya Divisi Audit memiliki tempat sendiri di Kantor Pusat. Jadi posisinya bisa lebih secure dan lebih nyaman untuk bekerja.” gumam Gita sambil memeriksa kembali semua data. Double Check diperlukan untuk menghindari mispersepsi.
“Kita juga harus Dandan. Bu, tampang ibu berantakan.” Puspa masuk ruangan sambil menyisir rambut Gita. “Catokan ambil catokan, blownya kurang ngembang.” ia memberi instruksi ke Kara yang dengan sigap langsung mengambil catokan, dan pengharum ruangan viral.
“Cek persediaan dapur. Kopi? Teh? Jus?”
“Jus nggak perlu kali Ra.” desis Puspa.
“Justru sebagai tim Audit, kita perlu Jus, terutama Buah. Kita butuh Vitamin C dosis tinggi!” Kara memang memiliki sifat menggebu-gebu, dan ia sebenarnya tukang merajuk. Tapi jika dibutuhkan, herannya dia selalu bisa menjadi problem solving, si solusi segala masalah.
“Ya terserah lo, kan gue juga yang seneng kalo kulkas kita penuh.” kekeh Puspa.
Lalu dua orang anggota mereka masuk ke dalam ruangan dengan terburu-buru. Devan dan Kei langsung membereskan semua dokumen di meja sambil teriak. “Pak Elang datang, sama Pak Yudhis!! Mereka bareng Pak Dirut Woooy!!”
“Astaghfirullah! Pak Yudhis juga ada? Katanya cuma Pak Elang!” Bu Gita makin panik.
“Pak Yudhis yang gimana sih orangnya?” tanya Eris.
“Yang jelas dia guallak dan juuutekk buangett! Katanya kalo mecat orang nggak pake babibu!” seru Puspa sambil ikut beres-beres.
“Dia anti wanita gara-gara pernikahannya gagal 3 kali! Makanya kalian jangan pake baju yang seksi-seksi, bakalan diskors kalian!” seru Bu Gita sambil mengganti roknya dengan celana panjang.
“Duuuh jangan panik dong!!” Seru Kara kesal. “Yang kalian hadapi itu cuma manusia! Kita tuh nggak salah ngapain takut deh?! Kalo dipecat ya udah takdir anggap aja kerja di sini nggak bagus buat kesehatan mental yakin aja rejeki nggak bakalan ketuker!”
Semua diam.
Menelaah perkataan Kara.
Dan semuanya pun mengangguk membenarkan.
Ngapain ya mereka panik. Memangnya mereka berbuat salah?
“Teman-teman, saya baca di gosip bisnis, sebelum jadi Share Holder, Pak Yudhistira itu yatim piatu yang diasuh oleh Tantenya. Ekonomi mereka juga tidak sebaik sekarang! Bedanya, dia sukses lebih dulu daripada kita dengan izin Tuhan! Yakin aja kalau kita anggap dia motivator, dan bukannya Dewa, suksesnya bakalan nular ke kita. Justru Musyrik kalo kita mendewakannya!”
“Ah…Betul!!” Seru Gita sambil angkat tangan. “Semangat yuk!”
“Merdeka!” seru Kara.
“Merdeka!!” seru semua.
“Lu ngomong musrik-musrik, cupangan di leher lo tuh tutupin dulu! Yang habis maen sama gadun!” umpat Puspa.
“Njirr!” seru Kara langsung ke arah kaca.
“Jogging apa’an?! Jogging di kasur hotel lo!” gerutu Puspa.
**
Dan saat sosoknya memasuki ruang Auditor, Kara sudah ternganga tak percaya.
“Si Om…?!” gumamnya pelan.
Ia kucek-kucek matanya dua kali.
Dan sosok itu benar-benar dia.
“Gila gue udah keracunan pesona Om Gadun ini sih… Ini pasti cuma khayalan gue.” desisnya sambil melipir ke belakang meja untuk minum air putih diam-diam.
Tapi setelah pandangannya terang kembali.
Sosok itu masih ada!
“Ajigile!” umpatnya sambil langsung sembunyi ke belakang Puspa.
Puspa hanya menatapnya sambil mengernyit.
“Nape lu?!” bisik Puspa.
“Nggak papaaaaa.”
“Nggak papa apanya?! Tangan lo dingin banget pake ngeremet gue lagi!” Puspa menepuk tangan Kara yang rupanya memang mencengkeram lengan wanita itu dengan kencang.
“Gue tiba-tiba… pusing.” Kara mencari alasan supaya dia bisa keluar dari ruangan itu. Mumpung Bu Gita sedang mengobrol basa-basi sama para pejabat.
Tampak yang namanya Pak Yudhis, a.k.a Yudhistira Raka, alias Om Raka, menyapu ruangan Audit dengan mimik muka puas.
“Lo kebanyakan mie ayam! Makanya... Begok sia!” umpat Puspa.
“Duh…” Kara merasa dia tidak bisa pergi lagi.
Gita membutuhkannya untuk penyajian Data, karena semua itu Kara yang atur.
Jadi ya sudahlah.
Ia tegakkan tubuhnya, ia rapikan rambut dan riasannya.
Yang akan terjadi, terjadilah.
“Ya Kara?” sahut Bu Gita sambil menatapnya.
Semua akhirnya menatap Kara.
Raka sampai menyipitkan matanya saat menatap wanita muda itu.
dari menyipitkan mata, ia kini membelalakkan matanya.
Kara menatapnya dengan penuh arti.
Lalu yah.
Wanita itu pun tersenyum karena sudah tidak tahu harus apa lagi.
“Tepatnya, pemenuhan temuan hanya 45% selama 3 tahun. Temuan yang sama, dengan klien yang berbeda. Tahun lalu lebih parah, hanya 20% yang mereka penuhi.” sahut Kara.
“Waduuuh.” desis Elang sambil geleng-geleng.
Sementara Raka fokus menatap Kara.
Pria itu masih Buffer.
Wajar sih, Kara juga begitu tadi.
Tapi terlalu banyak kejutan kalau bekerja di Tim Audit.
Jadi alam bawah sadarnya sudah terbiasa dengan segala tantangan yang ada.
“Kita bicarakan detail lengkapnya di ruang meeting kami dulu bagaimana Pak?” Kata Gita kemudian.
“Oke, mari.” Kata Elang.
“Pak Yudhis?” Bu Gita membuka pintu untuk mempersilakan Raka masuk.
“Kamu.” Raka menunjuk Kara.
Kara langsung melotot menatapnya.
Tatapan Raka yang tadinya terbelalak, kini mulai sendu dan ia tersenyum ke arah Kara.
Herannya, senyumnya itu senyuman licik.
Kara bisa melihat ada maksud tertentu di benak pria itu.
“Apa kabar Kara?”
Kara hampir terbatuk dengan pertanyaan itu.
Gita melirik Kara, Kara melirik Gita, Kara menatap Elang.
Elang menaikkan alisnya dan langsung menoleh ke arah Raka.
Raka tak peduli pandangan orang-orang dan masih menunggu jawaban Kara.
“Baik Pak.” kata Kara.
“Betah kerja di sini?” tanya Raka.
“Banyak tantangan, tapi sejauh ini aman dan sehat. Pak Raka bagaimana, sehat?”
“Lumayan.” Raka mengangkat tangannya dan menaikkan dress Kara yang turun dan sedikit memperlihatkan belahan dadanya. “Pakaian yang rapi ya, kamu ini tim Audit jadi harus menunjukkan etos kerja yang bisa ditiru semua karyawan.”
Apakah pria ini tak sadar kalau perlakuannya barusan malah mengundang banyak pertanyaan dari semua yang melihat.
“Pak Raka juga, dasinya jangan miring begini dong. Kita ada banyak jendela yang bisa dipakai untuk berkaca.” Kara mengulurkan tangannya ke leher Raka untuk sedikit meluruskan dasi pria itu.
"Sejak kapan dirimu di panggil Pak 'Raka' kalau di kantor, bro..." gumam Elang pelan sambil memicingkan mata menatap Raka. Raka mengibas-ngibaskan tangannya ke wajah Elang.
“Kalian masuk ruang meeting aja duluan. Saya ada urusan sedikit sama… Kara.” desis Raka sambil tetap berdiri menghadapnya.
Mereka semua masuk ruang meeting dengan Ragu, tapi di dalam sana mereka masih memperhatikan Raka dan Kara yang kini berdiri berhadapan dengan tegang.
Raka sudah lebih santai sebenarnya.
Tapi di benaknya ada banyak sekali pertanyaan.
Banyak.
Pria itu pun melipat kedua tangannya di depan dadanya dan berdiri bersandar di ujung meja terdekat.
“Sejak kapan kamu tahu.?” pertanyaan pertama dari Raka.
“5 menit yang lalu.” Jawab Kara.
“Duluan dong ya, saya 3 menit yang lalu.”
“Siap. Mohon dikondisikan senormal mungkin Pak. Saya masih butuh pekerjaan.”
“Aneh tahu kamu manggil saya Pak.”
“Kalau panggil Om mencurigakan dong. Bikin skandal nanti.”
“Sebelumnya kerja dimana?”
“Saya… setelah lulus sekolah langsung bekerja di sini. Jadi Kartab tiga tahun lalu.”
“Tiga tahun bekerja di sini, jawaban kamu lumayan lugas tadi.” Raka menatap Kara dari atas ke bawah, ke atas lagi, ke bawah lagi, dan berhenti di area dada Kara. "Yakin kamu baru kerja tiga tahun di sini?"
Rasanya ingin sekali Kara injak kaki pria itu keras-keras.
“Kamu bantu kami semaksimal mungkin ya Kara. Saya mau mengadakan perombakan besar-besaran.” akhirnya Raka bicara begini.
“Siap Pak.” Kara mengangguk.
“Terus… cupangan kamu di dada tadi kelihatan makanya baju kamu saya naikin, saya bingung tadi gimana cara ngomongnya ke kamu.” desis Raka pelan.
Kara menarik nafas panjang. “Salah kamu,Om.” geram Kara di sela-sela senyumnya.
Raka malah menyeringai.
“Saya beneran… kaget.” desisnya.
“Saya apalagi.”
“Juga yah, gimana ya.” pria itu menyipitkan matanya sambil menatap ke luar jendela.
“Lain-lain urusan lusa.” desis Kara. Ia tahu pasti libido Raka langsung meninggi lagi.
“Oke, kita meeting dulu. Satu suara saja, kalau ada yang tanya bagaimana cara kita mengenal. Bilang aja kita pernah ketemu waktu lagi COD.”
“COD dari platform Rapunzel.” sindir Kara.
“Kalau ada ide lebih baik…”
“Udah itu aja, saya lagi malas mikir.” sahut Kara sambil merentangkan sebelah tangannya untuk menuntut Raka segera ke ruang meeting.
**
Tampaknya adegan percintaan mereka tidak berlangsung lama karena saat di ruang Meeting Raka langsung menunjukkan sifat aslinya.
Wajahnya mengerut dan dari urat yang bermunculan di dahinya. ia terlihat sangat marah.
“Kurang ajar…” geramnya.
Ia sedang melihat ke hasil temuan audit.
sementara Kara sedang sibuk mencari informasi via Internet.
Elang sedang memijat dahinya di atas meja.
Dan Pak Dirut hanya bisa memandang ke arah meja dimana laporan itu terpampang dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kami sudah memberikan surat teguran, Ya Pak Gito?” kata Bu Gita.
Sang Dirut, Pak Sugito hanya mengangguk sekali.
“Dan himbauan agar kerjasama dengan klien diputus. Mereka tidak hiraukan. Apa boleh buat, aksi kami hanya bisa sampai di situ.” Kata Bu Gita.
“Saya sudah buat Memo ke Bu Annisa berdasarkan laporan dari Gita, di tahun pertama kejadian ini berlangsung. Tapi Bu Annisa sepertinya tetap mendukung tim finance dan Marketing untuk maju dan tidak mengindahkan segala peringatan kami. Apa boleh buat, pencapaian mereka memang ada hasil, tetapi berbahaya. saat semua terkuak, perusahaan ini mulai lagi dari 0 bahkan dikhawatirkan bisa sampai ke perubahan formula dan pergantian nama.” Kata Pak Sugito
“Dengan kata lain, saya harus mempailitkan, lalu dibentuk lagi dari awal. Ini tidak bisa sekedar akuisisi.” desis Raka.
“Nuna Suprapto itu siapa?” tanya Kara tiba-tiba.
Ia langsung menatap ke arah Raka.
Elang pun ternganga,
Raka menengadahkan kepalanya ke atas.
“Tampaknya yang bernama Nuna ini memiliki pengaruh yang lumayan kentara walaupun ia tidak memiliki saham di sini. Saya periksa linkedIn nya,dia pernah bekerja di Delice bagian marketing tapi resign sebelum saya masuk ke sini.”
“Mantan Istri kedua.” desis Raka lugas.
“Maaf ya Pak..” desis Gita, “Ish!” ia memperingatkan Kara agar berhenti mencari tahu karena dianggap tidak sopan.
“Oh. Lydia, Nuna dan Caithlyn. Semua nama itu pernah menjadi orang kepercayaan Bu Annisa. Semua ini mantan istri bapak? Sudah mantan tapi masih memiliki pengaruh yang cukup signifikan ya, sampai kapan membekas di hati?”
dan Kara pun berhenti berujar.
dia bicara apa sih?! Dia sendiri baru sadar kalau lidahnya ini tidak bisa dikontrol.
Entahlah, seperti ada perasaan panas yang membakar.
Seakan… cemburu?
“Yah, kamu kan sudah merasakan kalau perceraian tidak serta merta menghilangkan semua rasa.” Raka balas menyindir Kara.
Mereka kini saling bertatapan.
“Tidak semuanya bermasalah sih, harus dicari dulu siapa biang keroknya. Tidak berarti ketiganya memiliki andil.” gumam Kara mencoba meredakan suasana. Karena kini Raka menatapnya dengan tajam seakan pria itu tersinggung terhadap perkataan Kara.
“Sejak lama Tante saya dipengaruhi oleh orang-orang yang ia percaya dan akhirnya berakhir dengan pengkhianatan. Kamu kan juga pernah begitu ya Kara? Bedanya saya anti poligami. Setelah sah bercerai, baru menikah lagi.” Raka kembali menyindir Kara.
“Katakan itu kepada mantan saya. Bapak memang panutan semua orang.” Kara bergumam begitu.
“Kara, saya akan berasumsi kalau sifat kamu memang begini ke setiap orang, bukan karena kita saling kenal lebih dulu sebelum ini kan?”
“Oh, saya selalu apa adanya kok Pak. Saya kan auditor. Menyajikan sesuai fakta. Bapak tidak menyangkal kalau kondisi ini dipengaruhi oleh konflik pribadi keluarga bapak. Jadi salah saya dimana?”
Lalu suasana di ruang meeting pun menjadi canggung.
“Kita perlu keluar nggak nih, kayaknya kalian berdua perlu bicara empat mata saja.” kata Elang.
“Tidak usah, saya sudah diberi pencerahan oleh Tuan Putri.” Raka tiba -tiba mengubah mode wajahnya menjadi lebih ceria dan santai. “Meeting besar besok, saya akan memberlakukan manajemen konflik.”
“Itu kolot dan tidak seharusnya.” desis Kara.
“Mohon maaf, Kara. Tapi saya merasa ini perlu untuk memancing tersangkanya.” Raka berdiri dan berjalan sampai ke belakang kursi Kara. Lalu kedua tangannya diletakkan di atas bahu kara sambil memijat wanita itu sedikit.
“Hanya kalian yang tahu rencana saya. Kalau rencana ini bocor, kalian dipecat. Tapi kalau metode saya berhasil, Kalian Semua di ruangan ini akan mendapat bonus ke 16 dan 17 dua kali gaji, ditambah kalian akan ditempatkan di Kantor Pusat dibawah kepemimpinan Elang, agar kalian bisa berkonsentrasi menghadapi pemeriksaan yang ada.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!