NovelToon NovelToon

Air Mata Jennaira

Bab 1: Prolog

Aku bukan seorang gadis yang didambakan oleh para pria. Aku gadis biasa. Tidak cantik, tidak body goals, tidak terlalu pintar, tapi tidak terlalu bodoh juga. Pokoknya, Tuhan menciptakanku menjadi manusia yang 'standar'. Rata-rata. Kemampuanku berada di bawah orang-orang kebanyakan, dalam hal apapun. Jadi jangan heran jika hidupku begini-begini saja. Tak ada yang spesial.

Namun satu hal yang bisa aku ceritakan yang membuat kisah hidupku 'menarik' untuk diketahui oleh banyak orang adalah tentang seorang cowok yang hadir ke dalam hidupku sejak kami berusia 10 tahun.

Saat itu aku ingat, rumah kosong di seberang rumah kami, tiba-tiba saja dihuni oleh seorang pria yang ternyata sahabat lama dari ayahku. Pria itu memiliki anak yang umurnya sama persis denganku. Anak itu laki-laki. Dan pertama kali aku melihatnya, aku jatuh cinta. Iya, di usiaku yang baru sepuluh tahun saat itu, aku jatuh cinta untuk pertama kalinya.

Kami diperkenalkan oleh kedua ayah kami, "kenalkan, Her. Ini anakku, namanya Gaga," ujar orang yang kemudian aku panggil dengan sebutan Om Haikal itu.

"Kenalkan juga, ini Rara, anakku. Ayo, Ra, kenalan sama Gaga," balas ayahku memperkenalkanku juga.

Beberapa detik aku merasa oksigen menghilang dari sekitarku saat Gaga menatapku dengan matanya yang tajam dan tangannya menyentuh tanganku. Ia tidak tersenyum. Wajahnya judes sekali. Tapi entah bagaimana tatapannya begitu menghipnotis. Karena memang setampan itu anak bernama lengkap Sagara Zayn El-Haikal atau Gaga ini.

Setelah hari itu, nyaris setiap hari aku bertemu dengannya. Di rumah, di sekolah. Karena Om Haikal memasukkan Gaga ke sekolah yang sama denganku. Namun berbulan-bulan melihatnya, tak pernah aku melihatnya tersenyum. Sekalipun. Entah mengapa dia seperti itu. Yang jelas, tersenyum seakan menjadi satu hal yang tidak bisa ia lakukan.

Masuk ke masa SMP, Gaga semakin menarik perhatian. Tubuhnya semakin tumbuh menjulang tinggi. Ketampanannya bak bunga kuncup yang terus mekar menampakkan kecantikannya. Bak matahari terbit yang bersinar malu-malu, lalu kemudian bersinar sepenuhnya dan menyilaukan semua mata yang melihatnya. Begitulah seorang Gaga yang mampu mempesona banyak gadis-gadis bau kencur yang baru saja puber di SMPku waktu itu.

Di SMA, semua semakin menjadi. Ke mana pun ia pergi, seakan dia yang menjadi pusat bumi. Yah, Gaga memang tidak hanya tampan, ia juga jago olahraga, cukup pintar dan pandai berdebat. Ia pernah memenangkan beberapa kali turnamen voli dan futsal, juga lomba debat, baik dalam bahasa Indonesia, atau pun bahasa Inggris.

Dia juga populer, temannya banyak. Padahal ia tak banyak bicara jika tidak diperlukan. Namun ia seakan memiliki magnet tersendiri yang membuat orang lain, baik laki-laki atau perempuan, ingin dekat dengannya. Maka dari itu, tak heran ia menjadi salah satu dari anak-anak populer di sekolah.

Populer, tahu 'kan? Anak-anak yang dipandang lebih dari yang lainnya. Berada di puncak strata sosial, menonjol, dan eksklusif. Untuk pergi ke sekolah jika tidak bermotor besar, maka pasti mereka bermobil. Paras mereka cantik dan tampan, fashionable, juga sedikit 'nakal'.

Para cewek cantiknya kerap melanggar seragam sekolah dengan membuat seragam mereka pendek dan ketat. Make up dan rambut berkilau karena perawatan yang rutin mereka lakukan. Saat di luar sekolah pakaian mereka lebih wow lagi, selalu mengikuti trend terbaru. Dan, para cowoknya pun kurang lebih sama, tampan, bergaya, nongkrong di coffee shop sambil merokok atau 'ngevape', serta agenda rutin mereka berkumpul di malam hari di akhir pekan di tempat-tempat yang tidak semua orang bisa datangi.

Itulah Gaga, si cowok paling most wanted dengan dunia anak-anak populernya.

Itulah dunia Gaga. Sedangkan duniaku? Kebalikannya. Aku dan dia seakan hidup di dimensi yang berbeda. Aku hidup di tempat yang sama dengannya, namun kami seakan tak pernah saling bersinggungan.

Bagiku, menikmati keindahan seorang Gaga dan dunianya dari jauh seperti itu, sudah lebih dari cukup. Gaga berada di langit nan jauh di atas sana bersama bintang- bintang yang gemerlap. Sedangkan aku, hanya orang biasa yang berada di sisi gelap bumi dan mengagumi keindahannya tanpa ia menyadari keberadaanku. Sudah sangat cukup.

Namun entah bagaimana, tiba-tiba semua berubah, seperti hitam berubah menjadi putih, atau malam yang berubah menjadi siang.

Ia kini sedang berada di sampingku. Sekali lagi, Gaga duduk di sampingku.

Dengan pakaian adat sunda, kain batik yang melingkar di pinggang hingga ke lututnya, memiliki motif yang sama dengan yang aku kenakan. Sebuah kain putih menerawang menutupi kepalaku yang berhias siger sunda lengkap dengan kembang goyangnya, dan juga kepala Gaga yang tertutup kopiah putih senada dengan pakaian yang ia kenakan.

Ia menggenggam tangan ayahku dan menuturkan, "saya terima nikah dan kawinnya Jennaira Arsy binti Heri Firmansyah dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."

Dan begitulah, tiba-tiba saja Sagara Zayn El-Haikal yang kini berusia 25 tahun sama sepertiku, resmi menjadi suamiku.

Namun ini bukanlah akhir bahagia dari segala cinta diam-diamku selama bertahun-tahun. Ini justru adalah awal dari kehidupan piluku bersama dia yang terus menoreh luka pada hatiku yang selama ini tulus mencintainya.

Bab 2: Jatuh Cinta di Usia 10 Tahun

Ketika itu, aku masih berusia sepuluh tahun...

"Kenapa nilai kamu masih seperti ini, Ra?" Ayahku menggeleng-gelengkan kepalanya dengan gusar sambil kedua matanya yang berbingkai kacamata cukup tebal memperhatikan nilai-nilaiku yang tertera di buku rapot yang baru saja ku terima.

Aku hanya bisa menunduk merasa bersalah. "Maaf, Yah," cicitku tak berani melihat ke arahnya.

"Bagaimana kamu bisa mengikuti jejak Ayah dan ibu untuk terjun di dunia pendidikan? Ibumu sekarang sedang berada di Kuala Lumpur, mengejar gelar S3nya. Ayah juga sedang menyusun disertasi. Ayah membimbing mahasiswa, memberikan seminar, melakukan banyak penelitian. Ayah dan Ibu punya nilai yang baik sejak seusia kamu. Tapi kenapa nilai-nilaimu malah seperti ini? Sudah cukup, mulai tahun ajaran baru, kamu harus ikut les privat."

"Tapi, aku 'kan sudah ikut bimbel, Yah?"

"Bimbel gak cocok sama kamu. Kita akan panggil guru privat saja ke rumah. Liburan kali ini, tidak ada pergi piknik atau apapun itu. Kamu harus belajar dengan rajin. Nilai kamu harus meningkat. Paham?"

Aku tak berani membantah, aku pun mengangguk patuh dengan air mata yang menggenang di pelupuk mataku. Aku kesal pada diriku sendiri, ayah dan ibuku sangat pintar. Mereka adalah dosen di universitas ternama. Sedangkan aku? Peringkatku di kelas saja tak pernah memasuki sepuluh besar. Setelah berjuang sangat keras, mengikuti bimbingan belajar setiap hari setelah pulang sekolah, tak bisa membuat nilaiku meningkat secara signifikan. Wajar jika ayahku kecewa padaku.

Tiba-tiba bel rumah terdengar berbunyi. Ayahku segera beranjak dari duduknya dan berjalan menuju pintu. Aku pun segera menyeka air mataku dan berniat kembali ke kamar. Seperti yang dikatakan oleh ayahku barusan, aku tidak diizinkan untuk berlibur. Aku harus belajar meskipun sekarang liburan kenaikan kelas baru saja di mulai. Aku tak ingin membuat ayahku lebih kecewa dari ini.

"Ra, Rara," panggil ayahku saat aku akan menaiki tangga.

Aku pun urung menaiki tangga dan berbalik menuruni tangga dan memasuki ruang tamu. Aku melihat ada pria seusia ayahku berdiri di teras rumah kami, menghadap ke arah ayahku, sedangkan di sampingnya berdiri seorang anak laki-laki yang sepertinya seusia denganku.

Saat itu aku langsung tertegun. Kedua mata anak laki-laki itu menangkap kehadiranku dan saat itu seakan oksigen di sekitarku menghilang.

'ganteng...' lirihku dalam hati.

Jantungku berdetak kencang tiba-tiba. Belum pernah aku merasakan seperti ini sebelumnya.

Ayahku menyadari keberadaanku dan kemudian memintaku mendekat padanya. Aku pun melangkah dengan buku rapot yang aku peluk erat di dadaku untuk menahan gugupku.

"Kenalkan, Her. Ini anakku, namanya Gaga," ujar pria itu memperkenalkan putranya.

"Kenalkan juga, ini Rara, anakku. Ayo, Ra, kenalan sama Gaga," balas ayahku memperkenalkanku juga.

Gaga.

Matanya tajam dan tangannya mengulur kepadaku, dan tangan kami pun saling menjabat sesaat. Ia tidak tersenyum. Wajahnya judes sekali. Tapi entah bagaimana ia begitu menghipnotis.

"Ra, ini Om Haikal. Temen kuliah Ayah dulu. Rumah kosong di seberang ternyata di beli sama Om Haikal ini," terang ayahku.

Aku mengangguk dan menyalami tangan Om Haikal sambil berusaha menguasai diriku untuk tidak terlalu fokus pada Gaga.

"Jadi berdua aja di rumah depan, Kal?" tanya Ayahku. Aku dan Gaga hanya terdiam mendampingi orang tua kami.

"Iya Her. Setelah cerai, aku dapetin hak asuk Gaga. Jadi yah, berdua aja sekarang. Kamu masih sekarang ngajar di Universitas Ekadanta?"

Oh, jadi Om Haikal ini baru bercerai dari istrinya, pikirku. Sedikit ku merasa iba pada Gaga karena itu artinya ia tidak akan tinggal bersama dengan ibunya lagi.

"Masih, Kal. Maya juga masih, cuma dia lagi S3 dulu di KL sekarang. Jadi LDR-an dulu sekitar dua tahun ini. Kamu gimana, masih di pertambangan?"

"Udah gak akan balik ke sana lagi kayaknya, Her. Kasihan Gaga juga kalau aku balik ke Papua. Alhamdulillah sekarang aku udah dapat kerja di sini. Di pabrik cabang dari perusahaan yang sama dengan yang di Papua tempat kerja aku dulu. Cuma ya gajinya gak sebesar yang di sana. Yang penting bisa menghidupi aku sama Gaga."

"Jadi mulai dari awal ya semuanya. Semangat kalau gitu, Kal. Kalau ada apa-apa kamu ngomong aja. Kita tetanggaan sekarang. Jadi jangan sungkan."

Setelah itu tak lama Om Haikal dan Gaga pulang ke rumahnya. Aku pun pergi ke kamarku. Dari jendela kamar rumahku, aku bisa melihat ke arah rumah Gaga dengan sangat jelas. Aku juga melihat ia menempati kamar di lantai 2. Terlihat ia berlalu lalang di kamarnya yang belum dipasangi gorden.

Begitulah, siang itu, bukannya belajar, aku malah sibuk menatap ke arah rumah cinta pertamaku. Sepertinya liburan yang aku pikir akan menekanku dan akan membuatku bosan tidak akan terjadi.

Bab 3: Impian Masa SMP

Setelah itu liburan yang aku rasa akan membosankan karena harus berdiam diri di kamar dan belajar, berubah menjadi begitu menyenangkan. Alasannya karena aku bisa melihat Gaga. Dia sering kali bermain di balkon lantai 2 rumahnya. Atau kadang ia berada di lantai satu mencuci sepedanya, membantu ayahnya membetulkan mobil, dan bermain bola. Mungkin karena Gaga baru di sini, ia jadi jarang main keluar rumah karena ia belum mengenal siapapun.

Hingga tahun ajaran baru pun dimulai. Aku baru naik ke kelas 5 saat itu dan sebelum pelajaran dimulai, wali kelasku mengumumkan bahwa kami kedatangan murid baru.

"Hari ini kita kedatangan murid baru, sini, Nak, perkenalkan diri kamu."

Gaga pun menatap ke arah kami dan memperkenalkan dirinya, "nama aku, Sagara Zayn El-haikal. Salam kenal semuanya." Perkenalannya singkat, khas seorang Gaga yang irit bicara.

Seketika aku melonjak bahagia. Tidak hanya di rumah, itu artinya di sekolah pun aku akan sering bertemu dengannya.

Berlanjut saat aku di kelas 9 SMP...

"Eh, bentar, kita duduk di bangku itu dulu, yuk! Lihat Sagara lagi main bola," seru seorang temanku.

Kami yang baru saja dari kantin membeli makanan saat waktu istirahat, sontak duduk di bangku di tepi lapangan upacara yang difungsikan juga sebagai lapangan futsal dan basket. Tiba-tiba saja di tepi lapangan itu dipenuhi oleh siswi-siswi yang ingin melihat kemahiran Gaga menggiring si kulit bundar. Saat Gaga berhasil memasukkan bola ke gawang, semua siswi bersorak gembira. Padahal ini bukanlah pertandingan, hanya keisengan Gaga dan teman-temannya saja untuk mengisi waktu istirahatnya.

Aku dan Gaga tak pernah lagi sekelas di bangku SMP. Aku pun semakin jarang melihatnya. Tidak seperti waktu aku masih SD. Dua tahun aku selalu satu kelas dengannya. Bahkan karena ingin selalu melihat Gaga, aku berusaha keras untuk bisa masuk ke SMP yang akan Gaga masuki, SMP itu adalah SMP terfavorit di kotaku. Tapi setelah masuk ke SMP yang sama rasanya Gaga malah semakin jauh.

Dunia Gaga dan duniaku terasa berbeda. Aku dan dia seakan hidup di dimensi yang berbeda. Aku hidup di tempat yang sama dengannya, namun kami seakan tak pernah saling bersinggungan.

Aku dan Gaga tak pernah saling sapa sekalipun. Jika kami bertemu di depan rumah, atau di mana pun dia akan berpura-pura tidak melihatku. Entah bagaimana, anak itu tumbuh menjadi semakin dingin saja setiap harinya. Tak pernah aku melihat dia tersenyum. Kalau harus bersikap ramah, ia akan menyunggingkan bibirnya sedikit saja. Seakan pipinya akan terasa sakit jika ia tersenyum terlalu lebar.

Bertahun-tahun menyukai Gaga, rasanya tak ada satu hal pun yang aku ketahui tentangnya selain, populernya dia di kalangan para siswi, hobi olahraganya dan pintarnya dia yang selalu membawanya ke peringkat sepuluh besar. Walaupun kami kenal bertahun-tahun tak pernah kami mengobrol sekalipun. Bahkan aku lebih sering bertegur sapa dengan ayahnya, Om Haikal.

Kalau tak sengaja bertemu di depan rumah, Om Haikal akan menyapaku dengan ramah. "Rara, baru pulang?"

"Iya, Om. Om juga?" tanyaku sopan.

"Iya, nih. Gimana sekolahnya?"

"Alhamdulillah lancar sih, Om."

"Syukur kalau gitu. Suka ketemu Gaga gak di sekolah?"

"Jarang, Om," jujurku. Untuk melihatnya mungkin ya, aku sering melihatnya karena setiap hari aku selalu mencari di mana keberadaannya. Tapi untuk bertemu di mana membuat ia menyadari keberadaanku? Tidak, jarang sekali.

Kemudian ayahku keluar dari rumah, "Eh, Kal."

"Tumben ada di rumah, Her?" tanya Om Haikal.

"Iya, baru pulang dari KL kemarin. Nengok Maya. Ini aku bawain oleh-oleh, sekalian ini ada masakan juga. Rara yang bikin tadi pagi, cuma kebanyakan. Buat kamu sama Gaga," ujar Ayahku.

"Wah, makasih banyak. Jadi ngerepotin," ujar Om Haikal tak enak seraya menerima paper bag yang ayahku berikan. "Serius ini Rara yang masak?"

"Iya, Om," ujarku malu-malu.

"Masih SMP loh padahal tapi udah bisa masak," puji Om Haikal.

"Gimana lagi, Kal. Maya seudah ngambil S3 waktu itu ditawarin buat jadi dosen di KL, aku sama Rara gak mungkin ikut pindah ke sana. Jadi di rumah Rara yang bantu aku masak dan beresin rumah. Udah kebiasa aja sekarang, setiap hari Rara yang masak."

"Pinter banget. Nanti kamu pasti jadi istri yang baik kalau udah besar. Bisa masak dan ngurus rumah," puji Om Haikal lagi.

"Iya dong, anak perempuan harus bisa segalanya. Masak, beresin rumah, sekalipun nanti Rara akan bekerja, tetep dia harus bisa dasar-dasar kewajiban seorang istri," ujar ayahku bangga.

Begitulah ayahku, masih saja memaksakan tentang hidupku. Aku setuju seorang anak perempuan harus bisa memasak dan mengurus rumah. Tapi bekerja? Aku tidak tahu. Sebenarnya aku lebih ingin menjadi seorang istri yang mengurus anak dan suami di rumah dibandingkan harus bekerja.

Itulah impian masa SMPku, tidak muluk-muluk, sederhana saja, dan mungkin terdengar payah bagi sebagian orang. Tapi menjadi istri dan ibu yang baik bagi suami dan anak-anakku kelak, memang sudah menjadi impianku.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!