NovelToon NovelToon

Beauty In The Struggle

Rokok di Tangan, Malu di Hati

Cerita ini saya buat berdasarkan imajinasi dan pemikiran saya sendiri, mohon maaf jika ada kesamaan nama, alamat, dan tempat. Selamat membaca, semoga terhibur dengan cerita ini. ☺️

Jia, gadis cantik berkulit putih langsat sedang berdiri dengan wajah masamnya. Rasa kesal di hatinya kian memuncak, sebab dirinya harus bersekolah sesuai dengan pilihan ibunya.

Dia tahu benar sikap ibunya yang keras dan tidak segan mencoret namanya dari kartu keluarga, apabila dia berani melawan perintah ibunya.

“Langit sore yang cantik, tapi tidak dengan hatiku,” ucap Jia lirih.

Sembari menunggu jemputannya datang, gadis tersebut menghabiskan waktunya di bawah atap Sekolah Bintari Internasional. Sebagian besar para guru dan  siswa sudah banyak yang pulang.

Dia mulai penasaran pada setiap sudut sekolah dan mengesampingkan rasa kecewa pada ibunya. Jia perlahan  mulai berjalan di lorong lantai satu yang sunyi.

“Hm, ternyata fasilitas disini cukup lengkap, ditambah dengan para pendidik yang kompeten. Namun … tetap saja … aku ingin bersekolah di tempat ayah berada.”

Namun ditengah lamunannya, tiba-tiba saja Jia ingin buang air kecil dan harus berakhir di toilet. Saat keluar, seorang kakak kelas tidak sengaja menabrak jia.

“Hei!! Apakah kamu tidak melihatku???” tanya Jia ketus.

Kakak kelas tersebut terlihat sangat buru-buru, bahkan tidak sempat untuk meminta maaf dan pergi begitu saja dari hadapan Jia.

Merasa diabaikan, Jia merasa kesal. Bahkan rasa kesalnya kian memuncak saat kakak kelas tersebut meninggalkan aroma asap rokok yang melekat di sekelilingnya, membuat Jia bertambah muak dengan situasi yang harus dihadapinya.

Kemudian, matanya tidak sengaja melihat sebuah benda tergeletak lantai. “Eh, rokok?? Ini pasti milik kakak kelas tadi!”

Jia mengambilnya. Penasaran dengan isinya, dia membuka kotak rokok tersebut, terlihat di dalamnya masih utuh. Hanya 2 batang rokok yang hilang. Menandakan bahwa rokok tersebut belum diisapnya sampai habis.

“Hm, masih banyak, rugi sekali kakak kelas itu. Namun ini lebih baik, karena asapnya merugikan orang sekitar dan berdampak buruk bagi kesehatan.” Serunya sembari mengarahkan matanya ke tempat sampah.

Namun, di tengah perjalanannya menuju tempat sampah, tiba-tiba saja otaknya terbesit akan suatu hal. Matanya menoleh ke segala arah, memastikan bahwa tidak ada seorangpun yang lewat.

Jia dengan kesadaran penuh dan kepercayaan diri yang tinggi. “Hm, sepertinya tidak akan ada yang lewat … ya! Aku yakin.”

Dia mengambil sebatang rokok dan berpura-pura menghisap dan berlagak layaknya seorang perokok berat di film gangster.

Kemudian dia berdiri menghadap ke lapangan sekolah, satu kaki disilangkan ke dinding, tangan kanan menjepit rokok seperti artis noir tahun 50-an.

Dia mulai bersuara berat dengan nada sok dewasa, kemudian mulai berbicara sendiri. “Kehidupan ini pahit dik, seperti nilai Matematika dan kopi tanpa gula …”

Lalu, dia mengangguk perlahan seperti sedang berdialog dalam drama kriminal. “Cinta itu seperti asap … semakin dikejar, semakin menghilang,” ucapnya lagi.

Ironisnya, tepat di saat Jia hendak meniup asap khayalannya, seorang pria muncul, secara tiba-tiba yang entah dari mana, membuat Jia membeku bak patung.

“H–hai, i–ini tidak seperti yang kamu bayangkan. Aku bisa menjelaskannya meskipun akan terdengar aneh bagimu.”

Jia berharap agar pria tersebut mengerti akan penjelasannya. Namun sebaliknya, pria itu menunjukkan sesuatu yang berbeda.

Wajahnya menyiratkan Jia adalah perokok handal. Entah mengapa hal itu membuatnya panik, padahal Jia belum pernah sekalipun merokok.

“Orang aneh.” Ucap pria tersebut tanpa ekspresi.

“Apa??” seru Jia dengan alis yang saling bertautan.

Tujuh Jam dalam Ingatan

Suara datar dan wajah tanpa ekspresinya membuka gerbang waktu, seolah-olah pikiran Jia ditarik kembali, ke tujuh jam yang lalu, di mana dia pertama kali bertemu dengan pria itu.

Eliel Bentela Lakeswara. Itulah nama yang terdengar dari mulut sahabat perempuannya yang bernama Kayana Belinda, saat memperkenalkan Liel. Pada awalnya, Jia belum ada keinginan untuk berkenalan dengan siapapun.

Namun, pada saat Sanna, temannya semasa SMP, mengajaknya ke selasar di depan kelas. Jia menyaksikan Sanna mulai berkenalan dan mengajak bicara dua sejoli tersebut, yang tengah duduk di lantai selasar. Jia takjub dengan sikapnya, yang pandai bergaul dan ramah pada semua orang.

Jia dengan kepribadian ambivert nya, yang terkadang suka bersosialisasi, berusaha untuk ramah dengan teman barunya. Meskipun disisi lain, dia juga suka menyendiri dan menjauhi keramaian.

Sanna segera menyenggol bahu dan membisikkan sesuatu ke telinga Jia dengan nada sedikit mengancam. “Ayo bicara, setidaknya basa basi, jangan hanya diam membisu.”

“Berteman akrab saja tidak, tetapi berani sekali memaksaku seperti ini,” batin Jia waktu itu.

Sanna yang segera memaksa Jia kembali untuk berkenalan, membuat Jia menjadi risih, namun untuk mempercepat keinginan Sanna, Jia terpaksa melakukannya.

“Jia Bintari Callaris. Hm, kalian berdua terlihat sangat serasi,” ucap Jia tersenyum.

Kay penasaran. “Hei, apa sekolah ini milikmu keluargamu?”

“Tidak, kebetulan saja nama tengahku sama dengan nama sekolah ini.” Bantah Jia dengan senyum seadanya.

Usai berjabat tangan dengan Kay, suasana semakin canggung. Seketika Sanna menyenggol bahunya lagi, pertanda bahwa candaan Jia sangatlah buruk. Padahal, Sanna lah yang menyuruh Jia untuk berbicara walau hanya sekedar basa-basi.

Kay dengan cepat menjelaskan bahwa dia dan pria yang disampingnya hanyalah teman. Jia tampak tidak peduli dengan penjelasannya, karena yang menjadi fokusnya saat itu adalah sikap aneh teman pria nya terhadap dirinya.

Bagaimana tidak, alih-alih memperkenalkan diri, saat itu dia hanya memberikan tatapan dingin kepada Jia, tanpa mengatakan sepatah katapun. Meski begitu, pesonanya yang unik tidak dapat dimiliki oleh lelaki manapun.

Jangan lupakan rambut hitam gelombangnya dengan “curtain haircut”, yang menambah kesan maskulin pada garis rahangnya yang tegas. Bahkan, sang pemilik mata hitam kecoklatan itu mencuri pandang untuk sekedar menatap Jia.

Hal ini tentu menjadi pusat perhatian bagi dirinya. Jia yang mulai merasakan itu, mencoba menepisnya, sebab dia tidak ingin terjebak dalam perasaan rumit seperti “jatuh cinta”.

Setelah banyaknya pria di masa lalu mencoba mendekati Jia dan berakhir gagal, hanya Liel lah pria yang dirasanya berbeda. Dia masih menatap Jia tanpa jeda, dan itu membuat Jia tidak nyaman.

“Wah, setelah 15 tahun di hidupku hanya berkutat dengan buku dan perlombaan di bidang akademik hanya pria ini yang berhasil menarik perhatianku,” ucapnya pada waktu itu.

Kemudian Jia  disadarkan kembali oleh suara pria sedingin es dari kutub utara itu, yang berani berulang kali mengatakan Jia “orang aneh” dan itu benar-benar membuat Jia kesal.

“Berhenti!! Aku bukan orang aneh!! Kamu tahu, aku hanya melakukan apa yang otakku perintahkan,” Balas Jia sembari memasukkan kembali batang rokok ke dalam kotaknya.

Alis Liel saling bertautan seraya menatap Jia dengan tajam. “Aku tidak peduli dengan orang aneh sepertimu, sekarang biarkan aku pergi.”

Jia maju beberapa langkah, menghalangi jalan Liel. “Hei, dengarkan dulu penjelasanku, ini bukan milikku!!”

Pada saat situasi kian memanas, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki menuju ke arah mereka.

Liel dan Jia segera menoleh di mana arah suara tersebut berasal. Ternyata, suara langkah kaki tersebut milik Pak Jarto, satpam yang sedang berpatroli keliling sekolah.

Jia panik, jantungnya nyaris keluar dari dada. Dia berbisik sambil mengigit bibir bawahnya. “Aduh, mati aku!”

Dia tidak mungkin bisa menjelaskan bahwa dirinya hanya berakting. Lagipula, siapa yang akan percaya dengan alasan seaneh itu.

Langkah Pak Jarto semakin cepat sembari menanyakan mengapa mereka belum pulang, padahal acara MOS telah usai sejak tadi.

Sebelum Jia bisa membuang atau berlari, Liel bergerak lebih cepat, mengambil kotak rokok tersebut dari tangan Jia. Tanpa kata, Liel maju selangkah ke depan dan memegangnya dengan santai, seolah itu miliknya.

“Hei, kamu anak baru rupanya! Apa itu yang ada di tanganmu?” Desak Pak Jarto dengan tatapan yang tajam.

“Maaf, Pak. Ini milik saya,” katanya tenang.

Pak Jarto mendengus. “Baru hari pertama, kamu sudah berani merokok di lingkungan sekolah ya??”

Liel tidak membantah. Dia hanya menunduk pelan, menerima omelan yang datang seperti hujan yang datang di bulan Desember.

Jia seketika membeku, matanya melebar, tidak percaya dengan tindakan seorang pria yang baru saja dikenalnya hari ini. Dia tidak menyangka karena ulah konyolnya, Liel harus menanggung beban dimarahi oleh Pak Jarto.

Jia pun menggigit bibir bawahnya, seiring dengan bertambahnya kegelisahan, yang menyeruak keluar dari dalam hati.

“Apa ada yang lebih rumit daripada ini? Aku benar-benar lelah.” tanya Jia dalam hati.

Setelah lima menit kuliah singkat yang terasa seperti lima jam, Pak Jarto akhirnya pergi sambil mengancam akan melapor ke guru BK.

Begitu langkah satpam itu menghilang, Jia langsung berbisik cepat. Jia menatap mata Liel seraya menghela nafas.

“Mengapa kamu mengakuinya? Padahal aku yang salah?”

“Karena kamu terlihat panik,” ucap Liel datar.

Jia penasaran. “Jadi kamu sengaja menyelamatkanku?”

Liel menatapnya sesaat, seolah baru menyadari apa yang baru saja dilakukannya. Dia tampak bingung, bukan kepada Jia, namun kepada dirinya sendiri.

“Entahlah … mungkin karena kamu … aneh.”

“Hei, aku bukan orang aneh!! Akan tetapi, terima kasih, kare—“

“Tidak apa, aku sudah memaklumi orang gila sepertimu, yang berani membawa rokok ke sekolah,” sela Liel kesal.

Jia merasa kesal dan berkata dengan cukup lantang. “Hei!! Rokok itu milik kakak kelas, dia menjatuhkannya ke lantai, mengapa kamu tidak percaya padaku? Apa penjelasanku tidak bisa kamu pahami dengan baik??”

Tanpa berkata apapun, Liel mengamati Jia dalam diam. Dia mengarahkan telunjuknya ke atas langit.

“Baiklah … aku percaya, kamu bukan perokok, bibirmu saja cerah seperti jingga di langit yang senja.”

Jia menatapnya dengan penuh kebingungan. Entah mengapa otaknya tidak bisa merespon dengan cepat.

Namun, keterlambatan respon dari Jia tidak berlangsung lama. Dia sadar, lalu menutup bibirnya dengan tangannya. Dia tidak percaya, pria berwajah datar ini mampu berkata seperti itu.

Kemudian mata Liel melebar, seperti menangkap maksud  Jia. “Hei … jangan berpikiran buruk!”

“Aku rasa … kata ‘orang aneh’ lebih baik daripada ‘orang mesum’ ??” Balas Jia tersenyum seraya beranjak pergi.

“B–bukankah keterlaluan menyebutku mesum??” protes Liel dengan kesal.

Tanpa menoleh kebelakang, Jia segera berlari dan masuk ke mobil jemputannya, meninggalkan Liel sendirian.

Fakta bahwa Liel memujinya, membuat Jia merasa aneh. Ada sesuatu pada pria itu. Dingin, iya, namun juga … hangat dengan cara yang tidak terlihat.

Kaca Mobil, Lampu Merah dan Luka yang Diam

Setibanya di rumah, yang ditemui Jia hanya kesunyian. Ibunya yang berprofesi sebagai dosen dan penggila kerja, tentu belum pulang. Jia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali berbicara dengan benar pada ibunya.

Sedangkan ayahnya, seorang ilmuwan yang melakukan penelitian atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, saat ini sedang bertugas di Switzerland. Sedangkan Kakak laki-lakinya, si Jaden, memutuskan untuk pergi bersama ayahnya, bahkan memilih menetap dan menikahi wanita asal Prancis.

Kemudian, terdengar samar-samar suara seseorang membuka pintu rumah, membuyarkan lamunan Jia. Dia sangat yakin bahwa yang datang adalah ibunya.

Dia segera keluar kamar, tujuannya adalah untuk menyampaikan bahwa sekolah pilihan ibunya tidaklah terlalu buruk.

Namun sebelum dia sempat mengucapkannya, ibunya menghentikan langkahnya, memberi kode agar tidak membuat keributan, karena ibunya sedang menerima panggilan telepon terkait pekerjaannya.

Jia yang merasa kecewa dengan sikap ibunya, meminta Mang Ceceng, supir pribadi keluarganya, untuk mengantar dirinya berkeliling kota. Dia tidak tahu tujuannya ke mana, yang terpenting baginya saat ini adalah, dia hanya ingin jauh dari rumah.

“Haaa … aku benci perasaan ini” Keluh Jia seraya berjalan menuju mobilnya.

Dia segera menaiki mobil yang sudah disetir oleh Mang Ceceng. Kemudian mobilnya melambat saat mencapai lampu merah.

Jia dan mobilnya berhenti, tepat di depan sebuah restoran mewah berdinding kaca, dan di sanalah matanya tertuju pada dua sosok familiar, Liel dan Kay.

Kay tampak tersenyum manis, menggandeng lengan Liel yang tampak seperti biasa, tenang dan kaku. Liel tidak tertawa, namun juga tidak menolak. Mereka baru saja keluar dari restoran tersebut.

Jia tidak sadar tubuhnya maju ke depan, tangannya naik dan membuka sedikit kaca mobil, refleks, Ingin melihat lebih dekat. Jia Ingin memastikan, apakah itu benar mereka, tanpa sadar dia membuka kaca mobil, memperlihatkan seluruh wajahnya.

Namun, nasib sedang bercanda hari ini. Mata Jia memandang lurus, tepat ke arah Liel. Tidak hanya itu, saat Liel hendak masuk ke mobil, tiba-tiba saja dia mengarahkan pandangannya ke tempat di mana mobil Jia berhenti. Secepat kilat Jia berusaha menunduk, berharap Liel tidak menyadari keberadaan Jia.

Jia langsung menyuruh Mang Ceceng menutup kaca dan memundurkan mobil, walau lampu masih merah. “Mang, jalan Sekarang!”

“Lho, Neng, lampunya—“

“Sekarang!!” ucapnya panik.

Mobil itu melaju perlahan menjauh, di dalam mobil, Jia menyandarkan kepalanya ke jendela.

“Haaa … mengapa aku harus peduli untuk hal seperti ini?” bisiknya lirih.

Dia tidak tahu kenapa hatinya seperti ditarik. Padahal Liel bukan siapa-siapa bagi Jia. Bukan pacar, bahkan nyaris bukan teman.

Namun, entah mengapa, melihat Liel bersama Kay, membuat segalanya terasa lebih sesak, bersamaan dengan rasa kekecewaannya.

...****************...

Setibanya dirumah, otaknya masih bekerja keras untuk memproses apa yang baru saja terjadi. Mang Ceceng pun harus berkali-kali memanggilnya karena tidak dihiraukan.

Kemudian Jia tersentak, sebab suara Mang ceceng semakin nyaring saat menyebut namanya, membuat Jia tersadar.

“Mang, kira-kira dia melihatku atau tidak ya?”

“Siapa atuh neng?”

Jia membuka pintu mobil dan berjalan masuk menuju rumah, “Semoga dia tidak menyadarinya ya mang.”

“Dia siapa neng??? Aduh neng, sakit ya? Dari tadi mamang liat, Neng Jia melamun, kaya kurang sehat, apa mamang antar ke dokter saja, bagaimana?”

Tanpa menoleh ke belakang, Jia melambaikan tangannya dan menolak ajakan Mang Ceceng untuk ke rumah sakit.

Jia memahami rasa cemas dibalik wajahnya Mang Ceceng, namun akan lebih baik lagi jika yang mencemaskannya adalah ibunya sendiri.

Jia memandangi pintu kamar ibunya yang sudah tertutup rapat, menandakan bahwa tidak ada boleh mengganggu jam istirahatnya.

Tidak ingin berlarut dalam kesedihan, Jia pun segera menuju kamar dan menghempaskan badan ke atas tempat tidur.

“Jika hanya teman, mengapa harus makan berduaan seperti itu?” batinnya dalam hati.

“Hei tunggu, apa aku cemburu?? Tidak mungkin!! Aku tidak peduli dengan mereka, mau berteman atau menjalin hubungan, bukan urusanku.” Bantah Jia seraya memejamkan mata, berusaha untuk tidur.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!