PROLOG
Di klub malam
"Aku akan bayar kamu satu miliar... kalau kamu bisa menghamiliku."
Mata Ghea menatap tajam, menyembunyikan luka yang dalam.
Pria itu mengangkat alis, tersenyum lebar.
"Menarik," katanya, menyilangkan kaki dengan santai. "Namaku Leon. Dan aku suka tantangan."
Di hotel
... ketika jari-jari Leon mulai menelusuri kulitnya..
Ketika napas hangatnya menyentuh lehernya...
Kesadaran menyeruak.
Tidak. Ini salah. Ini bukan dirinya.
Ini bukan caranya membalas luka.
Dengan cepat Ghea mendorong tubuh pria itu. Napasnya tercekat.
“Ki-kita batalkan. Ini salah. Aku akan beri kamu sepuluh juta… anggap kompensasi.”
Leon bergeming.
Senyumnya masih ada--lebih tenang, tapi jauh lebih dalam dan... berbahaya.
“Sayang, kesepakatan sudah dibuat. Dan aku bukan tipe yang suka dibatalkan di tengah jalan.”
...🔸🔸🔸...
Ghea melangkah menyusuri lorong kantor suaminya yang mulai lengang. Bibirnya mengulas senyum, membawa kue tart untuk merayakan ulang tahun pernikahan mereka.
Namun, suara samar suaminya membuat jantung Ghea berdegup kencang.
"Ah..ah..ah...lebih cepat..."
"Jangan-jangan dia sedang... Tidak. David tidak akan sekejam itu."
Di ujung koridor, cahaya temaram menerobos dari celah pintu yang tak tertutup sempurna. Ia melangkah pelan, tubuhnya terasa gemetar.
"Ah..ah...terus...goyang pinggulmu..."
Ghea membeku.
Perlahan, ia mendekat, menahan napas, menahan emosi yang sudah mendidih. Saat matanya mengintip dari sela pintu, dunianya runtuh. Suaminya, dengan kemeja terbuka, celana melorot dan dasi tergantung sembarangan, sedang bercinta dengan sekretarisnya yang duduk di pangkuannya dengan rok tersingkap, pakaian mereka kusut, desah mereka menusuk telinga hingga hati Ghea.
"Ah...ah...ah...dikit lagi...."
"Ughhh...."
Air mata Ghea jatuh tanpa suara. Kue tart hancur di genggamannya, selembut itu pula hatinya remuk.
Kakinya gemetar namun terasa terpaku di lantai.
"Sayang... kamu memang hebat," suara David, suaminya, terdengar jelas. Diikuti tawa manja Tessa, ditengah napas yang belum stabil.
"Kau memujiku karena sedang bersamaku."
"Apa yang aku katakan adalah kenyataan. Wanita mandul itu tak becus melayani suami."
Sakitnya tak bisa digambarkan. Kata-kata itu... menusuk lebih dalam dari penghianatan yang baru saja ia lihat. "Aku...aku gak mandul. Dokter telah membuktikannya."
"Benarkah?" tanya Tessa, sang sekretaris.
"Tentu saja. Dia nggak bisa kasih aku kepuasan. Wanita tua itu tak lebih dari seonggok daging hidup. Membosankan, membuatku tak berselera."
Ucapan David terdengar dingin, merendahkan.
Ghea menutup mulut, menahan isak. "Begitukah aku di matanya?"
Dengan langkah gontai, Ghea keluar dari gedung, melempar kue tart ke tong sampah. Hatinya hancur tak berbentuk seperti kue tart yang ia buang. Ia mengendarai mobil dengan wajah basah air mata.
Sesampainya di rumah
PRANG!
Vas bunga melayang, menghantam bingkai foto pernikahan di dinding. Kaca pecah, potret bahagia itu retak di tengah.
"Aakkhh..."
Ghea membungkuk, memekik sambil menutup telinga. Suara desah suaminya dengan wanita lain terus menggema dalam kepalanya, memekakkan batin.
"Lima belas tahun... inikah akhirnya?" gumamnya di sela isak.
Ia teringat—usia dua puluh, baru masuk kuliah. David melamarnya di depan kampus, berjongkok dengan cincin emas di tangan.
"Kita kuliah di tempat berbeda. Aku takut kamu tergoda pria lain. Kumohon, menikahlah denganku. Aku janji akan mencintaimu sampai napas terakhirku."
Ghea menangis tergugu.
"Kau bohong... kau sudah menduakan aku, mencintai wanita lain."
Tangannya mengepal.
"Kau brengsek! Pengkhianat!"
Ia menatap foto David dengan amarah dan kecewa membuncah.
Ghea melangkah ke klub malam paling bising di pusat kota. Lampu berkedip, musik menghentak, dunia kabur oleh air mata dan alkohol.
Gelas demi gelas ia teguk, tak peduli perih di tenggorokan.
"Maaf, boleh duduk di sini?"
Suara bariton seorang pria asing menyela kekalutannya.
Ia menoleh. Seorang pria muda—kulit bersih, senyum menawan, mata tajam menggoda. Terlalu sempurna untuk diabaikan.
Dan dari sakit hati serta kecewa karena dikhianati, meluncur ide gila:
"Aku akan bayar kamu satu miliar... kalau kamu bisa menghamiliku."
Mata Ghea menatap tajam, menyembunyikan luka yang dalam.
Pria itu mengangkat alis, tersenyum lebar.
"Menarik," katanya, menyilangkan kaki dengan santai. "Namaku Leon. Dan aku suka tantangan."
Ghea tertawa getir. Ia tak peduli siapa pria itu—atau siapa dirinya malam ini.
Klik.
Pintu kamar hotel tertutup rapat. Terkunci.
Sentuhan tangan Leon di pinggangnya membuat jantung Ghea berdegup—bukan karena takut, tapi karena sesuatu yang lebih berbahaya: ketertarikan yang mengkhianati logikanya.
Tatapan pria muda itu menusuk. Tajam. Dalam. Mendominasi.
Wajahnya terlalu memesona—alis tebal, bulu mata lentik, hidung mancung, bibir sensual, dagu terbelah.
Sempurna.
Begitu sempurna, hingga terasa tidak nyata.
Namun ketika jari-jari Leon mulai menelusuri kulitnya..
Ketika napas hangatnya menyentuh lehernya...
Kesadaran menyeruak.
Tidak. Ini salah. Ini bukan dirinya.
Ini bukan caranya membalas luka.
Dengan cepat Ghea mendorong tubuh pria itu. Napasnya tercekat.
“Ki-kita batalkan. Ini salah. Aku akan beri kamu sepuluh juta… anggap kompensasi.”
Leon bergeming.
Senyumnya masih ada--lebih tenang, tapi jauh lebih dalam dan... berbahaya.
“Sayang, kesepakatan sudah dibuat. Dan aku bukan tipe yang suka dibatalkan di tengah jalan.”
Langkahnya mendekat. Perlahan. Terukur.
Jantung Ghea berdebar tak menentu. Bukan karena gairah—tapi cemas.
Panik.
Apa yang sudah ia mulai?
Dan bisakah ia benar-benar menghentikannya?
Ghea mundur. Meraih tas. Melangkah ke arah pintu.
Tapi suara langkah Leon membuntutinya. Pelan. Lembut. Seperti predator.
“Ghea…”
Suaranya berat. Dalam. Seperti mantra yang menahan.
Ia tak menggubris. Tapi saat mencapai pintu—
Leon sudah berdiri di sana. Menghalangi.
“A-aku bilang batal. Aku mau pulang.”
“Dan aku bilang… kesepakatan sudah dibuat.”
Mata mereka bertemu.
Tatapan Leon bukan hanya menahan—ia menelanjangi. Menembus lapisan demi lapisan pertahanan Ghea, membuatnya merasa telanjang meski masih berbalut busana.
Tangannya menggenggam pergelangan Ghea. Perlahan, tapi pasti.
Tarikannya tidak kasar, justru seperti magnet yang tak bisa ditolak. Dan dalam sekejap, ia telah berada dalam pelukannya.
“Ja-jangan begini…”
Suara Ghea lirih, bergetar. Bimbang antara takut… dan tergoda.
Sentuhan jemari Leon menyusuri punggungnya. Lembut, nyaris menyamarkan penguasaannya.
Napas Ghea memburu. Ia mencoba mendorong dada pria itu, tapi Leon lebih dulu bergerak.
Dengan cekatan, ia menarik tubuh Ghea kembali, membalik posisinya hingga punggung wanita itu menempel di daun pintu.
Jarak di antara mereka menguap.
Hanya ada ruang untuk napas. Untuk detak. Untuk bahaya.
Satu tangan Leon bertumpu di samping kepalanya.
Yang lain mengelus rambutnya dengan kelembutan yang justru membuat Ghea semakin panik.
“Kamu ingin lari. Tapi kamu juga penasaran, ‘kan?”
Bisikannya setipis embusan napas. Dan lalu—kecupan hangat mendarat di sisi leher Ghea.
Tubuhnya menegang seketika.
Gila. Ini gila.
Ia mengangkat tangan, menekan dada Leon sekuat mungkin.
“Lepas, Leon. Aku serius.”
Tapi pria itu hanya menyunggingkan senyum miring, nyaris licik.
“Tapi matamu tidak berkata begitu.”
Dengan sisa kendali, Ghea mendorongnya—kali ini cukup kuat untuk membuat celah.
Ia memutar kenop pintu dengan tangan gemetar…
Terkunci.
Ia berdiri mematung.
Jantungnya tak sekadar berdebar—ia menjerit dari dalam dada.
Langkah kaki Leon mendekat dari belakang.
Tenang. Lembut.
Seperti bayangan malam yang pasti datang setelah senja.
“A-aku akan pulang…”
Ghea berbisik, tanpa menoleh.
Tak ada jawaban.
Tapi tiba-tiba, tubuhnya diputar.
Kini ia berhadapan lagi dengan Leon.
Sosok pria itu menjulang. Tegap.
Sorot matanya menyala. Dominan. Liar. Menggoda—sekaligus mengancam.
“Kesepakatan sudah dibuat, Ghea.”
Nada suaranya dalam. Serak. Seperti malam gelap yang tahu kamu akan tetap berjalan masuk, meski tahu kau bisa tersesat.
“Kamu yang mulai permainan ini. Jangan mundur… saat sudah panas.”
Ghea kembali mencoba mendorongnya. Tapi Leon lebih dulu mencengkeram lembut kedua pergelangan tangannya dan menariknya lagi ke dalam pelukan.
Aneh. Pelukan itu hangat. Menenangkan.
Dan itu menakutkan.
“Kita tak bisa lanjut. Aku… aku bukan perempuan seperti ini…”
Suaranya gemetar. Tapi tekadnya rapuh.
Tatapannya mulai kabur, tidak oleh air mata, tapi oleh gejolak yang tak ia pahami.
Leon menunduk.
Napasnya menyapu lembut daun telinganya.
“Tapi tubuhmu tidak menolakku, Ghea.”
Dan ia benar.
Jemari Leon menelusuri punggungnya. Perlahan. Nyaris menyentuh jiwa.
Tubuh Ghea bereaksi. Ia menegang… lalu lemas.
Pertahanannya meleleh, satu per satu.
“Jangan…”
Tapi suaranya terdengar lebih seperti bisikan setengah rela.
Leon mendekat.
Kecupan lain jatuh di lehernya—lebih dalam. Lebih menggoda.
Ghea menggigil. Bukan karena takut, tapi karena tersentuh terlalu dalam.
“Aku… aku harus pergi…”
Ia berusaha kembali menjauh.
Tapi Leon sudah lebih dulu mengunci pergerakan Ghea—bukan dengan paksa, tapi dengan ketenangan yang jauh lebih berbahaya.
“Aku tidak akan menyakitimu,” katanya pelan.
“Tapi aku juga tidak akan membiarkanmu pergi begitu saja.”
“Kau menggoda seekor singa, Ghea… dan sekarang, dia lapar.”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Ghea memejamkan mata.
Napasnya berat. Tubuhnya bergetar.
Bukan karena Leon. Tapi karena dirinya sendiri.
Karena rasa yang seharusnya tidak ada… kini tumbuh subur dalam tanah yang basah oleh luka.
Dan saat sentuhan Leon kembali hadir—lebih dalam, lebih mengalir—ia tahu:
Yang paling menakutkan dari semua ini…
Adalah bahwa ia mulai ingin jatuh.
Dengan sisa kekuatan logikanya, Ghea mendorong tubuh Leon. “Lepaskan aku,” suaranya gemetar, tak meyakinkan. Ia kembali mencoba membuka pintu, tapi Leon lebih cepat. Tangannya menahan—bukan dengan kekerasan, melainkan dengan dominasi yang tenang dan nyaris tak terbantahkan.
“Tubuhmu bicara jujur, Ghea…” bisik Leon, napasnya memburu di belakang telinganya, seolah suara itu sengaja diciptakan untuk menyentuh sisi paling rapuh dari jiwanya.
“Bukan berarti aku menginginkannya!” Ghea berteriak, nyaris putus asa. Tubuhnya gemetar—bukan karena takut, tapi karena dirinya sendiri.
Ia membenci bagaimana tubuhnya mengkhianati akal sehat. Ia benci bagaimana jantungnya berdetak liar saat Leon menatapnya dengan bara. Ia benci betapa pria itu tahu letak luka terdalamnya… dan menyentuhnya dengan kehangatan yang nyaris membuatnya runtuh.
Lalu, air matanya jatuh. Diam-diam. Tanpa suara. Tapi Leon melihatnya. Dan seketika, sesuatu dalam dirinya meredup.
Sentuhannya melunak. Tekanan tubuhnya memudar. Leon mengangkat tangan, menyeka pipi Ghea dengan lembut. “Aku tidak ingin menyakitimu,” katanya pelan. Tak lagi mendominasi. Hanya suara seorang pria yang jujur menyampaikan perasaannya.
Ghea menatapnya. Matanya tak lagi menyala karena gairah atau amarah. Kini hanya ada keheningan. Sorot mata Leon berubah. Hangat. Luruh. Seolah ia telah mengenalnya sejak lama. Seolah perasaan itu tak pernah benar-benar lahir di momen ini… tapi telah tumbuh diam-diam, entah sejak kapan.
Leon menunduk, lalu mengecup kening Ghea. Pelan. Lama. Sebuah kecupan yang tak membakar, tapi menenangkan. Menusuk jauh ke dalam jantungnya. Menggetarkan… dan menyakitkan dalam kelembutannya.
“Aku akan membiarkanmu pergi malam ini,” bisiknya, serak. “Tapi jangan pikir aku akan menyerah. Ghea, kamu milikku…”
Ghea menahan napas. Lalu, dengan tangan yang bergetar, ia membuka pintu. Melangkah keluar tanpa menoleh. Tapi setiap langkah seperti meninggalkan sebagian dari dirinya.
Ia tahu harus pergi. Harus menjauh. Harus menang melawan perasaan ini. Karena jatuh untuk Leon berarti kehilangan kendali… dan itu menakutkan.
Begitu pintu tertutup, Leon masih berdiri di tempat. Tak bergerak. Tatapannya menempel pada pintu itu, seolah berharap detik berikutnya wanita itu akan kembali masuk. Tapi tidak.
Yang tersisa hanyalah keheningan.
Namun, senyum tipis terbit di bibirnya. Penuh tekad. Penuh ancaman yang manis.
“Lari sejauh apa pun… aku tetap akan mengejarmu...Ghea.”
Ghea pulang dengan langkah gontai dan kepala penuh kekacauan. Hatinya seolah menjadi medan perang antara luka lama dan godaan baru bertarung tanpa henti.
Ia memeluk dirinya sendiri dalam dingin malam, seakan bisa memeluk kembali harga dirinya yang terenggut.
Setiap kali mencoba melupakan wajah Leon, ingatan tentang David kembali menyeruak. Suaminya—pria yang dulu ia cintai sepenuh hati—bercumbu dengan sekretarisnya di balik pintu yang tak tertutup sempurna.
Kalimat kejam itu terus terngiang,
"Wanita mandul itu tak becus melayani suami."
"Dia nggak bisa kasih aku kepuasan. Wanita tua itu tak lebih dari seonggok daging hidup. Membosankan, membuatku tak berselera."
Setiap kata itu tak hanya menusuk—ia seperti belati panas yang memelintir jantungnya perlahan, meninggalkan luka yang tak bisa dijahit waktu.
"David...tak kusangka kau tega mengkhianatiku. Begitu rendah dan tak berartikah aku di matamu...?"
Namun saat ia mencoba menghapus pengkhianatan David dari pikirannya, bayangan Leon justru mengambil alih... perlahan namun pasti.
Leon… dengan mata tajam dan senyum menggoda. Dengan dominasi yang tak kasar tapi menguasai. Dengan sentuhan yang membuat tubuh Ghea bergetar, dan kecupan di kening yang membangunkan sisi dirinya yang telah lama mati.
Kelembutan itu—yang seharusnya datang dari suami—malah hadir dari seorang pria asing yang bahkan belum sehari ia kenal.
"A-aku sudah gila..."
Ia menepuk wajahnya pelan, mencoba mengusir semua bayangan itu. Tapi gagal.
Kedua pria itu seperti dua sisi dari luka yang sama: satu menghancurkannya, satu membangunkannya. Tapi keduanya... membuatnya goyah.
Ia duduk di tepi ranjang, memejamkan mata sambil menarik napas panjang.
“Aku harus waras… aku harus kuat.”
Tapi hatinya tahu—di balik semua usaha untuk tetap berdiri tegak—ia telah goyah. Dan goyahnya bukan hanya karena rasa sakit… tapi karena pesona liar pria asing yang kini menyusup ke dalam mimpinya, membawa bara yang tak bisa padam.
Pagi masih muda.
Sinar matahari menyelinap malu-malu lewat celah tirai ruang tamu, seperti ragu mengusik kesunyian yang menyesakkan.
Ghea menatap jam dinding, gelisah.
"David tak pulang semalam. Ia bahkan tak menghubungiku. Pasti bermalam dengan perempuan sialan itu."
Hatinya dingin, tapi matanya masih basah oleh kelelahan dan emosi yang belum reda. Emosi yang meledak semalam, saat melihat dengan mata kepalanya sendiri—pria yang telah ia cintai dan nikahi lima belas tahun lalu—bercinta dengan wanita lain. Di kantor. Di ruang kerja yang sering mereka bersihkan bersama. Dengan posisi yang terlalu menyakitkan untuk diingat.
"Wanita mandul itu tak becus melayani suami."
Kalimat kejam itu berputar di kepalanya. Menghantam harga dirinya, menyayat sisa cintanya yang belum mati sepenuhnya.
Lalu, ketukan pelan di pintu depan memecah kekosongan pagi. Salah satu pelayan mendekat, raut wajahnya bingung.
"Nyonya, ada kurir… katanya ada kiriman bunga untuk Nyonya."
Ghea mengernyit. "Bunga? Dari siapa?"
Dalam hati ia bertanya-tanya, “Apa dari David?”
Sedikit harapan itu menyelinap, meski semalam pria itu menghancurkannya hingga serpih.
"Mungkin ia hanya bosan. Mungkin aku bisa memperbaiki diri. Cinta lima belas tahun tak mungkin habis begitu saja, 'kan?"
Dengan langkah pelan, ia menuju pintu.
Seorang pria berdiri di sana. Mengenakan topi kurir yang diturunkan rendah, wajahnya tersembunyi bayangan. Ghea tak terlalu memerhatikan, pikirannya masih berkecamuk antara sakit hati dan harapan tipis.
"Buket bunga, Nyonya. Dari seseorang… tanpa nama."
Suaranya... dalam, sedikit serak. Ada sesuatu dalam intonasinya—hangat sekaligus mengancam—yang membuat bulu kuduk Ghea meremang.
"Leon?" pikirnya cepat. Tapi ia menggeleng. "Jangan bodoh, itu hanya halusinasi."
Ia mengambil pulpen, menandatangani tanda terima.
"Terima kasih," ucapnya.
Buket mawar merah muda itu terasa aneh di pelukannya. Sebentuk romantisme yang datang di saat hatinya masih koyak. Ada secarik kertas terselip di sela tangkai bunga—kosong. Hanya lembar putih, namun terasa penuh makna yang tak bisa ia baca.
Baru satu langkah ia berbalik, hatinya masih bertanya-tanya, “Siapa yang mengirim bunga ini?”
Lalu tiba-tiba, sepasang tangan hangat melingkar di pinggangnya dari belakang—erat, penuh penguasaan.
Tubuhnya menegang. Napasnya tercekat. Jantungnya membentur dada.
Hanya satu nama yang terlintas: Leon.
"Selamat pagi, Honey," bisiknya di telinga—suara rendah yang hangat, tapi mengandung keberanian yang terlalu berani untuk pagi sesepi ini.
Jantung Ghea seperti akan meloncat keluar. Ia spontan mencoba melepaskan diri, panik, matanya melirik ke sekeliling takut ada pelayan yang melihat.
“Leon?! Kamu gila! Apa yang kamu lakukan di sini?!” tanyanya pelan tapi penuh tekanan.
Leon hanya terkekeh pelan sambil berpindah posisi di depan Ghea.
“I Miss you, Honey.”
Tangannya masih berada di pinggang Ghea, wajahnya mendekat, menyentuh pipi wanita itu dengan ujung hidung mancungnya.
"Lepaskan! Bagaimana kamu tahu alamatku?" desis Ghea, mendorong dadanya tapi tak sekuat yang seharusnya.
Leon menatapnya dengan senyum tajam, matanya bersinar penuh nakal.
“Aku punya banyak cara… dan aku nggak sabaran nunggu kabar darimu. Jadi aku memutuskan bawa kabar sendiri.”
“Leon, kamu nggak bisa seenaknya datang ke rumah orang, apalagi—”
“Apalagi nyium pemilik rumah?” potong Leon sambil mengecup pelipisnya cepat. “Tenang aja, pelayanmu udah aku alihkan tadi, dia ke dapur. Kita punya waktu beberapa menit.”
Ghea mundur selangkah, matanya masih terbelalak, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang tak bisa memalingkan pandangannya dari Leon. Bukan hanya karena ketampanan atau suara rendahnya, tapi karena… getarannya. Ketegasan dominannya. Dan sesuatu yang menyesakkan: kenyataan bahwa tubuhnya menyambut kehadiran pria itu, meski akalnya menolak.
“Aku beneran gila…” gumam Ghea.
Leon tersenyum miring. “Kalau gila itu artinya kamu nggak bisa berhenti mikirin aku… berarti kita sama.”
Satu detik sebelum Ghea membalas, langkah pelan terdengar dari arah dalam rumah. Ghea panik.
...🌸❤️🌸...
Note :
Cerita ini adalah fiksi belaka. Tokoh, tempat, dan kejadian yang digambarkan bukanlah cerminan dari kehidupan nyata siapa pun.
Apa yang dilakukan Leon dalam cerita ini bukan pembenaran. Merayu istri orang tetap salah, seburuk apa pun kondisi rumah tangga mereka. Namun dalam fiksi, kita diizinkan menjelajahi sisi kelam manusia, bukan untuk ditiru, tapi untuk dipahami.
Kisah ini ditulis bukan untuk mengagungkan perselingkuhan, tapi untuk menampilkan realita bahwa cinta bisa datang di waktu yang salah, pada cara yang salah, dari orang yang salah. Dan manusia, dengan segala luka dan dendamnya, bisa tersesat dalam keputusan yang salah pula.
Jangan ambil sisi negatifnya—ambil pelajaran, ambil makna. Dan semoga kisah ini membukakan mata, bukan menutup hati.
Bacalah dengan bijak. Ambil pelajaran, bukan pembenaran.
To be continued
“Pergi, sekarang!” desis Ghea.
Leon tersenyum tipis, lalu mendekat dan berbisik, “Aku akan datang lagi, Honey. Bunga hari ini cuma pembuka.”
Dan seperti bayangan, ia berbalik lalu menghilang sebelum siapa pun sempat menangkap kehadirannya.
Ghea berdiri mematung, buket bunga masih di pelukannya, dan dadanya berdegup terlalu kencang—seolah pagi telah berubah jadi medan perang yang tak lagi tenang.
"Bagaimana dia tahu alamatku?
Kenapa dia seperti sudah lama mengenalku? Siapa sebenarnya dia? Apa dia... gigolo?"
Ghea bergidik ngeri. Bukan tanpa alasan dugaan itu muncul.
Leon adalah pria asing yang sengaja mendekatinya di klub malam. Lalu dengan mudahnya menerima tawaran gilanya—tawaran untuk menghamilinya dengan bayaran satu miliar rupiah.
"Apa yang sudah kulakukan...?
Kenapa semalam aku bisa punya ide segila itu?"
Ingatan tentang perselingkuhan David kembali mengoyak benaknya. Kata-kata pria itu—yang merendahkan dan menyakitkan—menggaung lagi di pikirannya.
"Apa benar aku tidak becus menjadi istri?" bisiknya lirih.
Ia berjalan ke dalam kamar, menatap dirinya di cermin. Sosok yang menatap balik adalah wanita yang terlalu tenggelam dalam dunia desain—hobi sekaligus pekerjaan yang dulu membuatnya bangga. Tapi mungkin... itu juga yang menjauhkan dirinya dari David.
"Mungkin aku terlalu sibuk. Terlalu cuek. Terlalu percaya."
Tatapannya jatuh ke buket mawar merah muda yang masih ia genggam. Lambang manis dari pria yang tak seharusnya hadir.
"Dia cuma pria muda. Mungkin gigolo. Mungkin cuma ingin uang. Aku nggak boleh goyah."
Ia melempar bunga itu ke tong sampah, menarik napas panjang, menegakkan punggungnya.
"Aku harus memperbaiki semuanya. Aku harus menyelamatkan rumah tanggaku."
Pagi itu, Ghea melakukan hal yang jarang ia lakukan. Ia pergi ke spa. Merapikan rambut. Merawat kulit. Memoles wajahnya lebih cantik dari biasanya. Bukan lagi tampilan simpel istri rumahan. Tapi wanita yang siap merebut kembali hati suaminya.
"Hari ini, aku akan ajak David makan siang.
Dan aku akan tunjukkan, aku masih istri yang layak dicintai."
Di usia tiga puluh lima tahun, Ghea masih terlihat cantik dan awet muda. Kulitnya bersih dan terawat, meski ia bukan tipe wanita yang senang berdandan berlebihan. Make-up bagi Ghea sebatas lipstik tipis dan skincare untuk menjaga kesehatan kulit. Seringnya, ia hanya mengenakan pakaian kasual di rumah, karena itulah zona nyaman yang ia nikmati selama ini.
Namun hari ini berbeda.
Ia berdiri di depan cermin dengan gaun rancangan tangannya sendiri—elegan, berkelas, dengan potongan sederhana tapi memikat. Rambutnya ia tata rapi, dan sedikit warna senada ia poles di kelopak matanya. Ada usaha, ada harapan.
Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia ingin tampil cantik… untuk suaminya.
“Hari ini aku akan jadi versi terbaik dari diriku.”
“Kalau selama ini aku terlalu dingin, terlalu sibuk, terlalu ‘biasa’… maka hari ini aku perbaiki semuanya.”
Ghea menumpang taksi menuju kantor David—perusahaan warisan orang tuanya, yang kini sepenuhnya dipegang suaminya sejak sang ayah meninggal. Ia sengaja tidak membawa mobil sendiri.
“Kalau semua berjalan lancar, aku bisa langsung pulang bareng David. Satu mobil. Seperti dulu…”
Matanya menatap jalanan dari balik kaca jendela. Semilir angin yang masuk dari celah kecil membuat helai rambutnya bergerak pelan. Ada gelisah dalam dirinya, tapi ia terus meyakinkan hati bahwa semua akan baik-baik saja.
Lima menit sebelum tiba di kantor David, Ghea membuka ponselnya dan menekan nomor yang sangat dikenalnya. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menaruh senyum di suaranya.
“Sayang, kamu lagi sibuk nggak?” tanyanya ringan, seolah semalam tak ada apa-apa. Seolah ia tak menyaksikan sendiri suaminya bersama wanita lain. Seolah ia bukan perempuan yang semalam menangis diam-diam sampai dini hari.
Di ujung sana terdengar suara David. Terdengar datar, tapi tak sepenuhnya dingin.
“Lagi di jalan. Mau ke luar kota. Ada urusan mendadak,” jawab David cepat.
Ghea terdiam sesaat, mencoba memproses kata-kata itu.
“Keluar kota?” ulangnya, berusaha menjaga nadanya tetap tenang. “Baru sekarang kasih kabar?”
“Baru dikabarin pagi ini. Ini juga buru-buru banget.”
“Kenapa nggak bilang dari tadi pagi?” batin Ghea, tapi menahan rasa kesalnya.
“Rencanaku mau ajak kamu makan siang.” Suara Ghea nyaris berbisik. “Kita bisa ngobrol. Aku pikir... kita butuh waktu berdua.”
David hanya mendesah pelan. “Maaf, Ghea. Aku benar-benar nggak bisa sekarang. Nanti kita atur waktu lain, ya?”
Ada jeda. Hening beberapa detik. Ghea mencoba tetap bernapas meski tenggorokannya mulai tercekat.
“Oh...” Ia menatap jalanan dari balik kaca. “Kenapa rasanya aku selalu bukan prioritas?”
“Oke, hati-hati di jalan,” ujarnya akhirnya. Lembut, namun terlalu pahit untuk ditelan.
Ia menutup telepon tanpa menunggu jawaban David, lalu menatap supir taksi. “Pak, putar balik aja. Kita nggak jadi ke kantor.”
Namun tepat saat taksi hendak berbelok, matanya menangkap siluet mobil hitam yang melintas di jalur seberang. Ghea langsung duduk tegak.
“Itu… mobil suami saya,” katanya buru-buru. “cepat putar balik, Pak. Ikuti mobil itu.”
Hatinya berdetak tak karuan. Matanya tajam menatap kendaraan yang melaju beberapa meter di depan mereka. Dadanya sesak, seperti baru saja ditikam tanpa peringatan.
“Apa dia bohong padaku? Jangan bilang dia sengaja menjauh dariku…untuk bersama wanita itu lagi?”
Mobil David berhenti di sebuah restoran bintang lima yang biasa mereka kunjungi saat masih baru menikah. Tempat yang menyimpan banyak kenangan manis—dan kini menjadi saksi pengkhianatan.
Ghea menunduk pelan di jok belakang, hanya sedikit menaikkan wajahnya agar bisa melihat jelas. Matanya membelalak saat melihat pintu mobil dibuka... dan David turun lebih dulu, lalu membukakan pintu sebelah.
Seorang wanita muda keluar.
Sekretarisnya.
Dan tanpa ragu, David merangkul pinggang wanita itu dan menuntunnya masuk ke dalam restoran.
“Jadi... ini urusan mendadaknya?”
Ghea menggigit bibir bawahnya, menahan air mata yang mulai menggenang. Tangannya yang tadi memegang ujung gaunnya kini mengepal.
“Bodoh. Aku bodoh. Bahkan setelah tahu dia mengkhianatiku, aku masih ingin berjuang.”
“Masih berharap.”
“Masih percaya.”
Ia memejamkan mata. Tak ada kata-kata. Tak ada amarah yang meledak. Yang ada hanya kehampaan yang menyesakkan dada.
“Mungkin... aku bukan istri yang baik. Tapi dia jelas bukan suami yang pantas.”
Siang itu, akhirnya Ghea duduk di restoran kecil dekat butiknya. Hujan belum turun, tapi langit mendung seperti menyerap semua warna dari dunianya. Piring di depannya nyaris tak tersentuh. Ia menatap keluar jendela, diam, murung.
“Sendirian lagi, Honey?”
Suaranya datang seperti badai yang tak diundang—dalam, rendah, dan terlalu familiar. Tubuh Ghea menegang spontan. Ia menoleh cepat.
Leon berdiri di sana, mengenakan kemeja putih dengan beberapa kancing terbuka, memperlihatkan dada bidang yang sedikit terintip dan lengan tergulung yang membingkai otot-otot sempurna. Tapi yang paling berbahaya adalah senyumnya—senyum yang bisa merobohkan pertahanan paling kokoh dalam sekali lirik.
“Leon?! Kamu ngikutin aku?” desis Ghea pelan tapi tajam.
Leon mengangkat bahu santai lalu duduk di hadapannya tanpa diundang. “Aku cuma lewat. Tapi semesta sepertinya suka mengatur pertemuan kita.”
Ghea mendengus pelan, menusuk ayam dingin di piringnya dengan garpu. “Kamu pikir hidupku ini drama remaja?”
Leon menyandarkan tubuh ke kursi, menyilangkan tangan sambil memandangi Ghea. “Kalau jadi drama bisa bikin kamu senyum, aku siap jadi tokoh utamanya. Atau antagonisnya… kalau itu yang bisa deketin aku ke kamu.”
Ghea mengangkat alis. “Kamu nggak punya batas, ya?”
Leon mencondongkan tubuh ke depan, suaranya menurun satu oktaf—lebih rendah, lebih dalam. “Aku tahu batas, Ghea. Tapi kamu yang lari sebelum kita sempat tentuin di mana batas itu harusnya ada.”
Ghea meneguk air putih, menahan degup jantungnya yang mulai kacau. Ia berdiri cepat, tapi sebelum bisa melangkah pergi...
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!